Masalah Dualisme Kewenangan Kejaksaan?

peradilan yang berada di bawahnya…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” Pasal 24 ayat 1 dan 2. Sementara ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. 34 E. Masalah Dualisme Kewenangan Kejaksaan? Dari uraian panjang lebar di atas, Yusril berkesimpulan bahwa kedudukan Kejaksaan dalam sistem Parlementer Belanda, sebagaimana juga diikuti di Hindia Belanda, sampai kita merdeka hingga tahun 1959, kedudukan Kejaksaan adalah mendua. Secara organisasi, personil dan keuangan institusi ini berada di bawah Kementerian Kehakiman, namun secara fungsional, lembaga ini bekerja dalam penyelenggaraan badan-badan peradilan, sehingga Jaksa Agung disebut sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Namun dalam praktiknya di Negeri Belanda, maupun di Indonesia sebagaimana ditunjukkan Jaksa Agung Soeprapto, institusi ini dapat bekerja secara mandiri dan independen, tidak tunduk pada pengaruh kekuasaan eksekutif maupun yudikatif. Faktor individu, rupanya mempengaruhi efektifikas sebuah sistem ketika dia berjalan dalam kenyataan. Pada semua negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensial, khususnya di Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan semata-mata menjalankan tugas sebagai penuntut umum Public Prosecutor. Tugas melakukan penyidikan atas perkara-perkara pidana dilakukan oleh badan yang terpisah, yakni Federal Bureau of Investigation dan National Bureau of Investigation. Namun kedua 34 Yusril Ihza Mahendra, “Posisi dan Kedudukan Kejaksaan Agung”, makalah 2010 institusi ini sama-sama berada di bawah Department of Justice. Jadi, di Amerika dan Philipina yang menganut sistem Presidensial itu, Kejaksaan berada dalam ranah eksekutif, bukan ranah yudikatif. Di negara kita, yang juga menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, dalam tiga Undang-Undang tentang Kejaksaan yang pernah ada UU No 15 Tahun 1961; UU No 5 Tahun 1991 dan UU No 16 Tahun 2004, semuanya mengatur bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, yang juga berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Tugas utama kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan, di manapun di dunia ini memang tidak pernah dikategorikan sebagai tindakan yudikatif dan selalu menjadi tindakan eksekutif. Apalagi Kejaksaan kita mempunyai tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pengawasan yang lazim dikategorikan sebagai tindakan ekskutif. Sejak Kejaksaan sepenuhnya ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Jaksa Agung selalu menjadi menjadi anggota kabinet, baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri. Semua undang-undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD 1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung. Karena dia berstatus menteri atau pejabat setingkat menteri yang menjadi anggota kabinet, maka praktik ketatanegaraan menunjukkan kepada kita bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sama dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya. Tidak ada kebingungan terhadap masalah ini sepanjang sejarah ketatanegaraan RI, kecuali kasus Hendarman Supandji di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Timpang tinding posisi Kejaksaan di era presidensial ini juga berimplikasi pada kewenangan dan tugas atau fungsi jaksa sebagai fungsi penuntutan di satu sisi dan penyidikan di sisi lainnya. Pada saat yang sama lembaga lainnya seperti kepolisian juga memiliki fungsi penyidikan. Tumpang tindih keenangan ini semakin meruncing di tengah kemunculan lembaga adhock yang dibentuk presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dibentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dan Satgas Mafia hukum. Akibatnya, lembaga atau institusi hukum saling berebut “jatah” tugas atau kewenangan dalam penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh belum jelasnya perundang-undangan kita tentang fungsi dan garis tugas yang jelas antar lembaga penegak hukum. Jadi dualisme inilah yang hingga kini belum diatasi. Termasuk ketika penulis berdiskusi dengan Yusril Ihza Mahendra, dalam kesempatan silaturrahmi, Lebaran Idul Adha, ahli hukum tata negara itu pun sedang mengkaji kejelasan tugas dan wewenang tersebut. Menurutnya perlu ada semacam yudisial review yang serius terkait kejelasan dan fungsi dualisme yang melanda institusi kejaksaan. Karena itu pelajaran rumah Indonesia ke depan untuk pemberantasan korupsi dan tindak criminal lainnya, mau tak mau harus menyentuh aspek legal formal, serta distingsi tugas dan kewenangan yang jelas. Ini tentu saja membutuhkan pembahasan yang komprehensif di tengah kehausan masyarakat akan rasa keadilan.

F. Kedudukan Jaksa Agung dalam Perspektif Hukum Ketatanegaraan Islam