Pluralisme Sebagai Aplikasi atas Etika

tentang hukum dalam Islam tidaklah seluruhnya sama dengan konsep di Barat, misalnya, yang merupakan kelanjutan konsep hukum zaman Romawi kuno.

C. Pluralisme Sebagai Aplikasi atas Etika

Secara fisik, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, baik yang dihuni ataupun tidak. Selain itu, Indonesia terdiri berbagai suku, bahasa, adat-istiadat, serta agama yag menunjukan heteroginitas sosio-kultural. Di samping itu, secara integral, pada masing-msing agama yang ada misalnya Islam juga terdapat keragaman pemahaman dan pelaksanaan ajaran. 13 Kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin “plures” yang berarti “beberapa” dengan implilaksi perbedaan. 14 Nurcholis Madjid memaknai : “pluralisme” sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyatan itu. 15 Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan fitrah, yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem 13 Nurcholis Madjid, Islam Dokrin dan Peradaban, hal. 4 14 Nurcholis Madjid, “Kebebasan Beragama dasn Pluralisme dalam Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus EF Ed, Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia, 1998, hal. 184. 15 Nurcholis Madjid, Islam Dokrin dan Peradaban, hal. 25 yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia. 16 Dalam salah satu materi yang disampaikan Cak Nur saat memberikan khutbah Jum’at adalah tentang kebebasan beragama. Cak Nur menyatakan bahwa setiap khatib dan juru dakwah dapat dipastikan telah mengetahui adanya prinsip tidak boleh ada paksaan dalam agama. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: ⌧ ☺ ☺ ⌧ Artinya: Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. QS. Al-Baqarah 2: 256 Lebih lanjut, Cak menjelaskan bahwa tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini dianggap telah dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti seorang yang belum dewasa. 16 Menurut Nurcholis Islam adalah agama yang pengalamanya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme memiliki keunikan dalam sejarah agama-agama. Hal ini terbukti bahwa berbagai masyarakat dunia, di mana Islam merupakan panutan mayoritas, agamaagama lain tidak menglami kesulitan berarti, tetapi sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan umat Islam menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan, kecuali di negaranegara demokratis Barat. Di sana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kebebasan beragama. Selanjutnya lihat Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 18 Oleh karena itu Tuhan telah “percaya” kepada kemampuan manusia itu, maka Dia tidak lagi mengirimkan Utusan atau Rasul untuk mengajari mereka tentang kebenaran. Deretan para Nabi dan Rasul telah ditutup dengan kedatangan nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul penutup, Nabi Muhammad membawa dasar- dasar pokok ajaran yang terus menerus dapat dikembangkan untuk segala zaman dan tempat. Maka sekarang terserah kepada manusia yang telah “dewasa” itu untuk secara kreatif menangkap pesan dalam pokok ajaran nabi penutup itu dan memfungsikannya dalam hidup nyata mereka. 17 Prinsip kebebasan beragama adalah kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua risiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri. Para ahli mencatat bahwa pelembagaan prinsip kebebasan beragama itu dalam sejarah umat manusia, yang pertama klai ialah yang dibuat oleh Rasulullah saw. Sesudah beliau hijrah ke Madinah dan harus menyusun masyarakat majemuk plural karena menyangkut unsur-unsur non-Muslim. Sekarang prinsip kebebasan beragama itu telah dijadikan salah satu sendi sosial politik modern. Prinsip itu dijabarkan oleh Thomas Jefferson yang “Deist” dan “Uniterianist-Universalist” namun menolak agama formal, dan oleh Robespiere yang percaya kepada “Wujud Maha Tinggi” namun juga menolak agama formal. Mungkin karena agama formal yang mereka kenal di sana waktu itu tidak mengajarkan kebebasan beragama. 18 17 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. Ke-3, hal. 218 18 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, hal. 219 Pandangan-pandangan Nurcholish Madjid - yang menggali dan menemukan akar pluralisme agama-agama dalam agamanya sendiri yakni Islam. 19 Bahwa bangsa Indonesia plural, itu fakta yang sama sekali tak bisa terbantahkan. Bangsa yang secara geografis terbentang dari Sabang sampai Merauke ini kaya akan beragam suku, budaya, agama, bahasa, karakter, warna kulit. Nurcholish Madjid menyatakan sikapnya terkait dengan fakta pluralitas ini dengan merujuk pada Kitab Suci Al-Qur’an. Al-Qur’an secara tegas dan pasti mengatakan bahwa pluralitas bukan hanya keunikan suatu masyarakat, tetapi merupakan kepastian Arab: taqdîr dari Allah. “Jika Tuhan menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang mendapat rahmat Tuhan. Dan memang untuk itulah Allah menciptakan mereka” Al-Qur’an S. Hûd11:118 Dalam kaca mata Nurcholish Madjid jika direnungkan lebih jauh, ayat di atas mengandung beberapa penegasan. Pertama, pluralitas atau kemajemukan masyarakat manusia sudah merupakan kehendak dan keputusan Allah sunnatullah. Bisa saja Allah menjadikan manusia kumpulan umat yang monolitik tetapi itu tidak Dia lakukan. Kedua, pluralitas itu membuat manusia senantiasa berselisih pendapat dengan sesamanya. Sekalipun demikian, ketiga, orang yang mendapat rahmat Allah tidak mudah berselisih karena ia akan bersikap penuh pengertian, lemah lembut dan rendah hati kepada sesamanya. Dan 19 Mengenai hal ini Abdurrahman Wahid menulis, “Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan Islam di puncak kejayaannya sekitar sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap secara terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyerapan ini menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari kesamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan”. Lih. Abdurrahman Wahid, “Tiga Pendekar dari Chicago,” dalam Sukandi A.K., Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 19 keempat, persetujuan sesama anggota masyarakat majemuk karena adanya rahmat Allah inipun ditegaskan sebagai kenyataan diciptakannya manusia, jadi merupakan sebuah hukum ilahi. Pluralitas, dengan demikian, sama sekali bukanlah hasil konstruksi masyarakat berdasarkan konsensus tertentu, entah politik, social ataupun ekonomi. Pluralitas bukan pula hasil kerja budi, kehendak dan karya manusia. Pluralitas adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan dan Islam sendiri mengakui pluralitas seperti yang dinyatakan dalam Al- Qur’an. 20 Nurcholish Madjid secara pasti dan tegas mengangkat pluralisme sebagai jawaban. Tetapi ia menolak jika pluralisme dipahami hanya sebatas pernyataan bahwa masyarakat Indonesia itu majemuk. Menurutnya, pluralisme tidak bisa hanya berhenti pada pengakuan akan kemajemukan itu. 21 Pluralisme juga tidak boleh hanya dipahami hanya semata-mata sebagai “kebaikan negatif” negative good, yang hanya ditilik dari manfaatnya untuk mengenyahkan atau menyingkirkan fanatisme to keep fanatism at bay. Artinya, 20 Lih. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003, hal. 196. Dalam kesempatan lain ia mengutip ayat lain dari Al- Qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” S. Al-Hujarât49:13. Surat lainnya lagi yang dikutipnya, “… sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” S. Al-Ma’idah5:48. Lih. Madjid “Etika Beragama dari Perbedaan menuju persamaan” dalam Nur Achmad ed., Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 4. Pandangan Nurcholish Madjid tentang pluralitas sebagai kehendak Tuhan ini dapat dibandingkan dengan pemikiran tokoh Islam lain yakni Alwi Shihab dalam “Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Surunin ed., Nilai- Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Terserak Bandung: Penerbit Nuansa, 1994, hal. 16 21 Lih, Nurcholish Madjid, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat Jakarta: Penerbit Paramadina dan Tabloit Tekad, 2001, hal. 63 pluralisme dikedepankan hanya sejauh mencegah atau menanggulangi fanatisme dengan segala turunannya, semisal radikalisme. Tidak pernah boleh pluralisme hanya dijadikan tujuan antara demi sebuah kepentingan pragmatistik baik yang bersifat antisipatif maupun kuratif, yakni meredam fanatisme. Karena jika ancaman fanatisme tidak lagi membayang, hampir bisa dipastikan bahwa yang akan terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah sebuah proses segregasi pemisahan entah atas dasar kultur, ekonomi, ideologi, politik maupun agama. 22 Maka, menurut Nurcholish Madjid, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” genuine engagement of diversities within bonds of civility. 23 Secara lebih lugas dan sederhana Nurcholish Madjid mendefinisikan pluralism sebagai “suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu”. 24 Bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan kemajemukan kebhinekaan, itu adalah sunatullah. Tetapi kemajemukan atau kebhinekaan Indonesia itu, merujuk pandangan Nurcholish Madjid di atas, haruslah dipayungi dan dihidupi dalam ikatan-ikatan keadaban. Dengan begitu pluralisme lalu bisa menjadi perangkat yang mendorong pengayaan budaya bangsa. Keragaman berada pada posisi tali-temali, berkaitan satu sama lain. Kalau kemajemukan bertali-temali dengan ikatan-ikatan keadaban maka pada dasarnya pluralism dapat dibaca secara lain sebagai keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan itu 22 Nurcholish Madjid, “Tidak Boleh Partisan”, dalam Pintu-Pintu Menuju Tuhan, hal. 243 23 Madjid, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, hal. 63 24 Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Baru,” dalam Islam Doktrin dan Peradaban, hal. lxxv. sendiri. Kemajemukan tidaklah dilihat dan diperlakukan sebagai entitas yang beku, asing, sudah selesai dan berdiri sendiri-sendiri. Sebaliknya pluralisme mengandung tuntutan agar tiap-tiap individu dalam masyarakat majemuk mengambil posisi melibatkan diri secara aktif dengan mengedepankan sikap terbuka, semangat egalitarian, pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sambil pada saat yang sama membangun relasi interaksi kerukunan dan dialog dan kerja sama. 25 Dari pernyataan-pernyataan yang penulis kemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam etika beragama, Cak Nur lebih menekankan pada bagaimana etika dalam hidup beragama. Hal ini berarti bahwa seseorang hendaknya dapat memperlakukan orang yang berbeda agama dengan baik, tanpa harus mempersoalkan perbedaan agama tersebut. Etika beragama bisa saja berarti etika yang berasal dari agama. Namun etika beragama lebih diartikan sebagai etika dalam kehidupan beragama. Dari pemikiran-pemikiran Cak Nur, terlihat jelas pemahaman Cak Nur terhadap kondisi bangsa Indonesia yang majemuk, terdiri dari banyak agama. Sikap toleransi terhadap agama lain sangat diperlukan, untuk menciptakan masyarakat yang madani. Perbedaan agama bukanlah alasan umtuk menciptakan permusuhan dan kebencian di antara anggota masyarakat. Cak Nur menginginkan suatu tatanan masyarakat yang rukun, hidup berdampingan, meskipun memiliki perbedaan agama dan keyakinan. Perwujudan masyarakat yang pluralis bukanlah sesuatu yang mustahil dalam pemikiran Cak Nur. 25 Alwi Shihab, “Tantangan Pluralisme Agama,” dalam Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Cet. ke-7 Bandung: Mizan bekerja sama dengan ANTEVE, 1999, hal. 41

D. Kesalehan Sosial