Jarimah Takzir Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

4. Penganiayaan sengaja ُدْ َعلا ن لا و ام ىعع ي ا جلا 5. Penganiayaan tidak sengaja أ خ ن لا و ام ىعع ي ا جلا. 46

c. Jarimah Takzir

Jarimah takzir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman takzir. Pengertian takzir menurut bahasa ialah ta‟dib atau memberi pengajaran. Sedangkan untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri yaitu bahwa syara‟ tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah takzir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang se-ringan-ringannya sampai yang se-berat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah takzir serta keadaan si pembuatnya juga. Di samping itu, menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertiannya adalah sebagai berikut. ُ ْ ُدُحلْا اَ ْيِف ْ َ ْشُ ْمَل ِ ْ ُنُ ىَعَع ٌ ْيِ ْأَ ُ ْيِ ْعَ لاَ Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa tindak pidana yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟. 47 46 Abdul Qadir „Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟i Al Islami, Juz I, Beirut: Dar Al Kitab Al „Araby, 1985, h.79. 47 Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah , Cet. III, Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Sa‟ad, 1974, h. 236. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman takzir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah takzir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang se-ringan- ringannya sampai yang se-berat-beratnya. 48 Jarimah takzir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian inti dari jarimah takzir adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan dilarang. 49 Para fuqaha memberi contoh seperti meninggalkan shalat fardhu, tidak membayar zakat padahal termasuk orang yang mampu, dsb. Adapun contoh melakukan perbuatan yang dilarang adalah seperti mencium perempuan lain yang bukan istrinya, sumpah palsu, melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan, dsb. Adapun meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan merupakan maksiat, apakah meninggalkan yang mandub dan mengerjakan yang 48 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.19. 49 Abd Al- Aziz „Amir, At-ta‟zir fi Asy-syari‟ah Al-Islamiyah, Cet. IV, Dar Al Fikr Al-„Arabi, 1969, h. 83. makruh juga termasuk maksiat yang dikenakan hukuman takzir?. Menurut sebagian ahli ushul, mandub adalah sesuatu yang diperintahkan dan dituntut untuk dikerjakan, sedangkan makruh adalah sesuatu yang dilarang dan dituntut untuk ditinggalkan. Adapun yang membedakan antara mandub dan wajib adalah bahwa orang yang mendapat mandub tidak mendapat celaan, sedangkan yang orang yang meninggalkan kewajiban mendapat celaan. Adapun yang membedakan antara makruh dan haram adalah bahwa orang yang mengerjakan makruh tidak mendapat celaan, sedangkan orang yang yang mengerjakan yang haram mendapat celaan. Berdasarkan pengertian tersebut orang yang meninggalkan yang mandub atau mengerjakan yang makruh tidak dianggap melakukan maksiat, karena celaan telah gugur dari keduanya, hanya saja mereka dianggap menyimpang atau melakukan pelanggaran نلالم dan tidak patuh ghair mumtatsil. Adapun kelompok lain berpendapat bahwa mandub tidak termasuk ke dalam kelompok perintah amar, dan makruh juga tidak termasuk ke dalam kelompok larangan nahyi, melainkan hanya dianjurkan untuk dikerjakan dalam mandub, dan dianjurkan untuk ditinggalkan dalam makruh. Berdasarkan asumsi tersebut maka baik orang yang meninggalkan mandub maupun mengerjakan yang makruh tidak dianggap melakukan maksiat, karena maksiat timbul karena adanya taklif perintah dan larangan. 50 Dari uraian tersebut jelaslah bahwa meninggalkan mandub dan mengerjakan makruh bukanlah suatu maksiat. Apabila meninggalkan mandub dan mengerjakan makruh bukan suatu perbuatan maksiat, apakah keduanya dapat dikenakan hukuman?. dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat. Menurut sebagian fuqaha, seseorang yang meninggalkan mandub atau mengerjakan makruh tidak bisa dikenakan hukuman takzir. Alasannya takzir hanya dapat dikenakan apabila ada taklif perintah dan larangan, sedangkan dalam nadb dan karahah tidak ada taklif. Di samping itu, adanya hukuman dianggap sebagai indikator apakah perbuatan itu haram atau wajib di satu sisi, dan makruh atau mandub di sisi lain. Apabila hukuman diterapkan atas perbuatan maka hal itu merupakan suatu pertanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu wajib atau haram. Akan tetapi, apabila hukuman tidak dikenakan terhadap perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan itu mandub atau makruh. 51 Menurut sebagian fuqaha yang lain, seseorang yang meninggalkan mandub atau mengerjakan makruh bisa dikenakan hukuman takzir. Mereka beralasan dengan tindakan Sayyidina Umar yang menghukum dengan takzir seseorang yang membaringkan kambingnya untuk disembelih, dan dia mengasah pisaunya dengan membiarkan kambingnya dalam posisi demikian. Perbuatan laki-laki itu 50 Ibid, h.86. 51 Ibid, h.86-87. merupakan perbuatan makruh, tetapi tetap dikenakan hukuman sebagai pelajaran terhadap pelaku dan juga orang lain agar ia tidak mengulangi perbuatannya dan orang lain tidak melakukan perbuatan semacam itu. 52 Hukuman takzir semacam itu bukan takzir atas perbuatan maksiat, melainkan takzir atas perbuatan pelanggaran At- ta‟zir „ala Al-Mukhalafah. 53 Di samping itu juga hukuman takzir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan illat dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut tidak terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut bukan jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman. 52 Ibid, 53 Abdul Qadir „Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟i Al Islami, Juz I, Beirut: Dar Al Kitab Al „Araby, 1985, h.155. Penjatuhan hukuman takzir untuk kepentingan umum ini di dasarkan kepada tindakan rasulullah SAW yang menahan seorang laki-laki yang di duga mencuri unta. Setelah diketahui ternyata ia tidak mencurinya, maka Rasulullah SAW melepaskannya. Analisis terhadap tindakan rasulullah SAW tersebut adalah bahwa penahanan merupakan hukuman takzir, sedangkan hukuman hanya dapat dikenakan terhadap suatu jarimah yang telah dapat dibuktikan. Apabila pada peristiwa tersebut tidak terdapat unsur pidana maka artinya Rasulullah mengenakan hukuman penahanan penjara hanya karena tuduhan semata-mata tuhmah. Hal ini mengandung arti bahwa Rasulullah SAW membolehkan penjatuhan hukuman terhadap seseorang yang berada dalam posisi tersangka, meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang dilarang. 54 Tindakan yang diambil Rasulullah SAW tersebut dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab membiarkan si tersangka hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya bisa mengakibatkan ia lari, dan bisa juga menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak benar terhadap dirinya, atau menyebabkan tidak dapat dijalankannya hukuman yang telah diputuskan. 54 Ibid, h. 150-151. Dari uraian di atas tersebut, dapat diambil intisari bahwa jarimah takzir dibagi kepada tiga bagian, yaitu: a. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat ّيصع لا ىعع; b. Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan untuk kepentingan umum ماعلا حعص لا ىعع ; c. Takzir karena melakukan pelanggaran نلال لا ىعع. Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum penetapannya, takzir juga dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: a. Jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri; b. Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara‟ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti: riba, suap, dan mengurangi takaran dan timbangan; c. Jarimah takzir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara‟. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah. 55 Disamping itu tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah takzir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya keadaan yang bersifat mendadak. 55 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h.255.

BAB III DESKRIPSI UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2008