Masuknya Ajaran Methodist Ke Indonesia

Methodist Amerika Serikat menjadi gereja yang banyak dimasuki penduduk Amerika, setelah pengurusan Gereja Methodist Amerika diserahkan kepada masyarakat Amerika sendiri. Pertambahan yang melonjak tinggi terjadi saat konferensi Natal tahun 1844, dimana perhitungan membuktikan bahwa sampai saat tersebut jumlah masyarakat Amerika Serikat pengikut Methodist sudah mencapai 1.171.356 jiwa. 23 Pekabaran Injil Methodist Amerika Serikat mulai menjalankan misi pengabaran injil dan perluasan injil kepada berbagai negara bagian, dan menjadikan negara Amerika Serikat, tepatnya di New York sebagai pusat kontrol pengembangan Methodist di benua Amerika.

3.2 Masuknya Ajaran Methodist Ke Indonesia

Misi Methodist pertama-tama di Indonesia pada dasarnya terbagi-bagi berdasarkan etnisitas tanpa ada suatu organisasi yang menyatukan. Hal ini dipengaruhi oleh wilayah dan etnisitas yang masih sama sekali belum ada unsur penyatuan diantara suku-suku yang ada di Indonesia. Pulau-pulau yang pertama- tama mendapat pekabaran injil Methodist adalah Jawa, Sumatera, Bangka dan Kalimantan. Kelompok penginjil yang datang ke Indonesia berasal dari Amerika Serikat yang membentuk organisasi penginjilannya di Malaysia yang dinamakan dengan Malaysia Annual Conference MAC. Dimulai sejak tahun 1905. 23 William G Shellabear, Hikayat Perhimpunan Methodist, Singapura: Methodist Publising House, 1992. hlm.125. Universitas Sumatera Utara Penyebaran injil di Indonesia merupakan perluasan wilayah penginjilan oleh distrik penginjilan yang ada di Malaysia. 24 Pekerjaan pelayanan penginjilan yang dilakukan oleh misi Methodist dari MAC bersifat menyebar atau dengan kata lian tidak terkonsentrasi pada satu wilayah saja, oleh karena itu perkembangan masyarakat yang mengikuti ajaran Methodist di Hindia Belanda tergolong cepat, sehingga memungkinkan kelompok pelayanan yang melayani disini membentuk suatu distrik Methodist tersendiri, khusus untuk jemaat Methodist di Hindia Belanda, hal ini dapat terlaksana setelah pekerjaan ini bejalan selama dua tahun. Masyarakat Hindia Belanda yang menerima misi Methodist dinamakan dengan Netherland Indies Mission Conference NIMC. Pembentukan organisasi NIMC membawa pengikut Methodist yang ada di Hindia Belanda untuk secara administratif berada dibawah naungan misi Methodist Amerika Serikat yang mana sebelumnya berpusat di Malaysia. NIMC semakin banyak mendapat perhatian dari kelompok penginjil terutama dari Amerika Serikat, NIMC sering mendapat bantuan berupa dana operasional dan pengadaan pengkhotbah yang berpengalaman untuk melayani misi Methodist di Hindia Belanda. Pada tahun 1920 organisasi penginjilan NIMC atau misi Methodist di Hindia Belanda dibagi menjadi beberapa konsentrasi wilayah yang dinamakan dengan distrik yaitu, Distrik Jawa, Distrik Kalimantan Barat, Distrik Sumatera Selatan dan Distrik Sumatera Utara. Dari 4 distrik yang dibentuk oleh misi Methodist, Distrik Sumatera Utara mendapat peluang yang lebih baik untuk 24 Richard Daulay, op. cit., hlm. 112. Universitas Sumatera Utara berkembang, latar belakang ini membuat penginjilan Methodist memfokuskan aktivitasnya untuk wilayah Sumatera Utara. Meskipun jumlah penganut ajaran Methodist di beberapa distrik selain distrik Sumatera Utara tidak berkembang pesat, tetapi aktivitas penginjilan Methodist sama sekali tidak dihentikan, atau dikurangi, bahkan misi Methodist berusaha mengembangkan penginjilannya dengan penambahan sejumlah pengkhotbah untuk daerah-daerah yang tergolong lamban perkembangannya tersebut. Misi Methodist di wilayah Hindia Belanda adalah untuk memperluas pekabaran tentang Injil dan untuk memperbanyak pengikut Kristen di belahan Dunia, khususnya ajaran tentang aliran Methodist.

3.2.1 Perjalanan Misi Methodist Di Pulau Jawa

John Russel Denyes, yang merupakan seorang pendeta yang melayani di misi Methodist Amerika, diminta badan misi Methodist Singapura untuk mengajar di sekolah yang didirikan oleh kelompok orang Tionghoa di Singapura. Permintaan ini tidak ditolak oleh Russel, karena pekerjaan yang akan dilaksanakannya adalah bentuk pelayanan atau pengabdian kepada sesama manusia. Russel mengajar di sekolah Anglo Chinese, dimana sekolah ini merupakan salah satu sekolah faforit bagi orang Tionghoa yang ada di Hindia Belanda dan Malaysia. Murid-murid yang ada di sekolah Anglo Chinese pada dasarnya mengenal Russel sebagai guru, bukan sebagai penyebar injil, karena itulah Russel Universitas Sumatera Utara tidak mendapat halangan yang berat ketika perlahan-lahan memanfaatkan situasi yang ada mulai menyebarkan berita tentang injil. 25 Masyarakat Tionghoa yang ada di sekolah Anglo mulai mengikuti ajaran Methodist yang diberikan oleh Russel. Russel membagi waktunya dalam memberikan pelajaran sekolah dan waktu memberi pelajaran tentang injil. Para muridnya tidak memberikan kritikan kepada Russel ketika Russel memberitakan ajaran injil, hal ini disebabkan karena Russel tidak ada menganjurkan atau memaksa murid-muridnya untuk meninggalkan kepercayaannya dan masuk menjadi pengikut Methodist, tetapi materi yang diberikan saat penginjilan adalah gembaran tentang Tuhan, Kekristenan dan arti pentingnya Juruslamat yaitu Tuhan Yesus Kristus. Kelompok pelajar Tionghoa dari Hindia Belanda yang mengikuti pendidikan di Angglo Chinese, tertarik dengan metode yang diberikan oleh Russel, sehingga kelompok pelajar tersebut memintakan Russel supaya mengajar di pulau Jawa, sebab jumlah siswa yang sedang menuntut ilmu di Singapura yang berasal dari pulau Jawa tergolong besar. Jumlah ini akan bertambah jika sekolah yang sama juga didirikan di Jawa. Permintaan yang diajukan kelompok pelajar Tionghoa kepada Russel, disampaikan dan diteruskan kepusat misi Methodist yang ada di Amerika Serikat. Misi Methodist di Amerika Serikat Menerima permintaan Russel dengan memperbesar anggaran dana penginjilan dan segera menyediakan tenaga Pengajar untuk melayani di sekolah-sekolah yang akan dibuka di pulau Jawa tersebut. 25 Ibid., hlm. 114. Universitas Sumatera Utara Tahun1905 tepatnya tanggal 12 Maret, Russel bersama-sama dengan B.F West pimpinan Distrik Singapura melakukan kunjungan ke Pulau Jawa, untuk melihat perkembangan pekabaran injil di pulau tersebut. Mereka melihat pekerjaan pekabaran injil yang dilakukan di pulau Jawa telah membentuk kelompok-kelompok tertentu berdasarkan wilayah yaitu, Surabaya, Mojowarno, Semarang, dan Yoyakarta. Sebelum misi Methodist sampai di Pulau Jawa, aktivitas pekabaran injil telah berlangsung di pulau Jawa yang dikelola oleh misi zending dari Belanda dengan nama Nederlands Zendings Vereniging NZV. Pendekatan pekabaran injil yang dilakukan oleh misi Methodist lebih memberikan harapan kepada kelompok masyarakat Tionghoa yang sebelumnya telah mendapat berita tentang injil ketika sebagian anak mereka berada di sekolah Angglo Chinese di singapura. Melihat hal ini B.F West menilai bahwa wilayah Batavia adalah wilayah yang tepat sebagai tempat penyebaran ajaran Methodist, berbeda dengan wilayah Malaya yang sangat sulit mengalami perkembangan. Hal ini tidak luput dari permasalahan agama yang telah mereka miliki, yaitu agama Islam yang mereka anut ternyata sudah mendarah daging terutama kepada kelompok suku Melayu yang ada di Malaka, sedangkan pada masyarakat Tionghoa yang ada di pulau Jawa sudah hampir meninggalkan tradisi kepercayaan yang dimiliki oleh leluhurnya. 26 Russel sangat menginginkan situasi seperti yang terjadi di Pulau Jawa ini, maka dengan segenap usaha dilakukannya untuk pindah dari distrik Malaya yang dipimpinnya ke Batavia. Permohonan ini diajukan Russel kepada pimpinan Methodist yang ada di Asia Tenggara, maka pada tahun 1905 Russel diberi izin 26 Richard Daulay, op. cit., hlm. 120. Universitas Sumatera Utara untuk misi tersebut, dan saat itu juga Russel membawa keluarganya berangkat menuju Batavia. Perpindahan ini sekaligus mejadikan Russel menduduki jabatan sebagai pimpinan Methodist untuk Distrik Hindia Belanda. 27 Russel segera memulai pekerjaannya dengan memberikan pemberitaan tentang injil kepada kelompok sekolah, dengan pelajaran yang dibawakannya adalah bahasa Inggris. Pelajaran bahasa Inggris diarahkan untuk menterjemahkan Bible Alkitab dan The Methodist Hymnal. Dengan pelajaran ini maka Masyarakat Tionghoa yang sekolah, akhirnya banyak yang mengerti isi Alkitab dan Hymnal Methodist sehingga membuahkan pertobatan dikalangan masyarakat Tionghoa. Kelompok yang bertobat menurut pandangan Methodist mula-mula langsung dikukuhkan menjadi pengikut Kristen tepatnya menjadi anggota Gereja Methodist setelah proses Babtis yang dilakukan oleh Russel. Pekerjaan ini yang membuat Russel mendapat gelar dari kalangan masyarakat Methodist sebagai Pak Ek Poi Petobat Pertama di Batavia. 28 Pekerjaan Russel yang memadukan antara pelayanan dengan pengembangan masyarakat, membuahkan pengikut Methodist berkembang secara cepat di Batavia. Selama dua tahun 1905-1907 Russel telah membentuk sebuah Jemaat Methodist, dimana Russel menjadi gembala sidang atas gereja tersebut. Pengakuan gelar kepada Russel adalah sebagai wujud keakraban antara masyarakat Tionghoa dengan kelompok Methodist yang melakukan penginjilan di Batavia. Jemaat Methodist yang dipimpin Russel dan pusat Methodist Amerika Serikat semakin terbuka memberikan bantuannya kepada Russel. Bantuan ini 27 Arsip Gereja Methodist Indonesia, Medan Sumatera Utara. 28 Richard Daulay, op. cit., hlm.121. Universitas Sumatera Utara dipergunakan untuk membangun gereja Methodist dan akhirnya tahun 1907 gereja Methodist pertama dibangun di pulau Jawa. 29 Terbentuknya gereja Methodist pertama di pulau Jawa, diiringi dengan pengembangan metode penginjilan, seperti pembentukan pos penginjilan di Pasar Senen, Tanah Abang, Kebantenan dan Cibinong. Metode pelayanan yang baru ini membuat penginjilan semakin melebar kepada suku-suku Jawa, Ambon, Sunda dan suku yang lainnya yang ada di pulau Jawa. Kelompok masyarakat yang mayoritas sebagai pengikut Methodist pertama-tama dari kelompok baru ini masih didominasi oleh suku Jawa. Latar belakang perbedaan suku yang diinjili oleh Gerakan Methodist menyebabkan kebaktian-kebaktian yang dilakukkan di pulau Jawa dilakukan dengan bahasa masing-masing yaitu menggunakan bahasa suku mayoritas dalam gereja tersebut. Sejak saat inilah perbedaan bahasa dalam kebaktian Methodist mulai ada. 30 Gerakan Methodist di pulau Jawa diperbesar oleh proses perpindahan jemaat Katolik yang tertarik dengan metode pengembangan yang dilakukan oleh Russel. Perkembangan Methodist yang bercorak dengan suku-suku mayoritas di dalam Gereja Methodist semakin lama mulai diarahkan sesuai dengan disiplin gereja Methodist, sebagai upaya mengembalikan ajaran Methodist yang sebenarnya. 31 Russel mulai mendidik beberapa orang dari kelompok suku yang dilayaninya menjadi pelayan dalam misi Methodist. Tujuan tindakan Russel adalah pendekatan antara penginjil dengan kelompok suku yang dilayaninya. 29 Lihat Gambar 1 30 Richard Daulay, op. cit., hlm. 124. Universitas Sumatera Utara Hasil dari tindakan yang dilakukan oleh Denyes adalah berkembangnya pengikut Methodist di Pulau Jawa baik dari suku Jawa, Ambon, Tionghoa, sunda.dan suku- suku yang lainnya.

3.2.2 Perjalanan Misi Methodist di Kalimantan

Daerah Kalimantan merupakan wilayah Indonesia yang langsung berseberangan dengan wilayah negara Malaysia. Pertemuan antara dua negara ini menjadi hal yang memudahkan perpindahan imigran Malaysia datang ke- Indonesia khususnya orang-orang Tionghoa yang masuk ke Kalimantan melewati perbatasan. Proses imigrasi yang mudah dijangkau oleh penduduk Malaysia mengakibatkan kelompok Tionghoa banyak yang berpindah dan menjadi penduduk Indonesia. Pada tahun 1910, jumlah penduduk Tionghoa di Kalimantan sudah mencapai 6000 orang, dari keseluruhan penduduk yang mendiami Kalimantan Barat, khususnya Pontianak hanya berjumlah 20.000 jiwa. 32 Sesuai dengan hasil keputusan Malaysia Annual Conference, memutuskan C.M Worthington sebagai missionaries pertama yang akan diutus ke Kalimantan. Tanpa menolak keputusan dari rapat, Worthington menerima keputusan dari konferensi dan segera menjadi missionaries di Kalimantan. Worthington memulai gerakannya dengan membuka sekolah berbahasa Inggris di Kalimantan. Kegiatan ini dijadikan Worthington sebagai tempat menginjili kelompok suku Tionghoa sekaligus sebagai sumber untuk mencukupi kebutuhan hidupnya di Kalimantan. Dengan adanya penginjilan yang dilakukan 31 Ibid., hlm. 127. 32 Richard Daulay, op. cit., hal. 140. Universitas Sumatera Utara oleh Worthington ini, maka penyebaran Methodist dapat berkembang cepat di Kalimantan. Seorang Dokter bernama Uching Seng, yang datang dari Singapura, ikut memperbesar gerakan Methodist di Kalimantan. Uching melakukan pengobatan sambil melakukan penginjilan di Pontianak. Worthington melakukan kerja sama dengan Uching yaitu melakukan pelayanan sambil menyebarkan ajaran Kristen kepada masyarakat Kalimantan. Uching dan Worthington membagikan Alkitab dan buku lagu-lagu Kristen kepada mereka yang mendapat pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan di Kalimantan. Dari hasil penginjilan yang dilakukan kedua missionaries Methodist ini, pada tahun 1909, laporan Worthington memaparkan bahwa pengikut Methodist di Kalimantan telah mencapai, 80 orang anggota penuh 192 anggota percobaan, yang tersebar di beberapa wilayah di Kalimantan seperti, Singkawang, Sempadung, dan Sambas. Para jemaat Methodist tersebut dominan berasal dari suku Tionghoa, 33 Melihat perkembangan Methodist dikalangan suku Dayak cukup lambat, maka Russel sebagai pemimpin penginjilan di Hindia Belanda mengutus Abel Eklund sebagai penginjil yang akan memfokuskan penginjilan kepada masyarakat Dayak. Latar belakang Abel yang berasal dari negara Amerika Serikat terasa sulit untuk menginjili suku Dayak, maka 3 orang penginjil yang sebelumnya menuntut ilmu sekolah penginjilan di Singapura dikirim ke Kalimantan. Ketiga penginjil sedangkan kelompok suku lainnya yang menjadi anggota Methodist berasal dari suku Dayak. 33 H Sitorus, Benih Yang Tumbuh GMI, Medan: naskah tidak diterbitkan, 1977, hlm.5. Universitas Sumatera Utara tersebut adalah Willi Hutagalung, Philemon Simamora, Wismar Panggabean masing-masing adalah orang Indonesia yang berasal dari etnis Batak. 34 Penginjilan tidak terlalu berkembang karena pemahaman bahasa Melayu sulit dari kelompok suku Dayak. Strategi yang dilakukan oleh keempat missionaries Methodist tersebut adalah membuka sekolah yang menggunakan bahasa Melayu dan dikhususkan kepada orang Dayak. Strategi ini memberikan hasil yang lumayan, sebab anak-anak banyak yang mengikuti program ini. Sambil melakukan pengajaran mereka tidak lupa memberikan penginjilan kepada anak- anak suku Dayak. Perkembangan Methodist pada suku Dayak harus diakui adalah berawal dari kelompok anak-anak yang menerima pendidikan di sekolah misi Methodist, akhirnya mereka dewasa seiring dengan perkembangan Methodist. Pengikut Methodist dari kalangan orangtua pada masyarakat Dayak tidak terlepas dari pengaruh anak-anak mereka yang menerima pendidikan di sekolah misi Methodist. Anak-anak dayak yang tumbuh dewasa akhirnya banyak yang menjadi penginjil.

3.2.3 Perjalanan Misi Methodist di Sumatera Selatan dan Bangka

Sebelum meletusnya perang dunia ke-II, kota Palembang adalah kota yang terbesar dipulau Sumatera. Kota Palembang adalah pusat perdagangan di pulau Sumatera. Hal ini menyebabkan banyak masyakat yang datang ke Palembang untuk kegiatan berdagang dan kegiatan ekonomi lainnya. 34 Ibid., hlm. 6. Universitas Sumatera Utara Jumlah penduduk yang tergolong besar dan heterogen pada tahun 1908 telah mencapai 65.000 orang yang terfokus pada daerah pelabuhan, sebab disekitar pelabuhan para pengusaha Amerika telah mendirikan pertambangan minyak dan daerah ini menjadi pusat pertemuan dari pedagang-pedagang yang berasal dari berbagai daerah di Dunia.. Russel melihat kota Palembang sebagai daerah yang sangat cocok sebagai wilayah persebaran ajaran Methodist, sehingga segera Russel mengirim seorang missionaries bernama Solomon Pakianathan sebagai pemimpin penginjilan diwilayah ini. Pakianathan memulai penginjilan dengan berkotbah kepada penduduk Palembang yang sudah beragama Kristen. Sebagai permulaan pelayanan misi Methodist, maka Pakianathan segera membuka sekolah berbahasa Inggris di Palembang. Banyak masyarakat etnis Tionghoa yang tertarik dan mengikuti program tersebut. Mereka rela membayar para missionaries agar mau mengabdi memberikan pendidikan kepada anak-anak Tionghoa. Pakianathan memulai kebaktian dilingkungan sekolah, yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kebaktian. Keseimbangan antara waktu memberikan pengajaran dan pemahaman keagamaaan, membuat banyak orang mengikuti program yang dibuat oleh Pakianathan. Maka mulailah peraturan Methodist diterapkan setelah jumlah mereka semakin besar. Setelah penyebaran Methodist semakin besar di Sumatera Selatan, maka misi Methodist selanjutnya diteruskan sampai ke Pulau Bangka, kota yang tidak begitu jauh dari Palembang. Daerah pulau Bangka adalah daerah yang cepat berkembang setelah pemerintah Kolonial Belanda membangun daerah ini menjadi Universitas Sumatera Utara daerah pertambangan timah. Banyak orang Tionghoa yang dijadikan pekerja di daerah pertambangan tersebut. Dari hasil laporan missionaries, penduduk pulau bangka yang berasal dari etnis Tionghoa sudah mencapai 200.000 orang pada tahun 1911. 35 Freeman ditugaskan sebagai missionaries Methodist di pulau Bangka, situasi masyakat di daerah ini sama sekali belum ada yang beragama Kristen, jadi Freeman adalah tokoh Kristen pertama untuk daerah ini. Banyak kendala yang dialami Freeman ketika sampai di daerah ini, seperti larangan menyebarkan agama oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan keadaan daerah yang sangat panas sehingga mengganggu kesehatannya. Dibukanya sekolah di Pangkal Pinang oleh Kolonial Belanda, semakin memperlebar jalan bagi Freeman untuk menyebarkan injil kepada mereka anak- anak Tionghoa yang menuntut ilmu di sekolah tersebut. Dalam sekolah tersebut Freeman mengasuh mata pelajaran bahasa Inggris. Dalam melaksanakan tugasnya Freeman tidak penah terlambat dan selalu serius, hal ini menjadi dasar keyakinan dari orang tua murid kepada Freeman untuk menyerahkan anaknya untuk dididik dan diberi pengetahuan tentang injil. Melihat tindakan yang dilakukan Freeman adalah baik, maka sejak tahun 1912, pemerintah Kolonial memberikan izin kepada pelayan-pelayan Methodist untuk menjalankan misi Methodist di Pulau Bangka. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan Freeman dengan membuka kebaktian di lingkungan sekolah. Pada waktu pagi di hari minggu, Freeman membuka kelas sekolah minggu, yang kegiatannya adalah belajar bahasa Inggris dan melaksanakan kebaktian dalam 35 Richard Daulay, op. cit., hlm. 148. Universitas Sumatera Utara bahasa Inggris, sedangkan untuk kelompok dewasa Freeman membuka English Bible, yang diselanggarakan pada setiap Minggu malam. Penginjilan di Bangka tidak bertahan lama, Freeman harus meninggalkan bangka kerena penyakit yang dideritanya. Freeman digantikan oleh L.L Akerson, yang sama sekali tidak mengenal bagaimana metode penginjilan di Bangka. Disamping itu pengembangan Methodist hanya dilakukan dengan penginjilan yang seharusnya dibarengi dengan pengembangan pendidikan sekolah, akhirnya banyak murid sekolah dan kelompok dewasa tidak datang lagi ke sekolah. Semakin lama jumlah anggota misi Methodist semakin berkurang dan akhirnya L.L Akerson meninggalkan pulau Bangka, dan aktivitas pengembangan Methodist di pulau Bangka resmi ditutup. 36

3.3 Proses Methodisasi Di Sumatera Utara