Istitha’ah Menurut Pendapat Para Ulama Fikih

25 b. Kemampuan menurut Mazhab Maliki 26 Kemampuan adalah bisa tiba di Mekah menurut kebiasaan, dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Artinya, kesanggupan berangkat saja, Adapun kesanggupan untuk pulang itu tidak termasuk hitungan. Kesanggupan itu meliputi tiga hal : Pertama, kekuatan badan. Artinya, dapat tiba di Mekah menurut kebiasaan, dengan berjalan ataupun dengan berkendaraan. Kedua, adanya bekal yang cukup sesuai dengan kondisi orang dan sesuai pula dengan kebiasaan mereka, Madzhab Maliki tidak mensyaratkan adanya bekal dan kendaraan itu sendri, jalan kaki bisa menggantikan kendaraan, bagi orang yang mampu, dan keterampilan kerja yang mendatangkan pemasukan yang cukup bisa membuat seseorang tidak perlu membawa bekal atau uang dan bisa dikatakan cukup sebagai ganti bekal. Tidak wajib haji dengan cara berhutang, meskipun utang kepada anaknya sendiri, jika tidak punya harapan untuk dapat melunasi utangnya. Juga, tidak wajib haji dengan harta pemberian orang lain, hibah atau sedekah yang tanpa diminta. Dan tidak wajib bagi orang yang meminta-minta baik itu suatu kebiasaan ataupun tidak. 26 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, h. 416 26 Ketiga, tersedianya jalan, yaitu jalan yang dilalui darat atau laut dan biasanya jalan ini aman. Dan jika biasanya tidak aman maka itu tidak wajib haji. c. Kemampuan menurut Mazhab Syafi‘i 27 Mampu menunaikan ibadah haji harus menempuh dua kemampuan yaitu kemampuan fisik dan kemampuan finansial. Pertama, kemampuan fisik, artinya, orang yang dipandang sehat ialah orang yang mempunyai kekuatan fisik yang memungkinkan ia sampai di Mekkah untuk melakukan ibadah haji, tanpa mengalami kesulitan yang berarti, bahkan, menurutnya, orang buta pun diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji apabila ia mempunyai penuntun yang akan menuntunnya selama dalam perjalanan dan ibadah haji. Kedua, kemampuan finansial, dengan adanya bekal beserta wadahnya, serta ongkos keberangkatan ke Mekah dan kepulangan ke kampung halaman. Pendapat imam Syafi‘i berbeda dengan pendapat imam Maliki, I mam Syafi‘i memandang bahwa pekerjaan di tengah perjalanan itu tidak dibebani haji, alasannya, ada kemungkinan dia tidak mendapatkan pekerjaan karena sesuatu hal. dan Sekalipun tetap mendapatkan pekerjaan, maka itu akan banyak kesukaran. Ketiga, adanya kendaraan sarana transportasi yang sesuai dengan status seseorang dengan cara membelinya dengan harga rata-rata, bekal 27 Wahbah Al- Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, h. 417 27 dan kendaraan ini disyariatkan harus lebih dari utangnya yang sudah jatuh temponya maupun yang belum, baik utang itu kepada manusia maupun kepada Allah Ta‟ala seperti nadzar dan kafarat, maupun menafkahi kepada orang-orang yang harus dinafkahinya selama kepergian dan kepulangannya agar mereka tidak terbengkalai. Keempat, kesanggupan dari sisi keamanan, yakni keamanan jalan meskipun sekedar praduga bagi jiwa dan hartanya disemua tempat sesuai kondisi yang layak baginya. Kelima, wanita harus disertai oleh suaminya, atau oleh mahram dari hubungan nasab darah atau lainya, d. Kemampuan menurut Mazhab Hambali 28 Kesanggupan atau kemampuan yang disyariatkan adalah kemampuan atas bekal dan kendaraan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: Artinya : “ Anas Radliyallaahu anhu berkata: Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah sabil jalan itu? beliau bersabda: Bekal dan kendaraan. Riwayat Daruquthni. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mursal menuru pendapat yang kuat 30 28 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, h. 420. 29 Ali ibni ‗Umar Abu al-Husaini al-Dâru Quthni al-Baghdadi, Sunan al-Daru Quthni, juz 2 Beirut, Dar al- Ma‘rifah, 1996, h. 215. 30 Al-Hafiz ibin Hajar Al- Asqolani, Bulugul Maram, h.143. 28 Walaupun Hadis-hadis yang menafsirkan sabil dengan pembelanjaan dan kendaraan, dha‟if ditinjau dari segi sanadnya, namun kebanyakan ulama mensyariatkan yang demikian untuk mewajibkan haji. Adanya pembelanjaan dan kendaraan adalah bagi orang yang tidak memperoleh perbelanjaan dan kendaraan, tidaklah wajib haji atasnya. Ma zhab Hambali sepakat dengan madzhab Syafi‘i

2. Praktek Istitha’ah pada Zaman Terdahulu

Kata istitha‟ah berdasarkan pengertian di atas yaitu, suatu kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT dan RasulNya. Namun demikian, Allah tidak memberatkan dan tidak menuntut seseorang untuk mengerjakan, maka dalam kondisi demikian, sangat diperhatikan i‟tikad baik seseorang dalam melaksanakan perintah Allah Swt sesuai kadar ketaqwaannya. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al- Baqarah : 197                                   Artinya : muslim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah- bantahan di dalam masa mengerjakan haji, dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya, berbekallah, dan sesungguhnya sebaik- baiknya bekal adalah taqwa. 29 Dari arti ayat di atas “Dan ambillah bekal olehmu” menurut keterangan yang disampaikan oleh Ibnu Jarir, Bukhari, dan lain-lain dari Ibnu Abbas yaitu, “ adalah penduduk Yaman pergi mengerjakan haji dengan tidak membawa bekal dan mereka berkata, “ kami bertawakal” kemudian mereka datang di Mekkah meminta- minta. Berdasarkan peristiwa tersebut turunlah ayat ini. 31 Dari ayat dan tafsiran bahwa Allah tidak memaksakan seseorang pergi haji tanpa berbekalan, Akan tetapi jika seseorang pergi haji tanpa berbekalan dan pada akhirnya harus meminta-minta kepada orang lain, yang akan merugikan orang lain tersebut maka tidaklah menjadi taqwa, karena sebagaimana dalam hadis dari Ibnu Abbas : Artinya : “ Dari Ibnu Abbas RA. Dia berkata “dulu penduduk yaman mengerjakan haji tanpa membawa perbekalan,dan mereka berkata kami adalah orang- orang yang bertaqwa,” ketika mereka datang ke Mekah, mereka meminta-minta kepada orang lain, maka Allah Menurunkan firmannya , “berbekalah, dan sesungguhnya sebaik- baiknya bekal adalah taqwa”. Selain itu haji merupakan ibadah yang memerlukan penempuhan jarak sehingga tidak mungkin diwajibkan tanpa adanya harta dan kendaraan seperti jihad. 31 Syekh Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al- Ahkam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 67-70. 32 Imam Bukhori, Shahih al-Bukhori, juz.5, No. 1426, h. 32. 30 Dalam kitab Al-Muhabzab karangan Abu Ishaq disebutkan jika seseorang memiliki uang untuk membeli bekal dan kendaraan tetapi, uang itu dibutuhkannya untuk membayar hutang, maka tidaklah wajib ia haji, baik utang itu berjangka pendek maupun berjangka panjang. Hutang harus didahulukan daripada haji yang memiliki waktu yang luas. 33 Dalam kitab Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah seseorang yang memiliki piutang terhadap seseorang yang lalai dalam membayar hutangnnya tetapi mampu membayarnya, sedangkan piutang itu cukup untuk biaya haji, maka ia wajib naik haji karena termasuk orang yang mampu. Akan tetapi, bila orang yang dipiutangnya itu orang yang tidak mampu atau sulit untuk membayar, maka tidaklah wajib haji 34 . Menurut S yafi‘iyah apabila seseorang diberi oleh orang lain kebutuhan kendaraan secara cuma-cuma, ia tidak wajib menerimanya karena dalam menerima itu ia terpaksa memikul tanggung jawab. Sedangkan baginya sulit untuk melaksanakannya. Kecuali, jika disamping pemberian tadi ia memiliki harta untuk membiayai haji. Maka pemberian itu hendaklah diterimanya. Karena pemberian yang mengikat itu ia masih mampu menunaikannya. 35 33 Abu Ishaq, al-Muhadzab, Juz.1. Dar al-Kutub.t.t, h.358. 34 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 3, Beirut : Dar al-Fikr.t.t, h, 167. 35 Muhammad Najmuddin Zuhdi, 125 Masalah Haji, Solo : Tiga Serangkai, 2008, cet 1, h, 60.