BAB IV PERKEMBANGAN GEREJA METHODIST INDONESIA
DI MEDAN
4.1 Terbentuknya Gereja Methodist Indonesia di Medan Dan Perkembangannya.
Pemikiran untuk menjadikan gereja Methodist yang otonom oleh orang Indonesia, sudah lahir sejak tahun 1950. usulan ini terbentuk sejak Indonesia
menjadi sebuah negara yang mandiri tanpa pengaruh asing. Kemerdekaan Indonesia membuka kebebasan bagi warga Kristen untuk membentuk gereja-
gereja dengan nuansa lokal, maka tahun 1964 terbentuklah Gereja Methodist Merdeka Indonesia GMMI sebagai usulan dari warga yang menginginkan
terbentuknya gereja bernuansa lokal, gereja yang sesuai dengan budaya dan dipimpin oleh kelompok masyarakat Indonesia.
Faktor lain terbentuknya GMMI, adalah sebuah pengaruh dari nasionalisasi di segala bidang. Proses nasionalisasi ditujukan untuk
menghilangkan unsur-unsur atau pengaruh negara lain di Indonesia. Sekelompok orang Methodist menjadikan kesempatan ini untuk menasionalisasi ajaran
Methodist. Pemikiran ini akhirnya berkembang dikalangan pengikut Methodist. Jumlah jemaat Methodist yang semakin tertarik dengan rencana ini semakin besar,
sehingga peluang menuju gereja Methodist yang otonom semakin besar. Methodist bernuansa lokal adalah tindakan yang sudah melanggar tata-
tertib gereja Methodist, maka kelompok Methodist yang ada di Indonesia tetap mempertahankan kelompok jemaat ini dipimpin oleh pemimpin Methodist dari
Amerika Serikat.
Universitas Sumatera Utara
Arah pembentukan gereja lokal semakin bulat, dengan munculnya konfrontasi antara pemerintah Malaysia dengan Indonesia sejak tahun 1961
sampai tahun 1964. Sejak konfrontasi terjadi, hubungan Methodist yang ada di Malaysia, Singapura dengan Methodist yang ada di Indonesia hampir terputus.
Pemerintah Malaysia yang mempertahankan daerah Serawak sebagai wilayahnya mendapat dukungan yang kuat dari Amerika Serikat dan Inggris, yang
saat itu menilai Indonesia sebagai musuhnya, sebab Indonesia digolongkan sebagai negara yang menerima dengan baik Komunis. Hal ini terbukti dengan
berkembangnya gerakan Komunis di Indonesia, sehingga latar belakang ini menjadikan Amerika Serikat dan Inggris memberi dukungan kepada pemerintah
Malaysia yang mempertahankan daerah Serawak sebagai wilayahnya.
43
Perkembangan jumlah masyarakat yang menganut Methodist di Sumatera Utara jauh lebih besar jumlahnya dari pada perkembangan Methodist yang ada di
Malaysia ini menjadi dasar pertimbangan bagi Methodist yang ada di Amerika Serikat dan Inggris untuk mendekatkan diri kembali kepada Methodist yang ada di
Sumatera Utara, maka Methodist Inggris menjalin kembali kerja sama dengan Methodist yang ada di Sumatera Utara, sebagai bentuk awal jalinan kerja sama
kembali adalah pengiriman sejumlah missionaries dari Inggris ke Sumatera Utara. Mereka yang dikirim sebagai missionaries perdamaian adalah G.R Senior,
C.G Baker dan J.D Buxton. Kedatangan ketiga missionaries ini menjadi dasar berfikir bagi kelompok Partai Komunis di Indonesia menuduh bahwa gereja
Methodist adalah antek-antek dari negara Amerika Serikat dan Inggris, sehingga
43
G. R. Senior, Partisipasi Gereja Methodist Inggris di Gereja Methodist Sumatera terj, Jakarta: tanpa Penerbit, 1967, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
pengawasan yang ketat dilakukan kepada sejumlah gereja dan kepada sejumlah missionaries yang datang dari Amerika Serikat dan Inggris.
44
Sejak adanya anggapan yang tergolong jelek ini kepada warga Methodis di Indonesia, mengakibatkan para pendeta dan pemimpin gereja yang ada di
Sumatera Utara untuk memikirkan bagaimana kelangsungan gereja Methodist selanjutnya.
Seorang Bishop Methodist bernama Anstutz, memaparkan pendapatnya saat seminar di fakultas Teologiah Universitas Nomensen Pematang Siantar,
menjelaskan, bahwa gereja Methodist harus segara mejadikan dirinya gereja yang otonom agar terhindar dari segala tuduhan kelompok orang kepada gereja
tersebut.
45
Tanggapan dari Anstutz mendapat dukungan dari kelompok Methodist, yang menamakan dirinya sebagai Penuntut Autonomi Gereja Methodist Indonesia
PAGMI, yang memintakan konsep gereja Methodist sesuai dengan konsep negara Indonesia sebagai negera kesatuan, dan pembentukan gereja yang otonom
adalah sebagai cara menjadikan Methodist gereja yang mandiri. Permintaan PAGMI disampaikan kepada dua orang utusan untuk mengikuti konferensi Agung
yaitu Pdt. Ragnar dan Pdt.Karel Hutapea. Utusan ini diberangkatkan dengan permohonan agar Gereja Methodist menjadi gereja yang otonom.
Hasil yang dibawa utusan PAGMI dari konfrensi di America Serikat ternyata sangat mengecewakan, sehingga kejengkelan dari anggota PAGMI pun
mulai terlihat. Kelompok ini mengancam akan keluar dari keaggotaan Methodist
44
Ibid., hlm. 10.
45
A. Sihombing, Sejarah Gereja Methodist Indonesia, Medan: Suara Methodist Indonesia, 1990, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
dan menarik barang-barang Methodist yang menurut mereka barang-barang tersebut berasal dari jemaat Gereja Methodist yang ada di Indonesia.
Setelah anggota PAGMI memulai gerakannya, maka kelompok gereja yang tidak setuju dengan gerakan menuju otonomi pun muncul. Mereka setuju
dengan apa yang dituntut anggota PAGMI, tetapi tidak mau melepaskan diri dari Gereja Methodist Amerika Serikat, sehingga mereka tetap mempertahankan diri
sebagai warga Methodist. Pusat gereja Methodist yang terletak di Jalan Hangtuah akhirnya menjadi puncak keributan antara kedua belah pihak. Kelompok PAGMI
tetap mempertahankan diri untuk melaksanakan kebaktian di gereja tersebut yang dipimpin oleh Pdt. Wilfrid Simanjuntak.
Tidak kalah dengan tindakan yang dibuat anggota PAGMI, kelompok Methodist yang tidak mau memisahkan diri dari Methodist Amerika Serikat, tetap
malaksankan kebaktian di gereja tersebut tanpa ada yang mengalah. Kelompok PAGMI ternyata lebih agresif yang melakukan kebaktian dengan sengaja
menyanyi dengan suara yang sangat keras, hal itu dimaksudkan untuk mengganggu kebaktian jemaat yang kontra otonom tersebut. Jumlah dari anggota
PAGMI ternyata lebih besar apabila dibandingkan dengan kelompok jemaat yang kontra otonom, akhirnya kelompok ini terpaksa mengalah, maka kebaktian
selanjutnya di gereja Methodist Hangtuah dilangsungkan oleh kelompok PAGMI.
46
Gerakan yang agresif dari PAGMI semakin lama mengarah kepada pembentukan gereja otonom. Melalui persidangan anggota PAGMI, memutuskan
akan merebut barang-barang gereja Methodist menjadi barang mereka. Kelompok
46
W. Lempp, Benih Yang Tumbuh IX, Jakarta: Lembaga Penelitan Dan Pengembangan DGI, 1976. hlm.288-290.
Universitas Sumatera Utara
ini mencoba manarik anggota kontra otonomi menjadi anggota mereka, yang akhirnya tidak berhasil, tetapi barang-barang Methodist sebagian sudah berada di
tangan mereka. Dengan semakin lengkapnya peralatan anggota PAGMI, maka sejak 16
Februari 1964, secara resmi PAGMI mendirikan Gereja Methodist Merdeka Indonesia GMMI, tetapi kelompok kontra-otonomi tidak bergabung kedalam
organisasi yang tidak mendapat ijin resmi dari pusat Methodist tersebut. Beberapa gereja Methodist yang bergabung kedalam kelompok GMMI adalah GMMI Jalan
Gedung Area Medan, GMMI Helvetia Medan, GMMI simpang Dolok, GMMI Wingfoot dan Gereja Methodist Merdeka Indonesia lainnya.
Kelompok GMMI pada dasarnya adalah anggota gereja Methodist yang etnisitasnya berasal dari suku Batak, yang tidak puas dengan perlakuan para
missionaries yang seakan mengistimewakan etnis Tionghoa dari pada kelompok Methodist yang berasal dari kelompok etnisitas lainnya. Para kelompok
missionaries memandang dari kebolehan ekonomi mereka, dimana kelompok Tionghoa lebih terampil didunia usaha sebagai latar belakang dari masa lalu, yaitu
masa penjajahan Belanda yang memberi kesempatan kepada etnis Tionghoa sebagai pedagang perantara, sedangkan kelompok pribumi tidak mendapat hak-
hak istimewa pada masa penjajahan Belanda. Kelompok GMMI selalu memperjuangkan agar Methodist yang ada di
Sumatera Utara, bahkan yang ada di Indonesia tetap satu wadah, dalam hal ini menjadi Methodist yang otonom, Methodist yang mempersiapkan sendiri
Konstitusi, peraturan rumah-tangga, Konfensi, ajaran atau Dogma, organisasi
Universitas Sumatera Utara
gereja lokal, peraturan sekolah minggu, peraturan tentang kependetaan, peraturan keuangan, peraturan tentang harta benda dan liturgi gereja.
47
Dari hasil perundingan, maka surat ijin Enabling Act belum bisa dikeluarkan kepada GMMI. Pihak GMMI berupaya keras dalam menggodok
persyaratan tersebut, sebab persyaratan menjadi gereja lokal tidaklah hal yang sulit dijangkau, dan bahkan sebagian dari persyaratan yang diinginkan konfrensi
agung sebagai persyaratan gereja lokal sudah dimiliki oleh GMMI. Setelah konfrensi, segera Gereja Methodist Merdeka Indonesia
membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk melengkapi persyaratan tersebut yang dinamakan dengan “Badan Persiapan Otonomi” Gereja Methodist Indonesia.
Kesempatan yang diberikan kepada GMMI ternyata tidak disiasiakan, para anggota panitia bekerja dengan sangat cepat. Pekerjaan yang seharusnya disiapkan
selama empat tahun, ternyata panitia bisa melaksanakannya hanya dalam waktu enam bulan.
Pekerjaan yang dimulai sejak bulan Februari 1964 berahir pada bulan Agustus 1964, maka setelah diseleksi oleh konstitusi gereja Methodist, distrik
Sumatera Utara yang wilayahnya adalah seluruh Indonesia memenuhi syarat menjadi gereja otonom dengan nama GEREJA METHODIST INDONESIA
GMI yang tercantum dalam mukadimah Gereja Methodist Indonesia: “Bahwa kami anggota KONPERENSI TAHUNAN
dan utusan GEREJA METHODIST INDONESIA jang bergabung dalam KONPERENSI ISTIMEWA
jang berlangsung mulai tanggal 3 sampai 9 Agustus 1964 di Medan, Berkat ramat Tuhan Jang Maha
Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaja berkeperjajaan umat Kristen dan berkembang di
negera republik Indonesia, telah menetapkan
47
Notulen Konferensi Tahunan Gereja Methodist Indonesia, Medan: Januari 1964. hlm. 97
Universitas Sumatera Utara
Geredja Methodist Indonesia jang tidak bertentangan dengan azas-azas kepertjajaan
geredja Methodist di seluruh dunia.”
48
Seiring dengan penetapan terbentuknya Gereja Methodist Indonesia GMI, maka daerah-daerah Indonesia dibagi menjadi beberapa distrik, yaitu
sebagai berikut: 1. Distrik Medan Tebing Tinggi
3.374 jiwa 2. Distrik Kisaran
3.671 orang 3. Distrik Rantau Prapat
1.586 orang 4. Distrik Palembang
908 orang 5. Distrik Tionghoa
1.490 orang Jumlah
11.029 orang.
49
Dengan terbentuknya Methodist yang bernuansa lokal, maka perkembangan Methodist di Indonesia semakin cepat. Misi pengembangan
Methodist di Indonesia sejak saat GMI terbentuk dilakukan sendiri oleh gereja Methodist Indonesia, termasuk pendanaan dalam bentuk pembangunan sekolah
dan instansi Methodist lainnya.
4.2 Methodist Terbagi Menjadi Dua Distrik