Makna Hata-Hata Jampi Dalam Bahasa Angkola Mandailing

(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

MAKNA

HATA-HATA JAMPI

DALAM BAHASA

ANGKOLA MANDAILING

Nurhayati Harahap

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract

Jampi word is a set of words that has an interrelation and those are meaningfulness. Jampi word consists of verses and each verse has unfinite lines, in this case, it can be two to six lines. The set of words are so chosen alertly and when it was altered, there will be magical empowerment within these utterances.

Key words: jampi word, magical empowerment, utterances

1. PENDAHULUAN

Warisan budaya kita sangat beragam yang seharusnyalah dihindarkan dari kepunahan. Hata-hata jampi adalah salah satu warisan budaya yang terdapat di wilayah pemakian bahasa Angkola Mandailing, yaitu suatu wilayah pemakaian bahasa di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Hata-hata jampi digunakan oleh pemakainya untuk tujuan tertentu (special purpose), yaitu untuk mengobati penyakit tertentu dengan diiringi oleh benda-benda tertentu. Hata-hata jampi adalah rangkaian kata-kata yang saling berhubungan dan semuanya bermakna sehingga tidak ada yang disebut sampiran seperti halnya pantun. Hata-hata jampi terdiri atas bait-bait yang jumlah barisnya setiap bait tidak tetap atau tidak sama, yang hasil temuan penelitian ini berkisar antara dua sampai enam baris. Rangkaian kata-katanya dipilih sedemikian rupa sehingga ketika mengucapkannya diharapkan ada daya magis di dalamnya.

Sekarang ini hata-hata jampi sudah mulai dilupakan. Bisa jadi karena sudah memasyarakatnya pengobatan medis. Hal ini menyebabkan sedikitnya atau langkanya pemakai bahasa Angkola Mandailing sekarang ini yang menguasai hata-hata jampi. Bahkan adanya ragam kata ini dalam bahasa Mandailing sudah jarang pemakainya yang tahu. Ketika peneliti mengumpulkan data penelitian ini banyak yang bertanya, “Seperti apa hata-hata jampi itu?”. Kalaupun ada yang menguasainya, tidak menurunkannya dengan baik, dalam arti, yang mewarisinya mempunyai perhatian yang besar terhadap hata-hata jampi sehingga akan diingatnya dengan baik. Dengan keadaan ini bisa diperkirakan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, hata-hata jampi akan hilang, yang akan berakibat

punahnya salah satu warisan pendahulu kita. Demikian juga di berbagai perpustakaan yang dikunjungi, sepanjang pencarian peneliti, tidak ada buku-buku di perpustakaan yang menuliskan tentang hata-hata jampi ini, termasuk pada bagian deposit. Oleh karena itu, selayaknyalah hata-hata jampi ini mendapat perhatian untuk diwacanakan dalam berbagai kesempatan yang mendukung dalam konteks pembicaraan bahasa dan sastra, khususnya bahasa Angkola Mandailing.

Penelitian ini bertujuan menyajikan hata-hata jampi yang dapat diinventarisir. Selain menginventarisir, dilakukan juga kajian makna, baik makna harfiahnya maupun makna konteks. Perlunya kajian makna konteks ini karena untuk dapat memahami kata-kata yang digunakan dalam hata-hata jampi, harus diketahui hubungan di antara kata-katanya. Untuk itu terutama diperlukan pengetahuan lingkungan Angkola Mandailing karena pemilihan kata-kata hata-hata jampi sangat dekat dengan lingkungannya.

Populasi penelitian adalah pemakai bahasa Angkola Mandailing yang sudah berusia lanjut dan dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan informasi tentang data penelitian yang ditentukan secara purposif. Hasil penelitian berupa hata-hata jampi yang dapat diinventarisir disajikan dengan terlebih dahulu menuliskan hata-hata jampinya dalam bahasa Angkola Mandailing, kemudian penjelasan tentang benda yang menyertai pembacaannya. Selanjutnya adalah terjemahannya. Setelah terjemahannya, dilanjutkan dengan penjelasan tentang makna harfiah sekaligus makna konteksnya.

2. HASIL PENELITIAN

Dari hasil pengumpulan data, ada sepuluh hata-hata jampi yang dapat diinventarisir, yaitu:


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 1) Menghilangkan sakit karena tertelan duri

2) Menunda atau mengalihkan hujan 3) Menguatkan semangat pengantin

4) Mengobati rasa sakit karena absus atau infeksi (bernanah)

5) Membuat tegang (diam tak bergerak) 6) Pelet untuk disenangi orang lain 7) Pemanis

8) Mengobati yang terkejut

9) Menguatkan pukulan (untuk bertinju) 10) Mengobati sakit yang digigit penyengat

Dari sepuluh hata-hata jampi yang dapat diinvetarisir, semuanya mempunyai tujuan yang berbeda. Sebelum popular pengobatan secara medis, hata-hata jampi sangat berperan dalam masyrakat AM dalam hal mengobati penyakit. Salah seorang responden mengisahkan bagaimana besarnya pengorbanan, baik dalam bentuk materi maupun fisik, yang dibayar atau dilakukannya untuk mendapatkan sebuah hata-hata jampi. Pengorbanan dalam bentuk materi misalnya, harga sebuah hata-hata jampi, kalau disetarakan dengan nilai uang sekarang bernilai ratusan ribu rupiah. Dalam bentuk fisik, seorang yang akan diwariskan hata-hata jampi harus melakukan beberapa ritual tertentu. Jadi, seseorang ingin mendapatkan hata-hata jampi harus bersusah payah.

Seseorang yang menguasai hata-hata jampi tidak akan mempopulerkan atau memberitahukannya atau mewariskannya kepada sembarang orang. Biasanya orang yang paling dekat kepadanyalah, misalnya anaknya, yang dipilihnya untuk mewarisi hata-hata jampi yang dimilikinya. Masih menurut responden yang sama, si responden mendapatkan warisan hata-hata jampi yang dimilikinya dari orang tuanya ketika orang tuanya merasa umurnya tidak lama lagi. Karena tidak sembarangnya orang yang dapat mengusainya, hata-hata jampi ini relatif sulit diinventarisir.

Disamping kesulitan menjumpai orang yang menguasainya, kendala yang dirasakan adalah kerahasiannya. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa orang yang menguasainya tidak mudah mendapatkannya sehingga dia juga tidak akan dengan mudah memberitahukannya kepada orang lain, apalagi yang bukan orang dekatnya. Karena dianggap dapat mencapai tujuan tertentu sehingga dianggap barang berharga, tidak semua orang yang menguasainya mau membagi atau memberitahukan ilmunya kepada sembarang orang.

Pengucapan setiap hata-hata jampi selalu disertai dengan benda-benda tertentu, namun yang paling banyak digunakan adalah air liur. Hal ini disebabkan air liur mudah dan cepat

memperolehnya karena dimiliki setiap orang. Selain air liur, tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar tempat tinggal masyarakat seperti daun-daunan juga sering digunakan. Namun yang agak berbeda adalah celana dalam wanita. Benda–benda digunakan karena adanya persamaan fungsi dengan yang dimaksudkan.

Sesudahnya masuknya agama Islam, hata-hata jampi dalam bahasa AM tidak langsung ditinggalka, hanya saja pemakaiannya berkurang. Selain itu, terjadi asimilasi, yaitu menambahkan unsur-unsur agama Islam dalam pembacaan hata-hata jampi sehingga sesudah agama Islam masuk banyak pembacaan hata-hata jampi yang dimulai dengan bacaan Bismillahirohmanirrohim, bahkan ada sebagian besar kata-katanya dari bacaan Al Qur’an. Adanya asimilasi ini menunjukkan begitu eratnya hubungan keduanya dalam masyarakat

Memahami makna komteks yang terdapat dalam hata-hata jampi bukan hal yang mudah. Untuk memahaminya sangat diperlukan pengetahan lingkungan sekaligus pengetahuan budaya, sejarah, serta pengetahuan antara kata-kata yang digunakan dengan tujuan atau maksud hata-hata jampi.

Di bawah ini diuraikan fungsi dan makna hata-hata jampi dalam AM yang dapat diinventarisir:

2.1 Menghilangkan Sakit karena Tertelan Duri

Manuk sirasiapas Daon ni na tarholi Songoni na hona tabas

‘Ayam si rasiapas\ Obat yang kena tulang

Seperti itu pula yang kena guna-guna’

Sesudah dibacakan hata-hata jampi ini, diminumkan air segelas. Sesudah agama Islam masuk ke wilayah AM, ditambahkan ucapan Bismillahirrohmanirrohim sebelum membacakan hata-hata jampinya.

Dalam hata-hata jampi untuk menghilangkan duri (biasanya ikan) dan rasa sakit yang ditimbulkannya ini, pada baris pertama pemisalannya digunakan ayam yang berasal dari suatu tempat yang berada di dekat suatu sungai yang bernama sungai Rasiapas, yaitu sungai yang membelah Desa Panompuan, di Kecamatan Pasar Matanggor, di sekitar Desa Aek Godang, yang disebut manuk sirasiapas ‘ayam sirasiapas. Adapun sungai Sirasiapas ini adalah pecahan dari sungai Aek Godang. Pemisalan terhadap ayam dari sungai Rasiapas ini karen ayam yang hidup di sekitar sungai ini dan umumnya Desa Panompuan


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 ini relatif sehat-sehat dan tahan terhadap penyakit.

Hal ini disebabkan banyaknya angin di tempat ini sehingga kuman-kuman penyakit yang berasal dari ayam akan cepat diterbangkan angin sehingga ayam-ayam dimaksud jarang kena penyakit. Demikian juga karena kesehatannya yang baik, ayam-ayam dari tempat ini telurnya relatif banyak. Jadi, nama ayam rasiapas ini sama baiknya dengan durian sidikalang yang terkenal keenakannya dan kepadatan isinya. Jadi, pemisalan terhadap ayam ini dimaksudkan agar sikorban yang terkena duri ikan tahan terhadap penyakit seperti halnya ayam si rasiapas.

Pada baris kedua, langsung pada sasarannya yaitu, daon ni na tarholi ‘obat yang kena duri, yang biasanya duri ikan’. Kalau kesehatan baik, badan akan tahan terhadap penyakit sekaligus rasa sakit karena daya tahan tubuh yang tinggi.

Pada baris ketiga dikuatkan lagi manfaat yang disebabkan oleh kesehatan tubuh yang baik ini, yaitu tahan juga terhadap penyakit yang disebabkan guna-guna, songoni muse na hona tabas ‘seperti itu juga yang kena guna-guna’.

Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini si penderita diharapkan tidak akan mengalami kesakitan lagi. Demikian juga duri dari kerongkongannya dengan sendirinya akan lenyap sesudah diminumkan air putih yang telah dibacakan hata-hata jampi tersebut.

2.2 Menunda Hujan

Pangpang si kapungpung Langkitang boru-boru Nai sarang ni daboru

‘Pangpang si kapungpung (suara petir) Langkitang (sejenis kerang sungai) betina Yang di celana dalam wanita

Disertai lemparan celana dalam wanita (pengantin) untuk pesta perkawinan dan anak gadis atau istri yang punya hajat untuk pesta lainnya.

Hata-hata jampi yang digunakan untuk menangkal hujan ini baris pertamanya dimulai dengan tiruan bunyi dari adanya tanda tanda akan turun hujan, yaitu petir dan halilintar yang bersuara pangpang-pungpung sehingga disebut pangpang sikapungpung. Hal ini, menunujukkan eratnya kehidupan masyarakat dengan lingkungan sehingga ungkapan yang digunakan juga tidak lepas dari kondisi lingkungan.

Demikian juga pada baris kedua, dimana digambarkan banyaknya sejenis kepah sungai yaitu langkitang yang akan muncul apabila turun hujan. Sesudah turun hujan, biasanya akan terjadi air bah.

Pada saat air bah ini akan banyak udang sehingga akan banyak yang akan mendurung udang di sungai karena saat inilah waktu yang paling baik untuk mendurung udang. Akan tetapi, pada saat mendurung udang, tidak hanya udang yang akan didapat, tetapi juga langkitang. Jadi, ketika mendurung udang, ada hasil sampingan yang didapat, yaitu langkitang. Adapun langkitang ini akan muncul ke pingggir pinggir sungai apabila air bah. Kalau sedang tidak air bah biasanya berdiam sekitar pertengahan sungai. Jadi, munculnya langkitang-langkitang ke pinggir pinggir sungai berhubungan dengan turunnya hujan. Adapun penyebutan jenis kelamin betina yaitu langkitang boru-boru ‘kepah betina’ berhubungan dengan baris ketiga yaitu pakaian dalam jenis kelamin wanita sebagai benda yang digunakan sebagai pengiring hata-hata jampi.

Pada baris ketiga, dimisalkan dengan sesuatu yang terdapat di dalam celana dalam wanita, nadi sarang ni da boru ‘yang di celana dalam wanita’. Pemisalan ini diambil berdasarkan bentuk dan sifat yang sama antara hujan yang turun dari langit dengan keluarnya air kecil manusia (wanita), yang kemudian bisa dihalangi dengan pemakaian celana dalam sebagai penghalang. Benda yang mengiringinya pun, digunakan celana dalam wanita, yaitu pengantin wanita yang akan dipestakan (kalau pesta perkawinan) atau istri yang punya hajatan (kalau pesta lainnya) dengan cara melemparkannya ke atas atap rumah yang punya hajatan. Kalau dalam budaya etnis jawa, yang dilemparkan adalah pakaian dalam laki laki yang punya hajatan.

2. 3 Menguatkan Semangat Pengantin

Dalam acara perkawinan adat Angkola Mandailing dilakukan acara mangupa, yaitu acara memberi makan pengantin, yaitu dimaksudkan untuk menguatkan tondi ‘semangat’ pengantin.

Sepasang pengantin perlu dikuatkan semangatnya karena akan mengalami kehidupan yang berbeda. Kalau sebelum menikah, tidak dibebani tanggung jawab, sebaliknya sesudah menikah akan mengemban tanggung jawab, tidak hanya atas dirinya sendiri, tetapi juga atas pasangannya serta anak-anaknya kelak. Untuk mengemban tanggung jawab ini perlu semangat yang lebih kuat dari sebelumnya karena akan lebih banyak onak duri yang akan dihadapinya nanti. Oleh karena itu perlu dibekali dengan semangat yang lebih besar lagi sehingga perlulah dilakukan penguatan semangat. Acara penguatan semangat ini dilakukan dengan pemberian makan dengan lauk tertentu yang disebut pangupa disertai pembacaan hata-hata jampi. Acara pembacaan hata-hata jampi dipimpin oleh seorang datu


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 ‘dukun’. Sebelum dan sesudah pembacaan

hata-hata jampi, terlebih dahulu pangupa diangkat serta dilayang-layangkan oleh peserta acara ke atas kepala yang mau diupa, dalam hal ini kedua pengantin. Seraya demikian, datu pangupa mengucapkan Taruuuuuuupa uupa!!!...3x. Kemudian disambut oleh hadirin peserta acara dengan mengucapkan Taruuuuu matondi!!! …3x. Kemudian mulailah datu pangupa mengucapkan hata-hata jampi seperti diuraikan dibawah ini.

Mijurma tondi tu ruma,

Namarama tondi si jangjang tondi si jongjong Manik ni tondi raja ni tondi

Tondi siandarasi siandarahot

Anso mohot tondi di ruma aut Di tiang togu di ruma Ulang I tondi mandao dao Ulang I tondi manduru duru Ulang I tondi tarlkalimanman Ulang I tondi tarkalimunmun

Mamulus matondi di alaman si lanse utang on Si borang ma tondi di bondar so halibean Manaekma tondinta di tangga si bingkang bayo on,

Mangalangkai gadu so halintasan on, Mungkap ma pintu gaja marngaur on

Marsisandarma tondinta di tunggang raja halang ulu bosar on

Ni tumpak nitogu togu tond

Ni suhut bayo pangkapit pangkancing pangakabiri

Ni tano rura banua on

Hot jana matua matoguma tondi dohot badan muyo

‘Turunlah semangat ke rumah

Yang berayah semangat si jangjang, semangat si jungjung,

Mutiaranya semangat, rajanya semangat, Semangat siandarasi, semangat siandarohot, Agar lekat semangat di tempatnya, terikat semangat di tiang kuat

Kuat, kuat semangat di tempatnya. Jangan semangat menjauh-jauh, Jangan semangat meminggir-minggir Jangan semangat malayang-layang Jangan semangat malayang-layang

Lewatlah semangat di halaman luas yang lunas utang ini

Menyeberanglah semangat di selokan yang tak nampak ini

Naiklah semangat di tangga yang bisa goyang-goyang ini

Melompati benteng tak terlewati ini Terbuka pintu gajah mengaum ini

Bersandarlah semangat pada penghalang pintu ini

Dibimbing oleh karisma turunan raja Penjaga alam semesta

Bersatu padulah semangat dengan badan kamu’ Hata-hata jampi di atas terdiri atas empat bait yang jumlah baris pada setiap baitnya tidak sama, yaitu antara empat sampai enam baris. Bait pertama terdiri atas empat baris. Baris pertama bait pertama dimulai dengan perkataan mijurma tondi turuma ‘turunlah semangat ke tempatnya di rumah (rumah yang berkolong)’. Maksud hata-hata jampi ini adalah untuk menjemput atau menempatkan semangat yang diupah ke tempat yang seharusnya, yaitu ke rumah tempat dimana yang diupah berada.

Pada bait kedua baris pertama dikemukakan agar semangat yang dijemput lengket di aut ‘tiang yang menghubungkan tiang penyangga dengan tiang penyangga rumah yang berkolong’ dan berada di antara tiang penyangga dengan lantai (papan). Kalau sudah berada di aut rumah, kedudukannya sudah sangat kuat dan sulit tanggal.

Bait ketiga mengutarakan bagaimana caranya agar semangat yang dijemput bisa masuk ke rumah dan menempati posisi yang telah disediakan. Pada baris pertama dikemukakan agar semangat dimaksud melewati halaman (wilayah) yang tidak ada utangnya. Utang yang dimaksudkan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melewati suatu tempat. Dengan tidak adanya utang berarti tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk melewatinya. Jadi, tidak ada penghalang lagi. Ini membuat suatu perjalanan menjadi lancar tanpa hambatan.

Bait keempat berisi sambutan yang dilakukan pembaca hata-hata jampi terhadap kedatangan semangat dimaksud. Pada baris pertama dikemukakan posisi yang disiapkan untuk semangat yang dimaksud yaitu dengan cara bersandar di tiang bondul ‘tiang pembatas pintu’. Pada baris kedua dikemukakan sesampainya di tiang bondul akan dituntun yang punya hajat. Pada baris ketiga, dikemukakan siapa yang punya hajat dimaksud, yaitu orang yang dianggap penting yang merupakan pengambil keputusan di wilayah tempat semangat akan ditempatkan. Selanjutnya pada baris keempat dikemukan harapan, semoga semangat yang dikuatkan menjadi lekat, lengket serta bersatu padu dengan badan atau raga si empunya badan. Dari uraian di atas terlihat bahwa


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 dalam rangka penguatan semangat dimaksud,

dilakukan upacara penyambutan sebagaimana layaknya penyambutan yang dilakukan terhadap seorang raja. Untuk penyambutan seorang raja, upacara yang dilakukan dilengkapi dengan berbagai peralatan dan tata cara. Adapun peralatan dan tata caranya sudah diuraikan sebelumnya.

Pembacaan hata-hata jampi juga sering dilakukan untuk mengembalikan semangat yangs sempat hilang, misalnya karena nyaris mendapat bahaya. Demikian juga usai melahirkan, yang merupakan pertarungan hidup dan mati bagi seorang ibu.

2.4 Mengobati Rasa Sakit karena Absus atau Infeksi (Bernanah)

Simakmak simukmuk Simakmak ni mandalasena Malum-malum bukkus

Ulang ho be mangaena, puah…

‘Sejenis tumbuh-tumbuhan Sejenis tumbuhan dari Mandalasena Sembuh-sembuh terbungkus

Jangan kamu lagi yang merasakannya’

Pembacaan hata-hata jampi ini disertai oleh penempelan sejenis tumbuh-tumbuhan ke tempat yang absus.

Baris pertama dimulai dengan kata simakmak simukmuk. Simakmak adalah sejenis tumbuhan. Apabila dilihat hubungannya dengan keadaan penyakit dengan kata pembuka yang digunakan, terdapat kedekatan arti dengan yang akan diobati. Simakmak, yang diulang dengan variasi fonem menjadi simukmuk, mempunyai kemiripan bunyi dengan mokmok ‘gemuk’. Absus akan mengakibatkan adanya pembengkakan, yang berarti penggembungan atau penggemukan. Baris kedua adalah pengemukaan adanya jenis tanaman yang dikemukakan pada baris pertama yang terdapat di suatu tempat di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu Mandalasena yaitu satu desa terpencil. Pemilihan simakmak ni mandalasena ‘simakmaknya mandalasena’ kemungkinan baiknya mutu tanaman yang bernama simakmak yang terdapat di mandalasena ini. Jadi sangat manjur untuk mengobati penyakit yang diderita. Baris ketiga berupa harapan pembaca hata-hata jampi yaitu agar yang absus itu sembuh dengan sendirinya walaupun bengkaknya tidak pecah malum-malum bukkus ‘sembuh dalam keadaan terbungkus’ sehingga yang terjadi bengkak menjadi kisut. Pada baris keempat dilanjutkan kesembuhan yang dirasakan si penderita yaitu supaya bukan sipenderita lagi yang

merasakannya sehingga hilanglah rasa sakit yang dialami si korban akibat absus tadi tetapi beralih sakitnya pada tempat lain (di luar bagian tubuh si penderita). Bagian terakhir adalah penempelan atau pembubuhan dedaunan yang dimaksud, sebagai pengiring hata-hata jampi ini pada tempat yang absus dimaksud.

2.5 Membuat Tegang (Diam Tidak Bergerak)

Bogang gajah bogang talikur ‘tegang gajah tegang ekornya’

Hata-hata jampi ini sangat pendek, yaitu hanya satu baris ditambah syahadat 3x. Gajah adalah salah satu binatang besar. Pemisalan terhadap binatang yang mempunyai suatu kelebihan sering digunakan untuk lebih menguatkan apa yang diutarakan. Ekor gajah yang pendek biasanya tidak pernah diam, kalau gajahnya sendiri sudah tegang, maka dengan sendirinya ekornya pun akan diam. Jadi, kalau gajah pun bisa tegang, diam, tidak bergerak, dengan membaca hata-hata jampi ini, manusia atau orang yang dimaksudkan untuk menjadi sasaran pembacaan hata-hata jampi akan tegang, diam tidak bergerak sesudah dbacakan hata-hata jampi ini.

2.6 Pelet untuk Disenangi Orang Lain atau Pemanis

(1) He burangir na marontang bulan Dipanggang bolang malele

He daun sirih yang memanggil bulan Diasapkan belangya meleleh’

Hata-hata jampi ini menggunakan sirih sebagai sarana pembicaraan serta benda yang mengiringinya. Dalam perdukunan di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan sirih memang banyak sekali digunakan untuk berbagai sarana pengobatan. Pada baris pertama, sirih ditugaskan memanggil bulan. Dipanggilnya bulan dimaksudkan agar pembaca hata- hata jampi terlihat elok atau cantik untuk perempuan dan ganteng untuk laki-laki seperti bulan. Pada baris kedua dikemukakan melelehnya belang dari daun sirih apabila diasapi. Melelehya belang sirih karena diasapkan merupakan pemisalan hilangnya kejelekan-kejelekan si pembaca hata-hata jampi sesudah sirih tersebut diasapi. Kalau sudah hilang “belang”nya ‘kejelekannya’, orang yang memandang pun hanya akan melihat yang bagus-bagusnya saja pada diri pembaca hata-hata jampi. Dengan demikian, siapa pun yang memandangnya


(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 akan melihatnya sebagai orang yang sangat baik

sehingga orang yang dihadapi si pembaca hata-hata jampi akan tunduk kepadanya. Jadi, pelet yang dimaksudkan adalah semacam pemanis bagi si pembaca hata-hata jampi.

(2) Embun maroyop-oyop, Bintang mataniari

‘Embun merayap hilang Bintang matahari’

Hata-hata jampi ini dimulai dengan perkataan embun merayap hilang. Adanya embun adalah satu penyebab tidak cerahnya hari. Dengan demikian, agar udara cerah, diharapkan agar embun merayap hilang sehingga udara menjadi cerah dan terang benderang, baik siang maupun malam. Pada baris kedua dilanjutkan dengan adanya dua benda planet di muka bumi ini yang membuat dunia ini terang benderang. Pada malam hari adalah bulan, sedangkan pada siang hari adalah matahari. Adanya penerangan yang maksimal dari kedua benda planet tersebut di atas dimungkinkan merayapnya embun. Pemisalan ini digunakan pada penglihatan manusia yang akan melihat seseorang pada cantiknya saja karena yang “gelap-gelap” atau yang jelek-jeleknya sudah hilang. Hilangnya yang “gelap-gelap” pada diri seseorang akan membuat orang dimaksud terlihat cantik, ayu, serta ganteng, dan sebagainya, layaknya bulan dan matahari yang tidak ditutup oleh embun.

2.7 Mengobati yang Terkejut

Sipurara sipurere Mardaganak marbabere

‘beranak bermenantu ‘ Disertai air ludah

Penggunaan hata-hata jampi yang terdiri atas dua baris ini sebenarnya tidak serius atau main main. Namun demikian, sering juga digunakan untuk mendiamkan atau memulihkan tangisan anak-anak yang terjatuh karena berlari-lari ketika bermain-main. Pembacaan hata-hata jampi ini dilakukan secara spontan oleh orang yang lebih dewasa dari si anak, misalnya ayahnya, ibunya, pamannya, kakaknya, dll yang dekat dengan lingkungan kelurga si anak. Jadi, penggunaan hata-hata jampi ini dimaksudkan untuk memulihkan keterkejutan si anak yang terjatuh tersebut karena dalam jatuhnya, selain kesakitan, si anak juga merasakan suatu kejutan yang menakutkan. Dengan pembacaan hata-hata jampi

ini si anak akan merasa lucu dan sekaligus terhibur sehungga dia akan lupa akan keterkejutannya yang menakutkannya sekaligus rasa sakit yang dideritanya.

Pada baris pertama, kata yang digunakan tidak bermakna, yaitu sipurara yang kemudian diulang lagi dengan perubahan fonem menjadi sipurere. Kata ini tidak ada artinya hanya pemakaian fonem r dua pada suku kata re-re membuat kata ini kedengarannya menjadi ramai. Kemudian diulang lagi dengan perubahan fonem vokal, sehingga fonem r ada dalam pengulangannya tersebut sehingga baris pertama tetap terdengar ramai. Dengan ramainya baris pertama ini paling tidak dapat mengalihkan perhatian si penderita dari rasa sakit yang dialaminya. Baris kedua mardaganak marbabere ‘beranak bermenantu (pria)’ disamping nada katanya yang ramai maknanya juga mengandug keramaian. Beranak ‘mempunyai anak’ akan menambah jumlah anggota rumah tangga. Dengan adanya anak persaudaraan pun akan menjadi banyak. Ketika anak lahir sanak famili dan kerabat akan datang menjeguk anak lahir dimaksud demikian juga ketika anak dimaksud bergaul dengan orang lain, akan tambah pulalah kerabat apabila lebih lanjut anak tersebut menikah, akan bertambah pula sanak famili. Dengan demikian, dengan adanya anak, akan bertambah ramailah suasana. Demikian juga dengan bermenantu (pria) secara tersirat kata ini mengandung arti anak perempuan selain anak laki laki. Dengan lahirnya anak perempuan tentu tiba waktunya si anak perempuan tersebut akan menikah, yang suaminya akan menjadi babere ‘menantu pria’. Semua ini akan membuat suasana akan menjadi ramai.

Adanya penempatan maranak ‘beranak’ lebih dahulu baru kemudian marbabere menyiapkan adanya pengutamaan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal ini memang terjadi dalam adat AM. Dalam segala hal, anak laki laki selalu diutamakan daripada anak perempuan. Untuk sekolah, yang diprioritaskan adalah anak laki-laki. Demikian juga dalam hal yang lain, anak laki-laki selalu diutamakan. Bahkan dalam menurunkan marga ‘klen’, laki-lakilah yang berhak menurunkannnya, bukan perempuan. Adalah merupakan suatu penyakit (kekurangan) dalam sebuah keluarga apabila keluarga tersebut tidak dikaruniai anak laki-laki. Bahkan kalau hal ini terjadi, suami dari keluarga tersebut diijinkan untuk kawin lagi dengan harapan akan lahir anak laki-laki sebagai generasi penerusnya. Tidak seperti itu halnya kalau yang tidak ada adalah anak perempuan. Memang terasa ada yang kurang akan


(7)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 tetapi tidak separah kalau tidak ada anak laki-laki.

Anak perempuan tidak dianggap sebagai penerus keturunan, tetapi laki- laki.

Dari uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pembacaan hata-hata jampi ini secara tersirat bermakna memberi semangat kepada yang terkejut dengan mengisyaratkan bahwa penderita tidak sendiri, akan tetapi banyak (ramai) orang lain di dekatnya. Dengan ramainya orang di sekitar si penderita membuat si penderita tidak merasa sendiri. Suasana ini membuat rasa takut dan rasa sakitnya akan hilang.

2.8 Menguatkan Pukulan (Tinju)

Kun fayakun Kun kata Tuhan

Fayakun kata Muhammad Kobul borkat Lailahaillah

Disertai air liur dengan cara mengoleskannya ke tinju sipembaca hata-hata jampi yang telah dikepal.

‘Kun fayakun Kun kata Tuhan

Fayakun kata Muhammad Kabul berkat Laillahaillah’

Hata-hata jampi ini digunakan untuk tujuan membuat si pembaca hata-hata jampi ini percaya diri dalam menghadapi lawan berkelahi. Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini si pembaca merasa pecaya bahwa diberi kekuatan tambahan oleh Tuhan yang mahaesa. Dengan makrifat dan konsentrasi yang baik akan lebih kuat dan akan memenangkan suatu perkelahian. Dengan perkataan lain, hata-hata jampi ini membuatnya lebih yakin karena telah mendapat tambahan tenaga sehingga lawannya tidak dapat menyanggah pukulan tinjunya dan biasanya si lawan akan terhuyung-huyung dan terjatuh akibat derasnya atau kuatnya pukulan tinju si pembaca hata-hata jampi.

Bila dilihat dari asal usulnya hata-hata jampi ini berasal dari Al-Quran. Berarti orang AM yang menggunakan hata-hata jampi telah memeluk agama Islam. Dalam hata-hata jampi ini terlihat pencampuran tiga bahasa yaitu bahasa arab (Al-quran) bahasa Indonesia dan bahasa angkola Mandailing. Pencampuran tiga bahasa ini dimaksudkan untuk memudahkan pemakainya lebih muda menghapalnya sehingga akan tercapai kekhusukan.

2. 9 Mengobati Sakit yang Digigit Penyengat

Hung si nyonyot- nyonot Hu enda ma sorot mu Pitung kolak marsaru –saru

Halis bulung suhat tampat bulung bomban Malum borgo ia suaaahhh…

Disertai pengolesan air liur si pembaca hata-hata jampi sekitar tiga tetes ke bekas gigitan penyengat.

‘_ _ _

Kusentakkanlah alat penyengatmu Tujuh hasta berselemak

Kalis daun talas datar daun bomban (sejenis daun perdu)

Sembuh dingin ia ---‘

Kalau dieterjemahkan hata-hata jampi di atas, terlihat bahwa tidak semua kata-kata yang digunakan ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Namun, kata-kata yang tidak dapat diterjemahkan dimaksud ada hubungannya dengan sifat, bisa berupa suara, bentuk, dan lain-lain dari binatang stau benda yang terdapat pada satu hata-hata jampi di atas, karena dimaksudkan untuk mengobati gigitan binatang penyengat, maka kata pertama yang digunakan adalah suara binatang tersebut, yaitu hung, kemudian diikuti nama jenis binatang penyengat yaitu dari caranya menyengat, yaitu dengan cara nyot-nyot. Sehingga diberi nama si nyot-nyot sehingga diberi nama si nyonyot-nyonyot. Kedua kata-kata ini, yaitu hung si nyonyot-nyonyot diletakkan pada baris pertama. Baris kedua adalah tindakan si pengucap hata-hata jampi untuk menarik, menghabisi, atau membunuh si penyengat, yaitu dengan cara menyentakkannya alat penyengat. Baris ketiga adalah keadaan alat binatang penyengat tersebut akibat sentakan si pengucap hata-hata jampi, yaitu berselemak sepanjang tujuh hasta. Baris keempat adalah bekas gigitan penyengat tersebut tanpa bekas seperti layaknya daun keladi yang tidak meninggalkan bekas kalau ditetesi air dan sejenis pohon sebangsa rotan yang bentuknya datar sehingga air tidak bisa bertahan di atasnya. Baris kelima adalah keinginan si pengucap hata-hata jampi yaitu kesembuhan, sehingga si korban gigitan penyengat merasa sejuk dan nyaman ditambah dengan kata suaaahhh…, yaitu semacam pelapiasan atau pelepasan hawa-hawa atau udara yang tidak baik.

3. SIMPULAN

Hata-hata jampi dalam masyarakat Angkola Mandailing merupakan kata-kata yang mengandung magis yang dipakai sebagai sarana


(8)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 untuk tujuan tententu (special purpose). Dari hasil

penelitian ini sembilan tujuan, yaitu: (1) menghilangkan sakit karena tertelan duri, (2) menunda hujan, (3) menguatkan semangat pengantin, (4) mengobati rasa sakit karena absus atau infeksi (bernanah), (5) membuat tegang (diam tak bergerak), (6) pelet untuk disenangi orang lain atau pemanis, (7) mengobati yang terkejut, (8) menguatkan pukulan (tinju), dan (9) mengobati sakit yang digigit penyengat.

Sekarang sudah tidak banyak anggota masyarakat Angkola Mandailing yang menguasai hata-hata jampi. Namun demikian, masih ada yang menggunakannya untuk mengobati beberapa jenis penyakit. Hata-hata jampi dalam masyarakat Angkola Mandailing terbagi dalam beberapa tujuan, yaitu untuk mengobati orang yang terkejut, baik karena terjatuh atau hal lain, misalnya disengat oleh binatang penyengat, yang berbisa, dan lain-lain. Hata-hata jampi tersebut dimaksudkan sebagai penawar rasa sakit atau terkejut. Pengobatannya dilakukan dengan membacakan hata-hata jampi disertai dengan benda-benda tertentu sebagai pengiringnya.

Kata-kata yang digunakan dalam setiap baris dan pada keseluruhan bait semuanya berhubungan. Artinya, rangkaian hata-hata jampi berbeda dengan hata-hata umpama sebagai salah satu ragam bahasa Angkola Mandailing yang dua baris pertama merupakan sampiran sehingga tidak berhubungan dengan baris berikutnya (Harahap, 2002). Rangkaian hata-hata jampi semuanya berhubungan sehingga tidak ada yang disebut sampiran seperti halnya pantun. Adanya keterkaitan makna seluruh kata yang digunakan dalam hata-hata jampi dapat dirasakan sesudah menganalisis makna konteksnya. Jadi, dari kajian

makna harfiah dan makna konteks tergambar bahwa seluruh kata yang digunakan memiliki keterkaitan di antaranya.

Dewasa ini pemakaian hata-hata jampi sudah jarang. Demikian juga orang yang menguasainya sudah langka dijumpai. Kalaupun ada, terbatas pada orang-orang tua yang berumur di atas tujuh puluh tahunan yang ingatan dan perhatiannya terhadap kelangsungan budaya baik. Selain orang tersebut di atas, dukun yang profesinya memang mengobati orang yang sakit jiwa juga banyak menguasai hata-hata jampi. Seorang dukun tidak akan mudah memberikan ilmunya kepada orang lain karena menyangkut mata pencariannya. Sedangkan untuk menemukan orang yang disebut langka di atas itu relatif sulit. Jadi, sekarang ini hata-hata jampi hampir tidak dkenal lagi.

DAFTAR BACAAN

Chaika, Elaina. 1982. Language the Sosial Mirror. Roley, London, Tokyo: Newbury House Publishers.

Harahap, Basyral Hamidi, dan Hotman M. Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: suatu Pendekatan terhadap Prilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.

Harahap, Nurhayati dan Ikhwanuddin Nasution. 1998. Ende Ungut-ungut Angkola Mandailing: Inventarisasi dan Kajian Sosiologi Sastra. Medan: Fakultas Sastra USU.


(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

ini relatif sehat-sehat dan tahan terhadap penyakit. Hal ini disebabkan banyaknya angin di tempat ini sehingga kuman-kuman penyakit yang berasal dari ayam akan cepat diterbangkan angin sehingga ayam-ayam dimaksud jarang kena penyakit. Demikian juga karena kesehatannya yang baik, ayam-ayam dari tempat ini telurnya relatif banyak. Jadi, nama ayam rasiapas ini sama baiknya dengan durian sidikalang yang terkenal keenakannya dan kepadatan isinya. Jadi, pemisalan terhadap ayam ini dimaksudkan agar sikorban yang terkena duri ikan tahan terhadap penyakit seperti halnya ayam si rasiapas.

Pada baris kedua, langsung pada sasarannya yaitu, daon ni na tarholi ‘obat yang kena duri, yang biasanya duri ikan’. Kalau kesehatan baik, badan akan tahan terhadap penyakit sekaligus rasa sakit karena daya tahan tubuh yang tinggi.

Pada baris ketiga dikuatkan lagi manfaat yang disebabkan oleh kesehatan tubuh yang baik ini, yaitu tahan juga terhadap penyakit yang disebabkan guna-guna, songoni muse na hona tabas ‘seperti itu juga yang kena guna-guna’.

Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini si penderita diharapkan tidak akan mengalami kesakitan lagi. Demikian juga duri dari kerongkongannya dengan sendirinya akan lenyap sesudah diminumkan air putih yang telah dibacakan hata-hata jampi tersebut.

2.2 Menunda Hujan

Pangpang si kapungpung Langkitang boru-boru Nai sarang ni daboru

‘Pangpang si kapungpung (suara petir) Langkitang (sejenis kerang sungai) betina Yang di celana dalam wanita

Disertai lemparan celana dalam wanita (pengantin) untuk pesta perkawinan dan anak gadis atau istri yang punya hajat untuk pesta lainnya.

Hata-hata jampi yang digunakan untuk menangkal hujan ini baris pertamanya dimulai dengan tiruan bunyi dari adanya tanda tanda akan turun hujan, yaitu petir dan halilintar yang bersuara pangpang-pungpung sehingga disebut pangpang sikapungpung. Hal ini, menunujukkan eratnya kehidupan masyarakat dengan lingkungan sehingga ungkapan yang digunakan juga tidak lepas dari kondisi lingkungan.

Demikian juga pada baris kedua, dimana digambarkan banyaknya sejenis kepah sungai yaitu langkitang yang akan muncul apabila turun hujan. Sesudah turun hujan, biasanya akan terjadi air bah.

Pada saat air bah ini akan banyak udang sehingga akan banyak yang akan mendurung udang di sungai karena saat inilah waktu yang paling baik untuk mendurung udang. Akan tetapi, pada saat mendurung udang, tidak hanya udang yang akan didapat, tetapi juga langkitang. Jadi, ketika mendurung udang, ada hasil sampingan yang didapat, yaitu langkitang. Adapun langkitang ini akan muncul ke pingggir pinggir sungai apabila air bah. Kalau sedang tidak air bah biasanya berdiam sekitar pertengahan sungai. Jadi, munculnya langkitang-langkitang ke pinggir pinggir sungai berhubungan dengan turunnya hujan. Adapun penyebutan jenis kelamin betina yaitu langkitang boru-boru ‘kepah betina’ berhubungan dengan baris ketiga yaitu pakaian dalam jenis kelamin wanita sebagai benda yang digunakan sebagai pengiring hata-hata jampi.

Pada baris ketiga, dimisalkan dengan sesuatu yang terdapat di dalam celana dalam wanita, nadi sarang ni da boru ‘yang di celana dalam wanita’. Pemisalan ini diambil berdasarkan bentuk dan sifat yang sama antara hujan yang turun dari langit dengan keluarnya air kecil manusia (wanita), yang kemudian bisa dihalangi dengan pemakaian celana dalam sebagai penghalang. Benda yang mengiringinya pun, digunakan celana dalam wanita, yaitu pengantin wanita yang akan dipestakan (kalau pesta perkawinan) atau istri yang punya hajatan (kalau pesta lainnya) dengan cara melemparkannya ke atas atap rumah yang punya hajatan. Kalau dalam budaya etnis jawa, yang dilemparkan adalah pakaian dalam laki laki yang punya hajatan.

2. 3 Menguatkan Semangat Pengantin

Dalam acara perkawinan adat Angkola Mandailing dilakukan acara mangupa, yaitu acara memberi makan pengantin, yaitu dimaksudkan untuk menguatkan tondi ‘semangat’ pengantin.

Sepasang pengantin perlu dikuatkan semangatnya karena akan mengalami kehidupan yang berbeda. Kalau sebelum menikah, tidak dibebani tanggung jawab, sebaliknya sesudah menikah akan mengemban tanggung jawab, tidak hanya atas dirinya sendiri, tetapi juga atas pasangannya serta anak-anaknya kelak. Untuk mengemban tanggung jawab ini perlu semangat yang lebih kuat dari sebelumnya karena akan lebih banyak onak duri yang akan dihadapinya nanti. Oleh karena itu perlu dibekali dengan semangat yang lebih besar lagi sehingga perlulah dilakukan penguatan semangat. Acara penguatan semangat ini dilakukan dengan pemberian makan dengan lauk tertentu yang disebut pangupa disertai pembacaan hata-hata jampi. Acara pembacaan hata-hata jampi dipimpin oleh seorang datu


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

‘dukun’. Sebelum dan sesudah pembacaan hata-hata jampi, terlebih dahulu pangupa diangkat serta dilayang-layangkan oleh peserta acara ke atas kepala yang mau diupa, dalam hal ini kedua pengantin. Seraya demikian, datu pangupa mengucapkan Taruuuuuuupa uupa!!!...3x. Kemudian disambut oleh hadirin peserta acara dengan mengucapkan Taruuuuu matondi!!! …3x. Kemudian mulailah datu pangupa mengucapkan hata-hata jampi seperti diuraikan dibawah ini.

Mijurma tondi tu ruma,

Namarama tondi si jangjang tondi si jongjong Manik ni tondi raja ni tondi

Tondi siandarasi siandarahot Anso mohot tondi di ruma aut Di tiang togu di ruma Ulang I tondi mandao dao Ulang I tondi manduru duru Ulang I tondi tarlkalimanman Ulang I tondi tarkalimunmun

Mamulus matondi di alaman si lanse utang on Si borang ma tondi di bondar so halibean Manaekma tondinta di tangga si bingkang bayo on,

Mangalangkai gadu so halintasan on, Mungkap ma pintu gaja marngaur on

Marsisandarma tondinta di tunggang raja halang ulu bosar on

Ni tumpak nitogu togu tond

Ni suhut bayo pangkapit pangkancing pangakabiri

Ni tano rura banua on

Hot jana matua matoguma tondi dohot badan muyo

‘Turunlah semangat ke rumah

Yang berayah semangat si jangjang, semangat si jungjung,

Mutiaranya semangat, rajanya semangat, Semangat siandarasi, semangat siandarohot, Agar lekat semangat di tempatnya, terikat semangat di tiang kuat

Kuat, kuat semangat di tempatnya. Jangan semangat menjauh-jauh, Jangan semangat meminggir-minggir Jangan semangat malayang-layang Jangan semangat malayang-layang

Lewatlah semangat di halaman luas yang lunas utang ini

Menyeberanglah semangat di selokan yang tak nampak ini

Naiklah semangat di tangga yang bisa goyang-goyang ini

Melompati benteng tak terlewati ini Terbuka pintu gajah mengaum ini

Bersandarlah semangat pada penghalang pintu ini

Dibimbing oleh karisma turunan raja Penjaga alam semesta

Bersatu padulah semangat dengan badan kamu’ Hata-hata jampi di atas terdiri atas empat bait yang jumlah baris pada setiap baitnya tidak sama, yaitu antara empat sampai enam baris. Bait pertama terdiri atas empat baris. Baris pertama bait pertama dimulai dengan perkataan mijurma tondi turuma ‘turunlah semangat ke tempatnya di rumah (rumah yang berkolong)’. Maksud hata-hata jampi ini adalah untuk menjemput atau menempatkan semangat yang diupah ke tempat yang seharusnya, yaitu ke rumah tempat dimana yang diupah berada.

Pada bait kedua baris pertama dikemukakan agar semangat yang dijemput lengket di aut ‘tiang yang menghubungkan tiang penyangga dengan tiang penyangga rumah yang berkolong’ dan berada di antara tiang penyangga dengan lantai (papan). Kalau sudah berada di aut rumah, kedudukannya sudah sangat kuat dan sulit tanggal.

Bait ketiga mengutarakan bagaimana caranya agar semangat yang dijemput bisa masuk ke rumah dan menempati posisi yang telah disediakan. Pada baris pertama dikemukakan agar semangat dimaksud melewati halaman (wilayah) yang tidak ada utangnya. Utang yang dimaksudkan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melewati suatu tempat. Dengan tidak adanya utang berarti tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk melewatinya. Jadi, tidak ada penghalang lagi. Ini membuat suatu perjalanan menjadi lancar tanpa hambatan.

Bait keempat berisi sambutan yang dilakukan pembaca hata-hata jampi terhadap kedatangan semangat dimaksud. Pada baris pertama dikemukakan posisi yang disiapkan untuk semangat yang dimaksud yaitu dengan cara bersandar di tiang bondul ‘tiang pembatas pintu’. Pada baris kedua dikemukakan sesampainya di tiang bondul akan dituntun yang punya hajat. Pada baris ketiga, dikemukakan siapa yang punya hajat dimaksud, yaitu orang yang dianggap penting yang merupakan pengambil keputusan di wilayah tempat semangat akan ditempatkan. Selanjutnya pada baris keempat dikemukan harapan, semoga semangat yang dikuatkan menjadi lekat, lengket serta bersatu padu dengan badan atau raga si empunya badan. Dari uraian di atas terlihat bahwa


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

dalam rangka penguatan semangat dimaksud, dilakukan upacara penyambutan sebagaimana layaknya penyambutan yang dilakukan terhadap seorang raja. Untuk penyambutan seorang raja, upacara yang dilakukan dilengkapi dengan berbagai peralatan dan tata cara. Adapun peralatan dan tata caranya sudah diuraikan sebelumnya.

Pembacaan hata-hata jampi juga sering dilakukan untuk mengembalikan semangat yangs sempat hilang, misalnya karena nyaris mendapat bahaya. Demikian juga usai melahirkan, yang merupakan pertarungan hidup dan mati bagi seorang ibu.

2.4 Mengobati Rasa Sakit karena Absus atau Infeksi (Bernanah)

Simakmak simukmuk Simakmak ni mandalasena Malum-malum bukkus

Ulang ho be mangaena, puah… ‘Sejenis tumbuh-tumbuhan Sejenis tumbuhan dari Mandalasena Sembuh-sembuh terbungkus

Jangan kamu lagi yang merasakannya’

Pembacaan hata-hata jampi ini disertai oleh penempelan sejenis tumbuh-tumbuhan ke tempat yang absus.

Baris pertama dimulai dengan kata simakmak simukmuk. Simakmak adalah sejenis tumbuhan. Apabila dilihat hubungannya dengan keadaan penyakit dengan kata pembuka yang digunakan, terdapat kedekatan arti dengan yang akan diobati. Simakmak, yang diulang dengan variasi fonem menjadi simukmuk, mempunyai kemiripan bunyi dengan mokmok ‘gemuk’. Absus akan mengakibatkan adanya pembengkakan, yang berarti penggembungan atau penggemukan. Baris kedua adalah pengemukaan adanya jenis tanaman yang dikemukakan pada baris pertama yang terdapat di suatu tempat di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu Mandalasena yaitu satu desa terpencil. Pemilihan simakmak ni mandalasena ‘simakmaknya mandalasena’ kemungkinan baiknya mutu tanaman yang bernama simakmak yang terdapat di mandalasena ini. Jadi sangat manjur untuk mengobati penyakit yang diderita. Baris ketiga berupa harapan pembaca hata-hata jampi yaitu agar yang absus itu sembuh dengan sendirinya walaupun bengkaknya tidak pecah malum-malum bukkus ‘sembuh dalam keadaan terbungkus’ sehingga yang terjadi bengkak menjadi kisut. Pada baris keempat dilanjutkan kesembuhan yang dirasakan si penderita yaitu supaya bukan sipenderita lagi yang

merasakannya sehingga hilanglah rasa sakit yang dialami si korban akibat absus tadi tetapi beralih sakitnya pada tempat lain (di luar bagian tubuh si penderita). Bagian terakhir adalah penempelan atau pembubuhan dedaunan yang dimaksud, sebagai pengiring hata-hata jampi ini pada tempat yang absus dimaksud.

2.5 Membuat Tegang (Diam Tidak Bergerak)

Bogang gajah bogang talikur ‘tegang gajah tegang ekornya’

Hata-hata jampi ini sangat pendek, yaitu hanya satu baris ditambah syahadat 3x. Gajah adalah salah satu binatang besar. Pemisalan terhadap binatang yang mempunyai suatu kelebihan sering digunakan untuk lebih menguatkan apa yang diutarakan. Ekor gajah yang pendek biasanya tidak pernah diam, kalau gajahnya sendiri sudah tegang, maka dengan sendirinya ekornya pun akan diam. Jadi, kalau gajah pun bisa tegang, diam, tidak bergerak, dengan membaca hata-hata jampi ini, manusia atau orang yang dimaksudkan untuk menjadi sasaran pembacaan hata-hata jampi akan tegang, diam tidak bergerak sesudah dbacakan hata-hata jampi ini.

2.6 Pelet untuk Disenangi Orang Lain atau Pemanis

(1) He burangir na marontang bulan Dipanggang bolang malele

‘He daun sirih yang memanggil bulan Diasapkan belangya meleleh’

Hata-hata jampi ini menggunakan sirih sebagai sarana pembicaraan serta benda yang mengiringinya. Dalam perdukunan di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan sirih memang banyak sekali digunakan untuk berbagai sarana pengobatan. Pada baris pertama, sirih ditugaskan memanggil bulan. Dipanggilnya bulan dimaksudkan agar pembaca hata- hata jampi terlihat elok atau cantik untuk perempuan dan ganteng untuk laki-laki seperti bulan. Pada baris kedua dikemukakan melelehnya belang dari daun sirih apabila diasapi. Melelehya belang sirih karena diasapkan merupakan pemisalan hilangnya kejelekan-kejelekan si pembaca hata-hata jampi sesudah sirih tersebut diasapi. Kalau sudah hilang “belang”nya ‘kejelekannya’, orang yang memandang pun hanya akan melihat yang bagus-bagusnya saja pada diri pembaca hata-hata jampi. Dengan demikian, siapa pun yang memandangnya


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

akan melihatnya sebagai orang yang sangat baik sehingga orang yang dihadapi si pembaca hata-hata jampi akan tunduk kepadanya. Jadi, pelet yang dimaksudkan adalah semacam pemanis bagi si pembaca hata-hata jampi.

(2) Embun maroyop-oyop, Bintang mataniari

‘Embun merayap hilang Bintang matahari’

Hata-hata jampi ini dimulai dengan perkataan embun merayap hilang. Adanya embun adalah satu penyebab tidak cerahnya hari. Dengan demikian, agar udara cerah, diharapkan agar embun merayap hilang sehingga udara menjadi cerah dan terang benderang, baik siang maupun malam. Pada baris kedua dilanjutkan dengan adanya dua benda planet di muka bumi ini yang membuat dunia ini terang benderang. Pada malam hari adalah bulan, sedangkan pada siang hari adalah matahari. Adanya penerangan yang maksimal dari kedua benda planet tersebut di atas dimungkinkan merayapnya embun. Pemisalan ini digunakan pada penglihatan manusia yang akan melihat seseorang pada cantiknya saja karena yang “gelap-gelap” atau yang jelek-jeleknya sudah hilang. Hilangnya yang “gelap-gelap” pada diri seseorang akan membuat orang dimaksud terlihat cantik, ayu, serta ganteng, dan sebagainya, layaknya bulan dan matahari yang tidak ditutup oleh embun.

2.7 Mengobati yang Terkejut

Sipurara sipurere Mardaganak marbabere ‘beranak bermenantu ‘ Disertai air ludah

Penggunaan hata-hata jampi yang terdiri atas dua baris ini sebenarnya tidak serius atau main main. Namun demikian, sering juga digunakan untuk mendiamkan atau memulihkan tangisan anak-anak yang terjatuh karena berlari-lari ketika bermain-main. Pembacaan hata-hata jampi ini dilakukan secara spontan oleh orang yang lebih dewasa dari si anak, misalnya ayahnya, ibunya, pamannya, kakaknya, dll yang dekat dengan lingkungan kelurga si anak. Jadi, penggunaan hata-hata jampi ini dimaksudkan untuk memulihkan keterkejutan si anak yang terjatuh tersebut karena dalam jatuhnya, selain kesakitan, si anak juga merasakan suatu kejutan yang menakutkan. Dengan pembacaan hata-hata jampi

ini si anak akan merasa lucu dan sekaligus terhibur sehungga dia akan lupa akan keterkejutannya yang menakutkannya sekaligus rasa sakit yang dideritanya.

Pada baris pertama, kata yang digunakan tidak bermakna, yaitu sipurara yang kemudian diulang lagi dengan perubahan fonem menjadi sipurere. Kata ini tidak ada artinya hanya pemakaian fonem r dua pada suku kata re-re membuat kata ini kedengarannya menjadi ramai. Kemudian diulang lagi dengan perubahan fonem vokal, sehingga fonem r ada dalam pengulangannya tersebut sehingga baris pertama tetap terdengar ramai. Dengan ramainya baris pertama ini paling tidak dapat mengalihkan perhatian si penderita dari rasa sakit yang dialaminya. Baris kedua mardaganak marbabere ‘beranak bermenantu (pria)’ disamping nada katanya yang ramai maknanya juga mengandug keramaian. Beranak ‘mempunyai anak’ akan menambah jumlah anggota rumah tangga. Dengan adanya anak persaudaraan pun akan menjadi banyak. Ketika anak lahir sanak famili dan kerabat akan datang menjeguk anak lahir dimaksud demikian juga ketika anak dimaksud bergaul dengan orang lain, akan tambah pulalah kerabat apabila lebih lanjut anak tersebut menikah, akan bertambah pula sanak famili. Dengan demikian, dengan adanya anak, akan bertambah ramailah suasana. Demikian juga dengan bermenantu (pria) secara tersirat kata ini mengandung arti anak perempuan selain anak laki laki. Dengan lahirnya anak perempuan tentu tiba waktunya si anak perempuan tersebut akan menikah, yang suaminya akan menjadi babere ‘menantu pria’. Semua ini akan membuat suasana akan menjadi ramai.

Adanya penempatan maranak ‘beranak’ lebih dahulu baru kemudian marbabere menyiapkan adanya pengutamaan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal ini memang terjadi dalam adat AM. Dalam segala hal, anak laki laki selalu diutamakan daripada anak perempuan. Untuk sekolah, yang diprioritaskan adalah anak laki-laki. Demikian juga dalam hal yang lain, anak laki-laki selalu diutamakan. Bahkan dalam menurunkan marga ‘klen’, laki-lakilah yang berhak menurunkannnya, bukan perempuan. Adalah merupakan suatu penyakit (kekurangan) dalam sebuah keluarga apabila keluarga tersebut tidak dikaruniai anak laki-laki. Bahkan kalau hal ini terjadi, suami dari keluarga tersebut diijinkan untuk kawin lagi dengan harapan akan lahir anak laki-laki sebagai generasi penerusnya. Tidak seperti itu halnya kalau yang tidak ada adalah anak perempuan. Memang terasa ada yang kurang akan


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

tetapi tidak separah kalau tidak ada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dianggap sebagai penerus keturunan, tetapi laki- laki.

Dari uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pembacaan hata-hata jampi ini secara tersirat bermakna memberi semangat kepada yang terkejut dengan mengisyaratkan bahwa penderita tidak sendiri, akan tetapi banyak (ramai) orang lain di dekatnya. Dengan ramainya orang di sekitar si penderita membuat si penderita tidak merasa sendiri. Suasana ini membuat rasa takut dan rasa sakitnya akan hilang.

2.8 Menguatkan Pukulan (Tinju)

Kun fayakun Kun kata Tuhan

Fayakun kata Muhammad Kobul borkat Lailahaillah

Disertai air liur dengan cara mengoleskannya ke tinju sipembaca hata-hata jampi yang telah dikepal.

‘Kun fayakun Kun kata Tuhan

Fayakun kata Muhammad Kabul berkat Laillahaillah’

Hata-hata jampi ini digunakan untuk tujuan membuat si pembaca hata-hata jampi ini percaya diri dalam menghadapi lawan berkelahi. Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini si pembaca merasa pecaya bahwa diberi kekuatan tambahan oleh Tuhan yang mahaesa. Dengan makrifat dan konsentrasi yang baik akan lebih kuat dan akan memenangkan suatu perkelahian. Dengan perkataan lain, hata-hata jampi ini membuatnya lebih yakin karena telah mendapat tambahan tenaga sehingga lawannya tidak dapat menyanggah pukulan tinjunya dan biasanya si lawan akan terhuyung-huyung dan terjatuh akibat derasnya atau kuatnya pukulan tinju si pembaca hata-hata jampi.

Bila dilihat dari asal usulnya hata-hata jampi ini berasal dari Al-Quran. Berarti orang AM yang menggunakan hata-hata jampi telah memeluk agama Islam. Dalam hata-hata jampi ini terlihat pencampuran tiga bahasa yaitu bahasa arab (Al-quran) bahasa Indonesia dan bahasa angkola Mandailing. Pencampuran tiga bahasa ini dimaksudkan untuk memudahkan pemakainya lebih muda menghapalnya sehingga akan tercapai kekhusukan.

2. 9 Mengobati Sakit yang Digigit Penyengat

Hung si nyonyot- nyonot Hu enda ma sorot mu Pitung kolak marsaru –saru

Halis bulung suhat tampat bulung bomban Malum borgo ia suaaahhh…

Disertai pengolesan air liur si pembaca hata-hata jampi sekitar tiga tetes ke bekas gigitan penyengat.

‘_ _ _

Kusentakkanlah alat penyengatmu Tujuh hasta berselemak

Kalis daun talas datar daun bomban (sejenis daun perdu)

Sembuh dingin ia ---‘

Kalau dieterjemahkan hata-hata jampi di atas, terlihat bahwa tidak semua kata-kata yang digunakan ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Namun, kata-kata yang tidak dapat diterjemahkan dimaksud ada hubungannya dengan sifat, bisa berupa suara, bentuk, dan lain-lain dari binatang stau benda yang terdapat pada satu hata-hata jampi di atas, karena dimaksudkan untuk mengobati gigitan binatang penyengat, maka kata pertama yang digunakan adalah suara binatang tersebut, yaitu hung, kemudian diikuti nama jenis binatang penyengat yaitu dari caranya menyengat, yaitu dengan cara nyot-nyot. Sehingga diberi nama si nyot-nyot sehingga diberi nama si nyonyot-nyonyot. Kedua kata-kata ini, yaitu hung si nyonyot-nyonyot diletakkan pada baris pertama. Baris kedua adalah tindakan si pengucap hata-hata jampi untuk menarik, menghabisi, atau membunuh si penyengat, yaitu dengan cara menyentakkannya alat penyengat. Baris ketiga adalah keadaan alat binatang penyengat tersebut akibat sentakan si pengucap hata-hata jampi, yaitu berselemak sepanjang tujuh hasta. Baris keempat adalah bekas gigitan penyengat tersebut tanpa bekas seperti layaknya daun keladi yang tidak meninggalkan bekas kalau ditetesi air dan sejenis pohon sebangsa rotan yang bentuknya datar sehingga air tidak bisa bertahan di atasnya. Baris kelima adalah keinginan si pengucap hata-hata jampi yaitu kesembuhan, sehingga si korban gigitan penyengat merasa sejuk dan nyaman ditambah dengan kata suaaahhh…, yaitu semacam pelapiasan atau pelepasan hawa-hawa atau udara yang tidak baik.

3. SIMPULAN

Hata-hata jampi dalam masyarakat Angkola Mandailing merupakan kata-kata yang mengandung magis yang dipakai sebagai sarana


(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

untuk tujuan tententu (special purpose). Dari hasil penelitian ini sembilan tujuan, yaitu: (1) menghilangkan sakit karena tertelan duri, (2) menunda hujan, (3) menguatkan semangat pengantin, (4) mengobati rasa sakit karena absus atau infeksi (bernanah), (5) membuat tegang (diam tak bergerak), (6) pelet untuk disenangi orang lain atau pemanis, (7) mengobati yang terkejut, (8) menguatkan pukulan (tinju), dan (9) mengobati sakit yang digigit penyengat.

Sekarang sudah tidak banyak anggota masyarakat Angkola Mandailing yang menguasai hata-hata jampi. Namun demikian, masih ada yang menggunakannya untuk mengobati beberapa jenis penyakit. Hata-hata jampi dalam masyarakat Angkola Mandailing terbagi dalam beberapa tujuan, yaitu untuk mengobati orang yang terkejut, baik karena terjatuh atau hal lain, misalnya disengat oleh binatang penyengat, yang berbisa, dan lain-lain. Hata-hata jampi tersebut dimaksudkan sebagai penawar rasa sakit atau terkejut. Pengobatannya dilakukan dengan membacakan hata-hata jampi disertai dengan benda-benda tertentu sebagai pengiringnya.

Kata-kata yang digunakan dalam setiap baris dan pada keseluruhan bait semuanya berhubungan. Artinya, rangkaian hata-hata jampi berbeda dengan hata-hata umpama sebagai salah satu ragam bahasa Angkola Mandailing yang dua baris pertama merupakan sampiran sehingga tidak berhubungan dengan baris berikutnya (Harahap, 2002). Rangkaian hata-hata jampi semuanya berhubungan sehingga tidak ada yang disebut sampiran seperti halnya pantun. Adanya keterkaitan makna seluruh kata yang digunakan dalam hata-hata jampi dapat dirasakan sesudah menganalisis makna konteksnya. Jadi, dari kajian

makna harfiah dan makna konteks tergambar bahwa seluruh kata yang digunakan memiliki keterkaitan di antaranya.

Dewasa ini pemakaian hata-hata jampi sudah jarang. Demikian juga orang yang menguasainya sudah langka dijumpai. Kalaupun ada, terbatas pada orang-orang tua yang berumur di atas tujuh puluh tahunan yang ingatan dan perhatiannya terhadap kelangsungan budaya baik. Selain orang tersebut di atas, dukun yang profesinya memang mengobati orang yang sakit jiwa juga banyak menguasai hata-hata jampi. Seorang dukun tidak akan mudah memberikan ilmunya kepada orang lain karena menyangkut mata pencariannya. Sedangkan untuk menemukan orang yang disebut langka di atas itu relatif sulit. Jadi, sekarang ini hata-hata jampi hampir tidak dkenal lagi.

DAFTAR BACAAN

Chaika, Elaina. 1982. Language the Sosial Mirror. Roley, London, Tokyo: Newbury House Publishers.

Harahap, Basyral Hamidi, dan Hotman M. Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: suatu Pendekatan terhadap Prilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.

Harahap, Nurhayati dan Ikhwanuddin Nasution. 1998. Ende Ungut-ungut Angkola Mandailing: Inventarisasi dan Kajian Sosiologi Sastra. Medan: Fakultas Sastra USU.