BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah pornografi dan pornoaksi merupakan masalah lama yang belum dapat ditanggulangi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsh Indie yang disingkat KUHP dan berlaku di Indonesia sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda, yaitu Januari tahun 1917. Setelah Indonesia merdeka, KUHP diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-
undang Nomor 73 Tahun 1958. Pornografi dan pornoaksi merupakan masalah yang sifatnya sudah nasional,
karena sudah merambah ke daerah-daerah pedesaan. Meskipun dalam Pasal 281, 282, 283, 532, dan 533 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP telah
mengatur masalah tersebut, namun kenyataanya ketentuan-ketentuan itu sangat kurang efektif tidak seperti yang diharapkan. Merebaknya pornografi dipicu oleh
semakin agresifnya media massa menyajikan visualisasi pornografi. Selain itu para model aktris ikut menjadikan pornografi sebagai konsumsi publik.
Tidaklah heran jika para remaja banyak yang terobsesi berpakaian seksi layaknya
para aktris di media massa, seperti pakaian mini dan seronok tanpa sedikit pun memperhatikan aspek akhlak yang sepatutnya dipatuhi oleh setiap individu.
1
Kata Pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan graphos artinya gambar atau tulisan.
2
Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia.
3
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk
membangkitkan nafsu birahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.
4
Adapun definisi pornografi menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi danatau pertunjukan dimuka umum,
1
Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, Cet. I, Jakarta: RMBOOKS, 2007, h.81.
2
http:id.wikipedia.orgwikiUndang-Undang_Pornografi
3
Burhan Bungin, Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Kencana, 2005, h.124.
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, h.696.
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
5
Saat ini, masalah pornografi dan pornoaksi semakin memprihatinkan dan dampak negatifnya semakin nyata, di antaranya sering terjadi perzinaan,
perkosaan, dan bahkan pembunuhan maupun aborsi. Orang-orang yang menjadi korbannya tidak hanya perempuan dewasa, tetapi masih banyak yang masih anak-
anak, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelakunya pun tidak hanya orang- orang yang tidak dikenal akan tetapi juga di antara pelakunya masih mempunyai
hubungan darah. Di samping itu korban daripada pornografi dan pornoaksi tidak hanya orang yang masih hidup, tetapi orang yang sudah meninggal pun dijadikan
korban perkosaan. Selain itu, yang menjadi korban pun juga binatang atau hewan.
6
Hukum Islam merupakan salah satu sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia di samping hukum Adat dan hukum Barat.
7
Dalam hukum Islam, perbuatan-perbuatan yang sarat dengan pornografi dan pornoaksi sudah dilarang
secara tegas karena teramat jelas kemudharatannya. Namun yang perlu segera
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Jakarta: Mocomedia, 2008, h. 9.
6
Neng Djubaedah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, Bogor: Kencana, 2003, h.1.
7
Jimly Asshiddiqie, Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Cet. II, Bandung: Angkasa, 1995, h.5.
dikemukakan adalah sampai saat ini masih ada pendapat bahwa hukum Islam, khususnya hukum pidana Islam, tidak sesuai dengan hak asasi manusia, karena
melanggar hak asasi kemanusiaan sebagai individu, kejam, dan demoralisasi. Menurut mereka, tubuh bagi setiap orang adalah hak mutlak pribadi masing-
masing. Masing-masing individu bebas memperlakukan tubuhnya untuk hal-hal yang pornografis atau untuk melakukan perbuatan-perbuatan pornoaksi. Apabila
ada anggota-anggota masyarakat atau orang lain yang terganggu atau terangsang hasrat seksualnya, atau merasa jijik, atau malu, atau muak sebagai akibat dari
melihat, atau mendengar, atau menyentuh tindakan-tindakan yang porno tersebut. Menurut mereka, adalah karena orang yang bersangkutan rusak moralnya, kotor
pikirannya. Jadi, menurut mereka, orang yang bersalah, amoral dan asusila adalah yang merasa terangsang nafsu birahinya ketika ia atau mereka melihat, atau
mendengar, atau menyentuh hal-hal yang pornografis maupun pornoaksi. Setiap orang, menurut mereka adalah berhak dan bebas memperlakukan tubuhnya tanpa
batas, sepanjang tidak melanggar kesusilaan masyarakat setempat. Karena itu hukum publik menurut mereka dilarang ikut serta mengatur perilaku seseorang
terhadap sikap, perbuatan, tindakan, perlakuan terhadap tubuh masing-masing karena tubuh adalah hak mutlak masing-masing orang atau individu, bukan hak
hukum publik. KUHP tidak melarang pemanfaatan tubuh oleh pemiliknya untuk pornografi
dan pornoaksi, tetapi yang dilarang adalah mengedarkan, menyebarluaskan,
menempelkan, menyiarkan, mempertunjukkan gambar-gambar atau tulisan- tulisan yang erotis dan sensual, dan memperdengarkan suara-suara yang erotis
dan sensual di muka umum yang dapat membangkitkan nafsu birahi orang yang melihatnya atau mendengarnya.
Ditinjau dari hukum Islam, pendapat tersebut sangat tidak sesuai, karena hukum Islam telah mengatur secara tegas cara orang memelihara tubuh, seperti
yang diatur dalam surah An-Nur ayat 30 dan ayat 31. Tubuh, menurut ajaran Islam, merupakan amanah Allah yang wajib dipelihara oleh setiap insan dalam
rangka memelihara kehormatan. Islam secara tegas menuntun, membimbing, mengarahkan,
dan menentukan
manusia dalam
memperlakukan dan
memanfaatkan tubuh agar terjaga kehormatan, derajat, dan martabat diri, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan
kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Abu Ishaq Asy-Syatibi telah merumuskan tujuan hukum Islam dalam al-
maqasid asy- syar‟iyyah, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Muhammad Muslehuddin menambahkannya dengan tujuan hukum Islam yang keenam, yaitu untuk memelihara kehormatan dirinya.
8
Pemeliharaan diri dari hal-hal pornografis dan perbuatan pornoaksi berarti merupakan
kebutuhan daruriyyat yaitu pemeliharaan tubuh, jiwa, akal, dan ruhani yang
8
Muhammad Moslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, h.163.
menyatu dan terwujud dalam tubuh setiap manusia yang sekaligus berarti memelihara agama, keturunan, dan harta, serta kehormatan diri. Pemeliharaan
terhadap tubuh sebagai amanah Allah, menurut ajaran Islam, tidak terlepas dari pemeliharaan terhadap agama yang terdiri dari memelihara aqida
h, syari‟ah, dan akhlaq, jiwa, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Syariat Islam tidaklah
diturunkan untuk kepentingan Allah, tetapi untuk kepentingan manusia. Jadi, pembuatannya bebas dari vested interest dari sang pembuat.
9
Hukum ini juga bertujuan melindungi kebutuhan sekunder hajjiyat, dan kebutuhan akan
kebaikan hidup tahsiniyat manusia. Islam mengajarkan bahwa tujuan utama hidup dan kehidupan manusia adalah
untuk mendapat ridha Allah semata, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam upaya mencapai ridha Allah, Islam mengajarkan tentang rukun
iman yang terdiri dari, beriman kepada Allah, beriman kepada para Rasul-Nya, beriman kepada Kitab-kitabnya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, beriman
kepada hari akhir, yaitu hari perhitungan bagi setiap insan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama hidup di dunia, termasuk
pertanggungjawaban dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuhnya masing-masing sebagai amanah Allah Yang Maha Pengasih, Maha Adil, Maha
9
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, h.90.
Bijaksana. Dan rukun iman yang terakhir yaitu, beriman kepada qada dan qadar Allah subhanahu wa ta‟ala.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penulis belum menemukan ketentuan mengenai sanksi atas tindak pidana pornografi dalam Syariah Islam Al-
Qur‟an dan Sunnah secara eksplisit. Akan tetapi tidak berarti hukum pidana Islam tidak
mengenal dan tidak dapat menentukan sanksi atas tindak pidana pornografi tersebut . Sebagaimana larangan mendekati zina dalam Surah Al-Isra ayat 32:
QS. Al-Isra17 : 32 “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. ”QS. Al-Isra17 : 32
Dalam mengatur masalah pidana Islam ditempuh dengan dua macam cara
10
, yaitu: 1. menetapkan hukuman berdasarkan nash, dan 2. menyerahkan
penetapannya kepada penguasa ulil amri. Sebagaimana didasarkan dalam Surah An-Nisa ayat 58-59 adalah sangat mungkin bagi ulil amri penguasa atau pembuat
undang-undang membentuk peraturan perundang-undangan dan menetukan bentuk dan sanksinya dengan tetap bersumber kepada Syariat Islam yaitu melalui
takzir.
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.6.
QS. An-Nisa4 : 58-59 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat 58. Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya59.”QS. An-Nisa 4 : 58-59. Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan,
pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan. Pengesahan Undang-Undang tersebut disahkan minus dua
Fraksi yang sebelumnya menyatakan walk out, yakni Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P. Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan setuju
atas pengesahan RUU Pornografi ini. Pengesahan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini juga diwarnai aksi walk out dua orang dari Fraksi
Partai Golkar FPG yang menyatakan walk out secara perseorangan. Keduanya merupakan anggota DPR dari FPG yang berasal dari Bali, yakni Nyoman
Tisnawati Karna dan Gde Sumanjaya Linggih. Dari sisi substansi, undang-undang ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain undang-undang
ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual,
erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain. Di samping itu, hal-hal
yang menjadi kontroversi Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini juga mengindikasikan kepada salah satu bentuk penyeragaman budaya dan
menyudutkan perempuan. Dari sudut hukum dan sosiologis, undang-undang ini juga menabrak batas ruang hukum publik dan privat serta mengabaikan unsur-
unsur sosiologis. Hal ini tercermin dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat.
11
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi beserta sanksinya dalam
undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi, serta latar belakang dan proses lahirnya undang-undang tersebut. Oleh karena itu, penelitian skripsi ini
penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul
“KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG
PORNOGRAFI”.
11
http:id.wikipedia.orgwikiUndang-Undang_Pornografi
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah