Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual di Kota Medan

(1)

PERILAKU KONSUMTIF PRIA METROSEKSUAL DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

OLEH:

ANITA KEMALA NST 031301003

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual di Kota Medan”.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, sesungguhnya dengan pengetahuan-Mu, aku memohon bantuan-Mu untuk menentukan pilihan, dan dengan kekuasaan-bantuan-Mu, aku meminta kemampuan (untuk melakukannya). Tiada Tuhan kecuali Allah, Dzat Yang Maha Pemurah dan Maha Mulia.

2. Papa Alm. H. Drs Rustam Nst dan Mama Almh. Hj Rahmawati. Terima kasih buat didikan nya. Dewi, B.Naro,O’om Anggi. Makasi buat doa dan dukungan nya.

3. Bapak Ari Widyanta,S.Psi.Psi., selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian skripsi.

4. Ibu Lili Garliah, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dorongan dan perhatian dalam menjalani masa perkuliahan. 5. Buat keluarga besarku yang selalu nanyain kapan tamat, yang akhirnya

menjadi motivasi. Khususnya Pak Tuo dan Mak Tuo yang telah menggantikan posisi mama dan papa, terima kasih untuk semuanya.


(3)

6. Buat sepupu2 ku..Indri, Fatma, Santi, Kiki. K’Ririn dan semuanya terima kasih buat dukungan dan semangatnya selama ini. You all the best..

7. Alya, Mira Arum dan Kiki. Makasi yah...buat semua...mua...nya...mudah2an kita semua bisa sukses yah..amin..luv u guys...

8. Buat Dani..makasi buat do’anya, ceramahan nya, marah2nya..supaya aku cepat tamat kuliah. Makasi banyak ya..

9. Buat senior-seniorku terima kasih atas pelajaran nya selama ini dan buat adik-adik selamat berjuang ya...

10.B. I. Sutopo dan keluarga, Ibu Yennita dan keluarga. Semoga penelitian ini membawa manfaat.

.

Medan, Desember 2008


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah ... 1

I. B. Perumusan Masalah ... 6

I. C. Pertanyaan Penelitian ... 7

I. D. Tujuan Penelitian ... 7

I. E. Manfaat Penelitian ... 7

I. E. 1. Manfaat Teoritis ... 7

I. E. 2. Manfaat Praktis ... 7

I. F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II LANDASAN TEORI II. A. Pria Metroseksual ... 9

II. A. 1.Pengertian Pria Metroseksual ... 9

II. A. 2. Ciri-Ciri Pria Metroseksual ... 10

II. A. 3. Faktor Penyebab Pria Metroseksual ... 11

II. B. Perilaku Konsumtif ... 12


(5)

II. B. 2. Tipe-Tipe Perilaku Konsumtif ... 13

II. B. 3. Indikator Perilaku Konsumtif ... 13

II. B. 3. Faktor-Faktor Perilaku Konsumtif ... 15

II. D. Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual di Kota Medan ... 16

II. E. Pertanyaan Penelitian ... 18

BAB III METODE PENELITIAN III. A. Variabel Penellitian ... 19

III. A. 1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 19

III. A. 2. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 19

III. B. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 20

III. B. 1. Populasi dan Sampel ... 20

III. B. 2. Metode Pengambilan Sampel ... 21

III. C. Lokasi Penelitian ... 22

III. D. Alat Ukur atau Instrumen Pengukuran ... 22

III. D. 1. Skala Kecenderungan Perilaku Konsumtif ... 22

III. D. 2. Uji Coba Alat Ukur ... 25

III. E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 27

III. E. 1. Persiapan Penelitian ... 27

III. E. 2. Pelaksanaan Penelitian ... 27

III. F. Metode Analisis Data ... 28

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI IV. A. Gambaran Subjek Penelitian ... 29


(6)

IV. A. 2. Gaji Subjek Penelitian ... 30

IV. B. Hasil Utama Penelitian ... 30

IV. B. I. Gambaran Umum Perilaku Konsumtif ... 31

IV. C. Hasil Tambahan Penelitian... 31

IV. C. 1. Gambaran Perilaku Konsumtif Berdasarkan Karakteristik Subjek ... 31

IV. C. 1. 1. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Pekerjaan ... 31

IV. C. 1. 2. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Gaji... 32

IV. C. 2. Gambaran Skor Indikator-indikator Perilaku Konsumtif Berdasarkan Karakteristik Subjek ... 33

IV. C. 2. a. Gambaran Skor IndikatorMembeli Produk Karena Hadiah Berdasarkan Karakteristik Subjek ...33

IV. C. 2. b. Gambaran Indikator Membeli Produk Karena Kemasan Menarik Berdasarkan Karakteristik Subjek ...34

IV. C. 2. c.Gambaran Indikator Membeli Produk Menjaga Penampilan dan Gengsi Berdasarkan Karakteristik Subjek ...35

IV. C. 2. d. Gambaran Indikator Membeli Produk Atas Pertimbangan Harga Bukan Atas Kegunaan dan Manfaatnya Berdasarkan Karakteristik Subjek ...36

IV. C. 2. e. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Menjaga Simbol Status Berdasarkan Karakteristik Subjek ...37


(7)

IV. C. 2. f. Gambaran Skor Indikator Memakai Produk Karena Unsur Konformitas Terhadap Model Iklan

Berdasarkan Karakteristik Subjek ...38

IV. C. 2. g. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Mahal Menimbulkan Percaya Diri Berdasarkan Karakteristik Subjek ...39

IV. C. 2. h. Gambaran Skor Indikator Mencoba Produk Sejenis Merek Berbeda Berdasarkan Karakteristik Subjek ..40

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN V. A Kesimpulan ...41

V. B. Diskusi ...43

V. C. Saran ...46

V. C. 1. Saran Metodologis ...46

V. C. 2. Saran Praktis ...46

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Cara Penilaian Skala Kecenderungan Perilaku Konsumtif ... 22

Tabel 2. Blue Print Kecenderungan Perilaku Konsumtif Sebelum Uji Coba ... 24

Tabel 3. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan ... 29

Tabel 4. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Gaji ... 30

Tabel 5. Gambaran Umum Perilaku Konsumtif ... 31

Tabel 6. Kategori Skor Perilaku Konsumtif ... 31

Tabel 7. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Pekerjaan ... 32

Tabel 8. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Gaji ... 32

Tabel 9. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Karena Hadiah Ditinjau dari Karakteristik Subjek... 32

Tabel 10. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Karena Kemasan Menarik Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 34

Tabel 11. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Demi Menjaga Penampilan Diri dan Gengsi Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 35

Tabel 12. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Atas Pertimbangan Harga Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 36

Tabel 13. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Hanya Sekedar Menjaga Simbol Status Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 37

Tabel 14. Gambaran Skor Indikator Memakai Sebuah Produk Karena Unsur Konformitas Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 38


(9)

Tabel 15. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Mahal Menimbulkan Rasa Percaya Diri Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 39 Tabel 16. Gambaran Indikator Mencoba Lebih Dari Dua Produk Sejenis


(10)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A. Data Uji Coba

Lampiran B. Data Penelitian Lampiran C. Reliabilitas Item Lampiran D. Hasil Frekuensi SPSS Lampiran E. Hasil Deskriptif SPSS Lampiran F. Hasil Crosstabs SPSS Lampiran G. Hasil Explore SPSS Lampiran H. Skala Try Out Lampiran I. Skala Penelitian


(11)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Perilaku Konsumtif Pada Pria Metroseksual di Kota Medan adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Desember 2008


(12)

ABSTRAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anita Kemala Nst : 031301003

Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual di Kota Medan xi + 50 halaman + 16 tabel + + lampiran

Bibliografi 20 (1984 - 2007)

Pria Metroseksual lebih dari sekedar fakta melainkan juga sebuah fenomena yang kian menggejala di hampir semua kota besar. Pria metroseksual adalah pria yang memiliki karakteristik unik seperti narsis dan merawat dirinya sering kali melebihi wanita.

Kebanyakan pria metroseksual memiliki pendapatan yang besar sehingga mereka bisa membeli apapun yang mereka inginkan untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pekerjaan dan penampilan.

Hal ini menyebabkan perilaku konsumtif yang mereka tunjukkan relatif agak berbeda dengan orang kebanyakan. Oleh karenanya, pria metroseksual menjadi target market yang potensial bagi banyak produsen.

Penelitian ini bertujuan menggambarkan perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan dan dapat memberi pandangan untuk memulai penelitian selanjutnya bagi perilaku konsumtif.

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah perilaku konsumtif yang diungkap oleh skala yang disusun berdasarkan indikator-indikator perilaku konsumtif yang dikemukakan oleh Sumartono (2002). Item-item skala disusun dengan model Likert, dan disebarkan terhadap 100 orang subjek penelitian di Medan. Data yang diperoleh diolah dengan program SPSS 13.0 for windows.

Hasil menunjukkan bahwa subjek penelitian dengan perilaku konsumtif kategori sedang paling banyak ditemukan, dengan persentase jumlah mencapai 70% dari total subjek penelitian.


(13)

ABSTRAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anita Kemala Nst : 031301003

Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual di Kota Medan xi + 50 halaman + 16 tabel + + lampiran

Bibliografi 20 (1984 - 2007)

Pria Metroseksual lebih dari sekedar fakta melainkan juga sebuah fenomena yang kian menggejala di hampir semua kota besar. Pria metroseksual adalah pria yang memiliki karakteristik unik seperti narsis dan merawat dirinya sering kali melebihi wanita.

Kebanyakan pria metroseksual memiliki pendapatan yang besar sehingga mereka bisa membeli apapun yang mereka inginkan untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pekerjaan dan penampilan.

Hal ini menyebabkan perilaku konsumtif yang mereka tunjukkan relatif agak berbeda dengan orang kebanyakan. Oleh karenanya, pria metroseksual menjadi target market yang potensial bagi banyak produsen.

Penelitian ini bertujuan menggambarkan perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan dan dapat memberi pandangan untuk memulai penelitian selanjutnya bagi perilaku konsumtif.

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah perilaku konsumtif yang diungkap oleh skala yang disusun berdasarkan indikator-indikator perilaku konsumtif yang dikemukakan oleh Sumartono (2002). Item-item skala disusun dengan model Likert, dan disebarkan terhadap 100 orang subjek penelitian di Medan. Data yang diperoleh diolah dengan program SPSS 13.0 for windows.

Hasil menunjukkan bahwa subjek penelitian dengan perilaku konsumtif kategori sedang paling banyak ditemukan, dengan persentase jumlah mencapai 70% dari total subjek penelitian.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Adanya kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut (Suriasumantri, 1996).

Salah satu tindakan yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya adalah dengan berbelanja. Berbelanja telah menjadi suatu kebutuhan. Hampir setiap pusat perbelanjaan di berbagai tempat, dipadati pengunjung. Apakah sekadar mencari hiburan, atau benar-benar mempergunakan waktu berbelanja.

Hal ini membuat tren berbelanja berubah dari masa ke masa. Dahulu orang berbelanja karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Saat ini orang berbelanja karena berbagai macam sebab, untuk memanjakan diri sendiri, menyenangkan orang lain, membeli sesuatu dengan alasan hari raya, atau karena potongan harga. Bahkan, hanya sekadar gengsi, memperlihatkan dengan status sosial tertentu dapat berbelanja di tempat "X" dan mampu membeli barang dengan merek ternama (Moningka, 2006).

Sikap membeli sesuatu sering tidak didasari pada kebutuhan yang sebenarnya. Perilaku yang dilakukan semata-mata demi kesenangan, sehingga


(15)

menyebabkan seseorang menjadi boros dan dikenal dengan istilah perilaku konsumtif (Widiastuti, 2002).

Perilaku konsumtif adalah membeli barang tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan (Sumartono, 1998). Selanjutnya Mowen dan Minor (2002) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan membeli produk atau jasa tertentu untuk memperoleh kesenangan atau hanya perasaan emosi. Dahlan mendefinisikan yakni suatu perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah yang berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata (dalam Sumartono, 2002).

Dahulu, perilaku konsumtif identik dengan para wanita, karena wanita selalu ingin merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan membeli kosmetik, pergi ke salon, dan membeli produk-produk perawatan tubuh. Berbeda dengan pria yang justru gemar berkumpul dalam komunitasnya dan melakukan aktivitas yang menguras keringat. Bahkan pria tidak mengenal deodorant, mereka akan menanyakan kembali apakah deodorant itu? Seiring dengan berubahnya tren yang terjadi di masyarakat dan juga pada akhirnya wanita membawa kebiasaan mempercantik diri ke dalam dunia kerja, sehingga penampilan dijadikan salah satu kriteria dalam penilaian karyawan dan diperhitungkan dalam promosi karir. Tidak mengherankan akhirnya para pria juga mengikuti perilaku wanita dalam hal berbelanja, melakukan perawatan diri ke


(16)

salon dan membentuk badan yang ideal dengan pergi ke pusat kebugaran (Kartajaya, 2004).

Hal ini membuat pergeseran gaya hidup pria saat ini. Pria dituntut lebih memperhatikan penampilan, tak hanya penampilan dirinya sendiri, tetapi juga hal-hal yang berhubungan dengannya. Kamar pria saat ini tidak identik dengan “ruangan yang kumuh”. Bahkan jika diperhatikan lebih teliti, kamar pria saat ini sudah jauh lebih rapi, bahkan daripada kamar wanita (Skripsiadi & Aning, 2005). Jika dahulu pria tidak senang berdandan atau berbelanja, karena dianggap hanya menghabiskan uang dan waktu, saat ini pria mulai gemar memanjakan dirinya. Ia mulai merawat sekujur tubuhnya, mulai dari perawatan rambut di salon, melakukan perawatan wajah, manikur-pedikur (perawatan kuku kaki dan tangan), membentuk badan di pusat kebugaran, hingga menggunakan wewangian (Kartajaya, 2004).

Gaya hidup pria seperti yang dipaparkan diatas banyak terjadi di kota-kota besar dan tren ini disebut dengan gaya hidup metroseksual. Metroseksual diartikan sebagai sosok yang narsistik (cinta terhadap diri sendiri) dengan penampilan “dendi” yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi gaya hidup urban. Pria metroseksual identik dengan pria yang suka memperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pria metroseksual terdiri dari lelaki muda, yang mempunyai gaya hidup urban yang tinggi, seorang lelaki sejati, berpendidikan tinggi dan sentiasa kelihatan menarik (Kartajaya, 2004).

Pria metroseksual akan melakukan berbagai hal agar dirinya terlihat semakin sempurna. Ia rela mengeluarkan uang banyak agar ia menjadi seseorang


(17)

yang ia inginkan. Bentuk tubuh yang kurang bagus dapat diperbaiki dengan melakukan olahraga di pusat kebugaran, diet dan sebagainya. Bentuk rambut dapat dibentuk sesuai dengan yang diinginkan dengan melakukan perawatan di salon. Pria metroseksual betah berjam-jam di salon untuk melakukan perawatan rambut, wajah, sampai menghilangkan bulu-bulu di lengan atau punggung. Layaknya wanita, laki-laki metroseksual paling hobi belanja di mal atau butik, dan suka berkumpul di kafe. Mereka betah berjam-jam jalan-jalan di mal, dan itu dilakukan bukan untuk tujuan berbelanja, tapi lebih pada kesenangan berbelanja. Umumnya pria metroseksual hidup di kota besar dan kosmopolitan, mereka sangat brand-minded dan sangat tahu nama merek yang bagus dan bukan (Skripsiadi & Aning, 2005).

Berdasarkan Indonesian Metrosexual Behavioral Survey yang dilakukan MarkPlus&Co, para pria metroseksual ini umumnya paling suka belanja (Yuswohady, 2006). Ketika masuk ke sebuah pusat perbelanjaan, umumnya pria metroseksual belum memiliki ide barang apa yang akan dibeli. Pria metroseksual hanya berjalan-jalan sambil melihat barang-barang yang ada di balik etalase kaca toko. Jika pria metroseksual akan membeli barang itu tergantung pada mood spontan yang muncul pada saat itu. Saat membeli suatu barang baik itu peralatan rumah tangga, mobil atau perangkat elektronik, pria metroseksual lebih memperhatikan masalah fungsionlitas atau estetika. Apakah para pria metrosesksual tersebut dapat menggunakan barang-barang tersebut merupakan bukan suatu masalah yang terpenting para pria metroseksual telah memiliki barang-barang itu terlebih dulu (Kartajaya, 2004).


(18)

Pria metroseksual mempunyai pengeluaran yang cukup tinggi. Bagi pria metroseksual mengeluarkan uang lima juta rupiah sebulan untuk mendapatkan perawatan tubuh atau hanya untuk membeli setelan jas bukan suatu masalah (Kartajaya, 2004). Untuk hal yang berkaitan dengan mode, konsumen telah mencari informasi dan telah berbelanja terlebih dahulu (Robertson, Zielenski & Ward, 1984)

Para pedagang atau penjaja barang-barang termasuk kelompok yang jeli melihat perkembangan ini. Di Indonesia para pemasar secara khusus menciptakan beragam produk mulai dari kosmetik, media, baju, hingga kafe. Pria metroseksual merupakan target para pemasar tersebut karena pria metrosekusal jelas punyak banyak uang dan tidak segan-segan mengeluarkannya demi membeli

produk-produk yang diinginkan, berapa pun harganya. (http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0310/25/080628.htm).

Di Indonesia tumbuhnya tren metroseksual didahului oleh masuknya produk perawatan dari luar negeri pada tahun 1997. Produk-produk tersebut kemudian banyak ditiru oleh produsen lokal dan sekarang produk pria ini sudah ada di pasaran, dari mulai harga yang murah sampai yang mahal, disesuaikan dengan kemapuan finansial yang ada. Pada awalnya terjadi hanya di kota –kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung (Skripsiadi & Aning, 2005).

Saat ini kondisi ini telah merambah di kota Medan. Kota Medan merupakan kota yang dinamis, kota terbesar di Sumatera dan merupakan kota ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Banyak pusat-pusat perbelanjaan yang terdapat di kota Medan, terutama sekarang mulai dibangun


(19)

pusat-pusat perbelanjaan yang cukup besar sehingga memudahkan warga Medan untuk berbelanja (dalam Wikipedia). Aktivitas berbelanja yang terlihat di pusat perbelanjaan tersebut tidak saja dilakukan oleh para ibu rumah tangga ataupun wanita bekerja, tetapi juga pada pria khususnya pada pria metroseksual. Perilaku konsumtif pada pria metroseksual dapat tergambar dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap seorang pria metroseksual pada hari Jum’at, tanggal 16 November 2007 di satu pusat perbelanjaan di kota Medan.

“Hari gini, cowok tu harus wangi, rapi, bersih supaya cewek-cewek pada suka. Aku pasti belanja la. Biasanya sih aku belanja perlengkapan-perlengkapan laki-laki, kayak deodorant, body lotion, aftershave, pelembab muka, parfum klo ada yang baru. Baju dan celana juga lo. Beli kaos atau polo shirt. Aku suka beli-beli yang gak perlu kadang-kadang. Nanti niatnya beli apa yang dibeli bisa lebih dari itu, maklum la. Makanya aku suka ke pusat perbelanjaan. Kadang-kadang kalau ada waktu, aku juga suka creambath ke salon atau massage, enak lo, apalagi kalau udah capek di kantor. Lagian kalo kita gak kayak gini sekarang, kita bisa kalah ma cewek-cewek zaman sekarang. Ntar kita gak punya kerjaan lagi kalo gitu”

Belanja merupakan kata yang sebenarnya sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun di dalam rumah tangga. Kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu (Tambunan, 2003). Melalui pemaparan masalah diatas maka peneliti ingin mengetahui perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan.

I.B. Perumusan Masalah

Dahulu hanya kaum wanita yang identik dengan hobi belanja, melakukan perawatan diri di salon, membeli produk kosmetik dan kecantikan, dan


(20)

mengetahui merek yang bagus dan bukan. Semenjak banyak wanita bekerja, para pria mulai ingin tampil lebih menarik di lingkungan kerja dan akhirmya penampilan merupakan salah satu kriteria dalam penilaian karyawan. Sehingga membuat para pria sekarang melakukan hal-hal yang dilakukan para wanita.

Dari uraian diatas penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan.

I. C. Pertanyaan Penelitian

Permasalahan utama yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan dilihat dari indikator-indikator perilaku konsumtif tersebut.

I. D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan.

I. E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah memperkaya khazanah ilmu psikologi khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, mengenai perilaku konsumtif pada pria metroseksual di kota Medan.

2. Manfaat praktisnya dapat digunakan bagi bidang pemasaran sebagai dasar menentukan strategi pemasaran untuk perkembangan perusahaan.


(21)

I. F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian.

Bab II Landasan Teori

Dalam bab ini akan diuraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi landasan teori dari perilaku konsumtif.

Bab III Metodologi Penelitian

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item, dan reliabilitas serta metode analisis data.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Pria Metroseksual

II. A. 1. Pengertian Pria Metroseksual

Definisi metroseksual pertama kalinya dikemukakan oleh Mark Simpson (1994) sebagai orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan dan tinggal di kota metropolis atau sekitarnya, mungkin seorang gay, heteroseksual ataupun biseksual, tetapi hal ini sebenarnya tidak penting karena pria metroseksual menjadikan dirinya sendiri sebagai preferensi seksualnya.

Pria metroseksual adalah pria yang umumnya hidup di kota besar, punya banyak uang, dengan gaya hidup urban yang royal dan hedonis. Pria metroseksual gemar berbelanja di mal atau butik, dan suka berkumpul di kafe. Hal itu dilakukan bukan untuk sekedar berbelanja, tetapi lebih untuk kepuasan pribadi terhadap berbelanja (Kartajaya, 2004). Karena umumnya hidup di kota besar, pria metroseksual sangat brand-minded dan sangat tahu nama merek yang bagus dan yang tidak (Skripsiadi & Aning, 2005).

Pria metroseksual juga akan melakukan berbagai hal agar dirinya terlihat semakin sempurna. Ia rela mengeluarkan banyak uang agar ia menjadi seseorang yang ia inginkan. Bentuk tubuh yang kurang bagus dapat diperbaiki dengan melakukan olahraga di pusat kebugaran, diet dan sebagainya. Bentuk rambut dapat dibentuk sesuai dengan yang diinginkan dengan melakukan perawatan di salon. Pria metroseksual betah berjam-jam di salon untuk melakukan perawatan


(23)

rambut, wajah, kaki dan tangan, juga menghilangkan bulu-bulu di lengan atau punggung (Skripsiadi & Aning, 2005).

II. A. 2. Ciri-ciri Pria Metroseksual

Menurut Askmen (2005), ukuran 70kg/180cm adalah ukuran ideal bagi para pria metroseksual. Umumnya pria metroseksual mempunyai sifat romantis, realistis, loyal, berfikiran terbuka, dan easy going. Pria mteroseksual adalah pekerja keras, tetapi tidak melupakan kesenangan hidup. Pria metroseksual terkenal “cantik”, wangi, pesolek, percaya diri, tampan, dan matang baik secara ekonomi, mental, perilaku, maupun secara penampilan. Pria metroseksual bisa dijumpai dengan mudah di tempat-tempat seperti kafe, rumah makan, coffee shop, klub malam dan terkadang di bioskop.

Ciri-ciri pria metroseksual yang lain dikemukakan oleh Kartajaya dkk (2004), yaitu :

1. Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar di mana hal ini tentu saja berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan, dan gaya hidup yang dijalani dan secara jelas akan mempengaruhi keberadaan mereka. 2. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena banyaknya

materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup yang dijalani. 3. Memilih gaya hidup urban dan hedonis.

4. Secara intens mengikuti perkembangan fesyen di majalah-majalah mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fesyen terakhir yang mudah diikuti.


(24)

5. Umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy dan sangat memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh.

II. A. 3. Faktor Penyebab Pria Metroseksual

Menurut Kartajaya (2004) kemunculan pria metroseksual disebabkan oleh 1. Makin banyak wanita yang bekerja. Kehadiran wanita karier di tempat

kerja yang sebelumnya lebih banyak didominasi kaum pria tentu menuntut rekan prianya untuk juga menjaga penampilan, misalnya dengan berbusana rapi, bertubuh bugar, dan berbau harum.

2. Proporsi pekerja kantor yang terus bertambah sehingga membuat pria dituntut tampil menarik. Kita akan lebih tertarik berbisnis dengan seseorang yang berpakaian rapi daripada sebaliknya.

3. Peranan wanita sebagai pasangan pria metroseksual. Para wanita memperhatikan penampilan pasangannya agar terlihat menarik seperti para wanita tersebut.

4. Kehadiran majalah-majalah pria seperti FHM, Maxim, GQ, Esquire serta Popular dan Male Emporium di Indonesia, yang terus menambah jumlah halaman fashion mereka. Menampilkan gambar-gambar pria dengan tubuh yang ideal dan mengenakan busana dari perancang ternama yang sedang digemari pada saat ini.


(25)

II. B. Perilaku Konsumtif

II. B. 1. Pengertian Perilaku Konsumtif

Kata “konsumtif” sering diartikan sama dengan “konsumerisme”. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal (Tambunan, 2003).

Perilaku konsumtif juga dapat didefinisikan sebagai perilaku membeli barang atau jasa yang berlebihan, walaupun tidak dibutuhkan (Moningka, 2006). Dahulu orang berbelanja karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Saat ini orang berbelanja karena berbagai macam sebab, untuk memanjakan diri sendiri, menyenangkan orang lain, membeli sesuatu dengan alasan hari raya, atau karena potongan harga. Bahkan, hanya sekedar gengsi, memperlihatkan dengan status sosial tertentu dapat berbelanja di tempat “X” dan mampu membeli barang dengan merek ternama. Tanpa disadari, alasan-alasan tersebut membuat seseorang hidup dalam gaya hidup konsumtif.

Mowen dan Minor (2002) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan membeli produk atau jasa tertentu untuk memperoleh kesenangan atau hanya perasaan emosi. Pengertian perilaku konsumtif tersebut sejalan dengan pendapat Dahlan yakni suatu perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah yang berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola


(26)

hidup manusia yang dikendalikan oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata (dalam Sumartono, 2002).

II. B. 2. Tipe-Tipe Perilaku Konsumtif

Menurut Moningka (2006) ada 3 tipe perilaku konsumtif, yaitu:

1. konsumsi adiktif (addictive consumption), yaitu mengkonsumsi barang atau jasa kerena ketagihan.

2. konsumsi kompulsif (compulsive consumption), yaitu berbelanja secara terus menerus tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya ingin dibeli. 3. pembelian impulsif (impulse buying atau impulsive buying). Pada impulse

buying, produk dan jasa memiliki daya guna bagi individu. Pembelian produk atau jasa tersebut biasanya dilakukan tanpa perencanaan.

II. B. 3. Indikator Perilaku Konsumtif

Sumartono (1998) menyatakan bahwa konsep perilaku konsumtif amatlah variatif, tetapi pengertian perilaku konsumtif adalah membeli barang atau jasa tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan. Secara operasional indikator perilaku konsumtif adalah :

1. Membeli produk karena hadiahnya.

Individu membeli suatu barang karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut.


(27)

Konsumen pria metroseksual mudah terbujuk untuk membeli produk yang dibungkus dengan rapi dan dihias dengan warna-warna yang menarik. 3. Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi.

Kosumen pria metroseksual mempunyai keinginan yang tinggi, karena pada umumnya mereka mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya bertujuan agar pria metroseksual selalu berpenampilan menarik. Mereka membelanjakan uangnya lebih banyak untuk menunjang penampilan diri.

4. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya).

Konsumen pria metroseksual cenderung berperilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap paling mahal.

5. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status.

Pria metroseksual mempunyai kemampuan membeli yang tinggi dalam berpakaian, berdandan, gaya potong rambut, dan sebagainya sehingga dapat menunjukkan sifat ekslusif dengan citra yang mahal dan memberi kesan berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi. Dengan membeli suatu produk dapat memberikan simbol status agar kelihatan menarik dimata orang lain.

6. Memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk.


(28)

Pria metrseksual cenderung meniru tokoh yang diidolakan dalam bentuk menggunakan segala sesuatu yang dipakai tokoh yang diidolakannya. Pria metroseksual cenderung dan mencoba produk yang ditawarkan bila ia mengidolakan public figure produk tersebut.

7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi.

Pria metroseksual sering terdorong untuk mencoba suatu produk karena mereka percaya yang dikatakan oleh iklan yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Cross dan Cross (dalam Hurlock, 1997) juga menambahkan bahwa dengan membeli produk yang mereka anggap dapat mempercantik penampilan fisik, mereka akan menjadi lebih percaya diri.

8. Mencoba lebih dari 2 produk sejenis (merek berbeda).

Pria metroseksual cenderung menggunakan produk jenis sama dengan merek yang lain dari yang sebelumnya ia gunakan meskipun produk tersebut belum habis dipakainya.

II. B. 4 Faktor-Faktor Perilaku Konsumtif

Menurut Kottler dan Amstrong (1997) ada beberapaa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam proses perilaku pembelian. Berdasarkan konteks pria metroseksual maka faktor-faktor yang mempengaruhi adalah :

1. Pekerjaan

Pria metroseksual kebanyakan adalah eksekutif muda. Masalah penampilan jelas terlihat dari pakaian dengan segala atributnya seperti


(29)

dasi, sepatu sampai parfum dan sebagainya. Faktor yang relevan dengan sisi penampilan juga ditambah dengan perawtan tubuh mulai dari salon, spa dan klub fitnes.

2. Situasi ekonomi

Kartajaya,dkk (2004) mengatakan bahwa pria metroseksual biasanya berasal dari kalangan dengan penghasilan ekonomi yang besar. Besarnya materi yang dikeluarkan untuk menunjang perilaku konsumtif yang mereka lakukan bukan menjadi masalah.

II. D. Gambaran Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual

Umumnya pria metroseksual merupakan pria hobi belanja di mal atau butik, melakukan perawatan diri ke salon, membentuk badan di pusat kebugaran dan suka berkumpul di kafe. Mereka betah berjam-jam jalan-jalan di mal, dan itu dilakukan bukan untuk tujuan berbelanja, tapi lebih pada kesenangam berbelanja (Skripsiadi & Aning, 2005).

Melalui riset yang dilakukan oleh MarkPlus&Co, fenomena diatas terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya dan Medan. Para pria metroseksual adalah pria-pria kelas atas (para pengusaha) yang telah mapan dalam karir dan finansial. Mereka menghabiskan waktu dan biaya untuk melakukan perawatan diri dan membeli model baju terbaru saat ini. Di dalam bersosialisasi, pria metroseksual tidak kalah dengan wanita. Para pria metroseksual memiliki komunitas sendiri yang terdiri dari pria metroseksual


(30)

dan wanita pekerja yang mempunyai ciri yang sama dengan para pria metroseksual (Kartajaya, 2004).

Pria metroseksual sering menggunakan majalah mode sebagai referensi dalam berbelanja, khususnya berbelanja kebutuhan mereka sehari-hari seperti,shampo, obat menghilangkan bau pada tubuh, minyak wangi, busa penghilang bulu-bulu di wajah, minyak rambut, pelembab muka dan pakaian. Mereka juga sangat suka mencoba produk-produk baru yang dikeluarkan oleh merek yang biasa mereka gunakan. Para pria metroseksual tidak mengeluarkan biaya yang sedikit untuk memenuhi kebutuhan mereka tersebut.

Hal-hal diatas dilakukan oleh pria metroseksual karena pria-pria ini umumnya tinggal di kota-kota besar, punya uang banyak, gaya hidup royal yang umumnya sangat brand minded. Kehadiran wanita karier di tempat kerja yang sebelumnya lebih banyak didominasi kaum pria tentu menuntut rekan prianya untuk juga menjaga penampilan, misalnya dengan berbusana rapi, bertubuh bugar, dan berbau harum. Proporsi pekerja kantor yang terus bertambah sehingga membuat pria dituntut tampil menarik. Peranan wanita sebagai pasangan pria metroseksual. Kehadiran majalah-majalah pria seperti FHM, Maxim, GQ, Esquire serta Popular dan Male Emporium di Indonesia, yang terus menambah jumlah halaman mode mereka.

Dan hasil yang diperoleh berdasarkan Indonesian Metrosexual Behavioral Survey yang dilakukan MarkPlus&Co, para pria metroseksual memang sangat gemar dalam hal berbelanja (Yuswohady, 2006)


(31)

II. E. Pertanyaan Penelitian

Permasalahan utama yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Ingin mendapatkan gambaran umum perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan.

2. Bagaimana gambaran perilaku konsumtif terhadap produk yang memberikan hadiah.

3. Bagaimana gambaran perilaku konsumtif terhadap kemasan yang menarik.

4. Bagaimana gambaran perilaku konsumtif terhadap penampilan diri dan gengsi.

5. Bagaimana gambaran perilaku konsumif terhadap harga bukan atas manfaat dan kegunaannya.

6. Bagaimana gambaran perilaku konsumtif karena menjaga simbol status.

7. Bagaimana gambaran perilaku konsumtif karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk.

8. Bagaimana gambaran perilaku konsumtif karena membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan percaya diri tinggi.

9. Bagaimana gambaran perilaku konsumtif karena memakai 2 produk sejenis (merek berbeda).


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan penelitian yang tertulis di Bab Pendahuluan, penulis ingin mendapatkan gambaran perilaku konsumtif pada pria metroseksual di Medan. Sehingga penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif.

Metode deskriptif merupakan metode yang menggambarkan dengan sistematik dan akurat, fakta dengan tidak bermaksud menjelaskan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun implikasi (Azwar, 1999). Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena yang terjadi, tanpa bermaksud mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum (Hadi, 2000).

III. A. Variabel Penelitian

III. A. 1. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah perilaku konsumtif.

III. A. 2. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Pada penelitian ini pengukuran perilaku konsumtif didasarkan pada defenisi yang dikemukakan oleh Sumartono (1998). Definisi operasional dari perilaku konsumtif adalah perilaku membeli barang atau jasa yang tidak terlalu dibutuhkan dikalangan pria metroseksual tanpa pertimbangan yang rasional, dan barang atau jasa tersebut bukan merupakan kebutuhan yang mendesak yang


(33)

diukur dengan menggunakan skala perilaku konsumtif. Skala perilaku konsumtif disusun dari indikator perilaku konsumtif yang dikemukakan oleh Sumartono (1998) yaitu membeli produk karena kemasannya menarik, membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi, membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status, memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk, munculnya penilaian bahwa produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri tinggi dan mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda)..

Aitem pernyataan perilaku konsumtif yang dibuat memiliki empat respon jawaban yang harus dipilih salah satu oleh subjek, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yang bersifat favorable dan unfavorable. Skor skala yang diperoleh merupakan gambaran perilaku konsumtif pria metroseksual.

III. B. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel III. B. 1. Populasi dan Sampel

Hadi (2000) mengemukakan bahwa semua individu yang memiliki generalisasi keadaan atau kenyataan yang sama disebut dengan populasi, sedangkan individu yang diselidiki yang merupakan bagian dari populasi disebut sampel. Sehubungan dengan hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa sampel harus mencerminkan keadaan populasinya, agar sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah pria metroseksual.


(34)

III. B. 2. Metode Pengambilan Sampel

Sampling adalah cara atau metode yang digunakan untuk mengambil sampel (Hadi, 2000). Adapun teknik sampling digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar mewakili populasi.

Pada penelitian ini responden diperoleh melalui teknik non probability sampling secara incidental yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel, dimana pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000). Pada teknik ini besarnya sampel tidak diperhitungkan. Menurut Hadi (2000), sebenarnya tidaklah ada suatu ketetapan yang mutlak berapa persen suatu sampel harus diambil dari populasi. Peneliti menetapkan sendiri atau memilih sampling mana yang akan dijadikan sebagai sampel dengan bertolak pada asumsi bahwa sampel yang diambil memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.

Adapun karakteristik subjek penelitian dalam penelitian ini adalah: 1. Laki-laki metroseksual.

Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri pria metroseksual seperti “cantik”, wangi, pesolek, percaya diri, tampan, dan tampan baik secara ekonomi, mental,


(35)

perilaku, maupun secara penampilan. Juga pengisian kuisioner yang diberikan sebelum mengisi skala yang sebenarnya.

2. Berdomisili di kota Medan.

III. C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan terhadap pria metroseksual.

III. D. Alat Ukur atau Instrumen Pengukuran III. D. 1. Skala Perilaku konsumtif

Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah metode skala. Penelitian ini menggunakan metode skala mengingat data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut:

a. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

b. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada penyelidik adalah benar dan dapat dipercaya.

c. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penyelidik. Skala perilaku konsumtif dikembangkan oleh peneliti berdasarkan berdasarkan indikator dari Sumartono (1998) yaitu :


(36)

1. Membeli produk karena hadiah.

2. Membeli produk karena kemasannya menarik.

3. Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi.

4. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya).

5. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status.

6. Memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk.

7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi.

8. Mencoba lebih dari 2 produk sejenis (merek berbeda).

Masing-masing faktor memiliki sebagian pernyataan mendukung (favorable) dan sebagian tidak mendukung (unfavorable). Jumlah keseluruhan item dalam skala adalah 80 aitem, yang terdiri dari 40 aitem favorable dan 40 aitem unfavorable.

Alat ukur ini menggunakan aitem-aitem yang disusun dengan penskalaan model likert, yang mana setiap butir item memiliki empat kemungkinan jawaban yang bergerak dari “Sangat Sesuai” hingga “Sangat Tidak Sesuai”. Item-item disusun berdasarkan yang favorable dan unfavorable. Item favorable jawaban “Sangat Sesuai” akan di beri skor 4 demikian seterusnya sampai jawaban “ Sangat Tidak Sesuai” diberi skor 1. Item unfavorable, jawaban “Sangat Tidak Sesuai” diberi skor 4 dan seterusnya sampai jawaban “Sangat Sesuai” diberi skor 1 (Azwar, 1997).


(37)

Agar lebih jelasnya, cara penilaian skala perilaku konsumtif yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Cara Penilaian Skala Perilaku konsumtif

Bentuk Pernyataan Skor

1 2 3 4

Favorable STS TS S SS

Unfavorable SS S TS STS

Skor total yang diperoleh oleh subjek penelitian merupakan petunjuk tinggi rendahnya perilaku konsumtif pria metroseksual. Semakin tinggi skor yang dicapai maka semakin tinggi perilaku konsumtif pria metroseksual. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai maka semakin rendah perilaku konsumtif pria metroseksual.

Pengklasifikasian tinggi rendahnya perilaku konsumtif yang dilakukan subyek pada penelitian ini dilakukan dengan mencari mean dan standar deviasi dengan metode SPSS 12.0 for Windows dan kemudian membuat rentang sebanyak lima klasifikasi, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi berdasarkan rumus:

Kategori Skor

Rendah X < (µ - 1.0σ) Sedang (µ - 1.0σ) ≤ X < (µ + 1.0σ)

Tinggi (µ + 1.0σ) X ≤

Distribusi item-item skala yang akan digunakan dalam uji coba alat ukur dapat dilihat pada tabel 2 berikut:


(38)

Tabel 2. Blue Print Perilaku Konsumtif Sebelum Uji Coba No. Aspek Item Favorable Item Unfavorable Jumlah 1. Indikator membeli produk

karena hadiah 2 5 7

2. Indikator membeli produk

karena kemasan yang menarik 3 4 7

3.

Indikator membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi

5 2 7

4.

Indikator membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaanya)

3 4 7

5. Indikator membeli produk

sekedar menjaga simbol status 4 3 7

6.

Indikator memakai produk karena usur konformitas terhadap model yang mengiklankan

3 4 7

7.

Indikator membeli produk karena harga yang mahal akan menimbulkan harga diri tinggi

4 3 7

8. Indikator mencoba lebih dari 2

produk sejenis 4 3 7

Jumlah 28 28 56

III. D. 2. Uji Coba Alat Ukur 1. Tujuan

Skala perilaku konsumtif yang telah selesai dibuat, diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan dalam penelitian yang sesungguhnya. Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk :


(39)

a. Melihat seberapa jauh alat ukur perilaku konsumtif dapat mengungkap dengan tepat perilaku konsumtif pada pria metroseksual di kota Medan. b. Seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian

pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya. c. Kedua hal ini merupakan syarat harus dipenuhi oleh suatu alat ukur

(Azwar, 1999).

2. Uji Validitas Alat Ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Validitas suatu alat ukur dalam suatu penelitian sangat diperlukan karena melalui pengujian validitas dapat diketahui seberapa cermat suatu alat ukur melakukan fungsinya. Validitas ukuran itu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) Seberapa jauh alat ukur dapat mengungkap gejala-gejala yang akan diukur. (2) Seberapa jauh alat ukur mengungkap keadaan gejala-gejala yang diteliti (Hadi, 2000). Pembuatan alat ukur didasarkan pada blue print dan professional judgement (Kerlinger, 1990).

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi butir-butir pernyataan tes dalam menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung


(40)

makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2000). Reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Pada penelitian ini estimasi reliabilitas dilihat dengan menggunakan koefisien alpha cronbach. (dalam Azwar, 2000).

III. E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian III. E. 1. Persiapan Penelitian

Persiapan alat ukur penelitian telah dilakukan peneliti sebelumnya dengan mengujicobakan skala.

III. E. 2. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian untuk memperoleh data sesungguhnya dilakukan setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur penelitian. Pengambilan data dilakukan pada tanggal yang direncanakan. Subjek yang diteliti adalah pria metroseksual. Lokasi penelitian adalah di kota Medan. Jumlah pria metroseksual yang menjadi sampel penelitian berjumlah 100 orang. Penentuan sampel dilakukan dengan nonprobability sampling secara incidental yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel. Pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang disesuaikan dengan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.


(41)

Pengambilan data dilakukan dengan membagikan skala kepada pria metroseksual yang ada di kota Medan.

III. F. Metode Analisis Data

Azwar (1999) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan dapat diinterpretasikan.

Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis statistik. Alasan yang mendasari digunakannya analisis statistik adalah karena statistik dapat menunjukkan kesimpulan atau generalisasi penelitian. Pertimbangan lain adalah : (a) statistik bekerja dengan angka; (b) statistik bersifat objektif; dan (c) statistik bersifat universal (Hadi, 2000).

Dalam penelitian ini, analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran atau memberikan deskriptif mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh untuk kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.

Data yang diperoleh akan diolah dengan metode statistik. lebih jelasnya pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS 13.0 for windows.


(42)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini menguraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang ingin dilihat dari penelitian ini maupun analisa tambahan terhadap data yang ada.

IV. A. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjumlah 100 orang yang keseluruhannya adalah pria bekerja di kota Medan. Dari skala yang dibagikan kepada subjek, diperoleh gambaran mengenai perilaku konsumtif, indikator perilaku konsumtif, dan peninjauannya dari karakteristik sampel yaitu pekerjaan dan gaji.

IV. A. 1. Pekerjaan Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pria bekerja di kota Medan. Tabel 3. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan

N

% of total N

PNS 19 19%

Pegawai Swasta 42 42%

Wiraswasta 39 39%


(43)

Tabel 3 menunjukkan bahwa pegawai swasta yang paling banyak menjadi subjek penelitian ini yaitu 42 orang (42%) dan yang paling sedikit menjadi subjek penelitian adalah Pegawai Negri Sipil (PNS) yaitu 19 Orang (19%).

IV. A. 2. Gaji Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah pria bekerja di kota Medan dengan penyebaran gaji meliputi:

Tabel 4. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Gaji Kategori Gaji

Gaji (dlm Rupiah)

N

% of total N

A 1 juta s/d < 2 juta 16 16%

B 2 juta s/d < 3 juta 26 26%

C 3 juta s/d < 4 juta 31 31%

D < 4 juta 27 27%

Total 100 100%

Tabel 4 menunjukkan pembagian subjek penelitian menurut gaji, yaitu gaji kategori A sebanyak 16 orang (16%), B sebanyak 26 orang (26%), C sebanyak 31 orang (31%), dan D sebanyak 27 orang (27%).

IV. B. Hasil Utama Penelitian

Dari penelitian ini diperoleh gambaran tentang perilaku konsumtif pada pria metroseksual di kota Medan. Gambaran diperoleh secara umum untuk setiap indikator perilaku konsumtif yang terdiri dari skor minimum, skor maksimum, mean skor dan standar deviasi.


(44)

IV. B. 1. Gambaran Umum Skor Perilaku Konsumtif

Gambaran umum skor stres kerja dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: Tabel 5. Gambaran Umum Perilaku Konsumtif

Variabel N Min Maks Mean SD

Perilaku Konsumtif 100 64.00 110.00 95.7200 9.12548

Berdasarkan Tabel 5 untuk gambaran umum perilaku konsumtif dengan mean = 95.7200 yang dibulatkan menjadi 95, standar deviasi = 9.12548 yang dibulatkan menjadi 9, maka diperoleh pengkategorian perilaku konsumtif dengan perhitungan sebagai berikut:

Tabel 6. Kategori Skor Perilaku Konsumtif Variabel

Rentang Nilai Kategori Skor Jumlah Persentase Perilaku

Konsumtif

105 < x Tinggi 11 11%

87 < x ≤ 105 Sedang 70 70%

X ≤ 87 Rendah 19 19%

Dilihat dari Tabel 6, perilaku konsumtif pada pria metroseksual di kota Medan, yang tergolong kedalam kategori tinggi sebanyak 11 orang (11%), tergolong ke dalam kategori sedang sebanyak 70 orang (70%), dan tergolong ke dalam kategori rendah sebanyak 19 orang (19%).

IV. C. Hasil Tambahan Penelitian

Selanjutnya akan diuraikan ulasan interpretasi hasil tambahan penelitian berupa perilaku konsumtif yang terdiri dari faktor keterkaitan pekerjaan dan gaji.


(45)

IV. C. 1. Gambaran Perilaku Konsumtif Berdasarkan Karakteristik Subjek IV. C. 1. 1. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Pekerjaan

Tabel 7. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Pekerjaan

Berdasarkan nilai mean perilaku konsumtif dengan karakteristik pekerjaan dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif pada wiraswasta lebih menonjol dibandingkan dengan pegawai swasta dan pegawai negeri sipil.

IV. C. 1. 2. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Gaji

Gambaran perilaku konsumtif ditinjau dari gaji dapat dilihat pada Tabel 8 berikut:

Tabel 8. Gambaran Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Gaji

Gaji N Mean SD Max. Min.

Perilaku Konsumtif

Tinggi Sedang Rendah A 16 1.81 0.54 3 1 1

(1%)

11 (11%)

4 (4%) B 26 1.92 0.56 3 1 3

(3%)

18 (18%)

5 (5%) C 31 1.83 0.52 3 1 2 22 7 Pekerjaan N Mean SD Max. Min.

Perilaku Konsumtif

Tinggi Sedang Rendah PNS 19 1.74 0.57 3 1 1

(1%)

12 (12%)

6 (6%) Pegawai Swasta 42 1.80 0.55 3 1 3

(3%)

28 (28%)

11 (11%) Wiraswasta 39 2.12 0.47 3 1 7

(7%)

30 (30%)

2 (2%)

Total 100 11

(11%)

70 (70%)

18 (18%)


(46)

D 27 2.07 0.54 3 1 5 (5%) 19 (19%) 3 (3%)

Total 100 11

(11%) 60 (60%) 19 (19%) Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean perilaku konsumtif dengan karakteristik gaji dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif dengan gaji D lebih menonjol dibandingkan dengan perilaku konsumtif dengan gaji A, B, dan C.

IV. C. 2. Gambaran Skor Indikator-indikator Perilaku Konsumtif Berdasarkan Karakteristik Subjek

IV. C. 2. a. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Karena Hadiah Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Gambaran skor indikator membeli produk karena hadiah ditinjau dari karakteristik pekerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Karena Hadiah Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 1.94 0.77

Pegawai Swasta 42 1.95 0.53

Wiraswasta 39 2.35 0.53

Gaji

A 16 1.93 0.57

B 26 2.19 0.63

C 31 2.09 0.59


(47)

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator membeli produk karena hadiah lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori B.

IV. C. 2. b. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Karena Kemasan Menarik Berdasarkan Karakteristik Subjek

Gambaran skor indikator membeli produk karena kemasan yang menarik ditinjau dari karakteristik pekerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Karena Kemasan Menarik Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 2.53 0.51

Pegawai Swasta 42 2.28 0.54

Wiraswasta 39 2.56 0.50

Gaji

A 16 2.37 0.50

B 26 2.50 0.58

C 31 2.29 0.52

D 27 2.55 0.51

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta


(48)

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator membeli produk karena kemasannya menarik lebih menonjol pada perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori D.

IV. C. 2. c. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Demi Menjaga Penampilan Diri dan Gengsi Berdasarkan Karakteristik Subjek Gambaran skor indikator membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi ditinjau dari karakteristik pekerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:

Tabel 11. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Demi Menjaga Penampilan Diri dan Gengsi Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 2.05 0.40

Pegawai Swasta 42 1.97 0.64

Wiraswasta 39 2.15 0.48

Gaji

A 16 1.94 0.57

B 26 2.08 0.48

C 31 2.03 0.65

D 27 2.15 0.45

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi lebih menonjol lebih menonjol dalam


(49)

perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori D.

IV. C. 2. d. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Atas Pertimbangan Harga Berdasarkan Karakteristik Subjek

Gambaran skor indikator membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya) ditinjau dari karakteristik pekerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:

Tabel 12. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Atas Pertimbangan Harga Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya) lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria meroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori D.

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 2.00 0.66

Pegawai Swasta 42 1.95 0.58

Wiraswasta 39 2.17 0.45

Gaji

A 16 2.00 0.73

B 26 2.07 0.48

C 31 2.00 0.57


(50)

IV. C. 2. e. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Hanya Sekedar Menjaga Simbol Status Berdasarkan Karakteristik Subjek Gambaran skor indikator membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status ditinjau dari karakkteristik perkerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:

Tabel 13. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Hanya Sekedar Menjaga Simbol Status Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori D.

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 2.05 0.40

Pegawai Swasta 42 2.09 0.57

Wiraswasta 39 2.30 0.46

Gaji

A 16 2.18 0.40

B 26 2.11 0.43

C 31 2.16 0.58


(51)

IV. C. 2. f. Gambaran Skor Indikator Memakai Sebuah Produk Karena Unsur Konformitas Terhadap Model yang Mengiklankan Produk Berdasarkan Karakteristik Subjek

Gambaran skor indikator memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk ditinjau dari karakteristik pekerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 14 berikut:

Tabel 14. Gambaran Skor Indikator Memakai Sebuah Produk Karena Unsur Konformitas Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan prodik lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori A dan D.

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 1.78 0.53

Pegawai Swasta 42 1.97 0.41

Wiraswasta 39 2.07 0.26

Gaji

A 16 2.00 0.51

B 26 1.96 0.44

C 31 1.97 0.31


(52)

IV. C. 2. g. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Mahal Akan Menimbulkan Rasa Percaya Diri Tinggi Berdasarkan Karakteristik Subjek

Gambaran skor indikator munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi ditinjau dari karakteristik pekerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 15 berikut:

Tabel 15. Gambaran Skor Indikator Membeli Produk Mahal Menimbulkan Rasa Percaya Diri Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori D.

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 1.89 0.73

Pegawai Swasta 42 2.00 0.69

Wiraswasta 39 2.35 0.53

Gaji

A 16 2.00 0.81

B 26 2.11 0.65

C 31 2.06 0.67


(53)

IV. C. 2. h. Gambaran Skor Indikator Mencoba Lebih Dari Dua Produk Sejenis (Merek Berbeda) Berdasarkan Karakteristik Subjek Gambaran skor indikator mncoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda) ditinjau dari karakteristik pekerjaan dan gaji dapat dilihat pada Tabel 16 berikut:

Tabel 16. GambaranIndikator Mencoba Lebih Dari Dua Produk Sejenis (Merek Berbeda) Ditinjau dari Karakteristik Subjek

Keterangan:

A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta C : Rp 3 juta s/d < Rp 4 juta B : Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta D : > Rp 4 juta

Berdasarkan nilai mean, dapat dilihat bahwa indikator mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda) lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan gaji kategori D.

Karakteristik N Mean SD

Pekerjaan PNS 19 1.68 0.58

Pegawai Swasta 42 1.88 0.55

Wiraswasta 39 1.94 0.39

Gaji

A 16 1.87 0.50

B 26 1.84 0.61

C 31 1.80 0.47


(54)

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

V. A. Kesimpulan

Setelah melihat keseluruhan hasil penelitian yang pembahasannya telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini dapat disimpulkan, bahwa 1. Berdasarkan kategorisasi yang dibuat, maka diperoleh hasil bahwa yang

paling banyak ditemukan adalah jumlah subjek penelitian yang memiliki perilaku konsumtif kategori sedang dengan persentase jumlah mencapai 70% dari total subjek penelitian.

2. Berdasarkan karakteristik subjek, dalam penelitian juga diperoleh hasil tambahan yang memperkaya penelitian ini, yaitu:

a. Perilaku konsumtif lebih menonjol pada subjek dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji > Rp 4 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.

b. Indikator membeli produk karena hadiah lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji Rp 2 juta s/d < Rp 3 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.

c. Indikator membeli produk karena kemasannya menarik lebih menonjol pada perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji > Rp 4 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.


(55)

d. Indikator membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi lebih menonjol lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji > Rp 4 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.

e. Indikator membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya) lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria meroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji > Rp 4 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.

f. Indikator membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji > Rp 4 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.

g. Indikator memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan prodik lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji A : Rp 1 juta s/d < Rp 2 juta dan > Rp 4 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.

h. Indikator munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan


(56)

dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dan memiliki gaji > Rp 4 juta dibandingkan subjek dengan karakteristik lainnya.

i. Indikator mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda) lebih menonjol dalam perilaku konsumtif yang dialami pria metroseksual di Medan dengan karakteristik pekerjaan wiraswasta dibandingkan subjek dan memiliki gaji > Rp 4 juta dengan karakteristik yang lain.

V. B. Diskusi

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran umum perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan. Dengan demikian dapat pula diketahui gambaran umum perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan yang ditinjau dari indikator membeli produk karena hadiah, indikator membeli produk karena kemasan yang menarik, indikator membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi, indikator membeli produk atas pertimbanngan harga bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya, indikator membeli produk sekedar menjaga simbol status, indikator memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk, indikator membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan percaya diri yang tinggi, dan indikator memakai dua produk sejenis (merek berbeda).

Berdasarkan hasil analisa yang diperoleh, maka stres kerja yang dikemukakan oleh Cooper dkk (2003) sesuai dengan yang dialami oleh subjek dalam penelitian ini, yaitu pekerja sosial suku non Aceh di Aceh, dimana menurut Cooper dkk (1998) stres kerja merupakan ketidakmampuan untuk memahami atau


(57)

menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan. Stres kerja ini dipengaruhi sembilan hal yang menjadi faktornya, yaitu keterkaitan pekerjaan dengan kehidupan sosial atau keluarga, karir dan penghargaan, keamanan, persoalan manajemen dan hubungan dengan rekan kerja, lingkungan fisik tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, peran manajerial, ergonomi, serta struktur organisasi (Cooper, 1996).

Scholte dkk (2006) menyatakan bahwa stres merupakan sesuatu yang menimpa pekerja lapangan sebagai hasil dari pengalaman yang traumatik dan penuh tekanan. Sebagaimana International Federation of Red Cross and Red Crescent Society (dalam McFarlane, 2004) juga menyatakan bahwa usaha-usaha yang dilakukan pekerja sosial seringkali berkaitan dengan konflik, daerah miskin atau bencana, yang selama masa darurat kompleks ini, staf kemanusiaan berada dalam resiko untuk mengalami stres trauma akut dan kumulasi stres harian yang terus terjadi. Hidayat (2004) juga telah mengadakan suatu penelitian terhadap pekerja sosial, yang menyimpulkan bahwa faktor penghambat kinerja pekerja sosial dalam konteks psikologi pada akhirnya dapat berkaitan dengan fenomena stres.

Disamping mengungkap gambaran stres kerja pekerja sosial suku non Aceh secara umum, penelitian ini juga mengungkap stres kerja pekerja sosial suku non Aceh ditinjau dari karakteristik yang dimiliki subjek penelitian yang meliputi usia, status, wilayah kerja dan gaji. Berdasarkan karakteristik usia subjek dapat dilihat bahwa pekerja sosial suku non Aceh di Aceh yang berusia


(58)

30-34 tahun mendominasi hasil pada penelitian tambahan, yaitu pada stres kerja dan juga pada tujuh dari sembilan faktor yang ada. Hal ini tidak sesuai dengan penjelasan Cooper dkk (2003) dalam penelitiannya terdahulu bahwa kaitan antara usia dengan stres kerja, terutama bila ditinjau dari faktor struktur organisasi, maka pekerja yang lebih tua, dengan pengalaman mereka yang lebih banyak, akan mampu beradaptasi dengan lebih baik dalam menghadapi tekanan pekerjaan. Hidayat (2004) juga yang menyatakan bahwa faktor umur sedikit banyak dapat membantu peningkatan pemahaman, pengetahuan dan kemampuan pekerja dalam memberikan pelayanan. Mistiani (2005) menyatakan pula bahwa secara logika semakin tua usia pekerja semakin banyak asam garam kehidupan yang telah mereka rasakan sehingga semakin banyak pula kesabaran dan pengertian yang dimiliki. Hal ini tampak dari pengharapan-pengharapan yang tidak terlalu tinggi serta penyesuaian-penyesuaian yang lebih baik terhadap berbagai situasi yang terjadi di lingkungan kerja mereka, akibatnya mereka cenderung lebih mudah terpuaskan (mensyukuri) dengan pekerjaan-pekerjaan yang mereka dapatkan dan telah mereka lakukan. Bertolak belakang dari hal tersebut di atas maka pegawai yang lebih muda usia karena belum banyak pengalaman maka pada umumnya mereka cenderung kurang mudah terpuaskan disebabkan oleh berbagai pengharapan yang lebih tinggi, lebih sulit untuk menyesuaikan diri, serta penyebab-penyebab lainnya. Namun nyatanya hal-hal yang diungkapkan dalam teori di atas tidak terbukti dalam penelitian ini.


(59)

V. C Saran

V. C. 1 Saran Metodologis

Karena penelitian ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang berangkat dari tujuan utama penelitian yaitu ingin melihat gambaran atau deskriptif stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh, berikut adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk pengembangan penelitian selanjutnya : 1. Penggunaan self administered questionnaire dapat menyebabkan terjadinya

bias informasi, misalnya pernyataan berlebihan tentang stres. Hal ini bisa saja terjadi karena situasi pengisian kuesioner yang tidak kondusif, atau mungkin disengaja subjek terhadap manajemennya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang sama dengan menggunakan sampel yang berbeda atau sampel yang lebih luas, agar dapat dijadikan bahan perbandingan.

2. Untuk memperkaya data hasil penelitian, pengambilan data dapat dilakukan dengan menggunakan tambahan alat ukur observasi dan wawancara.

3. Dapat dilakukan pendekatan kualitatif untuk melihat lebih jauh mengenai aspek-aspek yang mempengaruhi stres kerja pada pekerja sosial.

4. Dikarenakan penelitian tentang pekerja sosial merupakan tema penelitian yang relatif masih baru, maka penelitian ini diharapkan dapat membangun pandangan konseptual dari tema umum yang telah muncul sebelumnya. Dan karena lahan masalah ini baru pula, maka kesempatan untuk mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya juga masih terbuka lebar untuk dilakukan.


(60)

Disamping saran-saran yang diberikan untuk pengembangan penelitian, berikut ini adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk pengembangan lainnya yang berkaitan dengan masalah stres kerja pekerja sosial:

1. Penelitian ini telah menjabarkan sejumlah faktor situasional dan individual pada kinerja pekerja sosial. Sulitnya dukungan untuk pekerja sosial berkaitan erat dengan jarak geografis dan kultur antara organisasi dan pekerjanya. Oleh karena itu, program riset harus dilakukan dalam lingkup kultur dan faktor situasional yang spesifik di setiap daerah agar efektif, sehingga penting untuk mengorganisasi waktu, penerapan pendidikan dan aktivitas yang sesuai untuk mendukung hal ini.

2. Perlu disadari pula bahwa akan terdapat perbedaan pada setiap LSM, baik nasional maupun internasional, kecil atau besar. Dan walupun prinsip manajemen stres yang dipegang harus bersifat universal, implementasi dan indikatornya akan tergantung pada konteks dan kultur organisasi yang berkaitan.

3. Dukungan psikologis terhadap pekerja berasal dari pemahaman bahwa stres tingkat tinggi telah dialami oleh sebagian besar pekerjanya. Padahal sebaiknya pemberian dukungan secara aktif haruslah diberikan secara rutin dan tidak perlu menunggu pandangan ‘pekerja mengalami stres’ terlebih dahulu.

4. Organisasi sebaiknya memastikan bahwa manajer lapangan dan supervisor telah dilatih dengan baik untuk memahami informasi terbaru mengenai masalah keamanan, kesehatan, komunikasi, serta konflik yang mungkin terjadi seperti stres, burnout, atau trauma.


(61)

5. Walaupun stres tidak dapat dihindari, beberapa stres dapat dicegah atau dikurangi tingkatannya. Konsekuensi dari stres sebagai anggota staf individual dapat dikurangi atau dihadapi bersama dengan tindakan yang diambil individu secara pribadi, rekan kerja, manajer, dan organisasi secara keseluruhan.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka Pelajar Yogyakarta Azwar, S. (2000). Realibiltas dan Validitas. Pustaka Pelajar Yogyakarta Hadi, S. (2000). Metodologi Research (1-4). Andi Offset: Yogyakarta.

Kartajaya, Hermawan., Yuswohady, Madyani, Dewi., Christynar, Mathilda., Indrio, Bembi Dwi (2004) Metrosexual in Venus; Pahami Perilakunya, Bidik Hatinya, Menangkan Pasarnya. Jakarta. Penerbit MarkPlus&Co. Kotler, P. Armstrong, G. (1997). Dasar-Dasar Pemasaran Jilid 1. Alih Bahasa:

Alexander Sidoro. Jakarta. Prenhallindo.

Moningka, C. (2006). Konsumtif : antara Gengsi dan Kebutuhan. [online] (http://www.suarapembaruan.com/News/2006/12/13/urban/urb02.htm) Mowen, J.C., Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen. Jakarta. Penerbit Erlangga. Robertson, T.S, Zielenski, J, Ward, S. (1984). Consumer Behaviour. United State

of America. Robertson&Robertson, Inc.

Skripsiadi, Erwin J., Aning, Floriberta (2005) Penuntun Komunikasi dan Tingkah Laku Manusia Modern; Mengenal Budaya dan Tradisi yang Berbeda. Yogyakarta. Enigma Publishing.

Sumartono. (1998). Pengaruh Terpaan Iklan Shampoo di Televisi Terhadap Sikap dan Perilaku Konsumtif Remaja. Bandung : PPS-Unpad

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam Iklan : Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung. Penerbit Alfabeta.

Suriasumantri, J.S. (1996) Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Tambunan, R. (2001). Remaja dan Perilaku Konsumtif . [online] (http://www.duniaesai.com/psikologi/psi3.htm)

Widiastuti, R. (2002). Konsumerisme vs Konsumtivisme; Martabat Perempuan sebagai Konsumen. [online].


(63)

Wikipedia. Kota Medan. [online] (http://id.wikipwedia.org/wiki/medan)

Yuswohady. (2006). Pasar Metroseksual. [online]

(http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=3&id=159528&kat_i d=105&kat_id1=149&kat_id2=259).

(http://lautan.blogspot.com/)


(1)

30-34 tahun mendominasi hasil pada penelitian tambahan, yaitu pada stres kerja dan juga pada tujuh dari sembilan faktor yang ada. Hal ini tidak sesuai dengan penjelasan Cooper dkk (2003) dalam penelitiannya terdahulu bahwa kaitan antara usia dengan stres kerja, terutama bila ditinjau dari faktor struktur organisasi, maka pekerja yang lebih tua, dengan pengalaman mereka yang lebih banyak, akan mampu beradaptasi dengan lebih baik dalam menghadapi tekanan pekerjaan. Hidayat (2004) juga yang menyatakan bahwa faktor umur sedikit banyak dapat membantu peningkatan pemahaman, pengetahuan dan kemampuan pekerja dalam memberikan pelayanan. Mistiani (2005) menyatakan pula bahwa secara logika semakin tua usia pekerja semakin banyak asam garam kehidupan yang telah mereka rasakan sehingga semakin banyak pula kesabaran dan pengertian yang dimiliki. Hal ini tampak dari pengharapan-pengharapan yang tidak terlalu tinggi serta penyesuaian-penyesuaian yang lebih baik terhadap berbagai situasi yang terjadi di lingkungan kerja mereka, akibatnya mereka cenderung lebih mudah terpuaskan (mensyukuri) dengan pekerjaan-pekerjaan yang mereka dapatkan dan telah mereka lakukan. Bertolak belakang dari hal tersebut di atas maka pegawai yang lebih muda usia karena belum banyak pengalaman maka pada umumnya mereka cenderung kurang mudah terpuaskan disebabkan oleh berbagai pengharapan yang lebih tinggi, lebih sulit untuk menyesuaikan diri, serta penyebab-penyebab lainnya. Namun nyatanya hal-hal yang diungkapkan dalam teori di atas tidak terbukti dalam penelitian ini.


(2)

V. C Saran

V. C. 1 Saran Metodologis

Karena penelitian ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang berangkat dari tujuan utama penelitian yaitu ingin melihat gambaran atau deskriptif stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh, berikut adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk pengembangan penelitian selanjutnya : 1. Penggunaan self administered questionnaire dapat menyebabkan terjadinya

bias informasi, misalnya pernyataan berlebihan tentang stres. Hal ini bisa saja terjadi karena situasi pengisian kuesioner yang tidak kondusif, atau mungkin disengaja subjek terhadap manajemennya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang sama dengan menggunakan sampel yang berbeda atau sampel yang lebih luas, agar dapat dijadikan bahan perbandingan.

2. Untuk memperkaya data hasil penelitian, pengambilan data dapat dilakukan dengan menggunakan tambahan alat ukur observasi dan wawancara.

3. Dapat dilakukan pendekatan kualitatif untuk melihat lebih jauh mengenai aspek-aspek yang mempengaruhi stres kerja pada pekerja sosial.

4. Dikarenakan penelitian tentang pekerja sosial merupakan tema penelitian yang relatif masih baru, maka penelitian ini diharapkan dapat membangun pandangan konseptual dari tema umum yang telah muncul sebelumnya. Dan karena lahan masalah ini baru pula, maka kesempatan untuk mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya juga masih terbuka lebar untuk dilakukan.


(3)

Disamping saran-saran yang diberikan untuk pengembangan penelitian, berikut ini adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk pengembangan lainnya yang berkaitan dengan masalah stres kerja pekerja sosial:

1. Penelitian ini telah menjabarkan sejumlah faktor situasional dan individual pada kinerja pekerja sosial. Sulitnya dukungan untuk pekerja sosial berkaitan erat dengan jarak geografis dan kultur antara organisasi dan pekerjanya. Oleh karena itu, program riset harus dilakukan dalam lingkup kultur dan faktor situasional yang spesifik di setiap daerah agar efektif, sehingga penting untuk mengorganisasi waktu, penerapan pendidikan dan aktivitas yang sesuai untuk mendukung hal ini.

2. Perlu disadari pula bahwa akan terdapat perbedaan pada setiap LSM, baik nasional maupun internasional, kecil atau besar. Dan walupun prinsip manajemen stres yang dipegang harus bersifat universal, implementasi dan indikatornya akan tergantung pada konteks dan kultur organisasi yang berkaitan.

3. Dukungan psikologis terhadap pekerja berasal dari pemahaman bahwa stres tingkat tinggi telah dialami oleh sebagian besar pekerjanya. Padahal sebaiknya pemberian dukungan secara aktif haruslah diberikan secara rutin dan tidak perlu menunggu pandangan ‘pekerja mengalami stres’ terlebih dahulu.

4. Organisasi sebaiknya memastikan bahwa manajer lapangan dan supervisor telah dilatih dengan baik untuk memahami informasi terbaru mengenai masalah keamanan, kesehatan, komunikasi, serta konflik yang mungkin terjadi seperti stres, burnout, atau trauma.


(4)

5. Walaupun stres tidak dapat dihindari, beberapa stres dapat dicegah atau dikurangi tingkatannya. Konsekuensi dari stres sebagai anggota staf individual dapat dikurangi atau dihadapi bersama dengan tindakan yang diambil individu secara pribadi, rekan kerja, manajer, dan organisasi secara keseluruhan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka Pelajar Yogyakarta Azwar, S. (2000). Realibiltas dan Validitas. Pustaka Pelajar Yogyakarta Hadi, S. (2000). Metodologi Research (1-4). Andi Offset: Yogyakarta.

Kartajaya, Hermawan., Yuswohady, Madyani, Dewi., Christynar, Mathilda., Indrio, Bembi Dwi (2004) Metrosexual in Venus; Pahami Perilakunya, Bidik Hatinya, Menangkan Pasarnya. Jakarta. Penerbit MarkPlus&Co. Kotler, P. Armstrong, G. (1997). Dasar-Dasar Pemasaran Jilid 1. Alih Bahasa:

Alexander Sidoro. Jakarta. Prenhallindo.

Moningka, C. (2006). Konsumtif : antara Gengsi dan Kebutuhan. [online] (http://www.suarapembaruan.com/News/2006/12/13/urban/urb02.htm) Mowen, J.C., Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen. Jakarta. Penerbit Erlangga. Robertson, T.S, Zielenski, J, Ward, S. (1984). Consumer Behaviour. United State

of America. Robertson&Robertson, Inc.

Skripsiadi, Erwin J., Aning, Floriberta (2005) Penuntun Komunikasi dan Tingkah Laku Manusia Modern; Mengenal Budaya dan Tradisi yang Berbeda. Yogyakarta. Enigma Publishing.

Sumartono. (1998). Pengaruh Terpaan Iklan Shampoo di Televisi Terhadap Sikap dan Perilaku Konsumtif Remaja. Bandung : PPS-Unpad

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam Iklan : Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung. Penerbit Alfabeta.

Suriasumantri, J.S. (1996) Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Tambunan, R. (2001). Remaja dan Perilaku Konsumtif . [online] (http://www.duniaesai.com/psikologi/psi3.htm)

Widiastuti, R. (2002). Konsumerisme vs Konsumtivisme; Martabat Perempuan sebagai Konsumen. [online].


(6)

Wikipedia. Kota Medan. [online] (http://id.wikipwedia.org/wiki/medan)

Yuswohady. (2006). Pasar Metroseksual. [online]

(http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=3&id=159528&kat_i d=105&kat_id1=149&kat_id2=259).

(http://lautan.blogspot.com/)