Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
BAB II KETENTUAN SISTEM PEWARISAN MENURUT HUKUM NASIONAL
A. Sistem Pewarisan Menurut Tiga Sistem Hukum
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW
Hukum waris adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang akan
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun antara mereka
dengan pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 528 KUH Perdata menyatakan bahwa “Atas suatu
kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak
milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak
gadai atau hipotik”. Hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan dalam Pasal 584 menyatakan bahwa “Hak milik atas sesuatu kebendaan tidak
dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan:
karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun surat
wasiat dan arena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Hak mewaris diidentikkan dengan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan.
Setiap orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan disebut Pewaris. Ini berarti syarat sebagai pewaris adalah adanya hak-hak danatau
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga, yang dapat dinilai dengan uang.
Orang-orang tertentu, yang secara limitatif diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata BW, yang menerima harta peninggalan adalah :
Ahli Waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri uit eigen hoofde atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayahnya meninggal dunia, maka
sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. Mengenai ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri ini, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menggolongkannya sebagai berikut: a. Golongan Pertama
Yaitu sekalian anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus ke bawah. Hak mewaris suami atau isteri yang hidup terlama disamakan
dengan seorang anak sah Pasal 852a KUH Perdata. b. Golongan Kedua
Yaitu orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi
ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan.
c. Golongan Ketiga Pasal 835 dan Pasal 834 KUH Perdata menentukan dalam hal tidak
terdapat golongan pertama dan kedua, maka harta peninggalan harus dibagi dua kloving , setengah bagian untuk kekek nenek pihak ayah,
setengah bagian lagi untuk kakek nenek dari pihak ibu.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
d. Golongan Keempat Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyamping sampai derajat ke
enam. Ahli waris berdasarkan penggantian bij plaatsvervulling, dalam hal ini
disebut ahli waris tidak langsung. Misalnya A meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C. B telah
meninggal terlebih dahulu dari A pewaris. B mempunyai anak D dan E, maka D dan E tampil sebagai ahli waris A menggantikan B cucu mewaris dari
kakeknenek. Jika diuraikan dalam pembagian warisan, pembagiannya sebagai berikut:
C menerima setengah harta peninggalan, sedang D dan E masing-masing 14 12 x ½ harta peninggalan.
KUH Perdata memperinci ahli waris berdasarkan penggantian sebagai berikut:
a. Penggantian dalam garis lurus ke bawah Setiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh cucu anak-
anak si pewaris. Dalam hal ini semua anak ahli waris yang dalam kedudukannya sendiri. Karena dalam penggantian berlaku ketentuan
Pasal 848 KUH Perdata yang berbunyi : “hanya orang-orang yang meninggal saja yang dapat digantikan”.
b. Penggantian dalam garis lurus ke samping Tiap saudara kandungsaudara tiri yang meninggal terlebih dahulu
digantikan oleh anaknya.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
c. Penggantian dalam garis ke samping, juga melibatkan penggantian anggota-anggota keluarga yang lebih jauh.
Misal: Panamkeponakan, jika meninggal terlebih dahulu digantikan oleh keturunannya.
Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan. Dalam hal ini kemungkinannya timbul karena dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata terdapat ketentuan tentang pihak ketiga yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati harta peninggalan si pewaris berdasarkan suatu
testamentwasiat. Pihak ketiga tersebut dapat berupa pribadi atau perseorangan rechts persoon.
Setelah menentukan siapa-siapa saja yang berhak menjadi pewaris dan siapa-siapa juga yang menjadi ahli waris, maka berikutnya kita akan membahas
mengenai hak dan kewajiban dari pewaris dan ahli waris itu sendiri. Menurut KUH Perdata, hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta
peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah testamentwasiat tersebut berupa :
1. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan. Orang
yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam ahli waris menurut wasiat. 2. Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar testamentwasiat
yang khusus. Pemberian itu dapat berupa : d. hak atas satu atau seluruh benda tertentu;
e. hak atas seluruh dari suatu macam benda tertentu;
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
f. Hak vruchtgebruik atas sebagianseluruh warisan Pasal 957 KUH Perdata.
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris. Bentuk Testamen ada 3 tiga macam, yaitu :
1. Openbaar testament, yaitu testament yang dibuat oleh seorang notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi;
2. Olographis testament, yaitu testament yang ditulis oleh si calon pewaris sendiri eigenhanding, kemudian diserahkan kepada seorang notaris untuk
disimpan gedeponeerd dengan disaksikan oleh dua orang saksi. 3. Testamen Rahasia, dibuat oleh calon pewaris tidak harus ditulis tangan,
kemudian testament tersebut disegel dan diserahkan kepada seorang notaris dengan disaksikan oleh empat orang saksi.
Selain daripada hak dari pewaris, terdapat pula kewajiban dari pewaris itu sendiri. Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatasan terhadap haknya
yang ditentukan oleh undang-undang. Ia harus memberikan legitimatie portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan
oleh orang yang meninggalkan warisan Pasal 913 KUH Perdata. Jadi, legitimatie portie itu adalah pembatasan terhadap hak-hak pewaris dalam hal membuat
testamentwasiat. Setelah si pewaris memberikan testamentwasiat seperti yang disebutkan
di atas, selanjutnya akan ditunjuk ahli waris yang akan mewarisi seluruh ataupun sebagian dari harta kekayaan peninggalan si pewaris.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
Setelah terbuka warisan. Maka ahli waris diberi hak untuk menentukan sikap :
1. Menerima secara penuh zuivere aanvarding, yang dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Secara tegas yaitu jika
penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris. Sedangkan cara
lain yaitu dengan cara diam-diam. Maksudnya adalah jika ahli waris tersebut melakukan perbuatan menerimanya sebagai ahli
waris dan perbuatan tersebut harus mencerminkan penerimaan terhadap warisan yang meluang, misalnya dengan menjualnya,
mengambil atau melunasi utang-utang si pewaris. 2. Menerima dengan reserve hak untuk menukar voorrecht van
boedel beschcrijving atau beneficiare aanvarding. Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri di tempat
warisan terbuka. Akibat yang terpenting dari warisan yang beneficiare ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi
hutang-hutang dan beban lain si pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan
warisan, dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah menanggung pembayaran hutang dengan kekayaannya sendiri,
jika hutang pewaris lebih besar dari harta bendanya. 3.
Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaannya yang berupa kewajiban membayar hutang lebih
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
besar daripada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada
Panitera Pengadilan Negeri setempat. Selain hak Ahli Waris setelah terbuka warisan, maka kewajiban ahli waris
yaitu : 1. Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan
dibagi; 2. Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain-lain;
3. Melunasi hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang; 4. Melaksanakan wasiat jika ada.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur perihal pembagian warisan ini dengan suatu ketentuan dengan tegas tercermin dalam ketentuan Pasal
1066 KUH Perdata yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta warisan
tidak terbagi; b. Pembagian harta warisan dapat bagi sewaktu-waktu;
c. Dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan dengn jangka waktu 5 tahun; tenggang waktu ini dapat diperpanjang 5
tahun lagi dengan persetujuan semua ahli waris. Cara pembagian warisan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
menentukan cara tertentu dalam pembagian warisan, jika ternyata semua ahli waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya berada di tempat hadir pada
saat pembagian warisan maka cara pembagian warisan tersebut diserahkan pada
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
mereka sendiri, tetapi diantara ahli waris terdapat anak-anak di bawah umur atau ada yang ditaruh dalam curatele pengampuan, maka pembagian warisan harus
dilakukan dengan suatu akte notaris dan dihadapan Wees Kamer Bali Harta Peninggalan. Soal yang mempunyai hubungan dengan pembagian warisan adalah
mengenai inbreng yaitu pengembalian benda-benda ke dalam boedel. Masalah ini timbul jika ternyata pewaris semasa hidupnya telah memberikan benda-benda
secara schenking kepada sementara ahli waris yang dianggap sebagai suatu voorschot atas bagian warisan yang telah diperhitungkan kemudian.
Menurut undang-undang yang diharuskan melakukan inbreng, adalah para ahli waris dalam garis lurus, dengan tidak membedakan apakah mewaris secara
penuh zuivere aanvarding atau menerima dengan catatan voorecht van boedel beschrijving tetapi pewaris berhak untuk menentukan bahwa ahli waris yang
telah menerima pemberian-pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari inbreng. Dasar pemikiran peraturan inbreng adalah agar pewaris berlaku adil
terhadap semua anak-anak dan cucu-cucunya. Sifat peraturan inbreng berbeda dengan peraturan perihal legitimatie portie
yang dimaksudnya untuk melindungi kepentingan ahli waris yang mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan pewaris karenanya peraturan tersebut bersifat
memaksa artinya tidak dapat disingkirkan. Seseorang yang pernah menerima pemberian benda sewaktu hidup tidak
perlu melakukan inbreng jika ia bukan ahli waris, ia hanya dapat dituntut pengurangan inkorting jika ternyata pemberian itu melanggar legtimatie portie.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
Setelah selesai perhitungan dan pembayaran hutang-hutang pewaris, Pasal 1079 KUH Perdata mengatur cara pembagian sebagai berikut :
1. Masing-masing ahli waris menerima barang tertentu dengan harganilai sama rata seperti misalnya seperdua hatra warisan jika ahli waris hanya
terdiri dari dua orang saja, seperlima jika ternyata ahli waris terdiri dari lima orang, demikian selanjutnya.
2. Bila di antara para ahli waris ada yang menerima barangharta waris lebih dari bagiannya, di pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari
bagiannya maka ahli waris yang menerima bagian yang lebih diharuskan memberikan sejumlah uang tunai pada yang mendapat kurang dari
bagiannya. Jika terdapat perselisihan tentang siapa di antara mereka yang mendapat
barang tertentu selaku bagiannya, maka hal ini harus diundi. Apabila tidak ada kata sepakat mengenai penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan
kepada masing-masing ahli waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan negeri.
Setelah menerima penentuan barang-barang tertentu, Pasal 1080 KUH Perdata membuka kemungkinan tukar menukar bagian masing-masing di antara
para ahli waris. Pasal 1083 KUH Perdata menegaskan : “ Apabila pembagian warisan
sudah terjadi, maka masing-masing ahli waris dianggap sebagai pemilik barang yang diterimanya sejak saat pewaris meninggal”.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
Tentang cara pembagian warisan oleh undang-undang ditetapkan sebagai berikut :
1. Jika semua ahli waris sudah dewasa dan cakap bertindak dalam hukum sendiri, maka pembagiannya warisan tersebut diserahkan pada
kemufakatan antara mereka. 2. Jika ternyata di antara ahli waris yang ada masih terdapat anak-anak di
bawah umur atau ada yang di bawah pengampuan curatele maka pembagian warisannya harus dilakukan denga suatu akte notaries dan di
hadapan Balai Peninggalan Harta sebagai dasar pembagian harus dipakai harta taksiran dari semua benda warisan.
Suatu hal yang berkaitan erat dengan pembagian adalah masalah inbreng yaitu masalah pengembalian ke dalam boedel benda-benda yang diberikan semasa
pewaris masih hidup. Pemberian semacam ini dianggap sebagai voorschot atas bagian warisannya yang akan diperhitungkan kemudian, dengan cara
mengembalikan barang-barang pada boedel warisan. Menurut undang-undang, kewajiban melakukan inbreng tersebut ada pada
para ahli waris dalam garis lurus ke bawah dengan tidak membedakan ahli waris berdasarkan undang-undang atau ahli waris berdasarkan testament, juga tidak
dibedakan ahli waris yang menerima secara penuh atau menerima secara beneficiare. Tetapi pewaris pun berhak pula menentukan bahwa ahli waris yang
telah menerima benda-benda tertentu semasa hidup dibebaskan dari inbreng. Pada prinsipnya objek hukum waris adalah harta kekayaan yang
dipindahtangankan dari pewaris kepada ahli waris. Harta kekayaan yang
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
ditinggalkan tersebut berupa aktiva, yaitu sejumlah benda yang nyata ada danatau berupa tagihanpiutang kepada pihak ketiga. Selain itu aktiva dapat pula berupa
hak immaterial hak cipta dan sebagainya. Sedangkan passiva, yaitu sejumlah hutang si pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun kewajiban
lainnya menyimpan benda orang lain dan sebagainya. Legitimatie portie adalah suatu bagian warisan tertentu yang harus
diterima seorang ahli waris dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat. Tidak semua ahli waris berhak atau legitimatie portie.
Yang berhak memperoleh legitimetie portie ini adalah hanya ahli waris dalam garis lurus, baik ke bawah maupun ke atas. Tegasnya hak atas legitimatie
portie ini baru timbul apabila seseorang dalam suatu keadaan sungguh-sungguh tampil ke muka sebagai ahli waris menurut undang-undang. Dalam hal legitimatie
portie ada prioritaspenutupan. Misalnya jika si pewaris meninggal meninggalkan anak-anak dan cucu-cucu sebagai ahli waris golongan pertama, maka orang tua
sebagai ahli waris golongan kedua tidak tampil ke muka sebagai ahli waris dan karenanya tidak berhak atas suatu legitimatie portie. Seorang yang berhak atas
suatu legitimatie portie dinamakan “legitimaris”. Ia dapat mendapat pembatalan tiap testament yang melanggar haknya tersebut dan ia berhak pula untuk menuntut
supaya diadakan pengurangan inkorting terhadap segala macam pemberian warisan, baik yang berupa erfstelling maupun berupa legaat yang mengurangi
haknya. Peraturan mengenai legitimatie portie ini oleh undang-undang dipandang
sebagai suatu pembatasan hak pewaris dalam membuat testamen menurut
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
kehendak hatinya. Oleh karenanya pasal-pasal mengenai legitimatie portie ini dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat testamentair
erfrecht. Mengenai besarnya legitimatie portie Pasal 914 KUH Perdata menentukan
sebagai berikut : 1. Dalam hal ahli waris hanya terdiri dari seorang anak sah, maka legitimatie
portie adalah ½ separuh dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh dalam kedudukannya sebagai ahli waris menurut UU.
2. Jika terdapat 2 dua anak sah sebagai ahli waris maka jumlah legitimatie portie untuk masing-masing adalah 23 dari bagian yang sebenarnya akan
diperoleh sebagai ahli waris menurut UU. 3. Apabila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari 3 tiga atau lebih dari 3
anak sah, maka bagian masing-masing ahli waris adalah ¾ dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh akan diperoleh sebagai ahli waris menurut
UU. Hak atas legitimatie portie dapat digantikan oleh sekalian cucu-cucu
pewaris sebagai pengganti ahli waris anak yang telah meninggal lebih dulu. Adapun besarnya legitimatie portie untuk ahli waris dalam garis lurus ke atas
menurut Pasal 915 KUH Perdata adalah separuh bagian yang seyogyanya ia peroleh dalam kedudukannya sebagai ahli waris menurut UU.
Sedangkan ketentuan Pasal 916 KUH Perdata, mengatur bagian legitimatie portie dari seorang anak luar kawin yang diakui yaitu separuh dari bagian yang
semestinya ia peroleh sebagai ahli waris menurut UU.
Reka Elvina Putri Gulo : Hukum Waris Adat Studi Kasus Di Kabupaten Nias, 2008. USU Repository © 2009
2. Menurut Hukum Waris Islam dan Kompilasi Hukum Islam