Fenomena Pria Metroseksual Di Kota Medan

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

FENOMENA PRIA METROSEKSUAL

di KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan oleh:

RIZKY INDAH SARI

040901038

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan

2008


(2)

ABSTRAK

Latar belakang dari penulisan skripsi yang berjudul : Fenomena Pria Metroseksual di Kota Medan ini berangkat dari pemikiran bahwa fenomena pria metroseksual merupakan suatu perilaku yang unik di daerah perkotaan. Memperhatikan penampilan, melakukan perawatan tubuh, hingga hobi nongkrong di cafe dan dugem merupakan perilaku para pria metroseksual yang tidak dilakukan pria lain pada umumnya. Medan termasuk salah satu kota yang merasakan fenomena pria metroseksual. Fenomena pria metroseksual yang ada di kota Medan pada saat ini belum begitu nampak jelas, ini disebabkan karena para pria metroseksual di kota Medan belum mau di katakan sebagai pria metrseksual. Belum adanya komunitas khusus pria metroseksual di kota Medan merupakan salah satu penyebab mengapa para pria metroseksual yang ada di kota Medan belum mau di sebut sebagai pria metroseksual, hal ini juga yang menyebabkan fenomena pria metroseksual di Kota Medan tidak begitu tampak, akan tetapi, eksistensi para pria metroseksual di kota Medan memang sudah dapat dirasakan. Hal ini dapat dilihat dengan bermunculannya tempat-tempat perawatan tubuh khusus pria, butik-butik baju pria, dan berbagai tempat yang menjadi tujuan kaum pria metroseksual.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini berlokasi di kota Medan, Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia yang perkembangan dan kemajuannya menunjang munculnya berbagai fenomena di perkotaan dan salah satu fenomena yang menarik adalah fenomena pria metroseksual. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berkunjung ke tempat perawatan tubuh dan café-café di mall maupun plaza yang ada di kota Medan. Informan dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria yang mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 4.000.000 ( empat juta rupiah) setiap bulannya. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil turun lapangan.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan informasi bahwa para pria metroseksual yang ada di kota Medan memang belum memiliki satu komunitas khusus bagi para pria metroseksual, hal ini kemudian yang menyebabkan para pria metroseksual di kota Medan tidak mau dikatakan sebagai pria metroseksual. Beberapa faktor yang menyebabkan pria menjadi pria metroseksual dikarenakan memang datang dari diri sendiri, karena pergaulan atau lingkungan sekitar, karena adanya sosialisasi dari keluarga yang mengharuskan untuk tampil bersih, rapi dan wangi, dan karena tuntutan dari pekerjaan. Pria metroseksual melakukan perawatan tubuh ada dua cara yaitu pertama dengan cara melakukan perawatan tubuh di salon atau pergi ke gym, sedangkan yang kedua dengan cara melakukan perawatan tubuh di rumah. Selain melakukan perawatan tubuh para pria metroseksual juga suka nongkrong di café atau sering dugem selain itu para pria metroseksula juga suka hunting barang-barang yang bermerek terkenal. Pria metoseksual termasuk pria yang konsumtif.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Hidayah-nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berkat rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat merangkai kata demi kata dan menghadapi berbagai hambatan selama proses penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dengan judul Fenomena Pria Metroseksual di Kota Medan.

Dengan ketulusan hati, skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terima kasih dan sebagai ungkapan rasa sayang yang tak terhingga kepada papa (Alm) H. Bambang Mulyono, SE dan mama Hj. Farida Netty tercinta. Serta buat igoes Ivan Hoesada, S.Si, mbak Dwi Arimbi Puspita Hati dan mbak Dewi Flora Astuti Adin, SE tercinta, dan adikku Idek Hartodinata. Serta seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan moril dan material serta perhatian yang tulus kepada penulis selama ini

Penulis menyadari tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Maka izinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M.Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Dr. Badaruddin, M.si sebagai Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Wali penulis. Terima kasih atas semua ilmu dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis.

3. Ibu Dra. Rosmiani, M.si selaku Sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

4. Rasa hormat dan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk ibu Hj. Harmona Daulay, S.sos.,M.si selaku dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, masukan serta ide-ide dan pemikiran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar khususnya dosen-dosen di Departemen Sosiologi dan pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik khususnya kak Feni dan Kak Betty dan juga yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan andil besar dalam studi penulis.

6. Dengan rasa sayang yang sedalam-dalamnya penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada kedua orang tuaku yang tercinta Alm. Papa H. Bambang Mulyono, SE dan Mama Hj. Farida Netty atas doa, kasih sayang, pengorbanan moril maupun materil dan motivasi dan nasehat yang sangat besar dan tiada henti-hentinya diberikan kepada penulis. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda ucapan terima kasih dan bakti penulis.

7. Terima Kasih kepada Goes Ivan Hoesada S.Si dan mbak Dewi Flora Astuti Adin, mbak Dwi Arimbi Puspita Hati serta adikku Idek Hartodinata yang selalu


(5)

memberikan semangat dan motivasi yang sangat besar kepada penulis sehingga penulis tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis persembahkan kepada Muhammad Lyansyah atas cinta dan kasih sayang, perhatian, doa, dukungan, motivasi, kesabaran dan kesetiaan yang telah di berikan kepada penulis sehingga semua kesulitan dalam penulisan skripsi ini dapat penulis lewati. Semoga cita-cita kita dapat tercapai. Amin..

9. Terima kasih untuk seluruh keluarga Muhammad Lyansyah yang selalu mendoakan, mendukung, memberi semangat kepada penulis. Sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10. Terima kasih buat sahabatku Ira dewani yang selalu memberikan semangat dan selalu membuatku tertawa. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

11.Buat teman-temanku Sosiologi stambuk 2004 ; Dila, Ika, Devi, Hesti, serta semua stambuk 04 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas perhatian dan dukungannya semoga sukses dalam meraih cita-cita.

12.Terima kasih kepada seluruh informan yang telah membantu dan menyediakan waktu untuk memberikan informasi yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini. Skripsi ini tidak akan selesei tanpa bantuan kalian semuanya.

Akhirnya terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas doa, dukungan dan partisipasinya. Semoga amal kebaikan yang telah diberikan senantiasa mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin.


(6)

Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sehingga dapat menambah kesempurnaan kajian dan penulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 2008 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Kata Pengantar... ii

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Defenisi Konsep ... 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pria Metroseksual ... 12

2.2. Gaya Hidup (lifestyle) ... 14

2.3. Media dan Gaya Hidup... 19

2.4. Konsep Gender... 22

2.5. Proses Sosialisasi ... 24

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 29

3.2. Lokasi Penelitian ... 29

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 30

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.5. Interpretasi Data ... 32

3.6. Jadwal Kegiatan ... 33

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 34

BAB IV. DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Profil Kota Medan ... 36

4.1.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 36

4.1.2. Kota Medan Secara Demografis ... 37

4.1.3. Pendidikan ... 38

4.1.4. Agama ... 38

4.1.5. Tempat Peribadatan ... 39

4.1.6. Pusat Perbelanjaan dan Hiburan ... 39

4.2. Penyajian dan Interpretasi Analisis Data ... 45

4.2.1 Profil Informan ... 45

4.2.1.1. HR. Pria Metroseksual yang tidak mau dikatakan pria metroseksual ... 45


(8)

4.2.1.2. MR. Pria Metroseksual yang hobi Dugem ... 47

4.2.1.3. KK. Pria Metroseksual yang pemalu ... 49

4.2.1.4. RA. Pria Metroseksual yang tampan ... 51

4.2.1.5. AB. Pria Metroseksual yang maniak teknologi 53 4.2.1.6. ID. Pria Metroseksual penggaet wanita ... 55

4.2.1.7. DN. Pria Metroseksual yang percaya diri... 57

4.2.1.8. PT. Pria Metroseksual yang ambisius ... 59

4.2.1.9. RZ. Pria Metroseksual yang atletis ... 61

4.2.1.10. ML. Pria Metroseksual yang hobi olah raga ... 63

4.3. Faktor-Faktor Penyebab Menjadi Pria Metroseksual ... 66

4.4. Gaya Hidup Pria Metroseksual ... 72

4.4.1. Gaya Hidup Dalam Penampilan Diri Pria Metroseksual ... 75

4.4.2. Gaya Hidup Pria Metroseksual Dalam Kehidupan Sehari-hari ... 82

4.5. Pria Metroseksual dan Isu Gender ... 85

4.6. Analisa data Pria Metroseksual... 93

BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 101

5.2. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

TABEL 4.1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Pria

Menjadi Pria Metroseksual ... 71 TABEL 4.2. Cara Para Pria Metroseksual Melakukan Perawatan Tubuh... 76 TABEL 4.3. Biaya Yang di Keluarkan untuk ke Salon dan

ke Gym dalam Sebulan ... 79 TABEL 4.4. Tanggapan Masyarakat di Sekitar Pria Metroseksual ... 81 TABEL 4.5. Bias Gender dari Sudut Pandang Masyarakat

Tentang Para Pria Metroseksual ... 90 TABEL 4.6. Bagaiamana Streotipe Yang di dapat Para Pria Metroseksual di Lingkungan Sekitar ... 91


(10)

ABSTRAK

Latar belakang dari penulisan skripsi yang berjudul : Fenomena Pria Metroseksual di Kota Medan ini berangkat dari pemikiran bahwa fenomena pria metroseksual merupakan suatu perilaku yang unik di daerah perkotaan. Memperhatikan penampilan, melakukan perawatan tubuh, hingga hobi nongkrong di cafe dan dugem merupakan perilaku para pria metroseksual yang tidak dilakukan pria lain pada umumnya. Medan termasuk salah satu kota yang merasakan fenomena pria metroseksual. Fenomena pria metroseksual yang ada di kota Medan pada saat ini belum begitu nampak jelas, ini disebabkan karena para pria metroseksual di kota Medan belum mau di katakan sebagai pria metrseksual. Belum adanya komunitas khusus pria metroseksual di kota Medan merupakan salah satu penyebab mengapa para pria metroseksual yang ada di kota Medan belum mau di sebut sebagai pria metroseksual, hal ini juga yang menyebabkan fenomena pria metroseksual di Kota Medan tidak begitu tampak, akan tetapi, eksistensi para pria metroseksual di kota Medan memang sudah dapat dirasakan. Hal ini dapat dilihat dengan bermunculannya tempat-tempat perawatan tubuh khusus pria, butik-butik baju pria, dan berbagai tempat yang menjadi tujuan kaum pria metroseksual.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini berlokasi di kota Medan, Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia yang perkembangan dan kemajuannya menunjang munculnya berbagai fenomena di perkotaan dan salah satu fenomena yang menarik adalah fenomena pria metroseksual. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berkunjung ke tempat perawatan tubuh dan café-café di mall maupun plaza yang ada di kota Medan. Informan dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria yang mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 4.000.000 ( empat juta rupiah) setiap bulannya. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil turun lapangan.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan informasi bahwa para pria metroseksual yang ada di kota Medan memang belum memiliki satu komunitas khusus bagi para pria metroseksual, hal ini kemudian yang menyebabkan para pria metroseksual di kota Medan tidak mau dikatakan sebagai pria metroseksual. Beberapa faktor yang menyebabkan pria menjadi pria metroseksual dikarenakan memang datang dari diri sendiri, karena pergaulan atau lingkungan sekitar, karena adanya sosialisasi dari keluarga yang mengharuskan untuk tampil bersih, rapi dan wangi, dan karena tuntutan dari pekerjaan. Pria metroseksual melakukan perawatan tubuh ada dua cara yaitu pertama dengan cara melakukan perawatan tubuh di salon atau pergi ke gym, sedangkan yang kedua dengan cara melakukan perawatan tubuh di rumah. Selain melakukan perawatan tubuh para pria metroseksual juga suka nongkrong di café atau sering dugem selain itu para pria metroseksula juga suka hunting barang-barang yang bermerek terkenal. Pria metoseksual termasuk pria yang konsumtif.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pria pada umumnya telah dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial dan budaya sebagai sosok yang jantan, perkasa, tidak terlalu memperdulikan penampilan, tidak suka dengan rumitnya mode, tidak suka memasak, ke salon, dan semua kegiatan yang “biasanya” dilakukan para wanita. Masyarakat juga telah memiliki asumsi bahwa yang seharusnya berdandan adalah seorang wanita. Lalu, bagaimana bila seorang pria sangat memperhatikan penampilannya dan merawat tubuhnya mulai dari kepala sampai ujung kaki? Fenomena ini adalah contoh bahwa pada suatu tempat dan waktu tertentu pemikiran manusia tentang suatu nilai yang bahkan telah diyakini dan tertanam dalam di pikirannya dapat berubah, namun untuk merubah apa yang telah tertanam dalam pikiran manusia tersebut membutuhkan proses evolusi pikiran yang cukup lama. Hal ini juga bisa dikatakan sebuah perubahan sosial, yaitu bergesernya struktur dan nilai-nilai yang terdapat pada suatu masyarakat.

Pada beberapa tahun terakhir ini muncul suatu fenomena dikalangan masyarakat khususnya para pria. Sebagian dari para pria menjadi sangat suka merawat diri dengan pergi ke salon, spa, dan lebih memperhatikan penampilan atau lain sebagainya yang bisa membuat mereka merasa lebih fresh, suatu kebiasaan yang semula hanya disukai oleh para wanita sehingga jika pria melakukannya dianggap suatu penyimpangan oleh masyarakat, karena pada umumnya masyarakat telah memiliki nilai tentang bagaimana seharusnya seorang pria dan wanita secara sosial dan budaya seperti yang telah dijelaskan diatas.


(12)

Munculnya pria metroseksual adalah sebuah fenomena yang menunjukkan tentang perubahan pemikiran manusia pada suatu nilai yang sudah lama ada. Seperti yang telah kita ketahui bahwa masyarakat pada umumnya telah merekonstruksikan pemikiran mereka tentang seorang pria. Namun karena terjadinya kemajuan pemikiran manusia tentang beberapa hal maka apa yang telah tertanam di dalam pikiran manusia dapat berubah. Ada beberapa faktor yang dapat mengubah pola pikir dan prilaku manusia antara lain; kondisi ekonomi, kemajuan teknologi, keadaan geografis ataupun biologis. Hal inilah kemudian yang mendorong munculnya pemikiran dan pola tingkah laku manusia yang baru seperti pria metroseksual.

Ide mengenai pria metroseksual sendiri datang dari seorang inggris bernama Mark Simpson didalam artikelnya pada tahun 1994 yang berjudul “Here Come The Mirror Men” .Bagi kaum metroseksual, penampilan memang nomor satu, demi memperkuat sebutan metroseksual yang membanggakan, selain terus bergerak dan menjangkau klub, spa, toko, butik, dan restoran terbaik dimetropolis, mereka sengaja melakukan perawatan untuk sekujur tubuhnya; mulai dari creambath (perawatan tubuh), facial (perawatan muka), manikur-padikur (perawatan kuku kaki-tangan), hingga, menyemprot dengan wewangian

Pola konsumsi yang ada pada masa ini tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam angka memenuhi kebutuhan utilities, akan tetapi ini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol tertentu. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas cultural seseorang atau kelompok


(13)

dimasyarakat. Salah satu dampak dari pola konsumsi adalah berkembangnya berbagai gaya hidup.

Menurut Gervasi : “pilihan-pilihan tidak di buat secara kebetulan, tetapi terkontrol secara sosial, dan menggambarkan model budaya ditengah budaya yang mereka buat. Orang tidak menghasilkan, juga tidak mengkonsumsi benda apa saja”. Mereka harus memiliki beberapa arti menurut pandangan sistem nilai (Jean P. Boudrillard, 1970 : 75)

Konsumsi sendiri sebagai suatu proses menghabiskan nilai-nilai yang tersimpan dalam sebuah objek telah dikaji dalam berbagai sudut pandang. Di kota-kota besar kecenderungan ke arah pembentukkan simbol dan identitas cultural melalui gaya, pakaian, mobil, atau produk lainnya sebagai komunikasi simbolik telah dikondisikan melalui teknik pemasaran yang merupakan pembentukan budaya konsumerisme di dalam masyarakat konsumer Indonesia. Dalam budaya konsumerisme, konsumsi tidak lagi diartikan semata sebagai suatu lintas sosial kebudayaan benda akan tetapi menjadi sebuah panggung sosial yang didalamnya terjadi perang posisi antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Budaya konsumerisme yang berkembang merupakan suatu arena, dimana produk-produk konsumer merupakan suatu media untuk pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Barang-barang konsumer pada akhirnya merupakan sebuah cermin tempat konsumer menemukan makna kehidupan. Konsumsi membentuk semacam totalitas objek-objek dari pesan-pesan yang dibangun didalam sebuah wacana yang saling berkaitan.

Keinginan para metroseksual untuk selalu mengikuti teknologi dan trend produknya, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari latar belakang sosial. Mereka umumnya


(14)

hidup di kota – kota besar, mapan secara ekonomi, sehingga selera teknologi mereka selalu mengikuti trend global. Di samping itu karena tingkat pendidikan yang tinggi, mereka umumnya memiliki akses dan sumber informasi yang sangat luas dari dan ke manapun di seluruh dunia ini. Jadi tidak heran bila melihat mereka selalu memburu informasi mengenai gadgetgizmo (peralatan – peralatan canggih) mulai dari iPod, MP3 Player, PDA, atau game terdepan dan termutakhir di seluruh dunia

.

Produk-produk wanita dengan embel-embel “for men” kini semakin banyak bermunculan. Jenis produk yang muncul beraneka ragam, mulai dari bedak, facial, body spray, salon, dan spa, majalah fashion, makanan rendah kalori hingga butik. Merek-merek terkenal seperti, Armani, Esprit, Dolce&Gabbana, Calvi Klein, Hugo Boss, kini berlomba-lomba untuk menciptakan produk-produk baru ini.

Majalah fashion dan gaya hidup yang khusus ditujukan untuk kaum metroseksual seperti Maxim, FHM, Details, misalnya selama tujuh bulan pertama mampu meningkatkan pendapatan iklannya hampir 50 persen. Diseluruh dunia FHM yang edisi Indonesianya terbit sebulan sekali, mampu meningkatkan pendapatan iklan fashion dan perawatan tubuh pria hingga mencapai hampir 40 persen selama tiga tahun terakhir.

Kafe dan coffe shop yang berlokasi strategis, sering dijadikan tempat berkumpul untuk memobilisasi anggota komunitas pria metroseksual. Bagi sebagian mereka, makanan dan minuman ringan yang disediakan kafe atau coffee shop, ada kalanya dianggap lebih fleksibel untuk teman ngobrol dibanding makanan berat. Meskipun bukan berarti mereka menghindari resto – resto atau kafe – kafe baru, khususnya franchise resto atau kafe terkenal yang baru saja membuka gerainya, yang keberadaannya mereka


(15)

ketahui dengan lebih cepat dari lingkaran komunitas dibandingkan pemberitaan media massa.

Kota-kota besar di Indonesia khususnya Medan merupakan salah satu kota yang sangat potensial timbulnya Pria metroseksual. Pada umumnya pria metroseksual adalah pria yang memiliki status sosial ekonomi yang telah mapan dan tidak heran pria-pria tersebut berprofesi sebagai profesional maupun pengusaha (eksekutif muda) yang memiliki gaya hidup tinggi dan glamour. Menurut majalah SWA no.6 tanggal 18 - 31 maret tahun 2004, menyatakan bahwa pria-pria metroseksual di Indonesia banyak mengeluarkan uang untuk perawatan tubuh dan kebugaran sekitar 2,5 juta – 3 juta/bulan. Selain menghabiskan banyak uang untuk perawatan tubuhnya, seorang pria metroseksual juga banyak menghabiskan waktu untuk merawat tubuhnya. Pada umumnya rata-rata pria metroseksual menghabiskan 1 – 2 jam di pagi hari untuk kegiatan rutin dan rela berjam-jam di salon atau spa selama week end untuk memanjakan diri (sebagai kompensasi dari kerja kerasnya selama senin – jumat). Mereka rela menghabiskan waktu 1 – 2 jam hanya untuk memanjakan dirinya seperti mandi, olahraga ringan, memilih baju yang sesuai, memakai beberapa produk perawatan kulit, dan memakai gel untuk rambut.

Menariknya, meskipun para pria metroseksual bisa saja terkesan berpenampilan manis, atau flamboyan, adalah salah bila mereka langsung diasosiasikan sebagai gay atau homoseksual. Sebab, para pria pedandan dalam kisaran umur 20 – 40 tahun ini yang memiliki uang untuk dihamburkan – hamburkan khususnya untuk perawatan tubuh dan penampilan, hidup di tengah keramaian metropolis, dimana terdapat mal, klub, butik, pusat kebugaran, salon kecantikan, dan lain-lain memang bisa saja gay, biseksual, atau pun heteroseksual. Tapi pemaknaan metroseksual sendiri bukanlah menyangkut


(16)

preferensi seksual. Melainkan muncul sebagai preferensi lifestyle gaya baru, sebagai cara para pria muda modern menerjemahkan kecintaan mereka akan penampilan maksimal. Serba harum dan parlente, resis – dan fashionable, percaya diri, ramah, menebar senyum persahabatan ke sekitar. Gaya hidup dan kebiasaan yang secara umum sering dilakukan oleh para pekerja hukum pekerja iklan, dan orang – orang dari dunia entertainment, yang kemudian ternyata menyebar cepat ke berbagai kalangan profesi, seperti pengusaha, banker, dokter, politisi, dan lain-lain.

Para pria metroseksual tidak mau disamakan dengan kaum gay atau homoseksual. Hai ini dikarenakan dalam urusan berpenampilan rapi, bersih, dan wangi, para pria metroseksual memiliki tujuan yang berbeda dengan kaum gay ataupun waria. Berdandan rapi, bersih dan wangi, bukan ciri-ciri utama seorang gay, karena ini sangat sulit membedakan antara pria normal dengan gay. Gay pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus dalam berpenampilan begitu juga para waria.

Kota Medan adalah kota terbesar nomor tiga di Indonesia dan Medan termasuk kota metropolitan. Perkembangan pembangunan dan kemajuan teknologi yang terjadi di kota Medan menjadi salah satu alasan mengapa fenomena pria metroseksual juga muncul di kota Medan, terdapat beberapa mall dan berbagai tempat-tempat hiburan yang berpotensi dapat mendukung penelitian ini. Karena pada umumnya para pria metroseksual memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi. Penelitian ini akan dikhususkan pada tempat-tempat yang potensial untuk berkumpulnya para pria metroseksual seperti kafe-kafe, restoran-restoran, salon dan tempat-tempat hiburan yang terdapat di mall-mall di kota medan.


(17)

Fenomena pria metroseksual yang ada di kota Medan pada saat ini juga belum begitu nampak jelas, ini disebabkan karena para pria metroseksual di kota Medan tidak mau dikatakan sebagai pria metroseksual, karena di kota Medan belum terdapat satu komunitas khusus yang menyatakan diri mereka adalah para pria metroseksual, hal ini berbeda bila dibandingkan dengan kota Jakarta, yang terdapat satu komunitas khusus pria metroseksual dan mereka mau dikatakan sebagai pria metroseksual. Fenomena pria metroseksual memang merupakan suatu prilaku yang unik di daerah perkotaan. Sesungguhnya diperlukan penelitian yang terarah untuk dapat melakukan analisa fenomena tersebut, maka atas dasar alasan tersebut dan penjelasan diatas maka saya tertarik untuk melakukan penelitian tentang pria metroseksual di kota Medan.

1.2Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan saya angkat dalam penelitian ini adalah : 1. Apa motivasi seseorang menjadi pria metroseksual ?

2. Bagaimana gaya hidup, sosial dan ekonomi pria metroseksual ?

3. Bagaimana pria metroseksual mengatasi sanksi secara sosial dalam perspektif

gender ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Secara Teoritis, penelitian ini bertujuan melakukan pemetaan dan perumusan masalah di atas yaitu : Apa motivasi mereka menjadi pria metroseksual, bagaimana gaya hidup, sosial dan ekonomi pria metroseksual tersebut, dan bagaimana para pria metroseksual tersebut mengatasi sanksi secara sosial dalam perspektif gender yang muncul karena gaya hidup mereka.


(18)

2. Mengungkapkan mengenai hal tersebut dengan didasarkan pada pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan sosiologi gender

1.4. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan akan menjadi sebuah kajian ilmiah yang akurat bagi sosiologi gender, sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi dalam bidang pendidikan khususnya dan masyarakat pada umumnya.

2. Secara praktis, penelitan ini diharapkan akan menjadi sumbangan bagi khazanah kepustakaan yang bermutu serta sebagai bahan masukkan bagi institusi pendidikan dan ini juga diharapkan dapat memberikan pengertian yang jelas tentang pria metroseksual kepada semua masyarakat agar tidak ada lagi pemahaman yang keliru.

3. Bagi penulis, penelitian ini akan berguna untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai kasus atau fenomena pria metroseksual dan sebagai wadah latihan serta pembentukkan pola pikir ilmiah dan rasional dalam menghadapi segala macam persoalan sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat.

1.5. Definisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah generalisasi dari kelompok fenomena tertentu yang akan di teliti (Singarimbun, 1998 : 33)


(19)

Konsep-konsep yang penting dalam penelitian ini adalah :

1. Fenomena adalah suatu peristiwa yang terjadi di realitas sosial dan memiliki gejala-gejala yang spesifik. Pada penelitian ini fenomena yang dimaksud adalah timbulnya suatu keadaan sekelompok maupun individu yang di citrakan sebagai pria metroseksual.

2. Pria Metroseksual adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki gaya hidup yang tinggi sehingga mereka sangat mengutamakan performance (penampilan) dalam kehidupan sehari-hari. Penampilan sebagai pria metroseksual terkadang melebihi penampilan seorang wanita. Pria eksekutif muda yang berada di kota Medan yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria yang mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 4.000.000 setiap bulannya.

3. Gaya hidup adalah gaya hidup menurut weber berarti persamaan status kehormatan yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol-simbol gaya hidup yang sama. Gaya hidup merupakan suatu bentuk ekspresi dan simbol untuk menampakkan identitas diri atau identitas kelompok. Gaya hidup para pria metroseksual dapat kita jumpai di mal-mal yaitu SUN plaza, tempat fitnes, salon, retro, dan tempat lainnya.

4. Konsumerisme adalah pola hidup dengan keinginan untuk membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan. Dengan sifat konsumtif ini maka pembelian sebuah produk lebih didasarkan pada perasaan suka (keinginan) dari konsumen dari pada memperhatikan manfaat, kecocokan serta kesesuai produk tersebut bagi dirinya. Sifat fanatik mendasari perilaku mereka yang konsumtif,


(20)

dimana mereka membeli barang-barang tanpa pertimbangan yang objektif melainkan secara emosional, terlebih-lebih jika produk itu sudah terkenal. Para pria metroseksual mengkonsumsi pakaian dan aksesoris merk-merk yang mahal dan terkenal seperti Body shop, Lee-Cooper, M2000, Piere-Cardin, dan yang lainnya.

5. Bias gender adalah suatu konstruksi sosial dan kultural yang menyebabkan perbedaan perilaku antara pria dan wanita sehingga memunculkan perbedaan sikap yang terkadang memberi ketidakadilan terhadap pria ataupun wanita di dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya pria di kenal memiliki sifat kuat, jantan, rasional, dan perkasa, sedangkan wanita memiliki sifat lemah lembut, cantik, keibuan, dan emosional, perbedaan antara wanita dan pria secara konstruksi budaya ini sebenarnya dapat dipertukarkan antara pria maupun wanita, karena tidak bersifat secara biologis. Akan tetapi, di dalam masyarakat patriarkhi, setiap pria atau wanita harus melakukan perannya berdasarkan nilai gendernya yang telah di tentukan sebelumnya, apabila ada seorang pria yang melakukan kegiatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pria maka pria tersebut dianggap telah melakukan penyimpangan dan akan mendapatkan sanksi dari masyarakat bahkan akan dilecehkan, hal ini juga berlaku pada para wanita.


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pria Metroseksual

Pria metroseksual adalah istilah yang ditujukan kepada seseorang (pria) yang moderen biasanya single yang tidak hanya mengerti sisi maskulinnya tetapi juga sisi feminimnya. Pria jenis ini biasanya selalu tampil rapi serta memelihara kebersihan tubuh dari kepala sampai ujung kaki. Pria metroseksual biasanya memiliki kemampuan yang sangat tinggi untuk dekat dengan lawan jenis dan membangun hubungan yang erat. Pria metroseksual ini mampu mengekspresikan kemampuannya. Pria metroseksual bisa di sebut juga pria yang mengagumi dan mencintai dirinya sendiri. Dalam hal ini biasa pria metroseksual sangat menghargai seni film dan musik tidak lebih dari pria tipe lain.

Pria metroseksual dilihat dari perspektif gender merupakan perbedaan psikologis dan budaya kontemporer. Dimana ketika budaya (life style) mempengaruhi psikologi seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan budaya tersebut. Perilaku tersebut bisa menjadi ganda.

Hermawan Kartajaya menjelaskan bahwa pria metroseksual bukanlah seorang homoseksual atau pria yang kemayu. Ia tetaplah pria normal yang bisa memiliki keluarga yang bahagia, dengan istri yang cantik dan anak-anak yang lucu. Hanya lebih “kewanitaan”, misalnya lebih senang ngobrol dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik dari pada rata-rata pria. Dan yang paling nyata, metroseksual ini sangatlah

fashionable (Suara Merdeka, 24 Juli 2004). Banyak pendapat kenapa muncul pria metroseksual ini, salah satunya adalah karena semakin banyak wanita bekerja. Kehadiran


(22)

tentu menuntut rekan prianya untuk juga menjaga penampilan, misalnya dengan berbusana rapi, bertubuh bugar dan berbau harum. Sementara itu, menurut Jean-Marc Carriol direktur perusahaan fashion Trimex ( dalam Kompas 31 Agustus 2004), gerakan feminis punya kontribusi besar pada perkembangan pasar produk untuk pria. Ketika kelompok wanita terus mendorong terjadinya kesetaraan hak, perubahan pun kemudian terjadi. Sukses gerakan feminis secara mendasar mengubah cara pria dan wanita berinteraksi di lingkungan kerja mereka. Penampilan dan perawatan tubuh menjadi sangat penting.

Para pria metroseksual merupakan penikmat hidup yang ditopang kemampuan finansial. Selain rutin ke gym, mereka juga rajin merawat diri disalon dan spa, gemar nongkrong di kafe serta menjelajah mal untuk berburu fashion dan aksesori bermerek, namun mereka bukan sekedar pembelanja potensial, tetapi juga pekerja cerdas yang penuh percaya diri, berdedikasi serta berkomitmen kepada karya dan keluarga. Jumlah mereka terus bertambah banyak menjadikan mereka potensi pasar yang luar biasa besar. Sebagai konsumen, pria membutuhkan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat kapitalis untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.

Para pria metroseksual tidak mau disamakan dengan kaum gay atau homoseksual. Hai ini dikarenakan dalam urusan berpenampilan rapi, bersih, dan wangi, para pria metroseksual memiliki tujuan yang berbeda dengan kaum gay ataupun waria. Berdandan rapi, bersih dan wangi, bukan ciri-ciri utama seorang gay, karena ini sangat sulit membedakan antara pria normal dengan gay. Gay pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus dalam berpenampilan begitu juga para waria.


(23)

Para pria metroseksual peduli dengan penampilan bukan berarti mereka mau disamakan dengan wanita, karena penampilan pria dan wanita sangat jelas berbeda. Pria metroseksual hanyalah pria yang sedikit memiliki sikap yang lebih menonjolkan kesan memperhatikan penampilan dan mengharuskan kesempurnaan dalam penampilannya. Pria metroseksual selalu mendapat stereotipe yang negatif dari masyarakat, karena masyarakat memandang perilaku pria metroseksual merupakan suatu perilaku wanita yang suka merawat tubuhnya secara berlebihan. Masyarakat membedakan antara pria dan wanita dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut disektor publik, jantan dan agresif, sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, bergelut disektor domestik, pesolek, pasif.

2.2 Gaya Hidup ( lifestyle)

Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini kabur. Sementara istilah ini memiliki arti sosiologis yang lebih terbatas dengan merujuk pada gaya hidup khas dari berbagai kelompok status tertentu, dalam budaya konsumen kontemporer istilah ini mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran diri yang semu. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan dan pilihan hiburan, dan seterusnya di pandang sebagai indikator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen (Fatherstone Mike, 2005;201)

Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri kita sekaligus penyedia ruang-ruang tak terbatas untuk memamerkan segala bentuk identitas diri. Tubuh merupakan medium yang tepat untuk mempromosikan dan memvisualkan diri sendiri. Tubuh juga bisa


(24)

dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang. Tubuh terus-menerus dapat dibongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran : didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisplinkan untuk mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan cita rasa gaya individualitas tertentu.

Gaya hidup adalah suatu titik tempat pertemuan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak, yang tertuang dalam norma-norma kepantasan. Terdapat norma-norma-norma-norma kepantasan yang diinternalisasikan dalam diri individu, sebagai standar dalam mengekspresikan dirinya.

Gaya hidup sendiri lahir karena adanya masyarakat komoditas, masyarakat yang mengkonsumsi barang-barang dan jasa bukan karena kebutuhannya tetapi untuk memuaskan keinginannya. Menurut Adorno masyarakat komoditas ini terjadi karena meningkatnya tuntutan terus menerus akan pemuasan kebutuhan masyarakat terhadap benda-benda komoditas.

Gaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas) apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya. Gaya hidup suatu masyarakat akan berbeda dengan masyarakat lainnya, bahkan dari masa ke masa gaya hidup suatu individu dan kelompok masyarakat tertentu akan bergerak dinamis. Namun demikian, gaya hidup tidak cepat berubah sehingga pada kurun waktu tertentu gaya hidup relative permanen.

Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga di sebut modernitas, maksudnya adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan


(25)

menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Dalam interaksi sehari-hari kita dapat menerapkan suatu gagasan mengenai gaya hidup tanpa harus menjelaskan apa yang kita maksud.

Menurut Weber, konsumsi juga merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi perjenjangan dari kelompok status, konsumsi juga dapat di jadikan penggunaan barang-barang simbolik kelompok tertentu. Dengan demikian ia dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya dalam hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang. Dalam hal ini konsumsi seseorang menentukan gaya hidup seseorang. Karena penggunaan barang-barang simbolik itu tadi seperti pemilihan konsumsi gaya berpakaian, selera dalam hiburan, selera konsumsi terhadap makanan dan minuman menentukan dari kelas mana ia berada.

Gaya hidup merupakan cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik, tapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas. Gaya hidup berkaitan dengan kompetensi simbolik.

Menurt Henny E. Wirawan, M.Hum, Psi, Universitas Tarumanegara Fakultas Psikologi, modernisasi dan industrialisasi menyebabkan munculnya manusia jenis baru ini. Modernisasi mengubah gaya hidup menjadi lebih maju seirama perkembangan zaman. Terjadi pergeseran sosial dan perubahan gaya hidup dengan meninggalkan nilai lama. Modernisasi juga mengharuskan perubahan sikap dan mental dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan baru. Sementara itu, industrialisasi berkaitan dengan


(26)

penyebaran barang – barang yang diproduksinya, di antaranya perlengkapan untuk budaya metroseksual. Nantinya, perlengkapan yang tadinya sebatas kebutuhan sekunder dapat menjadi primer. Secara hukum ekonomi, pola penyebaran semacam ini tentu sah– sah saja.

Menurut Simmel, fashion tidak ekslusif bagi modernitas, tapi suatu ilustrasi perennial dari temanya mengenai interdependensi bentuk dan isi (David Chane,1996:100)

Erving Goffman mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan dramaturgi (dramaturgical approach). Yang dia maksudkan adalah bahwa kita bertindak seolah-olah diatas sebuah panggung. Bagi Goffman, berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari (David Chane, 1996 : 15)

Simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Makna suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui cara nonsensoris.

Interaksionisme-simbolis yang dijabarkan Blumer sesungguhnya memilki sejumlah gagasan dasar (root images) yang dapat diringkaskan sebagai berikut :

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut kemudian saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk atau struktur sosial 2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan

kegiatan manusia lain

3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsic. Makna lebih merupakan hasil dari interaksi-simbolis


(27)

4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, melainkan juga dapat mempersepsikan dirinya sebagai obyek

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretative yang dibuatnya sendiri

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan manusia adalah tindakan interpretative yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Seperti dikemukakan Blumer :

“Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahui dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari cara bertindak tertentu”.

Blumer juga cenderung mengabaikan pengaruh lingkungan sosial terhadap perilaku manusia dan lebih menekankan aspek pertimbangan individual. Beberapa orang mungkin menghadapi tantangan yang sama, namun perilaku berbeda.

Dalam pandangan konsep diri manusia mempunyai pandangan dan persepsi atas dirinya sendiri. Konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu adalah berupa penilaian-penilaian terhadap dirinya sendiri. Secara umum konsep diri diatur oleh dua prinsip yaitu: keinginan untuk mencapai konsistensi dan keinginan untuk meningkatkan harga diri (self esteem). Konsep actual self menyatakan bahwa pembelian yang dilakukan oleh konsumen dipengaruhi oleh konsep yang dimiliki oleh mereka sendiri. Konsistensi diri dicapai dengan membeli produk yang dirasakan oleh konsumen sama dengan konsep diri mereka, dan oleh karena itu ada kesamaan antara citra merek dan citra diri (self images).


(28)

Mark Simpson adalah seorang penulis dan pengamat lifestyle asal Inggris, pada tahun 1994, pertama kali mengedepankan hadirnya para pria metroseksual di tengah masyarakat. Menurut Simpson metroseksual adalah sosok pria muda berpenampilan dendi yang sangat perduli dengan penampilan, tertarik pada fesyen dan berani menonjolkan sisi femininimnya, senang memanjakan diri dan menjadi pusat perhatian dan bahkan menikmatinya.

(http.//www.republika.co.id/suplemen/cetak.details.asp+- diakses tanggal 28 April 2004)

2.3. Media dan Gaya hidup

Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri.

Kita bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang kita inginkan lewat contoh-contoh kepribadian yang banyak beredar di sekitar kita bintang film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacam-macam tipe kelompok yang ada atau kita bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan oleh orang lain.

Dewasa ini masyarakat modern telah mengalami ketidaksadaran massal akan terjadinya transformasi yang menyebabkan pembentukan kembali diri dan perumusan kembali makna kehidupan akibat munculnya realitas semu. Mc Luhan yang pertama kali melihat munculnya realitas semu ini Mc Luhan melihat perkembangan media massa telah memungkinkan umat manusia hidup dalam dunia yang disebutnya “desa global”, dunia


(29)

tak lebih besar dari sebuah layar kaca atau sebuah disket. Karena dapat disiarkannya kembali segala bentuk informasi melalui media tersebu ( Ibrahim, Idi subandy.1997:191)

Media informasi telah mempengaruhi cara pandang mereka mengenai gaya hidup yang harus mereka jadikan pedoman dalam mengekpresikan diri, yang dianggap nilai-nilai barat, mengandung nilai-nilai-nilai-nilai moderen sehingga banyak ditiru oleh pria metroseksual, nilai timur bergeser menjadi gaya hidup barat. Kapitalisme melalui media informasi membentuk dan mengembangkan suatu gaya yang ideal menurut mereka melalui media dan instrumen komunikasi. Misalnya mereka menciptakan busana yang sedang trend, pasar musik, asesoris, film, dan pergaulan yang ideal sebagai budaya massa.

Dengan perkembangan teknologi informasi seperti media televisi, internet, media cetak seperti majalah, memudahkan masuknya gaya hidup global. Demam gaya hidup global tampak menyentuh kehidupan para pria. Mereka mengoleksi simbol-simbol status western seperti memakai sepatu Nike, celana jeans, minum Coca-cola, makan di Mc’d. Serta menjadikan gaya hidup Amerika sebagai sarana mengekspresikan diri (Susanto, AB, 2001;84)

Gaya hidup yang dianut oleh masyarakat pada saat ini cenderung hanya mengikuti trend yang berlaku, sehingga bisa dikatakan gaya hidup yang dianut bersifat homogen dan tidak variatif. Dalam konteks ini tindakan yang di lakukan seorang individu bukanlah murni tindakan objektifnya akan tetapi termotivasi oleh unsur-unsur yang ada di luar individu, sehingga apa yang sedang berlaku umum disekitarnya, itulah yang menjadi dasar tindakannya. Kapitalisme bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab atas hal ini. Karena kapitalisme selalu mencari cara untuk mengakumulasi kapitalnya, dan pencarian


(30)

atas market atau pasar akan selalu di lakukan. Konsumerisme dan hedonisme yang di sebarkan kapitalisme global lewat berbagai cara, seakan-akan sudah mendarah daging bagi masyarakat.

Trend pria metroseksual yang kemudian di fasilitasi dengan kemunculan Pusat kebugaran, Salon, SPA dan majalah khusus pria -Misal For Him Magazine (FHM), Male Emporium (ME), Mens Health- menjadi menarik untuk dicermati dalam masyarakat

consumer saat ini, karena fenomena ini merupakan salah satu contoh “rasionalitas masyarakat modern” untuk membelanjakan uangnya. Diciptakan dengan sengaja “created needs” oleh pihak kapitalis yang berfungsi sebagai “desiring machine”.

Kapitalisme menurut Marx merupakan sistem sosio-ekonomi yang dibangun untuk mencari keuntungan yang didapat dari proses produksi atau melalui mode of production tertentu. Komoditi menurut Marx disebut sebagai social hieroglyphic. Komoditi baginya tidak hanya dilihat sebagai benda, tetapi tersembunyi hubungan sosial. Sifat komoditi ini mengaburkan persepsi orang tentang realitas kapitalis, yang oleh Marx disebut the fetishism of commodities. Artinya, suatu komoditi dapat ditukarkan seolah-olah hanya karena fisiknya, padahal nilai tukar suatu komoditi justru terletak pada adanya hubungan sosial dengan tenaga kerja yang terkandung di dalamnya. Melalui konsep

fetihism ini dipahami bahwa suatu komoditi mengandung dan membungkus persoalan kapitalisme ( Mansour Fakih, 2001).

Kapitalisme menganggap semua barang itu komoditi, artinya barang bernilai hanya sejauh ia mempunyai nilai tukar dan dapat ditukarkan dalam tindakan tukar menukar. Jadi dalam komoditi yang hanya mempunyai nilai tukar itu manusia diasingkan


(31)

dari pekerjaannya yang khas. Komoditi adalah tempat keterasingan manusia dari pekerjaannya ( Sindhunata, 1983).

2.4. Konsep Gender

Gender adalah perbedaan perilaku ( behavioral differences) antara pria dan wanita yang bisa berubah-ubah dari waktu-kewaktu dan bisa berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, maupun dari satu kelas ke kelas lainnya, yang bisa disebabkan oleh berbagai hal dan melalui proses yang panjang sebagai akibat dari konstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya pria dikenal memiliki sifat jantan, kuat, rasional dan perkasa, sedangkan wanita memiliki sifat lemah, lembut, cantik, emosional dan keibuan. Semua sifat-sifat ini sebenarnya dapat dipertukarkan antara pria maupun wanita, karena tidak bersifat secara biologis.

Menurut Giddens konsep gender menyangkut “the psychological, sosial and differences between males and females”—perbedaan psikologis, sosial, dan budaya antara pria dan wanita. Macionis (1996 : 240 ) mendefinisikan gender sebagai “the significance a society attaches to biological categories of female and male”— arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis pria dan wanita. Sedangkan Lasswell (1987 : 51) mendefinisikan gender sebagai “the knowledge and awareness, wheather conscious or unconscious, that one belongs to one sex and not to the other”— pada pengetahuan dan kesadaran, baik sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu jenis secara kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain ( Kamanto Sunanto, 2000 : 112). Disini dapat kita lihat bahwa konsep gender tidak mengacu pada


(32)

perbedaan biologis antara wanita dan pria, melainkan pada perbedaan psikologis, sosial, dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara pria dan wanita.

Dalam penggunaan sehari harinya, gender ( berasal dari bahasa Perancis, gendre, diambil dari bahasa latin genus, type biologis), yang menunjuk kepada perbedaan jenis kelamin diantara wanita dan pria berdasarkan segi anatomi. pria dan wanita diasumsikan kepada bentuk yang secara biologis berbeda.

Pengertian seks menunjuk kepada perbedaan jenis kelamin berdasarkan aspek biologis, seperti pria dan wanita, sedangkan gender itu sendiri mempunyai maksud untuk membedakan peran secara sosial antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Gender itu sendiri tidak terlepas dari streotipe-streotipe seks yang melekat, misalnya seorang wanita lebih cocok bekerja di sektor domestik, dikarenakan ia adalah sosok yang lemah dan begitu juga sebaliknya. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan kata seks ( Fakih, 1999 : 7 )

Jadi, “kodrat” yang umumnya berkembang di kehidupan pria maupun wanita tidak lebih adalah streotipe gender mereka, yang diterima sebagai status yang diterima dengan mutlak.

Adanya pembedaan kesempatan dan hak antara pria maupun wanita di pengaruhi oleh bias gender yaitu akibat pengaruh konstruksi sosial dan kultur yang menyebabkan perbedaan perilaku sehingga memunculkan ketidakadilan. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Fakih (1996 : 72), bahwa :

“....perbedaan gender (gender differences) pada proses selanjutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tidak pernah digugat. Jadi kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan, menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu di gugat adalah struktur “ketidakadilan ” yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender....”


(33)

Gender tersebut pada dasarnya hanya pandangan eksternal yang telah terpola secara khusus, jadi berbias subjektif sifatnya, sehingga hidup yang mereka jalani tidak terlepas dari streotipe yang mereka terima. Secara umum streotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan celakanya streotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan ( Fakih, 1996 : 16 )

Superiotas pria atas wanita bisa di runut mulai dari jaman penciptaan Adam dan Hawa, jaman filosofi yunani kuno sampai jaman modern. Pria dan wanita tidak hanya dianggap sebagai makhluk yang berbeda, tapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan antara dunia pria dan wanita adalah “ pertemuan seks ” (the battle of the sexes). Pria dan wanita dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan “ tidak sama”.

2.5. Proses Sosialisasi

Peter Berger ( dalam Sunarto, 1998:27), menyebutkan ada perbedaan penting antara manusia disaat lahirnya manusia merupakan makhluk yang tak berdaya karena dilengkapi oleh naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh karena itu manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi dengan naluri. Kebudayaan itu berdasarkan atas kebiasaan dan keseluruhan kebiasaan itu, -ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, politik, dan sebagainya-, harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan dengan sosialisasi (socialization).

Sosialisasi dapat berjalan karena ada agen atau perantara penyampai sosialisasi tersebut. Dikarenakan banyaknya kebiasaan didalam masyarakat yang harus dikuasai oleh


(34)

seorang individu, maka agen sosialisasi juga mempunyai banyak bentuk dan varian, walaupun agen sosialisasi yang utama dan pertama bagi seseorang adalah keluarga, karena keluarga adalah tempat mula-mula seseorang mengenal kehidupan disekitarnya. Akan tetapi keluarga mempunyai banyak keterbatasan, sehingga sang individu perlu untuk mengenal kebiasaan tersebut melalui perantara agen sosialisasi lainnya.

Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after childhood), pendidikan sepanjang hidup (life-long education), atau pendidikan berkesinambungan (continuing education). Light (dalam Sunarto,1998:35), mengemukakan bahwa setelah sosialisasi dini yang dinamakan dengan sosialisasi primer (primary socialization) kita akan menjumpai socialization sekunder (secondary socialization). Berger dan Luckman mendefenisikan socialization primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi sekunder didefenisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan kedalam sektor baru dari dunia obyektif.

Lewat proses sosialisasi warga masyarakat akan saling mengetahui peranan masing-masing dalam masyarakat dan karenanya kemudian dapat bertingkah laku sesuai peranan sosial masing-masing itu, tepat sebagaimana diharapkan oleh norma-norma sosial yang ada; dan selanjutnya mereka-mereka akan dapat saling menyerasikan serta menyesuaikan tingkah laku masing-masing sewaktu melakukan interaksi-interaksi sosial.


(35)

Aktivitas melaksanakan sosialisasi dikerjakan oleh individu-individu tertentu, yang sadar atau tidak dalam hal ini bekerja “mewakili” masyarakat. Mereka ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Individu-individu yang mempunyai wibawa, patut dihormati, dan kekuasaan yang superior atas individu-individu yang disosialisasikan. Misalnya; ayah, ibu, guru, atasan, pemimpin dan sebagainya. Sehingga sosialisasi macam ini disebut “sosialisasi otoriter”

2. Individu-individu yang mempunyai kedudukan sederajat (atau kurang lebih sederajat) dengan individu-individu yang tengah disosialisasikan. Misalnya; saudara sebaya, kawan sepermainan, kawan sekelas, dan sebagainya. Sehingga sosialisasi macam ini disebut “sosialisasi ekualitas” .

Sosialisasi sendiri mempunyai pola-pola yang khas, yaitu:

1. Sosialisasi represi (repressive socialization), yaitu menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan.

2. Sosialisasi partisipasi (participatory socialization), yaitu dimana individu diberi imbalan manakala berperilaku baik dan sebaliknya, dimana hukuman dan imbalan bersifat simbolis; individu diberi kebebasan, penekanan lebih kepada interaksi.

Vembriarto menyimpulkan bahwa sosialisasi:

• Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya.


(36)

• Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup.

• Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya. (Khairuddin,1998:63)

Bahwa proses sosialisasi individu mempunyai fase-fase tertentu, mulai dari fase sosialisasi dalam rumah tangga sampai pada masyarakat luas.

Tujuan dari sosialisasi:

1. Memberikan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan bagi kehidupan seseorang kelak dimasyarakat.

2. Memampukan orang berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya untuk menulis dan berbicara.

3. Mengajarkan pengendalian fungsi organis melalui pelatihan mawas diri yang tepat bagi seseorang.

4. Membiarkan tiap-tiap individu dengan nilai-nilai kepercayaan pokok yang ada dalam masyarakat. (Cohen, 1983:103)

Manusia hidup didunia selalu berkelompok. Karena tidak satupun manusia yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kehidupan kelompok manusia secara bersama disebut sebagai suatu kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat itu sendiri manusia menciptakan suatu sistem yang dapat menjamin berlangsungnya kehidupan masyarakat tersebut. Sistem kehidupan dimaksud adalah sistem nilai dan


(37)

norma-norma kehidupan untuk mengatur kehidupan untuk mengatur kehidupan masyarakatnya.

Dalam sebuah lembaga atau institusi keberadaan nilai dan norma-norma adalah mutlak adanya. Hal ini berfungsi sebagai penjamin eksistensi kehidupan kelompok. Namun lebih jauh yang perlu dikaji adalah bagaimana melestarikan nilai-nilai tersebut pada generasi berikutnya atau kepada para keturunan mereka dimasa yang akan datang. Proses inilah yang disebut sebagai sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang di gunakan adalah metode penelitian kualitatif, yang digunakan karena beberapa pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih muda apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi ( Moleong, 1993 : 5)

Penelitian ini menggambarkan secara menyeluruh bagaimana kehidupan Pria Metroseksual di kota medan.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Alasan pemilihan lokasi penelitian karena Medan adalah kota terbesar nomor tiga di Indonesia, Medan termasuk kota metropolitan dan dikota Medan banyak ditemui para pria metroseksual. Di kota Medan terdapat beberapa mall yang potensial dan mendukung dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dikhususkan pada tempat-tempat yang potensial untuk berkumpulnya para pria metroseksual seperti kafe-kafe, restoran-restoran, salon dan tempat-tempat hiburan yang terdapat di mall-mall di kota medan


(39)

3.3 Unit Analisis dan Informan

Yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berkunjung ke tempat perawatan tubuh dan café-café di mall maupun plaza di kota Medan. Informan dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria yang mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari Rp 4.000.000 (empat juta rupiah) setiap bulannya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode tertentu sesuai dengan tujuan. Metode yang dipilih berdasarkan pada berbagai faktor terutama jenis data dan ciri informan. Metode pengumpulan data tergantung karakteristik data, maka metode yang digunakan tidak selalu sama untuk setiap informan ( Gulo, 2002:110-115).

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Untuk mendapatkan data tersebut, maka peneliti memakai teknik pengumpulan data melalui :

a) Data primer

Yaitu cara mengumpulkan data yang dilakukan dilapangan. Dalam hal ini, pengumpulan data pada sepuluh pria metroseksual di Kota Medan. Adapun teknik pengumpulan data dengan cara :


(40)

Observasi langsung

Observasi lansung adalah peneliti turun ke lapangan penelitian langsung untuk mengamati dan melihat bagaimana kehidupan sehari-hari Pria Metroseksual ini. Disini peneliti hanya sebagai pengamat.

Wawancara mendalam

Adalah melakukan suatu percakapan atau tanya jawab dengan informan secara mendalam. Disini peneliti akan berusaha menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dari informan dengan menggunakan pedoman wawancara yaitu interview guide ( draft wawancara) yang telah disusun sebelumnya. Hal-hal yang akan di wawancarai berupa bagaimana gaya hidup, sosial dan ekonomi pria metroseksual dan bagaimana pria metroseksual mengatasi sanksi sosial dan bias gender.

b) Data sekunder

Studi kepustakaan

Yaitu cara untuk memperoleh data yang dilakukan melalui studi kepustakaan. Dalam hal ini kajian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis, konsepsi, pandangan, tema melalui buku, dokumen, artikel, jurnal, tulisan dan catatan lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian ini.

Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis, sebagian data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan, dokumen dan foto.


(41)

3.5 Interpretasi Data

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan, tahap berikutnya yang harus dilakukan adalah tahap analisa dan interpretasi data. Tahap ini adalah tahap yang penting dan menentukan. Pada tahap inilah data akan dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil mengumpulkan kebenaran yang berguna untuk menjawab persoalan yang diajukan oleh peneliti ( Koentjaraningrat, 1998 ; 328)

Analisa data adalah Proses Pengorganisasian dalam pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data (Moleong, 1993 ; 103)


(42)

3.6. Jadwal Kegiatan dalam Penelitian ini

TABEL 1. Time Schdule Penelitian

KEGIATAN Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV

Pra Penelitian : 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Penyusunan Proposal X

2. Seminar Proposal X

3. Perbaikan Proposal X

Persiapan Penelitian :

1. Pengurusan Surat Izin Penelitian X

2. Penyiapan Instrumen Penelitian X

Penelitian :

1. Observasi ( Pengamatan ) X X

2. Wawancara X X X

Pasca Penelitian :

1 Organisasi dan Reduksi Data X X

2 Interpretasi Data X X

3 Penyusunan laporan X X X

4 Presentasi Laporan X

5 Perbaikan Laporan X


(43)

keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup keterbatasan pengetahuan peneliti mengenai metode penelitian, keterbatasan data melalui buku-buku ataupun referensi lainnya yang mendukung penelitian, dan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh para informan. Keterbatasan pengetahuan peneliti mengenai metode penelitian menyebabkan lambatnya proses penelitian yang dilakukan dan data-data yang diperoleh di lapangan menjadi tidak terlalu dalam, namun teknik pengumpulan data yang ditentukan baik observasi maupun wawancara mendalam telah mampu menjawab permasalahan yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini.

Keterbatasan data melalui buku atau referensi lainnya menyebabkan peneliti agak kesulitan untuk menjelaskan maksud dari penelitian ini karena data-data akurat yang dapat mendukung jelas sangat dibutuhkan ketika peneliti akan memulai proses penelitian. Sampai sejauh ini, peneliti sudah berusaha mencari buku-buku atau referensi lainnya yang dapat menunjang penelitian yang dimaksud, tetapi sampai sejauh ini juga hasilnya belum seperti yang diharapkan peneliti.

Keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian adalah informan tampak agak kurang terbuka dalam menanggapi pertanyaan peneliti. Sibuknya para informan melakukan aktivitas dan kegiatan yang sangat banyak dari pagi sampai siang bahkan sore dan malam hari sehingga menyulitkan peneliti memperoleh data sebanyak-banyaknya. Dalam beberapa hal, peneliti harus membuat janji terlebih dahulu kepada informan namun kadang selalu gagal karena ketidaksesuaian waktu antara peneliti dan informan. Selain itu, para informan terkesan tertutup memberi jawaban dikarenakan mereka takut jika keterangan yang diberikan akan disebarluaskan pada masyarakat luas. Akan tetapi,


(44)

peneliti berusaha untuk meyakinkan informan, bahwa penelitian ini hanya sebuah karya ilmiah sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana dari suatu lembaga pendidikan.


(45)

BAB 1V

DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1.Profil Kota Medan

4.1.1 Gambaran Umum Kota Medan

Perkembangan Kota Medan tidak terlepas dari dimensi historis, ekonomi dan karakteristik Kota Medan itu sendiri, yakni sebagai kota yang mengemban fungsi yang luas dan besar (METRO), serta sebagai salah satu dari 3 (tiga) kota metropolitan terbesar di Indonesia. Realitasnya, Kota Medan kini berfungsi:

1. Sebagai pusat pemerintahan daerah, baik pemerintahan Propinsi Sumatera Utara, maupun Kota Medan, sebagai tempat kedudukan perwakilan/ konsultan Negara-Negara sahabat, serta wilayah kedudukan berbagai perwakilan Perusahaan, Bisnis, Keuangan di Sumatera Utara.

2. Sebagai pusat pelayanan kebutuhan sosial, ekonomi masyarakat Sumatera Utara seperti: Rumah sakit, Perguruan Tinggi, Stasiun TVRI, RRI, dan lain-lain, termasuk berbagai fasilitas yang dikembangkan swasta, khususnya pusat-pusat perdagangan.

3. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, perdagangan, keuangan, dan jasa secara regional maupun Internasional.

4. Sebagai pintu gerbang regional / Internasional / Kepariwisataan untuk kawasan Indonesia bagian barat.


(46)

Kota Medan secara Demografis

Kota Medan merupakan salah satu dari 17 daerah tingkat II di daerah Sumatera Utara, yang terletak dibagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di antara 3º 30'-3º 43' LU dan 98º 35'- 98º 44' BT. Permukaan tanahnya cenderung miring keutara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m diatas permukaan laut. Luas Kota Medan saat ini 265.10 km. Sebelumnya hingga tahun 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 51.32 km, namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1973 yang memperluas wilayah Kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah kabupaten Deli Serdang.

Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat I Propinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sekitar 1.904.273 jiwa. Secara geografis Kota Medan berbatasan dengan :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa kabupaten Deli Serdang.


(47)

4.1.3. Pendidikan

Salah satu amanat yang diemban pemerintah menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana amanat ini dilaksanakan tercermin antara lain dari profil pendidikan penduduk karena pendidikan merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan sumber daya manusia.

Dalam Sensus Penduduk 2000, pendidikan yang ditamatkan (ditandai dengan ijazah tertinggi yang dimiliki) dibagi menjadi 7 (tujuh) golongan, yaitu (1) Tidak/belum tamat SD, (2) SD, (3) SLTP, (4) SLTA, (5) Diploma I/II, (6) Akademi/DIII, (7) Perguruan tinggi.

4.1.4. Agama

Bidang agama merupakan salah satu institusi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dalam lima agama besar di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, dan hindu. Agama islam lah yang merupakan pemeluk mayoritas. Demikian juga hal di Kota Medan, berdasarkan data dari Kantor Departemen Agama pada tahun 2005, jumlah penduduk yang memeluk agama Islam menempati urutan pertama sebagai pemeluk agama mayoritas, yakni 1.267.736 jiwa, disusul agama Kristen Protestan ditempat kedua sebesar 320.754 jiwa dan agama Budha di tempat ketiga sebesar 202.964 jiwa. Agama Kristen Katolik dan Agama Hindu masing-masing berada diurutan keempat dan kelima dengan pemeluk sebesar 126.378 jiwa dan 22.741 jiwa.


(48)

4.1.5. Tempat Peribadatan

Tempat peribadatan merupakan suatu wadah atau tempat bagi para pemeluk agama masing-masing untuk melakukan ritual keagamaannya. Agama-agama besar di Indonesia memiliki masing-masing tempat peribadatan. Agama Islam dengan tempat peribadatannya yang dinamakan Masjid dan Mushollah atau langgar, Agama Kristen Protestan dan Katolik dengan Gereja-nya, Agama Budha dengan Wihara, dan Agama Hindu dengan tempat peribadatan yang dinamakan kuil.

Untuk tahun 2005, jumlah fasilitas peribadatan di Kota Medan berjumlah 1.774 buah yang terdiri dari Masjid 880 buah, Musholla atau Langgar 329, Gereja 398 buah, kuil 19 buah, Wihara 148 buah.

4.1.6. Pusat Perbelanjaan dan hiburan

Perkembangan kota-kota di Indonesia yang terjadi selama ini dinilai cukup pesat. Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Wujud perkembangan ini antara lain ditandai dengan tumbuh pesatnya berbagai pusat perbelanjaan di Kota Medan. Pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Kota Medan antara lain:

• Grand Palladium Mall

• Medan Fair

• Medan Mal

• Medan Plaza

• Millenium Plaza


(49)

• Sun Plaza

• Thmarin Plaza

Sejumlah lokasi hiburan di Medan kini kian menyeruak. Ada di setiap sudut kota, termasuk di pusat-pusat perbelanjaan modern (mal). Di mal, bisa menemukan beragam wahana yang bisa memberikan hiburan di tengah rutinitas sehari-hari. Karena saat ini mal bukan sekadar tempat belanja, tapi telah diafiliasikan dengan konsep nuansa entertaint. Dari situlah kemudian hadir berbagai arena bermain bagi anak-anak, kafe-kafe yang menawarkan suasana nyaman hingga arena bermain biliar, karaoke dan diskotek.

Satu hal yang cukup menarik saat ini adalah fenomena hadirnya kafe-kafe memikat di lantai mal-mal di Kota Medan. Pada saat ini, yang paling gencar menawarkan konsep itu adalah Sun Plaza dan Plaza Medan Fair. Kedua mal tersebut punya puluhan kafe plus area foodcourt cukup luas. Sun Plaza dinilai cukup sukses dengan Cabe Rawit-nya. Foodcourt di lantai teratas mal tersebut kini telah menjadi ikon baru bagi warga Medan, khususnya tempat berkumpul pria metroseksual karena lokasinya dipandang paling luas, eksotis dan nyaman. Belakangan, Plaza Medan Fair mencoba menyaingi popularitas Cabe Rawit dengan menghadirkan Food Paradise di lantai IV plaza tersebut. Foodcourt ini tidak cuma lokasi makan, tapi bisa menjadi tempat pilihan hiburan. Mengisi waktu luang sambil menikmati secangkir kopi panas bersama teman bahkan keluarga, dengan alunan suara musik yang menyapa telinga kita.

Di Thamrin Plaza, bisa menemukan diskotek M3 (dulunya Fire-red) di lantai VII gedung mal tersebut yang masih eksis hingga sekarang. Yang unik adalah diskotek Crystal yang tetap bertahan di Perisai Plaza, meskipun pusat belanja tersebut sudah tak berfungsi lagi. Di sana juga bertahan arena biliar dan boling. Di Buana atau Aksara Plaza


(50)

juga bertahan diskotek Star City. Sebelumnya, sempat hadir diskotek Iguana yang tidak jauh dari hiburan yang identik dengan hal-hal negatif itu, ada juga lokasi karaoke yang mulai merambah mal. Kemunculan hegemoni karaoke (hampir sama dengan diskotek-red), sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa di seluruh dunia, termasuk Indonesia, semua orang menyukai musik dan bernyanyi. Mulai dari mendengarkan lagu, bersenandung kecil mengikuti lagu atau musik kesenangan mereka, hingga berteriak-teriak lantang bak rock star di kamar mandi.

Bernyanyi dan mendengarkan musik menjadi alternatif yang bagus untuk mengusir sepi, hobi, hiburan dikala jemu, juga mencari inspirasi. Melihat animo masyarakat yang tiada habis itulah karaoke menjadi ladang usaha yang menjanjikan dan bertahan di pusat-pusat belanja. Dalam ruangan kedap suara dengan tempat duduk yang nyaman dan penerangan yang bisa diatur, dilengkapi set pemutar lagu, layar monitor serta beberapa mikrofon, kita tinggal memilih lagu yang kita ingin nyanyikan, dan bernyanyi sesuai kemampuan pita suara kita tanpa harus malu terdengar orang lain. Dalam hal ini, keunikan, keceriaan, serta kehangatan suasana saat bernyanyi bersama menjadikan karaoke sebagai alternatif yang bagus melepas kepenatan dan stres. Karaoke bisa jadi petualangan baru yang menyenangkan, bahkan bagi sebagian orang penggemar karaoke, karaoke diakui bisa menjadi terapi melatih kepercayaan diri.

Kehadiran karaoke di mal-mal di Kota Medan, baru dimulai sejak tahun 2000. Mulai dengan fasilitas dan layanan elit hingga sarana yang terkesan sembarangan dan murahan. Ada beberapa lokasi yang cukup memikat di antaranya de Brand Karaoke di Millenium Plaza yang terkenal dengan semboyannya, cukup 350 ribu rupiah, kita bisa


(51)

mendapatkan gratis makanan dan minuman. Ada juga Jet Plane di Plaza Medan Fair yang tidak pernah dipublikasikan keberadaannya, tapi juga tetap menjadi pilihan banyak orang. Selain karaoke, biliar juga tengah booming di Medan. Beberapa bulan terakhir ini, puluhan rumah biliar muncul di berbagai kawasan di Kota Medan. Rumah biliar di mal cenderung menampilkan konsep hiburan. Sebuah konsep olahraga yang dipadukan dengan entertainment. Ada empat lokasi bermain biliar di mal yang cukup menarik, yakni Domino Bilyard di Mal Grand Palladium, Jump Shot di Medan Plaza, Legend di Plaza Medan Fair dan Solar Pool Lounge di Yang Lim Plaza. Biasanya, setiap rumah biliar menerapkan tarif Rp 20.000 untuk bermain di meja biasa hingga Rp 95.000 per jam di ruang VIP.

SUN PLAZA

Salah satu pusat perbelanjaan yang sering di kunjungi para pria Metroseksual di Kota Medan adalah Sun Plaza. Sun Plaza adalah salah satu pusat perbelanjaan yang terbesar di kota Medan. Sun Plaza di kelola oleh PT Manunggal Wiratama Tbk. Sun Plaza diisi oleh sejumlah perusahaan merek global yang terkenal seperti Sogo Department Store, Ace Hardware, Starbucks, Obagi, Dome, Excelso, Mango, Alta Moda, Guess, Frank & co.Jewellery, Felice, Mphosis, Marie France, Osim, fasilitas skating bernama Planet Ice, Hypermart dan masih banyak merek lainnya. Sun Plaza di buka sejak pertengahan tahun 2004 dan sudah banyak dikunjungi penduduk setempat bahkan sebelum diadakannya pembukaan. Sun Plaza menjadi lokasi favorit anak muda dan wisatawan luar negeri karena kenyamanan dan lengkapnya barang-barang yang tersedia. Saat ini Sun Plaza telah menjadi salah satu tempat favorit para pria metroseksual, hal ini


(52)

dikarenakan di Sun Plaza banyak terdapat tempat-tempat yang dianggap para pria metroseksual sebagai tampat yang sangat cocok bagi mereka. Beberapa tempat yang menjadi tempat berkumpulnya para pria metroseksual adalah StarBucks, foodcourt, Cabe rawit, dan tempat-tempat lainnya.

MERDEKA WALK

Merdeka Walk didirikan diatas lahan seluas 6.600 m2 oleh PT Orange Indonesia Mandiri dengan dukungan dari Pemerintah Kota Medan, diperuntukkan bagi cafe, restaurant, lokasi pameran, pagelaran acara, hiburan serta mainan anak-anak. Merdeka Walk adalah sebuah pusat makanan, informasi dan rekreasi yang terletak di sisi barat Lapangan Merdeka (alun-alun Kota Medan), dan merupakan lokasi yang paling strategis karena berada di titik pusat kota. Konsep paduan cafe tenda-tenda besar juga tempat jajanan makanan baik di dalam maupun yang terbuka serta berbagai aktivitas pameran, kegiatan promosi serta hiburan, menjadikan area tersebut sebuah sentral pertemuan untuk aktifitas warga.

Merdeka Walk merupakan satu kesatuan dengan The City Hall Town Square, yang terdiri dari Hotel bintang lima yang terintegrasi dengan The City Walk, The Deli River Cafe, dan The City Hall Club. Konsep yang ditawarkan merupakan yang pertama di Medan. Merdeka Walk memiliki tenda bertaraf Internasional dengan konsep ruangan terbuka dan tertutup, tersedia restaurant franchise dan non-franchise lengkap dengan aneka makanan dan minuman.


(53)

Merdeka Walk juga menjadi tempat favoritnya para pria metroseksual. Sebab di Merdeka Walk terdapat stan pijat refleksi, shisha (rokok ala libanon). Di pojok yang lain juga terlihat stan sebuah stasiun radio swasta. Kedai-kedai di Merdeka Walk menawarkan makanan yang sangat beragam. Ada kedai makanan khas Indonesia, kedai makanan barat, dan gerai makanan cepat saji dari negeri sebrang. Ada juga restoran yang menyediakan dim sum (makanan khas Cina) atau bahkan makanan Jepang cepat saji. Bagi para pria metroseksual tempat ini sangat cocok dengan gaya hidup mereka yang selalu menginginkan hal-hal baru. Di Merdeka Walk juga terdapat ‘hot spot’ (sambungan langsung untuk internet tanpa menggunakan kabel) yang memudahkan para metroseksual mengakses Internet dengan menggunakan laptop mereka.


(54)

4.2. Penyajian dan Interpretasi Analisis Data 4.2.1 Profil Informan

4.2.1.1 HR, si metroseksual yang tidak mau dikatakan metroseksual

HR adalah seorang pria berusia 23 tahun yang memiliki darah dari keturunan Jepang. HR yang bermata sipit dan berkulit putih adalah seorang tamatan Sarjana Ekonomi di Perguruan Swasta yang ada di Medan. HR yang berzodiak Aquarius ini sekarang bekerja membantu orang tuanya yang memiliki usaha suplier mesin pabrik yang berada di jalan Jemadi Krakatau. Orang tua HR mempercayai HR untuk mengelola usaha suplier mesin agar usaha yang dibangun bapak HR dapat maju dan berkembang ke depannya. HR yang beragama Kristen Katolik ini tinggal di kawasan Medan Helvetia, HR bertempat tinggal di Perumahan Piazza Residence, perumahan yang cukup mewah dan megah yang rata-rata didiami orang-orang menengah keatas. HR belum berumah tangga dan saat ini HR tinggal bersama kedua orang tuanya yang berketurunan Jepang.

HR selalu rajin untuk pergi ke salon langganannya yaitu salon Annasui yang berada di jalan Setia Budi. HR ke salon tidak hanya untuk potong rambut, tapi juga creambath, dan facial. Sekali datang ke salon Annasui ini HR bisa menghabiskan uang sebesar Rp. 500.000 dan dalam sebulan HR biasanya ke salon sebanyak 2-3 kali. Di rumah HR biasa mengahabiskan waktu lebih dari 1 (satu) jam untuk melakukan perawatan tubuh. Bagi HR rambut adalah prioritas utama, prioritas berikutnya adalah mulut dan gigi, kulit wajah, kulit tubuh dan seterusnya hingga kuku. Selain ke salon HR melakukan perawatan tubuh sendiri di rumah dengan melakukan luluran sebelum mandi, HR luluran setiap 3 kali sehari sebelum mandi. lulur yang sering dipakai bubuk susu, yang sering HR beli diluar negeri yaitu di Jepang, HR memakai hand body ( Pond’s),


(55)

pelembab wajah (Pond’s), minyak rambut ( L’Oreal), minyak wangi (Bulgari). HR juga memakai lipbalm setiap hari sebelum pergi, ini HR lakukan agar bibir HR tidak kering, bibir HR kering karena HR seorang perokok. Jika HR tidak memakai lipbalm maka bibir HR kelihatan kering dan pecah-pecah.

Dalam hal berpakaian, HR tidak pernah beli pakaian jadi selain kaos. Biasanya HR selalu beli bakal untuk buat kemeja. HR selalu nyaman jika memakai kemeja. Karena kemeja selain dipakai nyaman juga berkesan rapi untuk di lihat. HR memiliki seorang desainer yang HR percaya untuk mendesain bajunya. Desainer HR bernama Aliong. HR selalu merasa puas memakai baju hasil buatan Aliong yang berdomisili di belakang Mesjid Raya.

Untuk mendapatkan tubuh yang bugar, HR rajin mengunjungi fitness club di Hotel Danau Toba, biasanya HR melakukan fitnes dua kali dalam seminggu di Hotel Danau Toba dengan biaya Rp 200.000 sekali fitness. HR melakukan fitnes untuk menjaga kebugaran dan bentuk tubuhnya agar tidak kegemukan dan tidak kelihatan tonjolan lemak di tubuhnya.

HR peduli dengan penampilan tubuhnya dengan melakukan perawatan tubuh sejak HR duduk di bangku SMA. Mulanya HR disuruh ibunya untuk memakai sabun pencuci muka, body lotion, dan gel rambut setiap harinya. Ibu HR meminta agar HR lebih peduli dengan tubuhnya, ibunya ingin HR selalu bersih dan wangi. Berawal dari sini HR menjadi terbiasa merawat tubuhnya sampai saat ini dan ia akan merasa tidak nyaman apabila ia tidak melakukan perawatan tubuh yang rutin ia lakukan. HR sangat nyaman dengan penampilannya saat ini. Karena dengan berpenampilan seperti ini, ia merasa PD (percaya diri) dan ia merasa lebih disukai oleh banyak wanita, dengan


(1)

4. Mode dan trend merupakan satu bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan pria metroseksual. Umumnya para pria metroseksual sangat senang mengikuti mode dan trend terbaru yang ada pada saat ini. Dengan adanya mengikuti mode dan trend terbaru para pria metroseksual telah menunjukkan identitas diri mereka.

5. Keseluruhan informan pria metroseksual menganggap positif terhadap kehadiran mode dan trend. Dengan adanya mode dan trend para pria metroseksual dapat menjadi lebih percaya diri karena berpenampilan menarik. Para pria metroseksual mengikuti mode dan trend yang berkembang pada saat ini dengan melihat televisi, majalah FHM, Muscle, dan Cosmo.

6. Beberapa faktor yang menyebabkan pria menjadi pria metroseksual antara lain:

a. Karena datang dari sendiri ini dipengaruhi oleh media informasi dan teknologi seperti TV, internet, majalah, dan lain-lain.

b. Karena dari keluarga, ini khususnya seorang ibu yang mendorong untuk berpenampialn rapi, bersih, dan wangi.

c. Karena pergaulan atau dari lingkungan sekitar d. Karena tuntutan dari pekerjaan

7. Para pria metroseksual melakukan perawatan tubuh dalam dua cara yaitu: a. Pertama : dengan cara melakukan perawatan tubuh di salon yaitu; gunting

rambut, creambath, facial, lulur, maskeran dan spa. Para pria metroseksual selain pergi ke salon, pria metroseksual juga pergi ke gym.


(2)

b. Kedua : dengan cara melakukan perawatan tubuh du rumah misalnya, sebelum mandi luluran, sebelum tidur memakai pelembab malam, dan sebelum berpergian memakai pelembab, dan tidak lupa maskeran.

8. Dalam melakukan perawatan tubuh para pria metroseksual mengeluarkan biaya yang cukup besar tiap bulannya. Biaya yang di keluarkan para pria metroseksual ke salon setiap bulannya rata-rata Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 sedangkan biaya yang dikeluarkan para pria metroseksual untuk pergi ke gym setiap bulannya rata-rata Rp.200.000 - Rp. 400.000 setiap bulannya.

9. Para pria metroseksual selain melakukan perawatan tubuh di salon dan pergi ke gym, para pria metroseksual juga suka nongkrong di kafe dan suka dugem. Para pria metroseksual sangat suka menjelajah mal-mal, biasanya para pria metroseksual suka hunting barang-barang yang lagi trend atau up-to-date dan menjelajah barang-barang yang bermerek terkenal.

10.Seorang pria metroseksual tidaklah sama dengan para waria ataupun dengan Gay. Para pria metroseksual memperhatikan penampilannya tidak dikarenakan adanya gangguan dalam psikologisnya namun dikarenakan gaya hidup perkotaan yang selalu berkembang dan biasanya mereka memperhatikan penampilannya dikarenakan tuntutan lingkungan sekitar dalam hal ini biasanya adalah lingkungan dunia kerja.

11.Pria Metroseksual tidak takut disamakan dengan wanita, waria atau gay. Karena sangat jelas perbedaan gay atau waria dengan pria metroseksual, bila seorang waria gaya dan penampilannya lebih condong kewanitaan, sedangkan


(3)

adalah sebuah kelainan yang dimiliki seseorang dalam memilih pasangan untuk hubungan seks. Sedangkan masalah wanita sangat banyak wanita yang menginginkan pasangannya (pria) untuk selalu menjaga penampilannya. 12.Masyarakat awam melihat pria yang suka berdandan identik dengan gay,

waria, meskipun pada kenyataannya pria yang suka berdandan tidak selalu identik dengan gay atau waria.

13.Streotipe-streotipe yang di dapat para pria metroseksual di masyarakat sekitar antara lain :

a. Sering dianggap seperti wanita b. Sering dianggap seperti waria c. Sering dianggap sebagai gay

14.Pria Metroseksual tidak merasa feminim, walaupun tanpa disadari para pria metroseksual sudah seperti wanita yang peduli dengan tubuh dan selalu melakukan perawatan tubuh sebagaimana hal yang dilakukan wanita.

15.Masyarakat telah merekonstruksikan perbedaan antara pria dan wanita dengan citra maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, bergelut di sektor domestik, pesolek dan lain-lain.


(4)

5.2. Saran

1. Kehadiran wanita di area publik secara langsung ataupun tidak langsung juga telah merubah pola pemikiran kaum pria tentang bagaimana merespon kehadiran kaum wanita di area publik, salah satunya adalah tentang penampilan. Penampilan wanita yang selalu nampak rapi dan wangi di area publik telah membuat para pria juga merasa perlu untuk dapat menjaga penampilan mereka agar dapat mengimbangi keberadaan wanita di area publik. Pertukaran ataupun penyamaan sifat gender di area publik ini diharapkan tidak diikuti dengan perubahan orientasi sex antara pria dan wanita, hal ini ditujukan agar tidak memunculkan streotipe-streotipe miring di setiap pertukaran ataupun penyamaan sifat-sifat gender yang memang bisa berubah di tengah-tengah kemajuan zaman.

2. Kemajuan teknologi memang telah banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat, termasuk pemikiran kaum pria metroseksual yang dapat di nilai terlalu konsumtif. Mengikuti perkembangan zaman memang bukan merupakan suatu larangan, akan tetapi kita harus dapat memilah-milah dari berbagai dampak pekembangan itu, kita harus mengambil hal-hal yang dapat memberikan dampak positif bagi kita serta orang-orang disekitar kita dan membuang semua hal yang memiliki dampak negatif. Perilaku konsumtif para pria mtroseksual diharapkan tidak menjadi sasaran empuk kaum-kaum kapitalis untuk dapat mengembangkan sayapnya di negara kita ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2001, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta : Penerbit Tarawang Press.

Baudrillard, P. Jean. 1970, Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana. Chane, David. 1996, Life Style. Yogyakarta : Penerbit Jala Sutra.

Faki, Mansour. 1996, Analisis Gender. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Belajar

Fatherstone, Mike (Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth). 2005, Postmodernisme dan Budaya konsumen. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Belajar

Gulo, W.2002. Metodologi Penelitian, Jakarta : Grasindo.

Ibrahim, Idi Subandy. 1997, Ecstasy Gaya Hidup : Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung : Mizan

Megawangi, Ratna, Dr. 1999, Membicarakan Berbeda; Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Jakarta : Mizan

Moleong, Lexy. J. 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Poewadarminta, W. J. S. 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia : diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bangsa. Jakarta : PN Balai Pustaka.

Poloma, Margaret M. 1994, Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Setiadi, J. Nugroho. 2003, Prilaku Konsumen. Jakarta : Penerbit Prenada Media.

Singarimbun, Masri. 1989, Metode Penelitian Survei. Jakarta : Lembaga Penelitian Pendidikan dan penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)


(6)

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Sunarto, Kamanto. 2000, Pengantar Sosiologi (edisi kedua), Jakarta : lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Susanto, AB. 2001, Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis, Jakarta : Kompas http://AnginSavana.Blogspot.com

http:// Lautan.Blogspot.com

…2004, Pasar Metroseksual (http:

diakses tanggal 28 April 2004)

…2004, Rahasia Terdalam Pria Metroseksual

Maret 2004)

…2004, Pria Metroseksual = Pria Berisi

(http ...2007, Hiburan di Mal Dari Kafe, Biliar Hingga Karaoke

(www.korantempo.com/korantempo/2007/11/11/Perjalanan/krn,20071111,39.id.html - 21k - . diakses tanggal 11 November 2007)

...KOTA MEDAN DALAM ANGKA 2006, BPS Kota Medan

...Departemen Agama Kota Medan dalam MEDAN DALAM ANGKA 2006, BPS Kota Medan

...KARAKTERISTIK PENDUDUK KOTA MEDAN-PROPINSI SUMATERA UTARA-HASIL SENSUS PENDUDUK 2000, BPS Kota Medan