dengan sikap alot dari pimpinan Pansus, Balkan Kaplale. Bahkan pernah dalam satu kesempatan RDPU di era RUU APP, kelompok yang kontra diusir dari ruang
pertemuan karena dianggap tidak menghormati lembaga DPR, dengan membawa spanduk dan beberapa poster penolakan. Ruh dari RUU APP masih membayangi
RUU Pornografi pada saat itu. Hal tersebut bukan sekedar asumsi mengingat rumusan naskah akademik yang menjadi acuan RUU Pornografi masih bias
perspektif serta menyalahi prinsip-prinsip materi dalam penyusunan naskah akademik.
B. Substansi
Apabila dilihat dari sisi substansi maka ada satu hal yang menarik berkaitan dengan proses pengesahan Undang-Undang ini adalah ada pendapat bahwa ada
UU Pornografi ini terkesan dipaksa untuk segera disahkan. Mengapa menarik, karena pendapat tersebut menunjukkan bahwa UU tersebut belum waktunya
disahkan atau mungkin tidak perlu disahkan sama sekali. Padahal sebuah UU yang akan segera disahkan seharusnya sudah tidak ada
permasalahan lagi, khususnya berkaitan dengan masalah substansiisinya. UU Pornografi yang mengatur ketentuan pidana, tentunya sudah melewati tahapan
kriminalisasi, yaitu sebuah tahapan di mana menetapkan sebuah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Artinya,
semua pasal-pasal pidana yang ada dalam UU Pornografi tersebut penetapannya
tidaklah sembarangan dirumuskan, namun sudahkah memenuhi syarat kriminalisasi.
Ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal hukum pidana yaitu masalah penentuan :
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
75
Analisis terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan
pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang
ditetapkan dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani kedua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan policy oriented approach. Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang
hukum pidana, tapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial itulah
kiranya Sudarto berpendapat
76
bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang
75
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, h.160.
76
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana Bandung: Alumni, 1986, h.36-40.
pertama di atas atau yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan sprirituil berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini penggunaan hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan juga mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan
pengayoman masyarakat. 2.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian materiil danatau spirituil atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan
hasil” cost and benefit principle. Untuk itu perlu diperhitungkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diharapkan akan dicapai.
4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan
daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas overblasting.
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh
mana perbuatan itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut
atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
77
Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam laporan simposium itu antara lain menyatakan bahwa untuk menetapkan
suatu perbuatan itu sebagai tindakan kriminal perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan, dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban pelaku dan pelaku kejahatan itu
sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. 3.
Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya.
77
BPHN, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Binacipta, 1986, h. 161.
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita
bangsa Indonesia, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
78
Keempat hal
di atas
merupakan kriteriasyarat
yang harus
diperhatikandipertimbangkan apabila ingin mengkriminalisasikan sebuah perbuatan. Setiap satu pasal ketentuan pidana yang ada dalam UU Pornografi
harus memenuhi keempat kriteria tersebut. Apabila tidak, maka pasal-pasal pidana itu hanya akan menjadi pasal mandul yang tidak efektif dalam aplikasinya.
Begitu pula dengan ketentuan-ketentuan lain diluar ketentuan pidana, seperti ketentuan umum yang mengatur pengertiandefinisi, di mana perumusannya
mempertimbangkan aspek hukum, sosial, budaya, agama, politik, dan lain-lain. Undang-Undang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk
hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni
berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak.
Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta
pemberian hukuman tambahan. Adapun pengertian pornografi menurut ketentuan
78
Ibid., h. 162.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh,
atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi danatau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual
yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
79
Larangan dan pembatasan pornografi adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 14
Undang-Undang Pornografi. Disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Pornografi
80
, yaitu bahwa: 1
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.
2 Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan; b.
menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
79
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Jakarta: Mocomedia, 2008, h. 9.
80
Ibid., h. 13-14.
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak
langsung layanan seksual. Ketentuan Pidana Undang-Undang ini diatur dalam Bab VII mulai dari Pasal
29 sampai Pasal 41. Adapun perbuatan yang dilarang adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi Pasal 29; menyediakan jasa pornografi Pasal 30;
meminjamkanmengunduh pornografi
Pasal 31;
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
Pasal 32; mendanaimemfasilitasi perbuatan dalam Pasal 29 dan 30 Pasal 33; sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung
muatan pornografi Pasal 34; menjadikan orang lain sebagai objekmodel yang mengandung muatan pornografi Pasal 35; mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukandi muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
Pasal 36; melibatkan anak dalam kegiatan danatau sebagai objek dalam produk pornografijasa pornografi Pasal 37; dan mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi Pasal 38.
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan beragam, sesuai dengan tingkat kejahatannya. Sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun dan minimal 6 bulan.
Sedangkan sanksi pidana denda maksimal 7,5 milyar dan minimalnya 250 juta. Khusus untuk tindak pidana di atas yang melibatkan anak sanksi pidananya
ditambah 13 sepertiga dari maksimum ancaman pidananya. Sementara bagi pelaku korporasi ketentuan maksimum pidana dendanya dikalikan 3 tiga.
81
Walaupun secara umum Undang-Undang Pornografi tersebut memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk mengurangi terjadinya atau merebaknya bentuk-bentuk
pornografi di bumi pertiwi ini, namun Undang-Undang Pornografi tersebut juga memiliki berbagai kekurangan atau kelemahan yang pada akhirnya dapat
menjadikan bumerang dalam pencapaian tujuan yang dimaksud. Kelemahan- kelemahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, dari sisi substansi, Undang-Undang Pornografi ini dianggap memuat
kata-kata yang ambigu, bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Seperti kata-kata eksploitasi seksual, kecabulan, gerakan yang menyerupai hubungan
seksual, dan lain-lain.
Kedua, Undang-Undang Pornografi ini dianggap tidak mengakui keragaman
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, etnis, dan agama. Masing-
81
Dwi Haryadi, ”Trend Pornografi dan Upaya Kriminalisasinya”, Artikel diakses pada 07 Januari 2010 dari
http:www.ubb.ac.idmenulengkap.php?judul=Trend20Pornografi20dan20Upaya20Kriminalis asinyanomorurut_artikel=389
masing suku dan daerah punya cara pandang berbeda mengenai nilai-nilai kesusilaan.
Ketiga, Undang-Undang Pornografi ini dianggap menempatkan wanita
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kejahatan seksual. Kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum wanitanya yang tidak bertingkah laku
sopan, antara lain tidak menutup rapat-rapat tubuhnya. Beberapa ketentuan yang ada pada Undang-Undang Pornografi yang dianggap
berbahaya karena menimbulkan multitafsir dan berpotensi memancing benturan di masyarakat antara lain
82
: a.
Pasal 4 ayat 1: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi yang memuat : a persenggamaan, termasuk
persenggamaan yang menyimpang, b kekerasan seksual, c masturbasi atau onani, d ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, d
alat kelamin.
82
Jelita249 “Pro dan Kontra Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”Artikel
diakses pada 07 januari 2010 dari http:jelita249.blogspot.com200907pro-dan-kontra-undang- undang-n0-44.html
Pasal di atas dirasakan sangat kabur. Hal ini terkait dengan belum jelasnya definisi pornografi itu sendiri. Pengertian ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan juga belum jelas, karena seorang atlet renang yang sedang berlaga, penari tradisional Papua, juga setengah
telanjang. Jadi, pengertian ketelanjangan sangatlah relatif. b.
Pasal 14: Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan
kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal ini juga masih sangat kabur, batasan kepentingan pendidikan masih sangat kabur karena ruang lingkup pendidikan sangat luas, dan cara
bersenggama bagi sebagian orang termasuk dalam lingkup pendidikan seks demi keharmonisan rumah tangga.
c. Pasal 21: Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan
terhadap perbuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Melalui pasal ini, kelompok-kelompok tertentu akan makin mendapat
legitimasi untuk menjadi polisi moral, bukan tidak mungkin jalan yang ditempuh anarkis. Pasal tersebut paling berbahaya dan paling mendukung
sikap intoleran dan antikeragaman, serta membuka jalan untuk kekerasan.
Misalnya saja FPI yang di mungkinkan akan bertindak terkadang main hakim sendiri.
Walaupun pada Pasal 21 telah disebutkan cara-cara partisipasi masyarakat, namun di sana tercantum kata “dapat” yang berarti tidak wajib
atau tidak harus, dan dapat pula dilakukan dengan cara lain. d.
Pasal 29 sampai dengan Pasal 38, yaitu tentang Ketentuan Pidana. Sanksi pidana yang ada pada pasal-pasal tersebut sangat tidak realistis.
Misalnya saja dalam Pasal 31: seorang anak yang karena ketidaksengajaan membuka situs porno di internet harus menerima pidana penjara 4 empat
tahun danatau denda sebesar Rp. 2 miliar. Sedangkan angka 2 miliar adalah angka yang sangat fantastis bagi sebagian besar mayarakat Indonesia. Masih
banyak masyarakat Indonesia yang belum pernah melihat uang hingga miliaran.
BAB IV PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP