BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki sepuluh tahun reformasi, Indonesia seolah tak pernah henti diterpa badai. Dari mulai badai krisis ekonomi, bencana alam, dan masalah
legitimasi kepemimpinan, serta masalah kedudukan sebuah institusi penegak hukum semisal Kejaksaan Agung.
Tuntutan akan pentingnya kesadaran hukum dan Hak Asasi Manusia mau tak mau membuat negara harus mampu menyediakan lembaga atau institusi yang
memiliki kedudukan kuat sebagai elemen penegakan hukum dan HAM. Namun, keberadaan institusi penegak hukum sendiri kerap terhambat, selain oleh proses
delegitimasi kekuasaan, hal lain yang juga jadi masalah adalah sering terjadinya praktek penegakan hukum yang tebang pilih dan sewenang-wenang. Entah, karena
interest politik maupun mentalitas para penegaknya yang tidak memegang teguh cita-cita yang diemban sebuah institusi, atau karena sistem ketatanegaraan kita
yang lemah hingga memberi celah tangan-tangan jahil yang lazim mempermainkan hukum sebagai dagangan kasus.
Potret buram dunia hukum kita semakin terang terlihat dalam beberapa kasus hukum yang belakangan tampil kepermukaan, seperti skandal Bank
Century, mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, serta beberapa kasus lainnya
yang melibatkan pejabat, politisi dan sejumlah aparat penegak hukum. Hal ini jelas sangat mencoreng wajah penegakan hukum kita, dan tentu saja seamakin
mencoreng legitimasi institusi penegak hukum kita dewasa ini. Mencuatnya beragam gugatan, seperti gugatan atas pemilihan Presiden dan
wakil Presiden lalu, berikut menghangatnya gugatan soal legalitas Jaksa Agung, Hendarman Supandji, yang dilontarkan Yusril Ihza Mahendra. Seolah
memperlihatkan celah hukum dan ketatanegaraan kita yang masih rapuh. Pada saat yang sama tuntutan atas kesadaran hukum semakin meningkat,
seiring dengan desakan masyarakat atas penegakan hukum yang berkeadilan dengan bertolak dari konteks sosio-kultur masyarakat setempat. Kaidah-kaidah
hukum dan ketatanegaraan inilah yang kemudian membuat sendi-sendi kekuasaan politik mulai goyah.
Di Indonesia, pasca tumbangnya rezim Orde Baru, memang riak-riak kebebasan dan segudang masalah belum sepenuhnya dapat di atasi dengan baik.
Apalagi format berbangsa dan bernegara kita sangat tercermin oleh tertib administrasi negara.
Celah hukum dan ketatanegaraan ini tentu saja terkait dengan kedudukan dan legitimasi sebuah institusi, semisal institusi kejaksaan agung, baik secara
hukum maupun politik. Sebab dalam struktur dan kewenangan terletak legitimasi yang mau tak mau disandang oleh baik kepemimpinan politik maupun birokrat.
Tanpa alat legitimasi, kekuasaan institusi akan menjadi tumpul. Bahkan tak kuasa melakukan apa-apa. Terlebih ini sesuatu yang sangat prinsipil.
Sistem hukum dan ketatanegaraan kita selama ini memang merupakan adopsi baik dari hukum positif maupun hukum Islam, belum sepenuhnya
terintegrasi dengan baik sesuai konteks sosio-kultural masyarakat. Sebagai negara sedang berkembang, pemerintah Indonesia tentu saja
memiliki tugas yang tidak mudah terkait penegakan hukum dan perbaikan ketatanegaraan. Sebab bagaimana pun tertib sosial tidak mungkin tanpa tertib
hukum dan ketatanegaraan. Produk hukum kita sendiri tidak hanya bersandar semata dari hukum positif postitif legality, tapi juga harus bertolak dari hukum
Islam. Sebab mayoritas masyarakat kita yang menganut Islam. Tidak hanya di situ, Indonesia juga dikenal memiliki keragaman kultural dan ekspresi-ekpresi
sosial yang pluralistik. Oleh karena itu konvergensi hukum positif, Islam dan keterkaitannya dengan sosio-kultural menjadi penting untuk diintegrasikan dalam
kehidupan berbangsa dan benegara yang berlandaskan pada penegakan hukum yang seadil-adilnya. Hal ini jelas tercermin dalam pikiran-pikiran politik, hukum
dan ketatanegaraan sosok pemikir Islam setelah Muhammad Natsir, yakni Yusril Ihza Mahendra.
Reformasi dibidang hukum di atas, mau tak mau meniscayakan adanya perubahan dasar-dasar ketatanegaraan, baik bersifat struktural maupun kultural.
Dasar-dasar kenegaraan dan masyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,
1
paling sedikit mencakup: 1 agama, 2 filsafat, 3 ideologi, 4 ilmu
1
Soerjono Soekanto, Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum, Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV 1983, hlm. 37
pengetahuan, dan 5 teknologi. Dengan demikian, pembangunan Hukum Islam di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan
Indonesia. 2.
Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru. 3.
Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan efektif.
4. Serta mendasarkan legitimasi baik hukum maupun politik pada tata
kelola pemerintahan yang baik dan legal
2
Sifat khas permasalahan di bidang hukum dan ketatanegaraan tersebut terletak pada upaya pemetaan kembali sistem hukum, baik dalam konteks struktur
logis hukum maupun dalam konteks sarana bagi perencanaan masyarakat ideal. Lebih dari itu, terciptanya suatu sistem hukum dan tata negara yang sesuai
dengan keadaan sekarang, ataupun dalam menghadapi perkembangan di masa yang akan datang merupakan kebutuhan lain yang akan terus mendorong
permasalahan di atas. Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penulis berupaya
menelusuri jejak hukum dan tata negara yang paralel dengan legitimasi politik maupun hukum dalam sebuah negara. Upaya-upaya ke arah tata kelola kenegaraan
berdasarkan legitimasi tersebut, tentu saja mesti melibatkan beberapa komponen yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, atau yang biasa dikenal
2
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, Jakarta : Departemen Agama R.I., 1985, hlm. 2.
dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: 1 komponen perangkat hukum, 2 komponen penegak hukum, dan 3 komponen kesadaran hukum.
3
Dengan memperhitungkan setiap komponen hukum di atas, Maka secara menyeluruh pembahasan diharapakan menjadi lebih komprehensif. Namun,
membatasi pembahasan terkait komponen penegak hukum dan ketatanegaraan bukan berarti menganggap komponen-komponen hukum yang lainnya kurang
penting. Dalam tulisan ini, komponen penegak hukum terkait “legitimasi
kepemimpinan” ditempatkan sebagai tema-sentral pembahasan, sambil berusaha melihat kaitannya dengan komponen-komponen lainnya.
Secara intrinsik, perangkat hukum dan ketatanegaraan harus merefleksikan pembuatnya, yaitu mereka yang mempunyai peluang untuk melaksanakan serta
mengawasi kekuasaan, “rulling-class are rulling idea” demikian bila merujuk pada adagium tokoh marxis Antonio Gramsci. Sebab, perangkat hukum, sampai tingkat
tertentu, dikondisikan oleh situasi politik yang berlaku, dalam hal ini pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev,
4
penegakannya tergantung dari kekuatan dan kekuasaan politik. Sementara di pihak lain, kondisi tersebut juga ditentukan oleh berbagai kekuatan lainnya,
seperti sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
3
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim…
4
Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, alih bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: PT Intermasa, 1980,
hlm. 16.
Berkenaan dengan ini, maka “Kedudukan Jaksa Agung” sebagai salah satu institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam pembahasan ini. Sebab,
baik secara filosofis maupun praktis kedudukan dan legitimasi penegakan hukum merupakan pintu masuk baik bagi penegakan hukum maupun tata kelola
kenegaraan.
5
Kita juga mafhum, pada hakikatnya, bagaimanapun hukum didefinisikan, sebagai salah satu produk budaya dan politik. Dalam hal ini hukum merupakan
hasil konkritisasi manusia atas nilai-nilai agama dan budaya dalam mengatur kehidupan manusia itu sendiri.
6
Dengan demikian, hukum dapat dijumpai dalam berbagai lambang atau simbol.
Dalam kasus keabsahan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang belakangan berkembang pada uji materi Undang-undang kejaksaan di Mahkamah
Konstitusi MK misalnya, ini bagian dari celah hukum yang mau tak mau harus dicari jalan keluarnya. Sebab, bagaimana pun posisinya erat terkait dengan
kedudukan sebuah institusi penegakan hukum yang tak lain berada pada Kejaksaan Agung. Karena hal ini bukan sekadar persoalan kewenangan, tapi juga
legitimasi kepemimpinan pejabat di sautu institusi. Permohonan uji materi dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra terkait masa tugas Jaksa Agung juga akan berakibat fatal pada wibawa pemerintahan maupun institusi Kejaksaan Agung. Terlebih setelah Mahkamah
5
Soerjono Soekanto, Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum, Analisis Pendidikan, hlm. 40.
6
T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan Hukum Acara Islam Bandung: PT Al-Maarif, 1964, hlm. 30
Konstitusi memutuskan untuk memberhentikan karena tidak ada perpanjangan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus tersebut menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum. Artinya, bahwa hal itu cerminan dari keteledoran negara dalam hal ini presiden dalam menegakkan sistem ketatanegaraan.
Konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
dan 28 D ayat 1 UUD 1945 yang diajukan Yusril Ihza Mahendra. Adalah cermin dari lemahnya sistem hukum dan ketatanegaraan kita. Terlebih, ini bukan sekadar
masalah administrasi hukum semata. Lebih dari itu juga terkait dengan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pasal 19 ayat 2 UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden. Sementara Pasal 22 ayat 1 UU Kejaksaan dijelaskan
bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit jasmani dan
rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi masa jabatan Jaksa Agung.
Menurut Yusril Ihza Mahendra Jaksa Agung Hendarman Supandji, bila bertolak pada argumen di atas adalah illegal. Dengan demikian seluruh keputusan
yang ia perbuat juga batal demi hukum. Pakar Hukum Tata Negara yang juga pemikir Islam ini berpendapat bahwa
jabatan Jaksa Agung harus juga dikaitkan dengan periode jabatan kabinet. Jika tidak, lanjutnya, jabatan yang disandang Hendarman seolah-olah tidak ada batasan
masa jabatannya. Hendarman bahkan bisa menjadi Jaksa Agung seumur hidup. Sumber: Berbagai sumber media cetak maupun online
Dalam konteks inilah penulis melihat, contoh kasus ini menarik untuk dikaji, sebab ini tak hanya memperlihatkan dimensi dari lemahnya hukum
administrasi negara. Lebih dari itu terkait dengan legitimasi kepemimpinan yang akan berakibat fatal bagi tatanan hukum dan ketatanegaraan kita. Sehingga
penting untuk mengkaji secara lebih dalam persoalan “Legitimasi Kepemimpinan” dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Batasan dan Perumusan Masalah