Kajian hukum islam atas aspek kriminalisasi dalam Undang-Undang pornografi

(1)

KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

FARIS SATRIA ALAM

NIM:106045101500

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

FARIS SATRIA ALAM NIM : 106045101500

Di bawah Bimbingan Pembimbing

ttd

Dr. Asmawi, M.Ag

NIP.197210101997032088

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah.

Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum ttd

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195505051982031012

Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………ttd………..…..)

NIP. 197210101997032088

Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………ttd….………..)

NIP. 197102151997032002

Pembimbing : Dr. Asmawi, M.Ag (………ttd……….….)

NIP. 197210101997032088

Penguji I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (………ttd………….)

NIP. 197308022003121001

Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (………ttd………….)


(4)

Lembar Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2010

ttd

Faris Satria Alam


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS

ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI”

yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana (S1).

Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus sebagai dosen pembimbing.

3. Sri Hidayati, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

4. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

5. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.

6. Bapak Nunu Nugraha, SH.,MH selaku staff Sekretariat Komisi VIII DPR RI yang telah membantu penulis dalam memperoleh data primer Undang-Undang Pornografi sebagai bahan utama penulisan skripsi ini.

7. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :

a. Seluruh Keluarga Besar Maksus bin Maksum (Alm) dan Hj. Uminah (Yangti) yang tiada henti-hentinya memanjatkan do‟a kepada Allah SWT, agar penulis senantiasa menjadi manusia yang berguna bagi Orang Tua, Keluarga, Agama, Nusa, dan Bangsa.

b. Kepada Ayahanda (H. Syaeful Anwar, SH., M.Hum) dan Ibunda (Mahmudah), yang tiada terkira jasanya dalam membantu penulisan Skripsi ini serta memberikan dukungan moril maupun materil hingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini.

c. Kepada Om Agus, Ghofar, Zarkasih, Carman, Hasbi, Mustakim, Affan, Tante Endang, Rin, Ning, Nok, Nung, Ade, Ikhah, dsb. yang juga memberikan motivasi yang tiada terkira agar Penulis senantiasa cepat lulus dan menjadi orang sukses. Amien.


(7)

d. Kepada adik-adik Penulis tercinta Bowo, Lia, Ope, Dinda, Fia, serta adik-adik sepupu penulis juga Anis, Rani, Athif, Rian, Djody AW, Faruq, Farhan, serta yang masih kecil dan belum sekolah seperti Mujib, Azzam, dan Mahib. Tetap semangat dalam menuntut ilmu dan melanjutkan Pendidikan.

8. Teman-teman Satu Kontrakan & Seperjuangan di DN, seperti Ramdhani “Bintil”

dan Randi ”Cipan” yang telah meminjamkan “modem” untuk membantu penulis

mencari data-data di internet serta juga mewarnai segala aktivitas Penulis. Temen-temen se-angkatan DN Angk. XXIX di UIN seperti Aji “Tole”, Ubai,

Fikri “Arob”, Salman, Boggie, Kobet, Anifah, Fatin, Afifah, Rahmi,Lina “bolin”, dsb. Kebersamaan, canda-tawa, senda-gurau, dan kunjungan ilmiah

kalian ke Kontrakan “Mungil, Klassik, dan Eksotis” di sebelah sudut Pesantren

Darussunnah memberikan makna yang cukup berarti yang tanpa penulis sadari memberikan motivasi yang luar biasa dasyatnya.

9. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Mahfuddin, Dayat ”Bali”, Muchsin,

Fandi, Safrowi “Aconk”, Fitroh, Isa, Amir, J-men, Eril, Husen, Buldan, Haris Sumirat, Kholid, Yuswandi, Nisa, Attin, Wahyuni, Bunga Intan, dsb. Khususnya Wismoyo, thanks banget atas pinjaman Buku dan Hardisk Ekternalnya yang sangat berguna sekali bagi penulis. Kebersamaan dan kesolidan kita selama perkuliahan dan pergaulan yang terkadang diselingi dengan berbagai aktivitas canda tawa memberikan arti pentingnya sebuah persahabatan yang tak terlupakan dan menjadi sebuah catatan sejarah bagi kita semua. Waktu terus berputar, dan masih banyak hal yang mesti saya lanjutkan selain kuliah di UIN ini. Maaf, saya


(8)

duluan Lulus, Tetap semangat kawan-kawan! Doa dan Harapanku senantiasa selalu menyertai kalian semua agar temen-temen semua cepat lulus dan sama-sama menjadi orang yang sukses. Amien

10.Seluruh mahasiswa PI dan teman-teman Pengurus BEM Pidana Islam 2007-2008 yang sempat memberikan Amanah kepada Penulis menjadi Ketua BEM Pidana Islam pada periode tersebut & sama-sama bekerja keras membangun BEM sebagai wadah organisasi Mahasiswa PI. Good Luck Dhori, Fahdun, Tamidzi, Mamet, Hurry, dsb. Jadikanlah BEM sebagai wadah organisasi intra bagi mahasiswa/i PI yang membantu meningkatkan keilmuan mahasiswa PI disamping ilmu dalam perkuliahan.

11.Teman-teman Pengurus & Anggota DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Jakarta 2009-2011 yang juga memberikan Amanah dan kesempatan kepada Penulis menjadi Ketua DPC PERMAHI Jakarta pada periode tersebut dan sama-sama akan mensukseskan semua program kerja hingga akhir kepengurusan nanti.

12.Seluruh sahabat/i Pengurus & Anggota PMII Komfaksyahum, PC PMII Ciputat, yang telah memberikan ilmu kepada penulis dalam berorganisasi yang tidak di dapatkan di Kampus yang juga memberikan dialetika yang cukup berarti bagi penulis. Good Luck Rizky “black”, Farhan “Qtink”, Adrik, Fino, dll. Berikanlah yang terbaik untuk PMII Komfaksyahum agar mampu menciptakan kader-kader yang berkualitas. Tidak hanya dalam hal politik kampus, tapi juga dari segi keilmuan mahasiswa/i.


(9)

13.Teman-teman Pengurus dan anggota diskusi di Pusbakum (Pusat Studi dan Bantuan Hukum) Semesta yang sedikit memberikan ilmu khususnya di bidang

Hukum yaitu Eko, Boggie, Ucox‟s, dll. Kajian, pelatihan, dan segala terobosan

-terobosan aktivitas Pusbakum ini dinanti oleh mahasiswa/i yang “haus” akan

ilmu Hukum. Kegiatan semacam pelatihan “paralegal” tempo lalu harus ada dan semakin diperbanyak lagi. Mengingat kondisi hukum di negeri ini sangat memprihatinkan dan tentunya membutuhkan calon-calon praktisi hukum yang profesional dan berintegritas dari anak bangsa.

14.Teman-teman organisasi Penulis seperti Aswin, Aab, Zarken, Gilang, Jazuli,

Hamdi, Chandra, Hadi “Botit”, Sukri, dsb. Walaupun kita pernah berbeda

pendapat dalam segala hal dikampus khususnya dalam berproses dan konsepsi pengkaderan. Pada prinsipnya tujuan kita sama akan tetapi hanya cara & prosesnya saja yang berbeda. Perbedaan semakin membuat kita semakin kaya dalam segala proses. Pesan Penulis buat Boggie & Jazuli di BEM FSH, Ari dan Aswin di BEMU jagalah amanat mahasiswa/i! Berikanlah yang terbaik untuk kepentingan mahasiswa/i! Sorry saya duluan. Semoga Kalian juga Cepat Lulus. 15.Dengan tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada seluruh pihak yang tidak

sempat penulis sebutkan satu per satu atas jasa dan partisipasinya dalam penulisan Skripsi ini saya ucapkan terima kasih. Semoga apa yang kalian berikan di balas oleh Allah SWT. Amin


(10)

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah ini. Amin

Jakarta, 21 Juni 2010

ttd

Faris Satria Alam


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11

D. Tinjauan Pustaka 12

E. Metode Penelitian 13

F. Sistematika Penulisan 15

BAB II : KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Positif 17


(12)

BAB III : DESKRIPSI UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2008

TENTANG PORNOGRAFI

A. Rasionalitas 39

B. Substansi 52

BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI

A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pornografi dalam Undang- 63

Undang Pornografi ditinjau dalam Perspektif Hukum

Pidana Islam

B. Sanksi Tindak Pidana Pornografi dalam Undang-Undang 73

Pornografi ditinjau dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

C. Relevansi Konsepsi Hukum Pidana Islam dalam 80

Undang-Undang Pornografi

BAB V : PENUTUP


(13)

B. Saran-Saran 98


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pornografi dan pornoaksi merupakan masalah lama yang belum dapat ditanggulangi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsh Indie) yang disingkat KUHP dan berlaku di Indonesia sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, yaitu Januari tahun 1917. Setelah Indonesia merdeka, KUHP diberlakukan berdasarkan undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958.

Pornografi dan pornoaksi merupakan masalah yang sifatnya sudah nasional, karena sudah merambah ke daerah-daerah pedesaan. Meskipun dalam Pasal 281, 282, 283, 532, dan 533 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur masalah tersebut, namun kenyataanya ketentuan-ketentuan itu sangat kurang efektif tidak seperti yang diharapkan. Merebaknya pornografi dipicu oleh semakin agresifnya media massa menyajikan visualisasi pornografi. Selain itu para model (aktris) ikut menjadikan pornografi sebagai konsumsi publik. Tidaklah heran jika para remaja banyak yang terobsesi berpakaian seksi layaknya


(15)

para aktris di media massa, seperti pakaian mini dan seronok tanpa sedikit pun memperhatikan aspek akhlak yang sepatutnya dipatuhi oleh setiap individu.1

Kata Pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan graphos artinya gambar atau tulisan.2 Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia.3 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.4 Adapun definisi pornografi menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum,

1

Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, Cet. I, (Jakarta: RMBOOKS, 2007), h.81.

2

http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi

3

Burhan Bungin, Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, dan Perayaan Seks di Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2005), h.124.

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.696.


(16)

yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 5

Saat ini, masalah pornografi dan pornoaksi semakin memprihatinkan dan dampak negatifnya semakin nyata, di antaranya sering terjadi perzinaan, perkosaan, dan bahkan pembunuhan maupun aborsi. Orang-orang yang menjadi korbannya tidak hanya perempuan dewasa, tetapi masih banyak yang masih anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelakunya pun tidak hanya orang-orang yang tidak dikenal akan tetapi juga di antara pelakunya masih mempunyai hubungan darah. Di samping itu korban daripada pornografi dan pornoaksi tidak hanya orang yang masih hidup, tetapi orang yang sudah meninggal pun dijadikan korban perkosaan. Selain itu, yang menjadi korban pun juga binatang atau hewan.6

Hukum Islam merupakan salah satu sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia di samping hukum Adat dan hukum Barat.7 Dalam hukum Islam, perbuatan-perbuatan yang sarat dengan pornografi dan pornoaksi sudah dilarang secara tegas karena teramat jelas kemudharatannya. Namun yang perlu segera

5

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, (Jakarta: Mocomedia, 2008), h. 9.

6

Neng Djubaedah, Pornografi & Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, (Bogor: Kencana, 2003), h.1.

7

Jimly Asshiddiqie, Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Cet. II, (Bandung: Angkasa, 1995), h.5.


(17)

dikemukakan adalah sampai saat ini masih ada pendapat bahwa hukum Islam, khususnya hukum pidana Islam, tidak sesuai dengan hak asasi manusia, karena melanggar hak asasi kemanusiaan sebagai individu, kejam, dan demoralisasi.

Menurut mereka, tubuh bagi setiap orang adalah hak mutlak pribadi masing-masing. Masing-masing individu bebas memperlakukan tubuhnya untuk hal-hal yang pornografis atau untuk melakukan perbuatan-perbuatan pornoaksi. Apabila ada anggota-anggota masyarakat atau orang lain yang terganggu atau terangsang hasrat seksualnya, atau merasa jijik, atau malu, atau muak sebagai akibat dari melihat, atau mendengar, atau menyentuh tindakan-tindakan yang porno tersebut. Menurut mereka, adalah karena orang yang bersangkutan rusak moralnya, kotor pikirannya. Jadi, menurut mereka, orang yang bersalah, amoral dan asusila adalah yang merasa terangsang nafsu birahinya ketika ia atau mereka melihat, atau mendengar, atau menyentuh hal-hal yang pornografis maupun pornoaksi. Setiap orang, menurut mereka adalah berhak dan bebas memperlakukan tubuhnya tanpa batas, sepanjang tidak melanggar kesusilaan masyarakat setempat. Karena itu hukum publik menurut mereka dilarang ikut serta mengatur perilaku seseorang terhadap sikap, perbuatan, tindakan, perlakuan terhadap tubuh masing-masing karena tubuh adalah hak mutlak masing-masing orang atau individu, bukan hak (hukum) publik.

KUHP tidak melarang pemanfaatan tubuh oleh pemiliknya untuk pornografi dan pornoaksi, tetapi yang dilarang adalah mengedarkan, menyebarluaskan,


(18)

menempelkan, menyiarkan, mempertunjukkan gambar-gambar atau tulisan-tulisan yang erotis dan sensual, dan memperdengarkan suara-suara yang erotis dan sensual di muka umum yang dapat membangkitkan nafsu birahi orang yang melihatnya atau mendengarnya.

Ditinjau dari hukum Islam, pendapat tersebut sangat tidak sesuai, karena hukum Islam telah mengatur secara tegas cara orang memelihara tubuh, seperti yang diatur dalam surah An-Nur ayat 30 dan ayat 31. Tubuh, menurut ajaran Islam, merupakan amanah Allah yang wajib dipelihara oleh setiap insan dalam rangka memelihara kehormatan. Islam secara tegas menuntun, membimbing, mengarahkan, dan menentukan manusia dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuh agar terjaga kehormatan, derajat, dan martabat diri, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

Abu Ishaq Asy-Syatibi telah merumuskan tujuan hukum Islam dalam al- maqasid asy-syar‟iyyah, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Muhammad Muslehuddin menambahkannya dengan tujuan hukum Islam yang keenam, yaitu untuk memelihara kehormatan dirinya. 8 Pemeliharaan diri dari hal-hal pornografis dan perbuatan pornoaksi berarti merupakan kebutuhan (daruriyyat) yaitu pemeliharaan tubuh, jiwa, akal, dan ruhani yang

8

Muhammad Moslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Cet. II, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h.163.


(19)

menyatu dan terwujud dalam tubuh setiap manusia yang sekaligus berarti memelihara agama, keturunan, dan harta, serta kehormatan diri. Pemeliharaan terhadap tubuh sebagai amanah Allah, menurut ajaran Islam, tidak terlepas dari pemeliharaan terhadap agama (yang terdiri dari memelihara aqidah, syari‟ah, dan akhlaq), jiwa, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Syariat Islam tidaklah diturunkan untuk kepentingan Allah, tetapi untuk kepentingan manusia. Jadi, pembuatannya bebas dari vested interest dari sang pembuat.9 Hukum ini juga bertujuan melindungi kebutuhan sekunder (hajjiyat), dan kebutuhan akan kebaikan hidup (tahsiniyat) manusia.

Islam mengajarkan bahwa tujuan utama hidup dan kehidupan manusia adalah untuk mendapat ridha Allah semata, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam upaya mencapai ridha Allah, Islam mengajarkan tentang rukun iman yang terdiri dari, beriman kepada Allah, beriman kepada para Rasul-Nya, beriman kepada Kitab-kitabnya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, beriman kepada hari akhir, yaitu hari perhitungan bagi setiap insan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama hidup di dunia, termasuk pertanggungjawaban dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuhnya masing-masing sebagai amanah Allah Yang Maha Pengasih, Maha Adil, Maha

9

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h.90.


(20)

Bijaksana. Dan rukun iman yang terakhir yaitu, beriman kepada qada dan qadar Allah subhanahu wa ta‟ala.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penulis belum menemukan ketentuan mengenai sanksi atas tindak pidana pornografi dalam Syariah Islam (Al-Qur‟an dan Sunnah) secara eksplisit. Akan tetapi tidak berarti hukum pidana Islam tidak mengenal dan tidak dapat menentukan sanksi atas tindak pidana pornografi tersebut . Sebagaimana larangan mendekati zina dalam Surah Al-Isra ayat 32:



























( (QS. Al-Isra/17 : 32

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.(QS. Al-Isra/17 : 32)

Dalam mengatur masalah pidana Islam ditempuh dengan dua macam cara10, yaitu: (1). menetapkan hukuman berdasarkan nash, dan (2). menyerahkan penetapannya kepada penguasa (ulil amri). Sebagaimana didasarkan dalam Surah An-Nisa ayat 58-59 adalah sangat mungkin bagi ulil amri (penguasa atau pembuat undang-undang) membentuk peraturan perundang-undangan dan menetukan bentuk dan sanksinya dengan tetap bersumber kepada Syariat Islam yaitu melalui takzir.

10

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.6.


(21)



















































































































































































(QS. An-Nisa/4 : 58-59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat (58). Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya(59).”(QS. An-Nisa /4 : 58-59).

Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan, pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan. Pengesahan Undang-Undang tersebut disahkan minus dua Fraksi yang sebelumnya menyatakan 'walk out', yakni Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P. Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan setuju atas pengesahan RUU Pornografi ini. Pengesahan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini juga diwarnai aksi 'walk out' dua orang dari Fraksi Partai Golkar (FPG) yang menyatakan walk out secara perseorangan. Keduanya merupakan anggota DPR dari FPG yang berasal dari Bali, yakni Nyoman


(22)

Tisnawati Karna dan Gde Sumanjaya Linggih. Dari sisi substansi, undang-undang ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain undang-undang ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain. Di samping itu, hal-hal yang menjadi kontroversi Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini juga mengindikasikan kepada salah satu bentuk penyeragaman budaya dan menyudutkan perempuan. Dari sudut hukum dan sosiologis, undang-undang ini juga menabrak batas ruang hukum publik dan privat serta mengabaikan unsur-unsur sosiologis. Hal ini tercermin dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat. 11

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi beserta sanksinya dalam undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi, serta latar belakang dan proses lahirnya undang-undang tersebut. Oleh karena itu, penelitian skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul “KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG

PORNOGRAFI”.

11


(23)

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah.

Mengingat persoalan mengenai pornografi ini amat luas, maka dalam penelitian skripsi ini penulis merumuskan dan membatasi kepada beberapa permasalahan:

1. Bagaimana Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam tentang Kriminalisasi?

2. Bagaimana Deskripsi Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi?

3. Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam terhadap bentuk-bentuk tindak pidana pornografi, sanksi, dan relevansinya terhadap perbuatan yang dikriminalisasi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi?

Dari perumusan masalah di atas, kemudian penulis membatasi masalah perspektif hukum Islam mengenai pengertian, bentuk-bentuk, dan sanksi tindak pidana pornografi dalam kajian hukum pidana Islam terhadap Undang-Undang No. 44 tahun 2008 Tentang Pornografi pada khususnya.


(24)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan mengenai bentuk-bentuk tindakan yang dikriminalisasi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi beserta sanksinya.

2. Untuk menjelaskan mengenai nilai-nilai ke-Islaman yang terkandung dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

3. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu bentuk sosialisasi yang bisa penulis lakukan untuk menginformasikan kepada masyarakat umum agar mengetahui bahwa telah diberlakukannya Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan mengajak mereka untuk mematuhinya.

4. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan ilmiah penulis untuk perbaikan atas kekurangan dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi apabila diperlukan.

5. Serta bertujuan untuk mencari solusi atas kontroversi yang berkembang di masyarakat mengenai definisi dan batasan pornografi yang terkandung dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.


(25)

D. Tinjauan Pustaka

Dari beberapa literatur buku-buku dan penelitian-penelitian sebelumnya yang ada, penulis akan mengambil untuk dijadikan sebuah perbandingan mengenai pornografi. Adapun judul-judul buku itu adalah:

Pornografi dan Pornoaksi ditinjau dari Hukum Islam yang ditulis oleh Neng Djubaedah, S.H., M.H. Adapun mengenai pokok masalah yang dikaji adalah Kedudukan hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Tinjauan umum atas KUHP dan RUU-KUHP, Hubungan Pornografi dan Pornoaksi dengan Tujuan Hukum Islam, Pornografi dan Pornoaksi dalam KUHP dan RUU-KUHP ditinjau dari Hukum Islam, Usulan-usulan dalam Penyusunan RUU Pornografi dan Pornoaksi. Dan temuan masalah yang dikajinya adalah hukum Islam tidak mengatur secara eksplisit mengenai pornografi dan pornoaksi dalam nash dan memerintahkan kepada pemerintah (ulil amri) untuk menentukan bentuk dan jenis sanksinya dengan tetap bersumber kepada Al-Qur‟an dan Hadits, yaitu melalui takzir.12

Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, karya Chairil Adjis, SH., MSi. dan Dudi Akasyah, S.Ag., MSi. Pokok masalah yang dikajinya adalah Pornografi : Efek Negatif Tak Berjilbab. yaitu hanya fokus pada kajian pornografi, di mana perempuan tak berjilbab menjadi objek dalam berbagai media

12

Neng Djubaedah, Pornografi & Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, (Bogor: Kencana, 2003), h.40.


(26)

massa (media cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid, komik, dan media elektronik: televisi, video, internet, dan sejenisnya) yang menjadi konsumsi publik sehari-hari dalam lingkup sangat luas, tidak hanya lingkup nasional melainkan menjadi konsumsi masyarakat internasional.13

Dari beberapa literatur-literatur, buku-buku, dan penelitian-penelitian sebelumnya, penulis menilai bahwa belum ada penelitian yang sama persis dengan pokok permasalahan penelitian skripsi yang penulis buat pada saat ini, yang mana penulis menekankan kepada kajian hukum Islam atas aspek kriminalisasi dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder,14 yang mana pada hakekatnya berarti mengadakan kegiatan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut. Penelitian hukum normatif yang penulis maksud adalah

13

Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, Cet. I, (Jakarta: RMBOOKS, 2007), h.78.

14

Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Cet. I,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), h. 56.


(27)

penelaahan terhadap hukum tertulis. Di sini penulis tidak meninjau peraturan perundang-undangan dari sudut penyusunannya secara teknis akan tetapi yang ditelaahnya adalah pengertian-pengertian dasar mengenai bentuk-bentuk perbuatan yang dikriminalisasi dari peraturan perundang-undangan tersebut berikut sanksi dan relevansinya.

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif karena data yang diperoleh berupa data kualitatif yakni berupa kata-kata, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.

2. Sumber Data

Adapun dalam penelitian hukum ini sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data sekunder yang mencakup15:

a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Al-Qur‟an dan Al-Hadits.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.16

15

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h.12-13.

16


(28)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumententasi, yaitu proses pengumpulan data yang dilakukan melalui penggunaan bahan-bahan dokumen yang diperlukan, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi sebagai rujukan utama dan buku-buku atau literatur-literatur serta data-data yang lain.

4. Teknik Analisis Data

Sedangkan teknik analisis data yang digunakan berupa analisis normatif kualitatif.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007”. F. Sistematika Penulisan

BAB I : Berisi pendahuluan yang mencakup tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas mengenai tinjauan umum kriminalisasi dalam perspektif hukum positif dan perspektif hukum pidana Islam.


(29)

BAB III : Pada bagian ini menjelaskan mengenai deskripsi undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi yang memuat tentang rasionalitas dan substansi dari undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi.

BAB IV : Pada bagian ini mengkaji dengan menggunakan analisis perspektif hukum pidana Islam terhadap aspek kriminalisasi dalam undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi yang meliputi bentuk-bentuk tindak pidana pornografi, sanksi, dan relevansinya.

BAB V : Merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dari pembahasan skripsi dan saran. Serta di akhir dilengkapi dengan daftar pustaka.


(30)

BAB II

KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Positif

Dalam memberikan pengertian kriminalisasi kita perlu mempelajari ilmu kriminologi, karena kriminalisasi merupakan bagian dari ilmu kriminologi. Abdussalam dalam bukunya ”kriminologi”melihat bahwa objek dari kriminologi adalah kesatu adalah kejahatan kedua adalah pelaku atau penjahat ketiga adalah reaksi masyarakat.17

Kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu/pengetahuan tentang kejahatan yang secara umum berarti kriminologi untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan lebih baik.18

17

Abdussalam, Kriminologi, (Jakarta : Restu Agung, 2007), h. 15. 18


(31)

Dalam kamus bahasa Indonesia kejahatan adalah prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis (hukum pidana).19

Istilah kejahatan dalam pengertian tata bahasa adalah suatu tindakan atau perbuatan yang jahat. Seperti orang yang menderita perbuatan yang jahat seperti pembunuhan, pencurian, perampokan termasuk di dalamnya penipuan dan lain sebagainya yang dilakukan oleh manusia.

Para pakar dalam ilmu kriminologi, sebagai orang yang ahli dalam ilmu mengenai kejahatan banyak membuat rumusan tentang kejahatan. Antara lain seperti yang di ungkapkan oleh W.A. Bonger (1936), seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan. Pengertian ini senada dengan Sutherland (1949), yang menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara, oleh karena merupakan perbuatan yang merugikan negara, dan terhadap perbuatan tersebut negara bereaksi dengan hukuman sebagai suatu upaya pamungkas. 20

19

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka. 1990), h. 344.

20

Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Cet. II, ( Bandung : Ghalia Indonesia. 1986), h. 21.


(32)

Melihat dari dua pengertian di atas, ada empat point yang dapat diambil dan bisa dijadikan sebagai unsur-unsur dari sebuah kejahatan yaitu :

1. Adanya suatu tindakan kesengajaan;

2. Merupakan perbuatan yang melanggar hukum;

3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelian atau pembenaran yang diakui secara hukum; dan

4. Yang diberikan sanksi oleh negara berupa hukuman dari pelanggaran yang dilakukan.

Sedangkan Abdulsyani dalam bukunya ”sosiologi kriminalitas” melihat bahwa pengertian kejahatan dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya :

1. Kejahatan ditinjau dari aspek yuridis ialah bahwa jika seseorang dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap peraturan pidana dan ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan dengan disertai pemberian hukuman. Pada aspek yuridis ini, apabila pelaku pelanggaran belum dijatuhi hukuman, maka pelaku tersebut belum bisa dikatakan sebagai penjahat. 2. Kejahatan ditinjau dari aspek sosial bahwa apabila seseorang tidak bisa

menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakatnya dan dengan sadar atau tidak sadar telah menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Sehingga ia dinyatakan telah berbuat yang tidak dibenarkan oleh masyarakat yang bersangkutan.

3. Kejahatan ditinjau dari aspek ekonomi bahwa apabila seseorang membebankan kebutuhan hidupnya kepada orang lain dan menyebabkan


(33)

orang lain merasa terganggu yang pada akhirnya kebahagiaan orang lain terhambat karena perbuatannya.21

Salah satu sarjana kriminologi yang bernama Thoesten Sellin berpendapat bahwa kriminologi tidak hanya mencakup pada pelanggaran dan kejahatan sebagaimana yang telah ditentukan dalam hukum pidana, akan tetapi bahwa kriminologi harus diperluas dengan memasukan conduct norm (norma-norma kelakuan) yaitu norma-norma tingkah laku yang telah digariskan oleh berbagai kelompok-kelompok masyarakat. Sebagaimana diketahui ”conduct norm” dalam masyarakat mencakup norma kesopanan, norma susila, norma adat, norma agama, norma hukum. Jadi objek studi kriminologi tidak hanya menyangkut tingkah laku yang tidak disukai oleh masyarakat, meskipun tingkah laku tersebut bukan merupakan suatu pelanggaran dalam hukum pidana.22

Kriminalisasi (criminalization) dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.23 Akan tetapi dalam perkembangan penggunaannya kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas

21

Abdulsyani, Psikologi Krimialitas, (Bandung : Remadja Karya, 1987), h. 11.

22

Topo Santoso, Kriminologi, Cet. III, ( Jakarta : Raja Grafindo, 2002), h. 2.

23Wikipedia, “Kriminalisasi”

artikel diakses pada 07 Januari 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi.html


(34)

perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan.24 Sebagai contoh dalam perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK.25

Dalam Kamus Hukum Internasional dan Indonesia kriminalisasi adalah proses yang memperhatikan prilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat,26 sedangkan dalam kamus hukum lain mendefinisikan bahwa kriminalisasi adalah proses semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh hukum pidana atau perundang-undangan pidana.27

Dalam kamus Black Law Dictionary menjelaskan bahwa criminalization adalah the rendering of an act criminal (e.g. by statutory enactment) and hence punishable by the government in proceeding in its name yang artinya bahwa kriminalisasi adalah perbuatan dalam bentuk pidana contohnya karena perbuatannya itu, maka berdasarkan undang-undang dan melalui pemerintahan

24

Patrialis Akbar, “Tidak Ada Kriminalisasi KPK” artikel diakses pada 07 Januari 2010 dari

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/10/30/14413653/patrialis.tidak.ada.kriminalisasi.kpk

25

DetikNews, “Polri Ingin Selamatkan Diri dari Kriminalisasi KPK”artikel diakses pada 07

Januari 2010 dari http://www.detiknews.com/read/2009/10/30/120119/1231698/10/polri-ingin-selamatkan-diri-dari-kriminalisasi-kpk

26

Soesilo Prayogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia , (Jakarta: Wacana Intelektual, 2007), h. 266.

27


(35)

mendapatkan sanksi.28 Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan prilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana.29 Sedangkan Abdussalam dalam bukunya ”kriminologi” melihat bahwa pengertian kriminalisasi adalah pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas tetapi undang-undang belum mengaturnya.30

Proses penyusunan konsep, yang meliputi juga proses kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam konsep tidak berangkat dari “titik nol”, artinya bukan tanpa bahan. Konsep kriminalisasi berawal dari Tim Basaroedin yang telah menyusun Konsep Buku II (tentang Kejahatan) dan Konsep Buku III (tentang Pelanggaran). Konsep ini tersusun pada tahun 1977 dan dikenal dengan “Konsep BAS”. Sistematika dan materi Konsep ini bersumber dari KUHP (WvS) yang berlaku dengan penyesuaian dan penambahan beberapa delik baru. Jadi, Kebijakan penyusunan delik-delik (kriminalisasi) di dalam konsep selama ini mengambil dari tiga sumber bahan yang sudah ada sebelumnya yaitu terdiri dari:

1. KUHP (Wvs) yang masih berlaku, 2. Konsep BAS tahun 1977,

28

Henry Campbell, Black Law Dictionary, (USA : West Publisthing co), h. 374.

29

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Cet. III, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 600.

30


(36)

3. Undang-undang di luar KUHP.31

Salah seorang sarjana kriminologi yang bernama H. Mannheim terhadap kriminalisasi menyatakan bahwa terdapat berbagai bentuk perubahan anti sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak di antaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana.

1. Bahwa efisiensi dalam menunjukkan undang-undang pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dan masyarakat luas, sehingga harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada sikap yang sama dalam masyarakat.

2. Sekalipun ada sikap yang sama maka harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaanya.

3. Perlu diingat pada apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan objek hukum pidana artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri urusan kehidupan pribadi dari individu.

Kebijakan kriminalisasi pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan dalam kriminalisasi itu sendiri harus berusaha melakukan harmonisasi dengan sistem hukum pidana atau

31

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan KUHP Baru, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 231-232.


(37)

aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini yang mana bertujuan agar kebijakan kriminalisasi dapat diterima oleh masyarakat.32

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana.33

Adapun upaya kebijakan melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak terlepas dari kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya perlindungan masyarakat, adapun aspek yang sangat penting untuk kesejahteraan atau perlindungan masyarakat adanya nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan keadilan. Untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan cara pendekatan integral yang dilakukan dengan cara menyeimbangkan sarana penal dan non penal.34

Sedangkan dasar pembenaran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana lebih banyak terletak di luar bidang hukum pidana artinya dasar pembenaran tersebut berkaitan dengan faktor-faktor yang termasuk dasar

32

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2005), h. 127.

33

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), h. 240.

34

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 78.


(38)

pembenaran tersebut adalah faktor nilai, ilmu pengetahuan, dan faktor kebijakan. Nilai-nilai atau kaidah-kaidah sosial yang menjadi sumber pembentukan kaidah hukum pidana meliputi nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama, serta norma-norma budaya yang hidup dalam kesadaran masyarakat.

Hukum pidana mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan moral, khususnya pengaruh nilai-nilai dan kaidah-kaidah hukum pidana. Hubungan moral dan hukum pidana menambahkan diri terutama pada norma-norma prilaku yang diatur oleh hukum pidana, tetapi moral juga mengatur prilaku tersebut, apabila perbuatan-perbuatan amoral dijadikan sebagai perbuatan illegal menurut hukum pidana berarti ada kesesuaian antara kaidah moral dan kaidah hukum pidana. Hubungan hukum pidana dan moral melahirkan konsepsi kejahatan mala in se dan mala prohibita.35

B. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

Istilah tindak pidana, di dalam hukum pidana Islam sendiri ada dua kata yang cukup mewakili kata tersebut yaitu jinayah dan jarimah.

Jinayah ةيانج : ىنجي – ىنج menurut istilah adalah hasil perbuatan seseorang yang terbatas pada perbuatan yang dilarang pada umumnya, para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam

35

Bukhori, Nurani Kriminalisasi Tindak Pidana Teroris, (Palembang: Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Patah, 2004), h. 113.


(39)

keselamatan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Selain itu para fuqaha memakai istilah tersebut pada perbutan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash.36 Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-kata “jinayah” ialah perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta-benda, ataupun lain-lainnya.37 Oleh sebab itu jinayah bersifat umum, meliputi seluruh tindak pidana atau mengacu kepada hasil perbuatan seseorang.

Jarimah berasal dari kata ( َ َ َ ) yang sinonimnya ( َ َ َ َ َ َ َ ) artinya berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.38 Sedangkan secara istilah, Imam Mawardi mendefinisikan sebagai berikut:

ي ع ا دحب ا ع ىلاع ه يع ش ا ظحم مئا جلا

Artinya: Jarimah (tindak pidana) adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir.39

36

H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada, 1997), h. 1.

37

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 1-2.

38

Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa Al „Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Kairo: Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, t.th.,), h. 22.

39

Abu Al Hasan Ali ibn Muhammad Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Cet. III, (Mesir, Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973), h.219


(40)

Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Qadir al Audah dalam buku karangannya sebagai berikut:

ي ع ادحبا ع ه يع ش ا ظحم ا نأب يما أا عي شلا ىف مئ ا جلا

.

Artinya:”Jarimah menurut syariat Islam adalah larangan-larangan syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir”.40

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan :

a. Pemakaian istilah jinayah dikalangan fuqaha sama dengan jarimah.

b. Suatu perbuatan baru dianggap jinayah atau jarimah apabila dilarang oleh syara‟.

c. Berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah kecuali apabila diancam dengan hukuman terhadapnya.

Ulama fiqh mengemukakan beberapa unsur yang harus terdapat dalam suatu tindak pidana sehingga suatu perbuatan itu dapat dikategorikan dalam perbuatan jarimah. Unsur-unsur umum jarimah tersebut adalah:

a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatannya. Unsur ini dikenal dengan

istilah “unsur formal” (al-Rukn al-Syar‟i).

b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan

perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.

Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (al-Rukn al-Madi).

40Abdul Qadir „Audah, Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami, (Beirut: Dar al Kitab al-Araby, 1985), h.


(41)

c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (al-Rukn al Adabi).41

Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan jarimah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun yang telah disebutkan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jarimah (tindak pidana).

Larangan-larangan di atas adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.42 Dengan kata-kata “ Syara‟ ” pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai sebuah jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman terhadapnya. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.43 Pengertian jarimah tersebut di atas

41

H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 3.

42

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.1.

43

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h.20.


(42)

tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana, delik) pada hukum pidana positif.

Apabila ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian antara lain: Jarimah Hudud, Jarimah Qishas Diyat, dan Jarimah Takzir.44 Adapun klasifikasinya sebagai berikut:

a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah dan batas tertinggi. Pengertian hak Allah ialah hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh manusia (yang menjadi korban jarimah), ataupun oleh masyarakat yang diwakili negara.

Hukuman yang termasuk hak Allah ialah setiap hukuman yang dikehendaki oleh kepentingan umum (masyarakat), seperti untuk memelihara ketentraman dan keamanan masyarakat, dan manfaat penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan oleh keseluruhan masyarakat.

44

Abdul Qadir „Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟i Al Islami, Juz I, (Beirut: Dar Al Kitab Al „Araby, 1985), h.78.


(43)

Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), syurbul khamr (minum minuman keras), pencurian, hirabah (perampokan), riddah (murtad), dan pemberontakan (al-baghyu).

b. Jarimah Qishas Diyat

Jarimah qishas diyat ini adalah jarimah yang diancamkan dengan hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat keduanya adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟. Akan tetapi perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah(masyarakat), sedangkan qishas diyat adalah hak manusia (individu).45

Dalam hubungannya dengan hukuman qishas diyat maka pengertian manusia disini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.

Jarimah qishas diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam yaitu :

1. Pembunuhan sengaja

(

ُدْ َعْلَا ُ ْ َ ْلَا

)

2. Pembunuhan menyerupai sengaja

(

ِدْ َعلْا ُ ْ ِش ُ ْ َ ْلَا

)

3. Pembunuhan karena kesalahan

(

ْأَ َللْا ُ ْ َ ْلَا

)

45

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.18.


(44)

4. Penganiayaan sengaja

(

ُدْ َعلا ن لا و ام ىعع ي ا جلا

)

5. Penganiayaan tidak sengaja

(

أ خ ن لا و ام ىعع ي ا جلا

).

46

c. Jarimah Takzir

Jarimah takzir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman takzir. Pengertian takzir menurut bahasa ialah ta‟dib atau memberi pengajaran. Sedangkan untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri yaitu bahwa syara‟ tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah takzir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang se-ringan-ringannya sampai yang se-berat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah takzir serta keadaan si pembuatnya juga. Di samping itu, menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertiannya adalah sebagai berikut.

ُ ْ ُدُحلْا اَ ْيِف ْ َ ْشُ ْمَل ِ ْ ُنُ ىَعَع ٌ ْيِ ْأَ ُ ْيِ ْعَ لاَ

Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟.47

46Abdul Qadir „Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟i Al Islami, Juz I, (Beirut: Dar Al Kitab Al „Araby,

1985), h.79.

47

Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Cet. III, (Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Sa‟ad, 1974), h. 236.


(45)

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman takzir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah takzir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang se-ringan-ringannya sampai yang se-berat-beratnya.48

Jarimah takzir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian inti dari jarimah takzir adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang).49 Para fuqaha memberi contoh seperti meninggalkan shalat fardhu, tidak membayar zakat padahal termasuk orang yang mampu, dsb. Adapun contoh melakukan perbuatan yang dilarang adalah seperti mencium perempuan lain yang bukan istrinya, sumpah palsu, melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan, dsb.

Adapun meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan merupakan maksiat, apakah meninggalkan yang mandub dan mengerjakan yang

48

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.19.

49

Abd Al-Aziz „Amir, At-ta‟zir fi Asy-syari‟ah Al-Islamiyah, Cet. IV, (Dar Al Fikr Al-„Arabi, 1969), h. 83.


(46)

makruh juga termasuk maksiat yang dikenakan hukuman takzir?. Menurut sebagian ahli ushul, mandub adalah sesuatu yang diperintahkan dan dituntut untuk dikerjakan, sedangkan makruh adalah sesuatu yang dilarang dan dituntut untuk ditinggalkan. Adapun yang membedakan antara mandub dan wajib adalah bahwa orang yang mendapat mandub tidak mendapat celaan, sedangkan yang orang yang meninggalkan kewajiban mendapat celaan. Adapun yang membedakan antara makruh dan haram adalah bahwa orang yang mengerjakan makruh tidak mendapat celaan, sedangkan orang yang yang mengerjakan yang haram mendapat celaan. Berdasarkan pengertian tersebut orang yang meninggalkan yang mandub atau mengerjakan yang makruh tidak dianggap melakukan maksiat, karena celaan telah gugur dari keduanya, hanya saja mereka dianggap menyimpang atau melakukan pelanggaran ( نلالم) dan tidak patuh (ghair mumtatsil).

Adapun kelompok lain berpendapat bahwa mandub tidak termasuk ke dalam kelompok perintah (amar), dan makruh juga tidak termasuk ke dalam kelompok larangan (nahyi), melainkan hanya dianjurkan untuk dikerjakan (dalam mandub), dan dianjurkan untuk ditinggalkan (dalam makruh). Berdasarkan asumsi tersebut maka baik orang yang meninggalkan mandub maupun mengerjakan yang makruh tidak dianggap melakukan maksiat, karena maksiat timbul karena adanya taklif


(47)

(perintah dan larangan).50 Dari uraian tersebut jelaslah bahwa meninggalkan mandub dan mengerjakan makruh bukanlah suatu maksiat.

Apabila meninggalkan mandub dan mengerjakan makruh bukan suatu perbuatan maksiat, apakah keduanya dapat dikenakan hukuman?. dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat. Menurut sebagian fuqaha, seseorang yang meninggalkan mandub atau mengerjakan makruh tidak bisa dikenakan hukuman takzir. Alasannya takzir hanya dapat dikenakan apabila ada taklif (perintah dan larangan), sedangkan dalam nadb dan karahah tidak ada taklif. Di samping itu, adanya hukuman dianggap sebagai indikator apakah perbuatan itu haram atau wajib di satu sisi, dan makruh atau mandub di sisi lain. Apabila hukuman diterapkan atas perbuatan maka hal itu merupakan suatu pertanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu wajib atau haram. Akan tetapi, apabila hukuman tidak dikenakan terhadap perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan itu mandub atau makruh.51

Menurut sebagian fuqaha yang lain, seseorang yang meninggalkan mandub atau mengerjakan makruh bisa dikenakan hukuman takzir. Mereka beralasan dengan tindakan Sayyidina Umar yang menghukum dengan takzir seseorang yang membaringkan kambingnya untuk disembelih, dan dia mengasah pisaunya dengan membiarkan kambingnya dalam posisi demikian. Perbuatan laki-laki itu

50

Ibid, h.86.

51


(48)

merupakan perbuatan makruh, tetapi tetap dikenakan hukuman sebagai pelajaran terhadap pelaku dan juga orang lain agar ia tidak mengulangi perbuatannya dan orang lain tidak melakukan perbuatan semacam itu.52 Hukuman takzir semacam itu bukan takzir atas perbuatan maksiat, melainkan takzir atas perbuatan pelanggaran (At-ta‟zir „ala Al-Mukhalafah).53

Di samping itu juga hukuman takzir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan (illat) dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut tidak terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut bukan jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman.

52

Ibid,

53

Abdul Qadir „Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟i Al Islami, Juz I, (Beirut: Dar Al Kitab Al „Araby, 1985), h.155.


(49)

Penjatuhan hukuman takzir untuk kepentingan umum ini di dasarkan kepada tindakan rasulullah SAW yang menahan seorang laki-laki yang di duga mencuri unta. Setelah diketahui ternyata ia tidak mencurinya, maka Rasulullah SAW melepaskannya. Analisis terhadap tindakan rasulullah SAW tersebut adalah bahwa penahanan merupakan hukuman takzir, sedangkan hukuman hanya dapat dikenakan terhadap suatu jarimah yang telah dapat dibuktikan. Apabila pada peristiwa tersebut tidak terdapat unsur pidana maka artinya Rasulullah mengenakan hukuman penahanan (penjara) hanya karena tuduhan semata-mata (tuhmah).

Hal ini mengandung arti bahwa Rasulullah SAW membolehkan penjatuhan hukuman terhadap seseorang yang berada dalam posisi tersangka, meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang dilarang.54 Tindakan yang diambil Rasulullah SAW tersebut dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab membiarkan si tersangka hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya bisa mengakibatkan ia lari, dan bisa juga menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak benar terhadap dirinya, atau menyebabkan tidak dapat dijalankannya hukuman yang telah diputuskan.

54


(50)

Dari uraian di atas tersebut, dapat diambil intisari bahwa jarimah takzir dibagi kepada tiga bagian, yaitu:

a. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat( ّيصع لا ىعع);

b. Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan untuk kepentingan umum) ماعلا حعص لا ىعع (;

c. Takzir karena melakukan pelanggaran ( نلال لا ىعع).

Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), takzir juga dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

a. Jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri;

b. Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara‟ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti: riba, suap, dan mengurangi takaran dan timbangan;

c. Jarimah takzir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara‟.


(51)

Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.55

Disamping itu tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah takzir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya keadaan yang bersifat mendadak.

55


(52)

BAB III

DESKRIPSI UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2008

TENTANG PORNOGRAFI

A. Rasionalitas

Setelah sekian lama mengalami perdebatan, akhirnya pemerintah telah menetapkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) menjadi sebuah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya ditulis Undang-Undang Pornografi). Jauh sebelum ditetapkannya RUU APP menjadi Undang-Undang, berbagai perdebatan antara yang pro dan kontra dengan dibentuknya Undang-Undang Pornografi sering bermunculan di berbagai ajang diskusi atau siaran berbagai media massa.

Dasar pemerintah menerbitkan Undang-Undang Pornografi ini adalah karena pemerintah beranggapan bahwa pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu disusun undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.


(53)

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang Pornografi meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Undang-Undang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.56

Sejak awal RUU Pornografi diusulkan dan dibahas, sudah menimbulkan pro kontra dan polemik. Salah satunya dalam perumusan definisi pornografi. Dari kacamata agama bisa dinilai sebagai pornografi, namun dari kacamata seni belum tentu. Sepertinya sulit sekali untuk merumuskan definisi pornografi yang bersifat universal, yang dapat diterima semua pihak. Dalam penal policy (kebijakan hukum pidana), sebenarnya setiap perumusan dalam undang-undang tidak ada

56

Jelita249 “Pro dan Kontra Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”Artikel diakses pada 07 januari 2010 dari http://jelita249.blogspot.com/2009/07/pro-dan-kontra-undang-undang-n0-44.html


(54)

kewajiban untuk selalu membuat atau mendefinisikan setiap istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut. Termasuk istilah pornografi dalam RUU Pornografi.57 Di samping itu, kriminalisasi pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk mengangkat/menetapkan/menunjuk suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal). Oleh karena itu, tindak pidana pada hakikatnya merupakan perbuatan yang diangkat atau perbuatan yang ditunjuk/ditetapkan (benoemd gedrag atau designated behaviour) sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembuat undang-undang.58

Kalau diperhatikan bahwa KUHP Indonesia mengatur delik pornografi tanpa menyebut kata-kata pornografi, cabul, tidak senonoh, dst. Akan tetapi hanya menyebutnya sebagai perbuatan melanggar kesusilaan sebagai salinan dari bahasa Belanda (aanstotelijk voor de eerbarheit). Dengan sendirinya pengertian melanggar kesusilaan itu diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan yurisprudensi untuk menegaskannya.59

57Dwi Haryadi ”Kriminalisasi RUU Pornografi” artikel diakses pada 07 Januari 2010 dari

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=KRIMINALISASI%20RUU%20PORNOGRAFI&&no morurut_artikel=204.

58

Abdul Kadir, “Kriminalisasi Kebebasan Pribadi Dan Pornografi/Pornoaksi Dalam Perspektif

Kebijakan Hukum Pidana” artikel diakses pada 13 Januari 2010 dari

http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2009/11/kriminalisasi-kebebasan-pribadi-dan.html

59

Andi Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana Sebagai Studi Perbandingan, Cet. I, (Jakarta: CV. Bina Mulia, 1987). h. 31


(55)

Di dalam Buku II KUHP (lama) Bab XIV terdapat tiga buah pasal yang langsung dan tidak langsung berkaitan dengan delik pornografi, yaitu pasal 281, 282, dan 283 KUHP. Yang langsung berkaitan adalah pasal 282 dan 283.

Sedangkan di buku III KUHP terdapat pula delik pornografi sebagai delik pelanggaran yaitu bab Pelanggaran Kesusilaan (Bab XIV yaitu pasal 532, 533, 534, dan 535 KUHP).

Jika KUHP baru telah lahir dan buku III (Pelanggaran) ditiadakan karena tidak dikenal perbedaan delik kejahatan dan delik pelanggaran, tetapi hanya ada satu istilah yaitu “tindak pidana” maka tentu delik pornografi di Buku III ini masuk Buku II KUHP baru.

Delik pornografi merupakan salah satu delik yang paling sulit dirumuskan, karena apa yang disebut porno, cabul, asusila, itu sangat relatif dan bersifat subyektif. Berbeda dengan bidang hukum yang lainnya, maka bidang pornografi inilah yang paling banyak timbul perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh garis pemisah antara hukum dan moral yang samar-samar.60

Dalam sidang paripurna 30 Oktober lalu menjadi moment untuk mempublikasikan pengesahan RUU Pornografi yang mengundang pro dan kontra. Meskipun secara formal dalam alur pembahasan RUU Pornografi telah mendapatkan persetujuan antara pemerintah (diwakilkan ke Menteri

60


(56)

Pemberdayaan Perempuan) dan DPR pada tanggal 28 Oktober malam. Ini menjadi agenda tersembunyi karena publik tidak mengetahui proses tersebut. Suatu proses yang dianggap lazim oleh DPR dalam setiap pembahasan RUU. Namun hal tersebut dianggap telah menyalahi asas keterbukaan61 yang diatur dalam Pasal 5 Huruf (g) Undang-Undang (UU) No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Jantung dari rumusan undang-undang ini berpusat pada definisi pornografi, merujuk pada acuan draft terakhir tertanggal 28 Oktober 2008, yakni mendasarkan pada pelanggaran norma kesusilaan dalam masyarakat. Setelah ditelusuri ke bagian penjelasan ternyata redaksi tersebut tidak diuraikan maksudnya. Hal ini semakin memperkuat apa yang telah dikhawatirkan oleh jaringan aktifis dan cendekia yang menolak pengesahan RUU Pornografi, bahwa akan terjadi kriminalisasi terhadap tubuh perempuan dan anak.62 Dengan melihat dasar-dasar penilaian pada kepatutan dan kelayakan yang masih berlaku di masyarakat yang didominasi oleh patriarkisme. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Naskah Akademik RUU (selanjutnya disebut Undang-Undang) Pornografi yakni menggunakan dalih agama sebagai dasar acuan filosofisnya.

61

Pasal 5 Huruf (g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 4.

62

KUHP Reform “Perempuan pun jadi Korban” artikel diakses pada 07 Januari 2010 dari http://kuhpreform.wordpress.com/2008/11/05/uu-pornografi-akhirnya-disahkan-perempuan-pun-jadi-korban/


(57)

Meskipun telah diketahui bahwa dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah Pancasila yang dijadikan sumber dari segala sumber hukum.63 Serta penafsiran terhadap Pancasila tidak hanya mengacu pada satu sila saja karena kelima sila tersebut sifatnya saling menjiwai serta sistematis, sehingga tidak bisa ditafsirkan secara terpisah karena akan menghilangkan fungsinya.64

Pernyataan tersebut yang kemudian menjadi dasar kampanye yang disebarluaskan lewat berbagai media baik melalui sms maupun media komunikasi lainnya untuk mendukung disahkannya UU Pornografi. Namun seperti yang telah ditulis oleh Herni Sri Nurbayanti bahwa pertimbangan dasar RUU ini masih menggunakan moral sebagai dasar filosofisnya karena pornografi bersinggungan dengan nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai Ketuhanan YME sebagaimana yang terdapat dalam argumen Naskah Akademik RUU Pornografi versi DPR bahkan nuansa religiusitas mewarnai naskah tersebut.

Maka sebenarnya harus ada ahli bahkan bila perlu tokoh-tokoh yang melahirkan ide awal Pancasila yang bisa menafsirkan langsung keterkaitan antara RUU Pornografi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) sehingga tidak terjadi salah tafsir atau asumsi belaka, apakah benar Pancasila lahir untuk membuat keresahan?. Padahal yang sebenarnya dasar

63

Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 3.

64Denny Indrayana, “Tantangan Hukum Kita,”


(58)

pertimbangan moral tersebut tidak dapat dijadikan konsideran lahirnya peraturan pidana yang pada hakikatnya mengatur hubungan antar manusia di ruang publik serta tidak mencampuradukkan persoalan moral/agama ke dalam peraturan negara kesatuan. Namun pada Bab II naskah akademik ini seperti membenarkan pengaruh agama dalam memandang pornografi, yang tertulis sebagai berikut ...nilai-nilai agama yang dianut bagian terbesar masyarakat tampaknya mempengaruhi pendefinisian pornografi…

bahkan di halaman selanjutnya yakni halaman 4 Bab Kedua menuliskan bahwa:

...berbeda dengan masyarakat di negara-negara yang masyarakatnya mengutamakan rasionalitas masyarakat Indonesia menganggap pornografi sebagai perilaku bermasalah karena lebih banyak dipengaruhi ideologis...65

Ini sama halnya menafikan kaum intelektual yang ada di Indonesia, yang identik menggunakan akal/rasio, dan turut memperdebatkan secara rasional rumusan definisi secara objektif dari pornografi. Hal inilah yang dikemukakan oleh Neng Dara Affiah sebagai bentuk politisasi Islam.66 Meskipun para

65

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Undang-Undang Pornografi, (Jakarta: t.p., 2008), h. 4.

66

Neng Dara Afifah, Dalam Makalah Debat Publik: Menggugat Naskah Akademik Versi DPR, 14 Oktober 2008 di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta. h. 5.


(59)

penggagas menolaknya namun kenyataannya undang-undang pornografi ini tetap disahkan.

Selain itu Naskah Akademik juga masih bersifat ambigu, sisi lain dalam tulisannya pada halaman 6 Bab Kedua mengakui bahwa sebenarnya telah ada beberapa peraturan yang terkait diaturnya pornografi yang dipublikasikan, adapun sebagai berikut: dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, tindak kejahatan pornografi dapat digolongkan sebagai suatu delik susila, sebagai tindak pidana pelanggaran kesusilaan (zedelijkheid), yang diatur pada Pasal 281 ayat (1), dan (2), Pasal 282 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 283 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 283 bis. Pasal 532, Pasal 533, Pasal 534, dan Pasal 535 dalam Buku II, Bab XIV.

Selain itu, kejahatan pornografi secara tidak langsung juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (utamanya pada Pasal 36 ayat (5) huruf b, Pasal 46 ayat (3) huruf d, Pasal 48 ayat (4) huruf c, huruf d, dan huruf e), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (utamanya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 13, dan Pasal 18 ayat (1) dan (2), dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1992 tentang Perfilman (khususnya Pasal 3, Pasal 13, dan Pasal 33). Akan tetapi dihalaman selanjutnya menganggap beberapa peraturan itu kualitasnya kurang baik yang dapat mempengaruhi efektivitas peraturan perundang-undangan yang kemudian dalam catatan kakinya


(1)

BPHN, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Binacipta, 1986.

Bukhori, Nurani Kriminalisasi Tindak Pidana Teroris, Palembang: Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Patah, 2004.

Bungin, Burhan. Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, dan Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Kencana, 2005.

Campbell, Henry. Black Law Dictionary, USA : West Publisthing co.

Djubaedah, Neng. Pornografi & Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam. Bogor: Kencana, 2003.

Farid, Mohammad. dkk, Kekerasan Seksual: pada anak dan remaja, Jakarta: PKBI DKI-YPSI-UNICEF, 1997.

Hamzah , Andi. Pornografi dalam Hukum Pidana Sebagai Studi Perbandingan, Jakarta: CV. Bina Mulia, 1987, Cet. I.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. V.

H.A.Djazuli. Fiqih Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada, 1997.

Ichtijanto S.A, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.


(2)

Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005, Cet. III.

Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Cet. III.

Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Undang-Undang Pornografi, Jakarta: t.p., 2008.

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. I.

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Jakarta: Mocomedia, 2008.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.

Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico,1988, Cet. III.

Lopa, Baharudin. Permasalahan Pembinaan dan Penerapan Hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, Cet. I.

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.

Moslehuddin,Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, Cet. II.


(3)

Muhammad Al Mawardi, Abu Al Hasan Ali. Al Ahkam As Sulthaniyah, Mesir, Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973, Cet. III.

Praja, Juhaya S. Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik . Bandung: Rosda karya, 1991.

Prayogo, Soesilo. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia , Jakarta: Wacana Intelektual, 2007.

Qardhawy, Muhammad Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam, Terj. H. Muamal Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 1982.

Rahman, Fatchur , dan Yahya, Muchtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Alma‟arif, 1986.

Sa‟adah, Diana.”Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum di Bidang Legislasi” dalam materi Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. BEM Pidana Islam Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah 12-14 Mei 2009. Jakarta: Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2009.

Santoso, Topo. Kriminologi, Jakarta : Raja Grafindo, 2002, Cet. III.

---. Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

---. Menggagas Hukum Pidana Islam; Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy-Syamil Press, 2001, Cet. II.


(4)

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. IX, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. I.

Soejono, dan H. Abdurrahman. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999, Cet. I.

Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

---. Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung : Ghalia Indonesia. 1986, Cet. II.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, Cet. IV.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986.

Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, Cet. I.

Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Wahid, Abdul dan Mustofa. Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.


(5)

---. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Sumber dari Internet

http://al hudaz.blogspot.com/2009/04/karakteristik-hukum-islam-i.html.

http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2009/11/kriminalisasi-kebebasan-pribadi-dan.html

http://kuhpreform.wordpress.com/2008/11/05/uu-pornografi-akhirnya-disahkan-perempuan-pun-jadi-korban/

http://kuhpreform.wordpress.com/2008/10/31/ketidakjelasan-ruu-pornografi-menggugat-naskah-akademik-versi-dpr

http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi

http://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi.html

http://jelita249.blogspot.com/2009/07/kriminalisasi-pornografi-dan-pornoaksi.html

http://jelita249.blogspot.com/2009/07/pro-dan-kontra-undang-undang-n0-44.html

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20No.10-17-23-PUU-VII-2009.pdf


(6)

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/10/30/14413653/patrialis.tidak.ada.krimin alisasi.kpk

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Trend%20Pornografi%20dan%20Upa ya%20Kriminalisasinya&&nomorurut_artikel=389

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=KRIMINALISASI%20RUU%20POR NOGRAFI&&nomorurut_artikel=204.

http://www.detiknews.com/read/2009/10/30/120119/1231698/10/polri-ingin- selamatkan-diri-dari-kriminalisasi-kpk

Sumber dari Koran

Ilmi, M. Bahrul. UU Pornografi Sesuai Konstitusi”, Republika, 26 Maret 2010.