Patogenesis Dermatitis Atopik .1 Definisi Dermatitis Atopik

rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban udara, penggunaan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna Leung, 2008.

2.1.4 Patogenesis

Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat kompleks serta melibatkan banyak faktor sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial. Salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskan patogenesis dermatitis atopik adalah teori imunologik. Konsep imunopatologi ini berdasarkan bahwa pada pengamatan 75 penderita dermatitis atopik mempunyai riwayat atopi lain pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu beberapa parameter imunologi dapaat ditemukan pada dermatitis atopik, seperti peningkatan kadar IgE dalam serum pada 60- 80 kasus, adanya IgE spesisfik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans epidermis. Peranan reaksi alergi pada etiologi dermatitis atopik masih kontroversi dan menjadi bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap bentuk reaksi hipersensitivitas yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat paparan alergen. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain sebagai berikut: a. Aeroalergen atau alergen inhalan : Tungau debu rumah, bulu binatang, jamur dan kecoa b. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum c. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species dan ragi seperti Pityrosporum ovale, Candida albicans dan Trichophyton species d. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektan, nikel, paru, balsam dan sebagainya. Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi Universitas Sumatera Utara setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana ale rgen akan “ditangkap” oleh sel penyaji antigen APC, untuk kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui sel T cell receptor TCR. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th 2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Begitu ada dalam sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator baik yang teleah tersedia seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru dibentuk seperti leukotrien C4 LTC4, prostaglandin D2 PGD2 dan lain sebagainya. Sel Langerhans epidermal berperan penting pula di dalam patogenesis dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin. Apabila ada alergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresikan limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan membuat kerusakan jaringan. Terjadinya lesi dermatitis atopik pada keadaan ini didasari oleh mekanisme reaksi fase lambat atau late phase reaction. Respon imun dermatitis atopik terjadi mirip respon tipe lambat atau reaksi tipe IV karena melibatkan sel limfosit T dan oleh karena diperantarai oleh IgE maka dikenal sebagai IgE mediated delayed type hypersensitivity Kariosentono, 2007 Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Gejala Klinis