BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Industri asuransi telah lama berkembang di Indonesia. Industri ini berkaitan dengan pihak penanggung mengaitkan diri pada tertanggung atas risiko-risiko yang
mungkin terjadi.
1
Ikatan antara tertanggung dan penanggung terjadi setelah tertanggung menyerahkan premi kepada penanggung sebagai jaminan atas asset yang
ditanggungkan. Risiko-risiko yang biasanya terjadi adalah risiko kerugian, kecelakaan dan kematian.
Hingga saat ini sebagian besar pengusaha mikro di Indonesia belum banyak yang menerapkan asuransi bagi usahanya. Padahal, risiko usaha mikro sama saja
dengan lembaga yang bermodal besar. Rendahnya kesadaran di tingkat pengusaha mikro membuat risiko yang harus
ditanggung justru menjadi lebih besar. Selain itu, nasabah juga terkena dampak yang tidak bagus karena tidak adanya kesadaran itu.
2
Salah satu faktor yang menghambat usaha masyarakat miskin dan pengangguran adalah mereka tidak mempunyai akses
terhadap lembaga keuangan karena tidak mempunyai jaminan dan prosedur yang belum memihak pada usaha kecil.
1
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Life and General: Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta : Gema Insani, 2004, h.70
2
Pernyataan Agus Haryadi Direktur Takmin Working Group, Republika, 17082008.
1
Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas, angka kemiskinan tahun 2009 bisa mencapai 33,7 juta orang. Itu terjadi jika ekonomi
hanya tumbuh 4,5 dan inflasi meningkat sampai 9. Tapi, bila pemerintah bisa mengendalikan laju inflasi sebesar 6 maka jumlah orang miskin di negara ini bisa
ditekan menjadi 29,9 juta saja. Dari sebanyak 210 juta rakyat Indonesia, lebih dari 40 juta orang bergantung
pada berbagai usaha berskala mikro dan kecil dalam mencari nafkah. Oleh karena itu, sebanyak 3 juta usaha kecil dan mikro di Indonesia, atau sama dengan 96 jumlah
unit usaha merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Sehingga layanan keuangan mikro seperti tabungan dan kreditpembiayaan adalah sangat penting untuk
dapat mengembangkan industri-industri tersebut. Sebenarnya dalam Islam sudah ada solusi untuk mengentaskan kemiskinan,
karena salah satu pokok ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan bisa ditangani dengan cara memberikan
kemudahan pinjaman modal yang agunan jaminannya dari pihak ketiga. Oleh karena itu, harus ada pihak yang bersedia menolong saudaranya untuk memperoleh
modal. Salah satu faktor yang menghambat usaha masyarakat miskin dan
pengangguran adalah mereka tidak mempunyai akses terhadap lembaga keuangan karena tidak mempunyai jaminan dan prosedur yang belum memihak pada usaha
kecil. Akibatnya mereka sulit keluar dari kemiskinan dan merasa tidak berdaya.
Untuk menanggulangi kemiskinan dan melindungi kaum dhuafa dibutuhkan peran semua pihak, mulai dari pemerintah lembaga swasta hingga kelompok masyarakat
yang mampu. Keperluan perlindungan menghadapi malapetaka dan bahaya serta kerugian
finansial yang berkaitan dengannya yang dihadapi setiap orang terlebih yang dialami oleh kaum dhuafa seharusnya menjadi tanggungjawab bersama, hal ini sesuai dengan
firman Allah :
...
⌧
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”QS. Al-Maidah : 2 Maka Takmin Working Group- Peramu sebagai LSM yang konsen terhadap
masalah diatas, bekerja sama dengan Lembaga Asuransi Syariah Takaful Indonesia berupaya membuka akses masyarakat kurang mampu agar dapat saling tolong
menolong bila terjadi musibah, dengan mekanisme asuransi syari’ahtakaful. Pemberdayaan masyarakat kurang mampu merupakan suatu tindakan yang
bernilai bagi masyarakat itu sendiri dan Allah, dimana kebanyakan orang mampu sekarang ini tidak akan bergerak untuk membantu masyarakat bawah untuk dapat
berkembang jika tidak ada suatu organisasi yang mau mengkoordinir bantuan mereka.
Oleh karena itu keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah seperti KBMT, BPRS , dan lembaga sejenisnya merupakan suatu jembatan antara masyarakat lemah dan
orang yang berlebih atas hartanya. Dalam pemberdayaan masyarakat mustadh’afiin, harus banyak elemen
pendukung untuk dapat menopang kegiatan tersebut. Elemen-elemen tersebut harus bersinergi dalam memberdayakan dhuafa. Dimulai dari sumber pendanaannya,
kemudian pembinaannya, dan penjaminnya. Yang dimaksud penjamin disini adalah sesuatu yang dapat membantu mereka meminimalisir risiko yang ada ketika terjadi
musibah pada mereka, karena seringkali terjadi pada dhuafa yang ikut dalam program pembiayaan, mereka tidak dapat mengembalikan pinjaman yang diberikan
dikarenakan meninggal atau ada salah satu keluarganya yang sakit. Oleh karena itu, maka hadirlah Takmin Working Group yang menggagas
lahirnya Asuransi Mikro Syariah Syariah Microinsurance di Indonesia yang memberikan perlindungan bagi keluarga masyarakat miskin berpenghasilan rendah
atas risiko keuangan yang menimpa mereka, seperti kematian, kecelakaan, sakit, kehilangan aset dan hari tua.
Salah satu program asuransi yang digagas Takmin Working Group adalah produknya Takaful Mikro Sakinah atau dikenal juga dengan asuransi pembiayaan,
apabila nasabah LKMS Lembaga Keuangan Mikro Syariah mengalami musibah kematian dan mereka masih mempunyai kewajiban yang harus dibayarkan, maka
melalui dana tolong menolong Tabarru’ mereka dibebaskan dari hutang diatas.
Takmin Working Group sebagai lembaga yang berusaha mewujudkan program asuransi mikro, bekerjasama dengan lembaga asuransi syariah Takaful, untuk dapat
membantu menyediakan asuransi untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang selama ini tidak diperhatikan karena dianggap sebagai potret masyarakat yang
tidak mendatangkan keuntungan bagi lembaga. Takmin Working Group berupaya untuk menjadi penghubung antara Takaful dan masyarakat dhuafa dengan jaringan
KBMT, BPRS dan UPK yang terdapat di Bogor. Dari latar belakang dan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
dengan sebuah skripsi yang berjudul “ANALISIS PENGEMBANGAN PRODUK TAKAFUL MIKRO SAKINAH Studi Kasus pada Takmin Working Group,
Bogor ”.
B. Perumusan Masalah