Legitimasi Kekuasaan Analisis Tentang Legitimasi dan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Dari cara dan sumber perolehan tersebut lahirlah beberapa tipe legitimasi yaitu: legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi Khrisma, legitimasi prosedural dan legitimasi instrumental. 27 Unsur-unsur legitimasi inilah yang kemudian terus berkembang lalu tertuang dalam bentuk undang-undang yang mengikat sehingga penyelenggaraan negara benar-benar tertib administrasi. Sehingga dalam perkembangan demokrasi modern unsur-unsur tersebut menjelma dalam kesadaran social dan politik, dengan ciri demokrasi. Meski tentu saja selalu saja ada celah legitimasi yang dapat dimanipulasi seiring dengan perkembangan zaman. Tapi, setidaknya unsur- unsur tersebut menjadi framework untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sebuah jabatan, tak terkecuali kejaksaan agung sebagai salah satu pilar penegakan hukum.

B. Legitimasi Kekuasaan

Sementara itu, dalam perspektif kekuasaan legitimasi juga dapat bermakna yang berbeda: kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan, akan tetapi kewenangan ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. 27 Sebagai perbandingan, argumentasi Max Weber dapat menjadi rujukan terutama bagaimana tipe-tipe legitimasi itu memiliki kerangka rasionalitasnya tersendiri. Baik itu bersifat tradisional, charisma, maupun instrumental. Lihat, Tom Cambell, “Tujuh Teori Sosial,” terj: F. Budi Hardiman, Kanisius, 1994, hal. 230-256 Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketentuan hukum yang dapat memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati. Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga kewenangan orangtua, kelompok-kelompok kecil kewenangan kepemimpinan informal, dalam organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat birokrasi dalam organisasi pemerintah dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari masyarakat yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi kewenangan politik.

C. Analisis Tentang Legitimasi dan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase. Berangkat dari masalah kompleksitas hukum tersebut, sudah sejak dulu, hukum senantiasa menarik perhatian dan menjadi wacana yang tidak henti- hentinya diperdebatkan dikalangan cendikiawan. Kompleksitas hukum menyebabkan hukum itu dapat dipelajari dari bebagai sudut pandang. Lahirnya berbagai disiplin hukum disamping filsafat hukum, dan ilmu hukum, seperti teori hukum, sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, perbandingan hukum, logika hukum, psikologi hukum, dan yang kini sedang tumbuh adalah politik hukum adalah bukti yang tidak dapat dibantahkan dari kebenaran pernyataan di atas. Pada tataran empiris politik hukum telah digunakan oleh Moh. Mahfud M.D. sebagai pendekatan dalam memahami relasi antara hukum dan politik. Dari karya ilmiahnya Mahfud mencoba menghadirkan sebuah pendekatan yang berbeda dalam memahami sebuah fenomena hukum. Dalam hal ini, berbeda dengan pendekatan klasik yang melihat hukum dari sisi yuridis normatif an sich, Mahfud melihat hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variable yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Berdasarkan hasil penelitiannya, mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkan. Dalam Negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan dinegara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis . Bila diperhatikan secara seksama, Mahfud menggunakan asumsi bahwa ada keterkaitan yang erat antara hukum dan politik yang menekankan pada aspek keterkaitan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum. Dari hasil penelitiannya bahwa konfigurasi politik sangat mempengaruhi karakter produk hukum. Gagasan Negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik Indonesia merupakan penolakan yang tegas terhadap setiap bentuk pemerintahan otoriter yang biasanya menindas hak-hak asasi rakyat, dan sekaligus pula gagasan Negara hukum tersebut diatas merupakan pernyataan yang tidak menghendaki adanya struktur sosial yang timpang yang menjadi sumber utama ketidakadilan sosial. Oleh karena itu suatu Negara hukum yang demikian itu hanya mungkin dapat terwujud antara lain dengan adanya : 1 suatu sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Bentuk-bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara moderen biasanya dilakukan melalui pemilihan umum guna memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk didalam badan perwakilan rakyat parlemen dan presiden. Pemilihan umum tersebut tentunya harus dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil, dimana para warga Negara yang telah memenuhi syarat- syarat yang telah disepakati bersama dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dalam konteks politik Indonesia dewasa ini pemilihan umum diadakan satu kali dalam lima tahun. 2 adanya peran serta yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk turut serta mengawasi pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. 3 bahwa tindakan-tindakan pemerintah harus senantiasa didasarkan atas hukum positif yang berlaku. Pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakan secara sewenang-wenang yang tidak mengindahkan ketentuan- ketentuan hukum baik yang diatur didalam undang-undang dasar maupun yang diatur dalam undang-undang produk legislatif yang merupakan produk politik. 3 adanya peradilan yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eks`ekutif. lembaga peradilan inilah yang bertanggung jawab untuk mengawasi sejauh mana alat-alat Negara dalam menjalankan peranan mereka benar-benar mentaati ketentuan-ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam konteks ini anggota-anggota masyarakat atau para warga Negara harus senantiasa berhak untuk menguji keabsahan tindakan-tindakan pemerintah atau alat-alat negara di depan lembaga peradilan tersebut. 28 Dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut di atas, proses pelaksanaan pemilu dalam suatu negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial, salah satu hal yang paling penting adalah pada aspek penegakan aturan pemilu. Belajar dari pengalaman pemilu Indonesia sebelumnya, Pemilu mendatang, dimungkinkan akan banyak terjadi pelanggaran. Mengingat jumlah kontestan pemilu yang lebih banyak maupun tingkat apresiasi konstituen yang secara tidak langsung telah terpolarisasi ke dalam politik aliran. Hal ini dapat berakibat pada berkurangnya dukungan terhadap hasil pemilu. Untuk mengantisipasi munculnya kondisi demikian, maka penyempurnaan instrumen pengawas dan lembaga penyelesaian pelanggaran merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu maka Pemilu harus memberikan ruang secara khusus untuk membahas masalah Pengawasan, Penegakan Hukum 28 Mahfud MD, Dasar-dasar Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001, hal. 5-50 dan Pemantauan Pemilu. Dalam hal pengawasan, teknis pelaksanaannya diserahkan pada kewenangan KPU sebagai penyelenggara. Kemampuan KPU untuk mengawasi dirinya sendiri merupakan satu keraguan yang muncul dalam benak masyarakat pada umumnya dan secara khusus adalah para peserta pemilu itu sendiri. Persoalan bagaimana penegakan hukum memberikan tugas kepada pengadilan hanya dalam lingkup peradilan umum. Tetapi mengenai bentuk dan bagaimana kaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, tidak memberi jawaban tegas. Begitu pula dalam hal pemantauan, seyogyanya UU Pemilu memberikan penjelasan mengenai seberapa jauh kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga pemantau pemilu terutama kaitannya dengan masalah ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh para peserta pemilu. Padahal persoalan penegakan hukum seharusnya diatur secara tuntas di dalam Undang-undang sendiri. Hal ini untuk menghindari adanya penumpukan kewenangan pada salah satu lembaga yang berkait dengan pelaksanaan pemilu. Mahkamah Agung merupakan lembaga pengadilan tingkat banding dan terakhir. Tetapi dalam perubahan UUD ada lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu dan pembubaran suatu partai politik. Karena itu menempatkan MA sebagai lembaga Pengadilan tingkat banding dipandang kurang tepat. MA seharusnya ditempatkan sebagai lembaga pengadilan tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sebaik apapun peraturan diciptakan, tanpa ada aturan mengenai penegakannya, maka akan sia-sia karena hanya akan memenuhi ruang perpustakaan hukum belaka. Merealisasikan ide keadilan dalam kehidupan masyarakat, restorasi dan rehabilitasi kondisi sosial, dan melindungi korban dan pelaku dari penderitaan yang eksesif adalah tujuan dari penegakan hukum pada umumnya. Dalam Pengadilan Pemilu ini ditambahkan pertimbangan tentang signifikansi pemilu dan hasil pemilu terhadap kelangsungan kehidupan bernegara. Dengan demikian masalah pengadilan pemilu merupakan hal yang penting untuk mendapatkan perhatian dalam sistem peradilan di Indonesia, seperti halnya persoalan kepailitan yang diselesaikan di Peradilan Niaga. 29

D. Analisis atas Kedudukan dan posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945