34
BAB III HAK TANGGUNGAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
A. Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah maka
undang-undang hak tanggungan yang ada dan berlaku saat ini di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Lahirnya undang-undang ini merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Pokok
Agraria UUPA yang mengamankan terciptanya suatu lembaga jaminan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah. Pengertian lain berlakunya Undang-
Undang Hak Tanggungan tersebut merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan UUPA, khususnya yang berkaitan dengan Hak Tanggungan.
Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan berati bahwa segala ketentuan mengenai lembaga jaminan dalam bentuk hipotik sebagaimana diatur di dalam
Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 yang diubah dengan Staasblad
1937 Nomor 190 tidak berlaku lagi.
23
Hak Tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan terhadap hak atas tanah. Namum kenyataannya seringkali
23
A.P Parlindungan, Komentar Undang-Undang Hak Tanggungan dan Sejarah Terbentuknya, Bandung : Mandar Maju, 1996, hal. 31.
terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan hutang.
Hukum tanah nasional yang berlaku didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Dalam kaitan dengan bangunan,
tanaman dan hasil karya tersebut hukum tanah nasional menggunakan asas pemisahan horizontal. Bertitik tolak pada asas pemisahan horizontal, benda-benda
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak
dengan sendirinya meliputi juga benda-benda tersebut. Penggunaan lembaga jaminan hak tanggungan yang diatur Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ternyata dalam praktek yang terjadi
di lapangan belum dapat memenuhi harapan sepenuhnya bagi lembaga perbankan milik negara selaku kreditur pemegang hak tanggungan, karena masih ada
ketentuan lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang mewajibkan lembaga perbankan
menyerahkan kredit macetnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara PUPN atau Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara KP2LN sehingga ia tidak
dapat mengeksekusi langsung barang jaminannya. Ketentuan undang-undang tersebut melarang instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara termasuk
lembaga perbankan milik negara menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara. PUPN atau KP2LN memiliki wewenang untuk mengurus piutang
negara, termasuk melakukan eksekusi lelang jaminan hutang menurut tata cara
sendiri, walaupun telah diikat dengan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, pelaksanaan eksekusi terhadap barang bergerak yang diikat dengan fidusia termasuk dalam hal ini stock barang dagang termasuk gula, beras
pada umumnya tidak melalui lelang tetapi dengan mengefektifkan kwitansi kosong yang sebelumnya telah ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau
debitur. Pada masa yang lalu mungkin tidak ada eksekusi jaminan fidusia yang melalui pelelangan umum. Selain itu, pada waktu yang lalu sangat banyak objek
jaminan fidusia perbankan yang tidak diketahui keberadaannya. Pada waktu yang lalu, pengikatan jaminan fidusia sangat lemah karena
tidak terdaftar dan tidak diumumkan. Akibatnya banyak pengikatan pendamping fidusia yang terkesan ragu-ragu. Hal ini, terlihat dari banyaknya pengikatan
pendamping fidusia seperti kuasa menjual, kwitansi kosong, pengakuan hutang dan sewa beli.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia juga mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yaitu memberikan alternative eksekusi barang jaminan fidusia melalui penjualan secara lelang dan penjualan di
bawah tangan. Namun, berbeda dengan eksekusi hak tanggungan atas tanah, eksekusi jaminan fidusia menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia hanya mengenal 2 dua cara eksekusi, yaitu :
1. Melaksanakan titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui
lelang atas kekuasaan penerima fidusia selaku pihak yang memberi fasilitas kredit untuk selanjutnya “debitur” sendiri dengan menggunakan
parate eksekusi. Parate eksekusi merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau putusan pengadilan kepada salah satu pihak
untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala pihak yang lain wanprestasi. Pelaksanaan titel eksekusi
atas hak eksekusi dengan parate eksekusi oleh penerima fidusia mengandung 2 dua persyaratan utama yaitu debitur atau penerima fidusia
wanprestasi dan telah ada sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Menjual objek jaminan fidusia secara di bawah tangan atas dasar
kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Seperti halnya dalam Undang- Undang Hak Tanggungan, maka dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia
ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan. Ada 3 tiga persyaratan
untuk dapat melakukan penjualan di bawah tangan objek jaminan fidusia, yakni :
a. Kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Syarat ini diperkirakan
akan berpusat pada soal harga dan biaya yang menguntungkan para pihak.
b. Setelah lewat waktu 1 satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis
oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
c. Diumumkan sedikitnya dalam 2 dua surat kabar yang beredar di
daerah yang bersangkutan. Beratnya persyaratan tersebut, besar kemungkinan seperti halnya selama
ini Hak Tanggungan Atas Tanah, penjualan dengan cara di bawah tangan ini tidak akan populer. Diperkirakan kalau cara ini pun akan ditempuh hanya akan
terbatas pada kredit berskala besar. Bisa saja, cara yang selama ini berlangsung akan lebih disenangi oleh para pihak dibandingkan dengan cara yang baru dalam
Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dengan cara lama debitur atau pemilik jaminan atas persetujuan debitur akan menembus atau melunasi beban nilai pengikatan
barang yang menjadi objek fidusia. Uang penebusan mungkin berasal dari calon pembeli. Setelah itu atau pada saat yang sama pemilik melakukan jual beli dengan
pembeli secara di bawah tangan ditandatangani oleh pemilik barang. Tetapi karena maksud penjualan di bawah tangan adalah untuk mendapatkan harga yang
lebih tinggi, maka cara eksekusi yang kedua ini masih dapat dikembangkan, tidak di bawah tangan tetapi melalui lelang sukarela terutama oleh Balai Lelang Swasta.
Berbeda dengan benda tetap seperti tanah, maka Undang-Undang Jaminan Fidusia menghendaki sebelum pelelangan barang sudah dalam penguasaan
kreditur atau penerima fidusia. Sesuai dengan asas yang tercantum dalam Pasal 1977 KUHPerdata, antara
lain menentukan bahwa barang siapa yang menguasai barang bergerak dianggap
sebagai pemilik. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia tersebut di atas masih perlu diatur lebih jelas terutama mengenai
prosedur permintaan bantuan pihak yang berwenang, mungkin harus dengan permintaan tertulis dan melampirkan dokumen fotocopi sertifikat fidusia.
Artinya perlu diatur mengenai bagaimana mekanisme dalam hal pemilik jaminan tidak bersedia menyerahkan barang jaminannya untuk dieksekusi.
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Dalam hal pemberi fidusia tidak meyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia
pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia, dan apabila perlu dapat meminta bantuan
pihak yang berwenang. Selanjutnya dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri dari benda perdagangan efek atau saham yang dapat dijual
di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena ketentuan ini menggunakan
kata “dapat” maka pelelangan atas saham atau efek dapat dilakukan melalui pialang atau melalui Kantor Lelang Negara yang sekarang namanya menjadi
Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara KP2LN. Namun demikian, ketentuan tersebut diatas perlu diatur lebih lanjut mengingat perdagangan surat -
surat berharga atau efeksaham pada waktu ini telah berkembang pesat. Pasar
modal Indonesia saat ini misalnya sedang mengembangkan perdagangan saham tanpa kertas scripless. Kantor Lelang Negara atau KP2LN dan balai lelang
swasta juga sudah mulai merintis pelelangan barang tertentu melalui media internet.
Hampir dapat dipastikan mengingat biaya eksekusi dan untuk kepastian hukum dimasyarakat, maka tidak mungkin semua jenis barang bergerak dapat
dijadikan jaminan untuk semua jumlah barang tanpa pembatasan minimum. Oleh karena itu kiranya sangat perlu juga diatur mengenai barang bergerak apa saja
yang mungkin atau yang dapat diikat dengan jaminan fidusia dan berapa nilai terendah pinjaman uang yang dapat menggunakan jaminan fidusia. Barang
bergerak dalam penguasaan pemilik yang dapat dijaminkan secara fidusia hendaknya dibatasi hanya terhadap barang bergerak yang berdokumen saja.
Pengertian barang berdokumen, dalam hal ini dapat diperluas hingga meliputi barang yang tidak berwujud namun didukung dokumen. Dengan cara ini, selain
dapat didaftar juga dapat dipasang label pada barang bergerak yang dijaminkan. Dengan pendaftaran dan pemasangan label dimaksud akan memberikan kepastian
dan perlindungan kepada masyarakat mengenai barang mana saja yang bebas dan yang mungkin diikat dengan fidusia. Untuk itu harus ditentukan barang bergerak
apa saja yang wajib berdokumen dan apa yang dapat dijaminkan atau dibebani. Dalam hubungannya dengan eksekusi objek fidusia yang pada dasarnya
merupakan barang bergerak kiranya sangat perlu diatur kewenangan menetapkan harga limit terendah barang yang akan dilelang, apakah berdasarkan penilaian
oleh penilai profesiappraisal atau berdasarkan taksasi dari penaksiran atau hanya
kreditur. Sebab penilaian selalu berpotensi menjadi sumber komplain khususnya barang yang bernilai besar atau spesifik seperti berlian, batu mirah rubi, saham
perseroan dan sebagainya. Salinan itu perlu juga ditetapkan status hukum harga limit dimaksud, apakah masih dapat atau tidak dapat dibatalkan oleh hakim.
Sebagaimana disebut di atas, eksekusi jaminan fidusia menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya mengenal
2 dua cara yaitu dengan melaksanakan titel eksekutorial dengan menjual objek jaminan fidusia sendiri dengan menggunakan Parate Eksekusi dan mejual objek
jaminan fidusia secara di bawah tangan atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.
Panitia Urusan Piutang NegaraDitjen KLN dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara adalah dengan cara pencairan. Dalam Pasal 1 angka 23
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300KMK.012002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara dijelaskan bahwa pencairan adalah tindakan
penjualan melalui lelang, penjualan tidak melalui lelang maupun penebusan barang jaminan dan atau harta kekayaan lain yang dilakukan dalam rangka
penyelesaian hutang. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian hutang
pananggung hutangpenjamin hutang yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang NegaraDitjen KLN digunakan 3 tiga cara dalam mengeksekusi barang
jaminanpencairan itu :
24
24
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300KMK.012002 tentang Pengurusan Piutang Negara, Pasal 1 angka 24, 25, 26.
1. Lelang adalan penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang - undangan yang berlaku; 2.
Penjualan tidak melalui lelang adalah pencairan barang yang dilakukan oleh penanggung hutang dalam rangka penyelesaian hutang;
3. Penebusan hutang adalah pencairan barang jaminan yang dilakukan oleh
penjamin hutang dalam rangka penyelesaian hutang. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia melalui pelelangan umum diawali
dengan permohonanpermintaan lelang dari kreditur atau penerima fidusia yang ditujukan kepada Kepala Kantor Lelang Negara KLN atau Kantor Pejabat
Lelang Kelas II di wilayah hukum objek jaminan fidusia itu berada dalam hal ini di wilayah domisili penerima fidusia. Selanjutnya KLNPejabat Lelang Kelas II
menetapkan waktu pelelangan yang diikuti dengan pengumuman lelang. Pada umumnya tidak setiap pelaksanaan eksekusi lelang barang jaminan
berjalan sebagaimana mestinya, namun dalam pelaksanaan eksekusi lelang mengalami berbagai hambatan-hambatan. Hambatan dalam pelaksanaan eksekusi
lelang barang jaminan salah satunya adalah apabila peminat lelang tidak ada. Pelelangan benda jaminan dimaksudkan agar masyarakat dapat membeli barang
jaminan tersebut, sehingga dengan adanya pelelangan benda tersebut, debitur dapat melunasi segala hutang-hutangnya kepada kreditur. Namun, seringkali
peminat lelang tidak ada. Rendahnya atau tidak adanya peminat untuk membeli barang lelang ini disebabkan :
1. Benda jaminan itu tidak bagus dan mudah hancur seperti beras dan gula ;
2. Penguasaan benda lelang pasca lelang sangat sulit untuk dilakukan
pengosongan; 3.
Adanya budaya dalam masyarakat untuk membeli barang lelang itu tabu, karena tidak enak dengan pemilik benda jaminan, sehingga berdampak
negatif pada pemanfaatan lahan; dan 4.
Barang jaminan berbentuk girik, bukan sertifikat. Yang dimaksud dengan benda yang tidak bagus adalah suatu benda di
mana letaknya kurang strategis, peruntukannya juga kurang baik, dan barang tersebut milik pihak ketiga. Berikut adalah benda-benda yang dimaksud dengan
benda yang dikategorikan dengan benda yang tidak bagus : 1.
Benda jaminan milik pihak ketiga Pada prinsipnya, jaminan yang akan dijaminkan oleh debitur adalah tanah
miliknya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa benda jaminan itu milik pihak ketiga. Pihak ketiga ini telah memberikan kuasa untuk pemasangan
jaminan. Dalam pelaksanaan lelang, pihak ketiga ini menghalangi terjadinya pelelangan benda jaminan, dengan alasan yang bersangkutan tidak pernah
memberikan kuasa kepada debitur untuk menjaminkan tanah. Kalau terjadi pemberian kuasa, maka pemberian kuasa itu dilakukan dengan cara bedrog,
dwaling, dan unduemfluence. 2.
Barang jaminan belum didaftarkan Pada prinsipnya, barang jaminan pada lembaga perbankan harus dilakukan
pendaftaran jaminan. Namun, dalam kenyataannya banyak kredit yang diberikan kepada debitur tanpa adanya pendaftaran. Pendaftaran jaminan
untuk fidusia dalam hal ini termasuk beras dan gula dilakukan pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terdapat di Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi. 3.
Nilai jual objek jaminan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah hutang debitur
Pada saat dilakukan analisis terhadap objek jaminan berupa beras dan gula oleh lembaga perbankan, maka nilai jual objek jaminan pada saat itu dianggap
tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang debitur, manakala debitur wanprestasi. Namun, pada saat dilakukan pelelangan, nilai jual benda jaminan
itu tidak cukup untuk dapat melunasi hutang-hutang debitur sehingga KP2LN harus melakukan penangguhan pelelangan terhadap benda jaminan sampai
cukup harga yang sesuai dengan jumlah hutang pokok dan bunga yang tertunggak.
4. Kurang itikad baik dari debitur
Kurangnya itikad baik merupakan kurang atau tidak adanya kemauan debitur untuk melunasi hutang-hutangnya, walaupun yang bersangkutan mempunyai
uang. Debitur sendiri berpendapat bahwa kami mempersilahkan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara KP2LN untuk melakukan
pelelangan benda jaminan, dan berpendapat bahwa nilai benda jaminan lebih kecil dari jumlah hutang-hutangnya.
Hambatan-hambatan tersebut dapat dipilih menjadi 2 dua hambatan pokok, yaitu hambatan yang berkaitan dengan nasabah dan benda jaminan yakni
mudah busuk dalam hal ini beras dan gula. Disamping hambatan itu, maka tidak
kalah pentingnya adalah hambatan karena ketentuan yang berlaku kurang memberikan kepastian hukum.
Pada pelaksanaan putusan yang isinya untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan sering timbul masalah dalam menilai kepentingan yang akan
diperoleh kreditur dengan uang dari barang berupa beras dan gula Lebih-lebih kalau prestasinya itu berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak jelas
jumlahnya. Hal ini menimbulkan berbagai pendapat dan penafsiran sehingga sering menyulitkan pelaksanaanya.
Pada dasarnya para debitur tidak menginginkan barang jaminan berupa beras dan gula atau benda-benda lainnya dilelang oleh Kantor Pelayanan Piutang
dan Lelang Negara KP2LN. Mereka tetap menginginkan supaya barang jaminan tidak dijual dan mereka tetap berharap supaya penbayaran hutang-hutangnya
dapat diperpanjang. Walaupun dari pihak perbankan ataupun lembaga keuangan non bank telah melakukan somasi beberapa kali kepada debitur, namun mereka
tetap tidak melaksanakan prestasinya tepat pada waktunya. Apabila hal itu tetap tidak diindahkan oleh debitur, lembaga perbankan,
khususnya perbankan yang modal milik pemerintah sebanyak 51 lima puluh satu persen dan lembaga keuangan non bank mengajukan hal tersebut kepada
Kantor Pelayanan Piutang Lelang Negara KP2LN.
B. Objek Hak Tanggungan