Geredja Methodist Indonesia jang tidak bertentangan dengan azas-azas kepertjajaan
geredja Methodist di seluruh dunia.”
48
Seiring dengan penetapan terbentuknya Gereja Methodist Indonesia GMI, maka daerah-daerah Indonesia dibagi menjadi beberapa distrik, yaitu
sebagai berikut: 1. Distrik Medan Tebing Tinggi
3.374 jiwa 2. Distrik Kisaran
3.671 orang 3. Distrik Rantau Prapat
1.586 orang 4. Distrik Palembang
908 orang 5. Distrik Tionghoa
1.490 orang Jumlah
11.029 orang.
49
Dengan terbentuknya Methodist yang bernuansa lokal, maka perkembangan Methodist di Indonesia semakin cepat. Misi pengembangan
Methodist di Indonesia sejak saat GMI terbentuk dilakukan sendiri oleh gereja Methodist Indonesia, termasuk pendanaan dalam bentuk pembangunan sekolah
dan instansi Methodist lainnya.
4.2 Methodist Terbagi Menjadi Dua Distrik
Saat pertama terbentuknya Gereja Methodist Indonesia, melahirkan beberapa kejanggalan, terutama menentukan soal kepemimpinan dalam gereja
Methodist yang saat ini masih dalam tahap percobaan. Terdapat dua pendapat tentang hal ini. Satu kelompok mengatakan bahwa kepemimpinan dalam
48
Konstitusi Gereja Methodist Indonesia, Laporan Sidang Istimewa Gereja Methodist Indonesia, Medan, 1964, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
Methodist menginginkan seperti susunan yang sebelumnya, atau sistem bishop, sadangkan kelompok lainnya menginginkan bentuk kepemimpinan dalam gereja
Methodist hendaknya menggunakan sistem dewan gereja, atau tanpa kepemimpinan bishop.
Dua pendapat diatas mempunyai kecenderungan etnis, yaitu etnis yang tergolong sebagai mayoritas dalam Gereja Methodist Indonesia, diantaranya
kelompok Etnis Batak Toba dengan pendapat cenderung menginginkan kepemimpinan dalam Methodist berbentuk episkopalisme, dengan susunan
kepemimpinan yang tertinggi berada ditangan bishop, dimana bishop akan dipilih langsung oleh jemaat Methodist yang ada di Sumatera Utara. Di sisi lain yang
bertentangan dengan pendapat ini adalah kelompok Tionghoa, dengan pendapat Methodist tidak cocok apabila memakai sistem bishop.
Alasan yang diberikan oleh kelompok Tionghoa menentang pendapat dari jemaat Methodist dari kelompok Batak adalah, hasil pemilihan nantinya yang
dominan memberikan keuntungan bagi orang Batak, sebab seorang bishop akan selalu berasal dari kelompok Methodist Batak, karena secara jumlah jemaat
Methodist dominan berasal dari suku Batak. Kelompok missionaries junior yang masih berada di Indonesia, lebih dekat
kepada pendapat etnis Tionghoa, mereka yang memberi dukungan terhadap sistem dewan Metodist adalah Per Eric Lager, D.F Walker, W.S Health Richard
Babcock, J. Wesley Day dan kelompok missionaries junior lainnya. Kelompok missionaries junior ini akhirnya bergabung dengan kelompok Distrik Tionghoa.
49
R. M Daulay, Masalah Etnisitas Sebagai Masalah Teologis Dalam Gereja Methodist Indonesia, Medan: Tesis Sekolah Teologia Methodist Indonesia, 1990. hlm. 206.
Universitas Sumatera Utara
Bergabungnya sejumlah missionaries junior kedalam kelompok Methodist Tionghoa, mengakibatkan persaingan antara kedua belah pihak semakin ketat.
Pengelolaan Institut Alkitab yang telah berdiri sebelum terbentuknya Gereja Methodist Indonesia, bertempat di Medan berada dalam pengelolaan Methodist
Tionghoa, termasuk pengelolaan sekolah yang dananya berasal dari bantuan Methodist Amerika Serikat dan jemaat Tionghoa.
Distrik Batak Toba akhirnya memberikan kesempatan untuk memberlakukan sistem kepemimpinan Methodist berbentuk Dewan Pimpinan
Pusat atau DPP, dimana susunan yang paling tinggi dipegang oleh seorang ketua DPP dan membawahi lima orang anggota. Lima orang anggota merupakan kepala
dari lima distrik wilayah yang ditentukan sebelumnya. Pimpinan menjabat selama lima tahun, dan selanjutnya akan dipilih kembali.
Dalam pemilihan pertama Pdt. Wismar Panggabean terpilih menjadi Dewan Pimpinan Umum untuk periode 1964-1966, dan anggota masing-masing
DPP adalah: 1. Pdt. B. Purba
: untuk distrik Tebing Tinggi 2. Pdt. S Dolok Saribu
: untuk distrik Kisaran 3. Pdt. N.H Napitupulu
: untuk distrik Palembang 4. Pdt. A Huta Barat
: untuk distrik Rantau Prapat 5. Pdt. Lo You Fei
: untuk distrik Tionghoa
50
Pemilihan kepala distrik yang selalu dimenangkan oleh kelompok Methodis etnis Batak, dan hanya menyisakan satu orang pemimpin distrik dari
50
Richard Daulay, op. cit., hlm.277.
Universitas Sumatera Utara
kelompok Tionghoa, itupun dari distrik Tionghoa menyebabkan adanya sebuah perbedaan antara Methodist etnis Batak dengan etnis Tionghoa.
Dari sudut pandang lain, kelompok etnis Tionghoa selalu menjaga eksistensi kelompok Tionghoa dari anggota Methodist lainnya yang berasal dari
kelompok etnis lainnya, hal ini terjadi sejak tahun 1964, yang semakin diperbesar oleh kelompok missionaries yang menjaga tentang perbedaan etnisitas masa
sebelum merdeka. Kelompok pribumi adalah kelompok terjajah, sedangkan kelompok Tionghoa adalah masyarakat Indonesia yang bisa dikatakan tidak
merasakan bagaimana pengalaman terjajah. Sebelum Gereja Methodist menjadi gereja yang otonom, kelompok
Methodist dari etnis Batak memintakan hal ini segera ditinjau, dan mereka memintakan pembagian distrik dilakukan berdasarkan peta biografi bukan
berdasarkan etnisitas. Pembagian seperti ini seakan membentuk hal-hal yang khusus kepada kelompok Tionghoa, padahal semua jemaat memiliki hak dan
derajat yang sama dihadapan Tuhan. Kelompok Tionghoa menilai bahwa sumbangan besar terhadap
perkembangan Methodist sebagian besar disumbangkan dari kelompok Methodist dari etnis mereka, terbukti dalam mendirikan sekolah dan pembangunan lembaga-
lembaga yang lainnya. Dari alasan ini terbentuknya distrik Tionghoa menurut kelompok etnis Batak dekat hubungannya dengan kepentingan ekonomi dan
politik. Upaya menghindari tudingan ini, kelompok Tionghoa menilai latar
belakng itu tidak benar, terbentuknya distrik Tionghoa dekat hubungannya kearah kemampuan dari pemimpin sekolah dan pendeta dan pemimpin distrik lainnya
Universitas Sumatera Utara
yang semakin merosot dari kalangan orang Batak. Di sisi lain pemimpin sekolah dan pemimpim distrik lainnya cenderung berasal dari kelompok Batak, yang
jumlahnya adalah mayoritas, jadi kelompok etnis Tionghoa memintakan pemimpin bagi distrik tersebut sebaiknya berasal dari kelompok Tionghoa agar
kepentingan dan kecocokan budaya termasuk bahasa lebih baik apabila mereka mempunyai distrik tersendiri, yang sifatnya adalah otonom kepada etnisitasnya.
Pemimpin gereja Methodist tidak menghendaki permintaan dari etnis Tionghoa, bahkan mereka menginginkan distrik tetap ditentukan berdasarkan
wilayah, bukan seperti yang diinginkan kelompok Tionghoa, sebab anggota gereja Methodist pada dasarnya adalah satu, dimanapun dan kapanpun.
51
Pekerjaan membubarkan distrik yang berbentuk etnisitas ini oleh kelompok Methodist adalah hal yang sukar dilaksanakan, sebab sudah mengakar
sejak dari dulu, sehingga melalui konferensi tahunan Gereja Methodist Indonesia, nama dari distrik Tionghoa diganti menjadi “Distrik Pengembangan” tanpa
melakukan perubahan sistem birokrasi di Methodist Tionghoa tersebut, seperti yang dijelaskan pada keputusan konferensi tahunan tersebut:
“Pertimbangan penentuan nama “Distrik Pengembangan” adalah dalam rangka mewujutkan
pembaharuan dan pengintegrasian yang diinginkan, untuk itu diperlukan usaha dalam
bentuk pengembangan-pengembangan yang dapat dilalui secara bertahap”
52
Ide tentang pembentukan Methodist distrik pengembangan ini berasal dari seorang anggota Methodist yang selalu peduli terhadap masalah-masalah yang
dihadapai gereja Methodist, yang bernama S. Sagala. Sebagai penyimpulan dari pendapat S Sagala dari pihak pimpinan Methodist menambahkan, bahwa dalam
Universitas Sumatera Utara
acara kebaktian distrik pengembangan dan distrik yang lainnya akan menggunakan bahasa Indonesia saat melakukan kebaktian, kecuali kelompok
Methodist yang ada di pedesaan yang menggunakan bahasa daerah. Pendapat ini tidak diterima oleh kelompok Tionghoa, bahkan mereka
memintakan distrik Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa, saat pelaksanaan konferensi tahunan khusus bagi methodist yang etnisitasnya adalah etnis
Tionghoa. Alasan yang tepat dari sifat mempertahankan hal ini dari kelompok Tionghoa belum Jelas bagi pimpinan umum Methodist, yang saat itu berada di
tangan Bishop A Sitorus. Upaya mengetahui dan apa tujuan dari pembentukan distrik Tionghoa,
maka keputusan konferensi memutuskan agar membentuk tim yang anggotanya terdiri dari pengurus Gereja Methodist Indonesia pusat, diketuai oleh Pdt. Edenata
kelompok Tionghoa dan pendeta E.M Hutasoit sebagai sekretaris, sedangkan angota yang lainnya diambil dari kelompok Departemen pendidikan dan
pembinaan warga Gereja Methodist Indonesia berjumlah delapan orang. Unsur anggota yang dominan berasal dari etnis Tionghoa, menjadi latar
belakang kelompok ini berjalan kurang serius untuk membongkar lebih dalam tentang distrik Tionghoa. Tim yang beranggotakan 5 orang dari etnis Tionghoa, 2
orang dari etnis Batak dan satu orang dari etnis Sunda dibubarkan setelah pimpinan Methodist menunggu selama beberapa bulan kejelasan tentang distrik
Tionghoa. Tim selalu gagal mengumpulkan laporan tentang kejelasan distrik etnisitas ini. Pertemuan yang sudah direncanakan akan bekerja selama beberapa
bulan ternyata hanya dihadiri tiga orang dari anggota non Tionghoa.
51
Richard Daulay, op. cit., hlm 292.
52
Notulen Konferensi Tahunan Gereja Methodist Indonesia, Medan, 1975.
Universitas Sumatera Utara
Dugaan kuat dari Methodist kelompok etnis lainnya tentang pembentukan distrik Tionghoa bukan visi menuju kemajuan. Justru pembentukan distrik
Tionghoa adalah tindakan perpecahan didalam Methodist itu sendiri yang terbagi berdasarkan kelompok etnis tertentu. Setelah menunggu pekerjaan dari kelompok
kerja yang tidak kunjung bekerja maka bishop A. Sitorus meniadakan Distrik Tionghoa, dengan menolak dilaksanakannya konfrensi tahunan berbahasa
Tionghoa.
53
1. Penghapusan distrik pengembangan yang sama saja dengan
distrik Tionghoa Tiga keputusan pokok yang ditetapkan oleh Gereja Methodist
Indonesia yang akan dilaksanaka Gereja Methodist Indonesia selama 1983-1985 adalah:
2. Pencangan ART yang berlaku untuk semua Methodist dan
3. Gagasan mengambil alih Perguruan Kristen Methodist II.
54
Kebijakan yang ditetapkan oleh Bishop A. Sitorus bukan sebuah pemojokan kepada kelompok Tionghoa, tetapi sebuah tindakan tegas untuk
menjaga masa depan Methodist Indonesia. keputusan ini pada dasarnya menimbulkan terjadinya perpecahan di tubuh Gereja Methodist Indonesia,
terutama dalam pengelolaan departemen-departemen yang dimiliki oleh Gereja Methodist Indonesia.
Bagi kelompok Methodist etnis Tionghoa, pembubaran ini merupakan sebuah pemojokan dan bahkan mengurangi semangat kekristenan mereka, hal ini
terbukti setelah dibubarkannya distrik tersebut, kelompok etnis Tionghoa yang
53
Notulen Konferensi Tahunan Gereja Methodist Indonesia Sumatera utara –Aceh, Medan, 1980, hlm 32.
54
Richard Daulay, op. cit., hlm. 336.
Universitas Sumatera Utara
masuk kedalam ajaran Methodist tidak berkembang, dan bahkan mereka ada yang berpindah agama.
Setelah membubarkan Methodist distrik Tionghoa pengembangan, maka beberapa departemen yang berdiri memakai nama Methodist kembali kepada
pengurusan Gereja Methodist Indonesia, seperti sekolah-sekolah Methodist, departeman sosial Methodist dan lembaga-lembaga penginjilan lainnya yang
didirikan kelompok Tionghoa mengatasnamakan Gereja Methodist Indonesia, sedangkan kelompok Tionghoa yang dibubarkan distriknya, terpaksa harus
menggabungkan diri dengan kelompok Methodist lainnya yang pada dasarnya dominan etnis Batak.
4.3 Gereja Methodist Indonesia Satu Distrik Kembali