Proses Methodisasi Di Sumatera Utara

bahasa Inggris, sedangkan untuk kelompok dewasa Freeman membuka English Bible, yang diselanggarakan pada setiap Minggu malam. Penginjilan di Bangka tidak bertahan lama, Freeman harus meninggalkan bangka kerena penyakit yang dideritanya. Freeman digantikan oleh L.L Akerson, yang sama sekali tidak mengenal bagaimana metode penginjilan di Bangka. Disamping itu pengembangan Methodist hanya dilakukan dengan penginjilan yang seharusnya dibarengi dengan pengembangan pendidikan sekolah, akhirnya banyak murid sekolah dan kelompok dewasa tidak datang lagi ke sekolah. Semakin lama jumlah anggota misi Methodist semakin berkurang dan akhirnya L.L Akerson meninggalkan pulau Bangka, dan aktivitas pengembangan Methodist di pulau Bangka resmi ditutup. 36

3.3 Proses Methodisasi Di Sumatera Utara

Sejak masa penjajahan Belanda, wilayah Sumatera Utara termasuk propinsi yang berpenduduk besar. Tahun 1905 jumlah masyarakat pendatang sudah besar, dimana orang Eropa sudah mencapai 2.667 orang, Pribumi berjumlah 450.941 orang, Tionghoa dan Asia lainnya 114.809 orang. 37 Tidak jauh beda dari penginjilan di daerah-daerah yang lainnya, penginjilan Methodist selalu diawali kepada masyarakat Tionghoa. Dasar pemikiran pemfokusan penginjilan kepada orang Tionghoa diawali dari penginjilan pertama Missionaris Amerika Serikat di Singapura yang mana masyarakat Tionghoalah menjadi jemaat pertama menerima misi Methodist. Sejak saat itu masyakat Tionghoa sudah banyak yang beralih dari kepercayaannya, 36 Ibid., hlm. 149. 37 Usman pelly, Urbanisasi Dan Adabtasi, Jakarta: LP3S, 1994. hlm.58. Universitas Sumatera Utara menjadi pengikut Kristen khususnya pengikut Gereja Methodist. Orang-orang Tionghoa ini menyebar keberbagai daerah, yang wilayahnya adalah kota perdagangan. Sekolah berbahasa Inggris milik Methodist yang ada di Singapura menjadi salah satu sekolah paforit kelompok Tionghoa dan kelompok Eropa lainnya. Banyak anak Tionghoa yang diberangkatkan bersekolah di sekolah ini, yang hasilnya selalu memuaskan, mendapat kemampuan berbahasa Inggris dan pemahaman Teologiah. Setelah lulus dari sekolah, banyak perkantoran Kolonial Belanda yang menerima mereka sebagai tenaga kerja. Banyak perusahaan- perusahaan yang berdiri di Sumatera Utara ini yakin dengan kemampuan para lulusan sekolah berbahasa Inggris tersebut. Banyak anak Tionghoa dan Pribumi yang ingin sekolah ke Singapura, tetapi karena keterbatasan biaya, mereka tidak mampu mewujudkannya. Melihat keadaan ini, pada tahun 1904, Hong Teen yang merupakan seorang alumni sekolah Singapura membuka sekolah di Medan dengan program yang sama dengan sekolah yang ada di Singapura. Upaya menyesuaikan kualitas antara sekolah Singapura dengan sekolah berbahasa Inggris yang baru berdiri di Medan, maka Hong Teen mengundang G. F Pykett yang berpropesi sebagai kepala sekolah dan pemimpin distrik Methodist di Semenanjung Malaka untuk menilai dan meminta bantuan terhadap pembenahan sekolah tersebut. Undangan dari Hong Teen menjadi hal yang sangat tepat bagi Pykett memulai gerakannya menjalankan misi Methodist di Sumatera Utara. Ternyata Universitas Sumatera Utara rencana dari Pykett berjalan baik, sebab beberapa bulan kemudian Hong Teen menyerahkan pengelolaan sekolah ini kepada Pykett. Dengan alasan hendak melanjutkan usaha dagangnya maka Hong Ten menyerahkan sekolah kapada Pykett, kesempatan baik itupun dipergunakan Pykeet dengan mengelola sekolah sesuai dengan misi Methodist. Pykett memasukkan para guru Kristen sebagai tenaga pengajar di sekolah tersebut, yang mana hampir semua tenaga pengajar tersebut merupakan lulusan dari sekolah Singapura. 38 Pykett memulai programnya di sekolah tersebut dengan mengutus Salomon Pakianathan sebagai kepala sekolah di Medan. Program utama pada sekolah tersebut adalah pekabaran injil dan pengembangan ilmu, kelak lulusan dari sekolah ini diharapkan akan menjadi tenaga penginjil yang akan diberangkatkan keberbagai daerah di Sumatera Utara. Dalam bebarapa waktu jumlah murid yang mengikuti pendidikan di sekolah tersebut telah berjumlah 120 orang. Pakianathan mengembangkan pendidikan dan penginjilan kepada kelompok Tamil, dalam hal ini adalah sebagai latar belakang etnisnya. Pakianathan ternyata berhasil, untuk tahun 1906 Ia membuka sekolah sekaligus kebaktian bagi kelompok Tamil di sekolah tersebut. 39 Untuk menambah biaya yang disediakan oleh Hong Teen, Pakianathan membuka les pada kelompok Tionghoa untuk malam hari, yang mana biaya tambahan yang diperolehnya ini adalah untuk perkembangan misi Methodist. Upaya pengadaan les tambahan ini membuahkan hasil, banyak anak-anak Tionghoa yang mengikuti program tersebut. 38 N. T. Gottschall, Experience We Treasure terj ,Medan, : tanpa penerbit, 1977, hlm.2. Universitas Sumatera Utara Setelah dua tahun Pakianathan memberikan pengajaran di sekolah Hong Teen, Pykett memutuskan untuk tidak bekerja sama lagi dengan Hong Teen kerena Hong Teen telah melanggar kesepakatan dengan tidak mengizinkan lagi para pekerja Methodist untuk mengajarkan agama Kristen kepada murid- muridnya. Janji untuk menyerahkan sekolah tersebut kepada misi Methodist tidak dilaksanakan oleh Hong Teen. Maka sejak saat itu Pakianathan dipindahkan ke Palembang untuk kembali menjalankan misi Methodist diwilayah tersebut, sedangkan guru-guru Kristen yang lain masih tetap menginjil di Medan tetapi bukan disekolah milik Hong Teen. Pada tahun 1911, Pykeet kembali merintis penyebaran Methodist di Sumatera Utara yang berpusat di Medan. Sejak saat itu, wilayah Sumatera Utara dimasukkan kedalam wilayah distrik Penang yang sebelumnya berada dalam naungan distrik Batavia. Alasan pemindahan ini berlatar belakang dari kedekatan wilayah antara Penang dengan Sumatera Utara, jarak ini dinilai lebih dekat dibanding antara Sumatera Utara dengan Batavia. Pykeet mengutus W.T Ward sebagai missionaries Methodist untuk menginjili suku Batak yang ada di Pardembanan, atau daerah Tapanuli. Ward merasa kewalahan menginjili orang Batak dengan alasan pemukiman orang Batak sangat jauh kepedalaman. Disamping itu para missionaries Jerman sudah lebih dulu masuk ke wilayah tersebut, sehingga Ward memintakan pekabaran ijin di wilayah Pardembanan dipindahkan ke daerah Medan, dengan fokus pelayanan adalah orang Tionghoa. 39 Cooplestone, History Of Methodist Missions terj, New York: The United Methodist Curch, 1973, hlm. 136. Universitas Sumatera Utara Ward mendapat izin tersebut dan selanjutnya Ward melakukan penginjilan kepada orang Tionghoa. Penginjilan Ward kepada orang Tionghoa berjalan sukses dan berkembang. Ward mendapat sebuah kesempatan dari seorang pemilik sekolah Tionghoa bernama Ng Koan Jiu, untuk mengelola sekolah miliknya sesuai dengan keinginan Ward. Kesempatan ini dimanfaatkan Ward dengan segera mengubah sekolah tersebut dari sekolah yang berbasis umum menjadi sekolah yang dinaungi oleh Gereja Methodist, yaitu The English Publik School menjadi American Methodist School. 40 Penyerahan enam unit sekolah kepada Ward, menjadi hal yang membebaninya. Ward harus memberi sebuah jaminan bahwa anak-anak yang dididiknya tidak harus menjadi Kristen apabila masuk kesekolah tersebut. Perjanjian ini disetujui oleh Ward. Ward melaksanakan pelayanan pengajaran dan harus memisahkannya dari misi Methodist. Cara yang dilakukan Ward untuk menarik perhatian kelompok anak-anak adalah dengan cara membuka kelompok musik atau kelompok band sekolah yang umumnya adalah mempelajari lagu-lagu gereja. Alat-alat yang dipakai dalam kelompok musik ini merupakan bantuan dari misi Methodist, yang tujuannya adalah perlengkapan kebaktian. Metode ini ternyata berhasil, hal ini disebabkan kerena tersedianya alat- alat musik untuk keperluan klub tersebut, yang mana alat-alat musik tersebut dikirim langsung dari Amerika Serikat. Kelompok musik ini sering dibawa oleh Ward ketika dia melaksanakan kebaktian atau berkotbah dibeberapa tempat 40 N. T. Gottscall, op. cit., hlm. 1. Universitas Sumatera Utara perkumpulan Methodist yang ada di Medan. Dengan cara inilah Wart melaksanakan kewajibannya sebagai guru dan sebagai penginjil. Selama empat tahun menginjili, Ward membabtis 119 orang, yang berasal dari berbagai suku dan menjadi anggota tetap Methodist. Pada akhir penginjilan Ward di kota Medan, jumlah anggota Methodist sudah mencapai 188 orang, dengan perincian 65 orang anggota tetap Methodist dan 123 orang anggota percobaan. Hal ini bertahan hingga beberapa tahun kemudian. Dengan alasan kesehatan, maka Ward digantikan oleh penginjil yang lain. Untuk melanjutkan misi Methodist di Sumatera Utara, maka Ward diganti dengan Leonard Oechsli yang sebelumnya bekerja di distrik Singapura. Pekerjaan Leonard masih seputar penginjilan di kota Medan dan khususnya kepada orang Tionghoa. Selama dua tahun bekerja, ternyata permasalahan bahasa manjadi faktor utama yang membuat lambannya perkembangan misi Methodist, maka Leonard mangambil cuti keluar negeri untuk belajar bahasa Tionghoa sebagai upaya pemfokusan penginjilan kepala orang Tionghoa nantinya. Pekerjaan Leonard digantikan oleh J. C Shover, yang memegang penginjilan selama dua tahun di Medan. 41 Pelayanan misi Methodist di wilayah Sumatera Utara merupakan yang terbesar di Indonesia, bahkan diwilayah Asia, sehingga pada tahun 1920 wilayah misi Methodist Sumatera Utara dibentuk menjadi satu distrik tersendiri dengan Leonard diangkat sebagai pemimpin distrik. Sebagai wilayah distrik, maka harus tersedia sebidang tanah sebagai tempat lokasi pendirian gereja dan sekolah. 42 41 Ibid.,hlm. 5. 42 Lihat Gambar 3, Sekolah Methodist Pertama di Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara Leonard mendatangkan Pdt. Ng Hau Chi dari Tiongkok sebagai pengkotbah pada kebaktian berbahasa Tionghoa di Medan, demikian halnya N.T Gottschall tiba di Medan pada tahun 1921 sebagai missionaries tambahan dan menjadi pemimpin sekolah Methodist di Medan. David Hutabarat ditunjuk sebagai pemimpin sekolah di Pematang Siantar bersama Milton David. Dengan usaha tersebut perkembangan Misi Methodist di Sumatera Utara semakin berkembang pesat dan usaha perluasan wilayah penginjilan terus berlangsung, pembangunan sekolah dan pendirian gereja Methodist di berbagai daerah terus diupayakan semaksimal mungkin. Universitas Sumatera Utara BAB IV PERKEMBANGAN GEREJA METHODIST INDONESIA DI MEDAN

4.1 Terbentuknya Gereja Methodist Indonesia di Medan Dan Perkembangannya.