BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, sering terdengar pembicaraan mengenai etika. Kata-kata yang terdengar di antaranya adalah “tindakan yang tidak etis”,
“perbuatannya melanggar etika”, dan lain sebagainya. Etika dipandang sebagai suatu peraturan tak tertulis di tengah-tengah masyarakat, yang menuntut untuk
ditaati meskipun tidak ada sanksi atau hukuman yang menimpa jika melanggarnya.
Etika itu sendiri adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang
dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pemikirannya. Persoalan etika adalah persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia, dalam segala
aspeknya, baik individu maupun masyarakat, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dirinya, maupun dengan alam di sekitarnya,
baik dalam kaitannya dengan eksistensi manusia di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya maupun agama.
1
Perbuatan manusia itu sendiri banyak sekali yang dilakukan atas dasar kebiasaan dalam hidup dan kehidupannya. Dalam hal ini etika perbuatan telah
ditentukan oleh adat kebiasaan yang sudah berjalan dalam jangka waktu yang lama.
1
Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 1999, Cet. Ke-1, h. 83
1
Etika erat kaitan dengan ajaran agama, karena orang yang beragama diharapkan lebih beretika. Tidak jarang dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa
masalah iman dikaitkan dengan perbuatan baik amal saleh. Hal ini menunjukkan adanya jalinan dan korelasi antara iman dan etika. Sebaliknya, murka Tuhan yang
diturunkan pada suatu kaum bukan akibat syirik yang mereka lakukan, tetapi lebih karena kejahatan dan kemunkaran mereka. Banyak perintah Tuhan tidak hanya
berhenti pada ritual belaka, tapi terkait dengan perbuatan-perbuatan baik. Begitu juga halnya dengan yang dilarang agama, seringkali memiliki muatan akidah yang
sangat kental.
2
Seperti yang telah disinggung di atas, al-Qur’an dan hadis membicarakan berbagai macam permasalahan, salah satunya adalah masalah etika. Etika Islam
ditemukan dalam sumber yang merentang luas mulai dari tafsir al-Qur’an hingga kalam, komentar filosofis atas Aristoteles hingga teks mistik sufi.
3
Sayangnya, begitu banyaknya sumber yang merentang luas untuk etika dan begitu penting pula posisi etika dalam Islam, tetapi hal itu tidak diiringi oleh
perhatian para ulama dan intelektual muslim. Bidang ini hampir tak tersentuh dalam wacana-wacana keilmuan Islam, baik filsafat, ilmu kalam, maupun fikih.
Filsafat Islam, kendati sangat terpengaruh oleh tradisi pemikiran Yunani yang kaya dengan pemikiran etika, tak banyak membahas persoalan-persoalan etika.
2
Ayat tersebut berbunyi
ﻴﻈ ﻖ ﺧ ﻰ ﻚﻧإو ﻘ ا
: 4
yang artinya Sesungguhnya engkau Muhammad berada di atas budi pekerti yang agung.
al-Qalam: 4. Sedangkan hadis yang dimaksud yang sering dikutip banyak orang adalah hadis yang berbunyi:
ﻷ ﺜ ﺑ ﺎ ﻧإ قﻼﺧﻷا مرﺎﻜ
ﻩاور ﻚ ﺎ
yang artinya Aku hanya diutus untuk menyemperunakan akhlak yang mulia.
HR. Imam Malik.
3
Sayyed Hossen Nasr dan Oliver Leaman, ed, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tiara Mizan, Bandung: Mizan, 2003, h. 1276
Etika sama artinya dengan moral atau akhlak, yang berarti: adat kebiasaan, kesusilaan, budi pekerti, norma atau peraturan hidup.
Adapun yang membedakan arti kata etika, moral dan akhlak dalam pemakaiannya, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh M. Said berikut:
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penggunaannya ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai seperti baik dan buruk, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai dan kode. Orang menyebut perbuatan yang bermoral dan
immoral, atau orang menyebut sistem nilai, norma etik atau kode etik yang membedakan ialah kata akhlak yang berarti tabiat, watak, budi pekerti.
4
Etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama, yang
mengatakan bagaimana manusia harus hidup bukanlah etika melainkan ajaran moral. Etika hanya ingin mengerti mengapa seseorang mengikuti ajaran moral
tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Jadi etika sekaligus lebih dan
kurang dari ajaran moral. Kurang karena etika tidak berwenang menetapkan apa yang boleh dilakukan manusia dan apa yang tidak boleh. Wewenang itu dikuasai
oleh berbagai pihak yang memberikan ajaran moral. Lebih karena etika berusaha untuk mengerti mengapa dan atas dasar apa manusia hidup menurut norma-norma
tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan buku petunjuk bagaimana harus memperlakukan sepeda motor kita dengan baik, sedangkan etika memberikan
pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor itu sendiri.
5
Di Indonesia, cendekiawan yang menaruh perhatian terhadap masalah etika masih belum banyak. Salah satu di antara orang yang menaruh perhatian
4
M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradaya Pramita, 1976, h. 23
5
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 13-14
terhadap permasalahan etika, khususnya etika beragama adalah Nurcholish Madjid, pencetus sekaligus pendiri Yayasan Paramadina.
Nurcholish Madjid adalah seorang pencinta tradisi keilmuan Islam sejati, dan kursus-kursus yang diadakannya itu adalah tempat orang awam mengenal dan
menikmati pengetahuan yang luas, khasnya dari disiplin-disiplin tradisional fikih, tasawuf, kalam, dan filsafat, walaupun serba sedikit.
6
Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang ingin penulis telaah adalah etika beragama yang bertujuan untuk mengerti dan memahami ajaran Islam secara
benar, dan itu berarti juga mengerti dan memahami dimensi-dimensi keuniversalan ajaran Islam. Kelebihan Islam ialah segi kesamaannya yang
menakjubkan dari ujung ke ujung dunia Islam yang kesamaan itu telah mendasari gejala yang sangat menonjol antara sesama muslim di mana saja, yaitu solidaritas
dan persaudaraan dalam iman. Argumen tersebut hanya berarti penegasan bahwa memang sungguh-sungguh ada pola penyesuaian setempat untuk masalah
setempat, tanpa kehilangan benang merah kesamaan universal antara seluruh kaum Muslim di muka bumi. Pola penyesuaian setempat untuk masalah setempat
itu adalah seluruhnya absah, sepenuhnya Islami.
7
Selain pemikiran tersebut, masih terdapat pemikiran-pemikiran lain dari Nurcholish Madjid mengenai etika beragama dalam Islam. Dengan
mempertimbangkan etika tersebut, seseorang yang ingin menjalankan ajaran agama, dapat lebih terfokus dan yakin mengenai ajaran yang terkandung di
6
Syu’ba Asa, “Nurcholish, Hari Baik untuk Pergi”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. Ke-1, h. 70
7
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. Ke5, h. lxxiv
dalamnya. Bagaimana etika yang terdapat dalam ajaran agama, terutama agama Islam, dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan yang sering muncul adalah, bagaimana penerapan etika tersebut dalam kehidupan beragama? Hal ini menjadi pertanyaan besar, karena terjadi
paradoks ketika orang yang taat beragama justru tidak menunjukkan etikanya ketika berhadapan dengan orang yang berbeda agama. Banyak kekerasan yang
dilakukan oleh orang yang beragama terhadap agama lain, justru karena dilandasi oleh pemahaman atau penafsiran seseorang atas agama itu sendiri.
Hal menarik lainnya adalah - dalam etika beragama - apakah penerapan etika itu hanya dilakukan terhadap orang-orang seagama atau kepada orang-orang
yang beragama lain? Karena sering kali seseorang akan bersikap ramah ketika bertemu atau bersosialisasi dengan sesama, baik itu agama, suku, ras, maupun
antar golongan. Namun berbeda jika mereka berinteraksi dengan beda komunitas, sering kali timbul perselisihan yang tidak jarang berakhir dengan pertengkaran
maupun konflik horizontal hanya karena perbedaan tersebut. Pertanyaan penting lainnya adalah apakah etika yang dimaksud itu adalah etika yang bersumber dari
agama, atau etika yang memberikan arahan kepada seseorang bagaimana seharusnya hidup beragama itu sendiri?
Sebagaimana penulis telah singgung sebelumnya, bahwa etika lebih banyak berasal dari kebiasaan yang berlangsung lama di dalam masyarakat,
apakah dalam hal ini agama juga memberikan kontribusi dalam etika tersebut? Karena banyak individu atau golongan yang sering menyalahartikan dengan
ajaran yang berasal dari agama atau kelompoknya untuk melakukan tindak kekerasan terhadap individu atau golongan lain.
Pertanyaan-pertanyaan di atas membutuhkan jawaban yang jelas. Untuk itu, penulis berusaha untuk menggali pemikiran Nurcholish Madjid tentang etika
beragama. Hal ini penulis anggap penting, karena banyak peristiwa kekerasan yang justru mengatasnamakan agama, dengan mengganggu ketentraman agama
lain. Dari hasil penelusuran penulis terhadap literatur karya Nurcholish Madjid,
memang tidak ditemukan secara spesifik karya yang membahas secara khusus mengenai etika beragama. Untuk itu, penulis berusaha menggali pemikiran-
pemikiran Nurcholish Madjid yang berkaitan dengan etika beragama dalam berbagai karyanya. Dengan penelaahan tersebut, penulis berharap dapat
menangkap pandangan Nurcholish Madjid mengenai etika beragama. Namun demikian, keterbatasan literatur tersebut tidak menjadikan penulis
menyerah untuk menggali pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika beragama. Dengan mengumpulkan berbagai karya yang dihasilkannya, kemudian
melakukan telaah terhadap karya-karya tersebut, penulis berharap menemukan garis besar pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika beragama.
Dari pemaparan tersebut di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian
dalam rangka penulisan skripsi dengan judul “PANDANGAN NURCHOLISH MADJID DALAM ETIKA BERAGAMA.
B. Batasan dan Rumusan Masalah