Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
2. Menurut Hukum Waris Islam dan Kompilasi Hukum Islam
Menurut Hukum waris Islam, pembagian warisan diatur berdasarkan fara’id yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang
yang telah meninggal dunia. Kedudukan hukum waris Islam sangat kuat sebab landasannya adalah Al-
Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Sebagai indikator dapat dipahami bahwa pemikiran H. Abdullah Siddik, Shyang menjelaskan bahwa “Tegasnya
ilmu fara’id adalah ilmu pembagian pusaka, ilmu yang menerangkan ketentuan- ketentuan pusaka yang menjadi bagian ahli waris. Ia dapat dipecahkan kepada dua
bagian besar, yaitu: 1 Peraturan-peraturan tentang pembagian pusaka, umpamanya
penentuan ahli waris dan penentuan pembagian masing-masing dari para ahli waris yang ada;
2 Peraturan menghitung bagian-bagian itu, bagaimana cara menghitung bagian dari masing-masing yang berhak atas pusaka.
Menurut hukum Islam, warisan memiliki beberapa unsur. Adapun unsur- unsur warisanrukun-rukun warisan arkanul mirats adalah sebagai berikut :
1. Muwarrits Orang yang mewariskan, yakni: adanya orang yang meninggal dunia atau si pewaris. Hukum inidi dalam hukum waris BW
disebut Erflater. 2. Waris orang yang berhak mewaris; disebut ahli waris, yakni : adanya ahli
waris yang ditinggalkan si wali yang masih hidup dan yang berhak menerima pusaka si pewaris. Unsur ini dalam BW disebut Erfgenam.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
3. Mauruts miratsatan tarikah harta warisan, yakni: adanya harta peninggalan pusaka pewaris yang memang nyata-nyata miliknya. Unsur
ini dalam BW disebut Erfenis.
3. Menurut Hukum Adat
Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukumadat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari
pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikitnya. Menurut Ter Haar di katakana bahwa “ Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukumyang
mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujut dan tidak berwujut dari generasi ke
generasi Ter Haar, 1950 : 17 ; Hilman Hadi Kusuma, 1980 : 17 ”. Dengan demikian hukum adat waris itu mengandung 3 unsur yaitu harta peninggalan atau
harta warisan,adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima
bagiannya. Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa “ bahwa Hukum waris adat memliliki corak tesendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya Patrilinial, matrilineal, parental atau bilateral
6
6
Hazairin Hkb : 9 ,Hilman Hadikiusuma, 1980 : 34
; walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
Sistem kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapat warisan Kewarisan di Indonesia terdapat tiga sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat,
kewarisan individual. Diantara ketiga sistem kewarisan tersebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a. Sistem Kolektif Apabila para waris mendapat mendapat harta peninggalan yang
diterima mereka secara kolektif bersama dari pewaris yangtidak terbagi-bagi secara perorangan, maka kewarisan demikian itu disebut
kewarisan kolektif . menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak
boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, malainkan diperbolehkan untuk memakai, mangusahakan atau mengelolah dan menikmati hasilnya
Minagkabau; “ ganggam bauntui ’’. Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terdapat harta peninggalan leluhur yang disebut “ Harta Pusaka
”, berupa bidang tanah pertanian dan barangbarang pusaka. Seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh
Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama- sama. Di Ambon seperti tanah dati yang di urus oleh kepala dati, dan di
Minahasa terhadap Tanah “ kelakeran ” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang dimasa sekarang sudah
boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama. b. Sistem mayorat
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
Apabila harta tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai oleh anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengulah dan memungut hasilnya sepenuhnya dikuasai
oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik- adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem
Pepaduan seluruh harta peninggalan dimaksut oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak penyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian
Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten jayapura. Sedangkan di daerah Sumendo Sumatera Selatan sekuruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita
yang disebut “tunggu tubang” penunggu Harta yang di dampingi “Payung Jurai” , sebagai “mayorat wanita”.
c. Sistem Individual Apabila harta warisan dapat dibagi-bagikan dan dapat dimiliki secara
perorangan dengan “hak milik” , yang berarti setiap waris berhak memakai, mengulahdan menikmati hasilnya atau juga mentransakikannya, terutama setelah
pewaris wafat, maka kewarisan demikian itu disebut “kewarisan Individual” . sistem kewarisan ini yang banyak berlaku dikalangan masyarakat yang parental,
dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata BW dan dalam Hukum Waris Islam.
Harta warisan
Dengan istilah “harta warisan” sebaiknya digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris,sedangkan istilah harta
“peninggalan” sebaiknya digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
penerusnya tidak terbagi-bagi. Harta warisan atau harta peninggalan itu dapat berupa harta benda yang berwujud dan yang tak berwujud.
Harta warisan yang berwujut benda misalnya berupa bidang tanah, bangunan rumah, alat perlengkapan pakaian adat, barang perhiasan wanita, perabot
rumah tangga, alat-alat dapur, alat-alat transport sepeda, gerobak, kendaraan bermotor, alat-alat pertanian, senjata, baik yang berasal dari harta pusaka, harta
bersama pencarian, orang tua suami istri, harta bawaan, ternak, dan sebagainya. Harta warisan yang tak berwujut benda misalnya berupa kedudukan atau
jabatan adat, gelar-gelar adat, hutang-hutang, ilmu ghaib, pesan, amanat atau perjanjian.
Pewaris Dan Waris
Pewaris adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang akan diteruskan atau akan dibagi-bagikan kepada para waris setelah ia wafat. Jadi pewaris adalah
“empunya” Harta peninggalan. Dilihat dari sistem kewarisan , maka ada pewaris kolektif , pewaris mayorat dan pewaris individual. Disebut pewari kolektif apabila
ia meninggalkan harta milik bersama untuk para waris bersama, Pewaris Mayorat apabila pewaris akan meninggalkan harta milik bersama untuk diteruskan kepada
anak tertua, Pewaris Individual apabila pewaris akan meninggalkan harta miliknya yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris atau warisnya.
Pewaris adalah orang yang mendapatkan harta warisan sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan harta warisan. Jadi semua orang yang
kewarisan adalah waris, tetapi tidak semua waris adalah ahli waris. Misalnya
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
dalam kekerabatan Patrilinial semua anak lelaki adalah ahli waris, sedangkan anak wanita bukan ahli waris, tetapi mungkindapat warisan sebagai waris. Dalam
sistem warisan mayorat anak tertua yang berhak sebagai ahli waris utama sedangkan saudaranya yang lain sebagai ahli waris penganyi atau waris saja.
Dalam sistem waris individual semua anak kandung sah adalah ahli waris yang berhak atas bagian tertentu, sedangkan anak kandung tidak sah atau anak angkat
hanya sebagai waris. Ibu sebagai janda bukan ahli waris dari ayah yang telah wafat, tetapi jika
anak-anak masih kecil belum mampu menguasai harta warisan, maka yang berkuasa atas harta warisan adalah ibu, sampai anak-anaknya dewasa. Jika anak-
anaknya sudah dewasa, maka harta warisan akan dibagikan, maka ibu boleh mendapat bagian seperti bagian anaks sebagai pewaris, atau dia ituk pada anak
yang tertua atau yang di senanginya. Anak kadung yang sah lebih berhak sebagai ahli waris dari anak kandung
yang tidak sah, anak angkat penerus keturunan adalah ahli waris bapak orang tua yang mangangkatnya, sedangkan anak anhkat lainnya hanya mungkin sebagai
waris saja. Anak tiri dan anak asuh bukan ahli waris dari bapak tiri atau orang tua asuhnya tetapi mungkin menjadi waris saja.
Orang yang tidak mempunyai ahli waris atau waris sama sekali dan tidak jelas para anggota kerabatnya jauh dan dekat, maka yang berhak mewarisi
warisannya adalah masyarakat adat setempat atau pemerintah, sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam Nabi Muhammad SAW berkata :”Ana Warisu
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
man la warisalahu” saya mewarisi orang yang tidak ada waris HR.Ahmad dan Abu Daud
Pewarisan
Pewarisan adalah proses penerusan harta peninggalan atau warisan dari si pewaris kepada para warisnya. Dilihat dari sistem pewarisan dan harta
peninggalannya, maka dapat di bedakan antara sistem penerusan kolektif dan mayorat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrililial dan matrilineal
terhadap harta pusaka, dan penerusan yang individual pada masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental terhadap harta yang bukan harta pusaka, tetapi
merupakan harta pencaharian harta bersama orang tua saja. Singkatnya yaitu penerusan terhadap harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan penerusan terhadap
harta yang dibagi-bagi. Di dalam perkembangannya dikarenakan terbatasnya harta
pusaka,sedangkan para waris bertambah banyak, maka sistem penerusan yang kolektif dan mayorat berangsur-angsur mengikuti jejak masyarakat yang parental
dengan sistem yang individual. Dalam penerusan harta warisan yang bersifat individual, dimana harta
warisan itu dibagi-bagi kepadapara waris, pewarisannya dapat terjadi sebelum pewaris wafat dan sesudah wafat pewaris. Terjadinya penerusan harta warisan
dikala pewaris masih hidup dikalangan keluarga-keluarga jawa disebut “Lintiran”. Sistem lintiran ini terjadi dengan berlaku dengan cara penunjukan
dalam bentuk hibah-wasiat terrulis atau tidak tertulis berupa pesan jawa:Weling,
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
wekas dari orang tua pewaris kepada para warisnya ketika hidupnya. Penunjukan itu dilakukan dengan menunjukan warisan tertentu terhadap waris tertentu
Jawa:Cungan atau menunjukan batas-batas tanah pertanian ladana,sawah untuk waris tertentu Jawa:Garisan, atau menunjukan jenis barangnya
Jawa:Perangan bagi waris tertentu. Di aceh apabila dilakukan wasiat,maka harta yang dapat dipesankan bagi waris tertentu tidak boleh melebihi dari 13 julah
seluruh warisan, apabila melebihi 13 bagian maka warisan di kala diadakan pembagian warisan setelah pewaris wafat dapat ditarik kembali yang lebih itu.
Setelah pewaris wafat, maka harta warisannya harus dibagi-bagikan kepada para waris atas dasar hak waris dan kasih sayang. Tetapi jika anak anak yang
berhak mewarisi belum mampu menguasai dan memiliki bagian warisannya, dikarenakan masih kecil atau belum mampu akal pikirannya, atau ahli waris
bersangkutan belum dapat hadir pada saat pembagian warisan dilakukan, maka orang tua yang masih hidup tetap menguasai harta warisan itu untuk kepentingan
ahli waris anak-anaknya. Jika pembagian anak ada yang belum dewasa dan sebagian sudah dewasa
dan mendiri, dan atau dikarenakan di antara ahli waris ada yang meminta agar warisan dibagikan, maka warisan dapat dibagikan kepada yang berkepentingan
dengan mempertimbangkan kebutuhannya, sedangkan bagi para ahli waris yang belum hadir atau kerena masih kecil, maka warisannya menjadi “waris
gantungan” menunggu sampai ahli waris dapa hadir atau menjadi dewasa, sedangkan warisan bagiannya itu masih tetap dikuasai oleh ibunya atau
saudaranya yang diserahkan mengurus warisan itu.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
Sistem pembagian warisan harus dilakukan dengan musyawarah keluarga para waris, yang dipimpin oleh ibu atau salah seorang ahli waris yang dapat
manjadi penengah dan berlaku adil, atau jika tidak ada dapat meminta bantuan para paman saudara, dari ayah atau dari ibu. Dikarenakan keadaan harta warisan
dan keluarga para ahli waris dan waris tidak sama maka tdak ada pula kesamaan jumlah banyak dan jenis warisan yang dibagikan. Ada keluarga yang membagikan
warisannya atas dasar kesamaan hak antara ahli waris pria dan wanita, ada yang ahli waris pria dua kali sebanyak bagian warisan wanita, ada yang didasarkan
pada jenis warisannya, dan ada pula yang diberi warisan atas dasar kasih saying jawa:Welas kasih,parimirma.
Di Aceh dan Banten bangunan rumah selalu diwarisi oleh anak wanita, sedangkan warisan tanah kepada anak-anak pria. Tetapi juga ada kemungkinan
anak bungsu mendapatkan bengunan rumah dan tanah pekarangan, jika kakak- kakaknya sudah kebanyakan merantau dan hidupnya dalam kecukupan.
Sedangkan anak diluar kawin yang sah atau anak asuh yang ternyata bersusah payah mengurus warta warisan walaupun tidak berhak mewarisi, akan diberi
bagian pula atas dasar kasih saying. Jika terjadi perselisihan adalm pembagian warisan diantara para waris, maka
selalu diusahakan penyelesaian dengan rukun dan damai, dalam hubungan kekeluargaan untuk menjaga agar perjlanan arwah dari pewaris di alam baka
tenang dan tidak terganggu oleh silang sengketa para waris yang ditinggalkannya.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
B. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Nasional Yurisprudensi