pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.
C. Pandangan Islam Tentang Institusi Kejaksaan
Dalam literatur studi hukum Islam sebenarnya institusi kejaksaan belum eksplisit di atur sebagaimana institusi kejaksaan agung saat ini. Utamanya di
negera-negara sekuler. Peranan lembaga peradilan lebih tercakup ke dalam dua wilayah yakni; Wilayatul Mazhalim dan Wilayatuh Hisbah. Kedua institusi ini
mememiliki fungsi penegakan sekaligus pengawasan. Wilayatul Mazhalim secara umum didefinisikan sebagai institusi hukum yang berfungsi mengawasi
jalannya sistem peradilan. Wilayah Mazhalim juga bisa diartikan sebagai suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan
hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini berfungsi memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke
dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim
ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh
seseorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan
dari yang bersangkutan, tetapi memang jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
17
Sementara itu, lembaga atau wilayatul hisbah dapat dimengerti sebagai wilayah hisbah merupakan salah satu lembaga dari lembaga peradilan yang
kewenangannya terpusat pada tempat-tempat transaksi sebagaimana terlihat dalam sejarah Daulah Umayyah dan Abbasiyah, bahkan pada masa Nabi SAW.
Secara historis dalam hukum ketatanegaraan dan sistem peradilan yang ada sejak munculnya Islam, wilayah atau institusi peradilan tersebut sebenarnya
telah mencakup nilai-nilai sebagaimana dianut pada institusi saat ini, seperti munculnya lembaga kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman. Hanya saja
proses institusionalisasinya mengalami perkembangan lebih modern seperti saat ini.
Historisitas itu bisa dilihat jika kita misalnya melihat bagaimana dari masa ke masa dalam lintasan sejarah Islam proses institusionalisasi peradilan
Islam berlangsung.
c.1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW Di masa Nabi Muhammad SAW, misalnya kita melihat satu hal yang
dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah —setelah hijrah dari Makkah ke Madinah— adalah upayanya untuk mempererat persaudaraan antara kaum
17
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan hukum acara Islam, Yogyakarta: PT. Al- Ma’arif, 1964, hal.77-85
Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan shahifah al-rasul yang berisi tentang; Pertama, pentingnya pernyataan persatuan
bersama antara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang berhubungan dan berjuang bersama mereka; Kedua, orang-orang yang berlaku
zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang mukmin, harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri; Ketiga, orang Yahudi saling membantu
dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan bebas menjalankan agamanya masing-masing; Keempat, orang-orang yang bertetangga seperti satu
jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa; Kelima, orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa.
Beberapa poin di atas tentu menjadi agenda hukum dan ketatanegaraan yang penting pada masa kepimimpinan Muhammad SAW, terlebih sengketa
antar komunal dan ketentuan hukum saat itu selalu berkecamuk dalam tata sosial masyarakat saat itu. Dengan keluarnya shahifah al-rasul itu, sekaligus
mengindikan suatu kondisi yang mencerminkan telah berdirinya satu daulah Rasul, sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi
musuh orang-orang Quraisy. Sementara, kondisi peradilan pada masa ini, sudah terlihat dengan
adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn alKhaththab di
Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat qadhi, Akan tetapi, apabila terjadi
ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali
kepada Nabi SAW. Melalui beberapa wilayah hukum sebagaimana di atas telah disinggung.
Di masa ini Wilayatul Hisbah pada masa ini sebagai suatu lembaga yang belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah
pada kewenangan hisbah yang dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual
makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi SAW kemudian
bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk umatnya”.
c.2. Masa Khulafa al-Rasyidin Sementara setelah Nabi SAW wafat, kewenangan sebagai pemimpin
masyarakat negara digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada
masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn alKhaththab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada
qadhi yang diangkat. Begitu juga dengan lembaga hisbah dan lembaga lainnya, pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan, artinya muhtasib masih
dipegang sendiri oleh khalifah. c.3. Masa Daulah Umayyah
Adapun di masa kepemimpinan Bani Umayyah, yaitu setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat, kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib.
Di masa ini gejolak politik dan perdebatan telah membuat pemerintahan goyah dan dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya terus berkurang.
Akibatnya, kekhalifahan kemudian diserahkan kepada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Pada masa inilah imperium Bani Umayyah dmulai dari 661 – 750 M.
Adapun keberadaban peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan – terpisah dengan kekuasaan pemerintah- dengan adanya penentuan qadhi yang
dipilih khalifah, dengan berbagai kewenangan yang dimiliki sebagai mana diatur dalam undang-undang saat itu. Di antaranya kewenangan memutus
perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa Khalifah al-Rasyidin.
Adapun Wilayah Hisbah muhtasib pada masa ini tidak melembaga dan diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq.
Joeseph Schacht dalam “An Introduction to Islamic law” menjelaskan bahwa wilayah hisbah sebenarnya diadopsi dari lembaga peradilan di masa
Bizantium yang fungsinya merupakan bagian dari peradilan, yaitu spector of market. Apa yang dikatakan oleh Schacht itu sesungguhnya tidak atau belum
dapat diterima sepenuhnya oleh kalangan Muslim. Sebab, antara wilayah hisbah dengan spector of market memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat
tajam. Sementara, spector of market hanya bertugas untuk mengumpulkan bayaran wajib para pedagang collective obligation atau pajak jualan.
Sementara, wilayatul Hisbah memiliki kewenangan yang lebih dari sekedar itu. Dilihat dari segi berdirinya pun tidak dapat diterima karena hisbah sudah ada
pada masa Rasul walaupun dalam bentuk embrio, sedangkan terbentuk sebagai lembaga terjadi pada masa Umayyah setelah melalui proses sejarah.
18
Dalam konteks ini, wilayah hisbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur
dan mengontrol masyarakat dari perbuatan perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
c.4. Masa Daulah Abbasiyah Pasca runtuhnya Dinasti Umayyah, kemudian kekuasaan di\gantikan
oleh Dinasti Abbasiyah. Kekusaan Abbasiyyah diperkirakan berlangsung dari kurun waktu 750 M – 1225 M 132 H – 656 H. Dimasa inilah kejayaan umat
Islam terlihat, tak heran bila pada masa Dinasti ini kerap disebut sebagai zaman keemasan Islam. Hal itu ditandai oleh kemajuan dalam segala bidang, termasuk
dalam lembaga peradilan. Diferensiasi kemajuan institusi hukum dan sistem peradilan itu terletak pada pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan yang
dikepalai oleh qadhi al-qudhah yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan
Islam. Begitu juga dengan lembaga hisbah sudah terlaksana dengan baik,
lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal
18
Joeseph Schacht , An Introduction to Islamic law, London: Clarendon Paperbacks, 1983, hal. 153.167
ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk
mengakomodasi dan muhtasib. Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang
secara struktural berada di bawah lembaga peradilan qadha. Jadi, meski secara eksplisit institusi kejaksaan itu tidak eksplisit
sebagaimana saat ini, tapi jugas fungsinya sebagai lembaga penyidik sebenarnya telah ada saat itu. Namun, memang belum terinstitusionaliasi secara
spesifik. Namun, semangatnya sebenarnya sudah ada. Ini jelas terlihat, jika kita melihat, baik lembaga kehakiman Qadhi maupun kejaksaan yang sering
disebut dalam struktur pemerintahan pada umunya negara modern. Dalam pemerintahan Islam masing-masing lembaga negara, termasuk lembaga
penegak hukum seperti peradilan al-qodhi dan departemen keamanan dalam negeri, yang di dalamnya ada satuan kepolisian syurthah, memiliki fungsi
masing-masing yang tidak tumpang tindih. Peradilan adalah lembaga negara yang menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat.
Peradilan atau institusi peradilan pada umumnya bertugas menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat, mencegah hal-hal
yang dapat membahayakan hak-hak jamaah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan seseorang yang duduk dalam struktur pemerintahan;
baik ia seorang penguasa atau pegawai negeri, Khalifah ataupun selain Khalifah.
Departemen Keamanan Dalam Negeri—termasuk di dalamnya satuan kepolisian—bertindak mencegah tindak kejahatan dengan mewaspadai,
menjaga dan melakukan patroli. Kemudian menerapkan hukuman-hukuman yang telah diputuskan qâdhî hakim terhadap orang yang melakukan
pelanggaran atas harta, jiwa atau kehormatan. Semua itu dilakukan oleh satuan kepolisian syurthah. Polisi diberi tugas untuk menjaga sistem, mengelola
keamanan dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek implementatif. Polisi berperan sebagai kekuatan implementatif yang dibutuhkan oleh
penguasa untuk menerapkan syariah, menjaga sistem dan melindungi keamanan; termasuk melakukan kegiatan patroli. Meski dalam Islam, tidak ada
institusi kejaksaan. Namun, fungsinya menyatu dalam proses hukum di pengadilan. Dengan demikian, tentu perselisihan antara lembaga penegak
hukum dapat dihindari, selain tentunya akan terjadi efisiensi. Ini tentu akan sedikit berbeda jika dibandingkan dengan konsep negara
sekuler atau negara modern nation state. Di Indonesia misalnya, kasus korupsi, sebuah kasus kewenangan penyidikannya bisa ditangani oleh 3
lembaga: Polri, Kejaksaan dan KPK. Konsekuensi dari tumpang tindihnya wewenang akan memunculkan dua ekses, yakni perselisihan atau sebaliknya,
‘perselingkuhan’ antarlembaga penegak hukum. Sebagai contoh ‘perselisihan’ jaksa dengan hakim biasanya dilakukan dengan cara jaksa secara sengaja
membuat dakwaan yang kabur obscuur libel sehingga dengan demikian terdakwa divonis be bas oleh hakim. Namun, tentu ini implikasi negative yang
muncul, selain tentu saja dalam sejarah Islam sistem peradilannya juga
memiliki kelemahan tertentu, seperti tumpang tindihnya kekuasaan qadhi dan khalifah.
BAB III LEGALITAS KEPEMIMPINAN JAKSA AGUNG MENURUT HUKUM