Peranan PPAT dalam Pemberian Hak Tanggungan

60

BAB IV PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN

PEMBERIAN KREDIT

A. Peranan PPAT dalam Pemberian Hak Tanggungan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut dengan benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Yang dimaksud dengan kreditor tertentu pada Pasal 1 angka 1 dalam undang-undang tersebut diatas yaitu kreditur preferen yang memiliki hak istimewa yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan Hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya. 37 37 Pasal 1134 KUHPerdata tentang Piutang-Piutang Yang Diistimewakan Pada Umumnya. Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, seorang kreditur merupakan kreditur preferen apabila tagihan kreditur tersebut adalah merupakan : 1. Piutang yang berupa hak istimewa; 2. Piutang yang dijamin dengan Hak Gadai; 3. Piutang yang dijamin dengan Hak Hipotik. Setelah berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka selain kreditur yang memiliki piutang sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1133 KUHPerdata, juga kreditur-kreditur yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia termasuk kreditur preferen atau separatis. Kreditur separatis adalah kreditur yang memiliki hak agunan kebendaan, seperti hak gadai, hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Kedudukan kreditur separatis dipisahkan dari kreditur lainnya dalam pengeksekusikan jaminan utang. Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berdasari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui 2 dua tahap kegiatan yaitu : 38 1. Tahap pemberian hak tanggungan, yaitu dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin. 2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan. Salah satu pihak yang terkait dalam pemberian Hak Tangunggan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, hal ini jelas ditegaskan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang menyebutkan bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan pemberian Hak Tanggungan dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT dan wajib untuk didaftarkan, sehingga wujud pendaftaran adalah pendaftaran APHTnya. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 13 38 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Semarang, hal. 64. ayat 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang mengaitkan lahirnya Hak Tanggungan dengan pendaftaran. Dan terdapat pula dalam Pasal 13 ayat 2 yang menetapkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT mempunyai kewajiban pendaftaran hak tanggungan karena jabantannya. Selain ada ketentuan kewajiban, juga ada batas waktu pelaksanaan pengiriman berkas pendaftaran yaitu selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja setelah penandatanganan akta pemberian hak tanggungan. Keterlambatan pengiriman berkas tersebut tidak mengakibatkan batalnya APHT yang bersangkutan dan Kepala Kantor Pertanahan tetap wajib memprosesnya. Tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT yang bertanggung jawab terhadap semua akibat, termasuk kerugian yang diderita pihak-pihak yang bersangkutan, yang disebabkan oleh keterlambatan pengiriman tersebut. 39 Peranan PPAT dalam membuat dan menerbitkan APHT harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, sebelum membuat akta tersebut, PPAT harus memperhatikan terlebih dahulu identitas para pihak dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Dan persiapan pembuatan APHT oleh PPAT dilakukan dengan cara mengumpulkan data yuridis yang menyangkut subjek debitor dan kreditor atau calon pemberi dan calon pemegang Hak Tanggungan, data yuridis dari objek Hak Tanggungan dan dokumen lain tentang adanya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian utang-piutang. Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT merupakan satu-satunya pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat APHT dan diwajibkan untuk 39 Boedi Harsono, Hukum Agraria Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Edisi revisi 2003, hal. 437. menyampaikan APHT yang telah dibuatnya beserta berkas-berkas yang diperlukan ke Kantor Pertanahan untuk didaftarkan. B. Pelaksanaan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pemberian Kredit Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, maka semua benda milik debitur, bergerak atau tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Sebenarnya ketentuan ini sudah merupakan suatu jaminan terhadap pembayaran hutang-hutang debitur, tanpa diperjanjikan dan tanpa menunjuk benda khusus dari si debitor. Selanjutnya pada Pasal 1132 KUHPerdata menegaskan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besa kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Jaminan umum seperti yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata mempunyai 2 dua kelemahan, yaitu : 1. Kalau seluruh harta atau sebagian harta kekayaan tersebut dipindahtangankan kepada pihak lain, maka bukan lagi jaminan bagi pelunasan piutang kreditor. 2. Kalau hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi piutang semua kreditornya, tiap kreditor hanya memperoleh pembayaran sebagian seimbang dengan jumlah piutangnya masing-masing. Dan ada pula alasan-alasan yang membuat para pihak kreditor tidak puas pada umumnya dengan jaminan umum yang berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut, yaitu antara lain karena : 1. Benda tidak khusus Dalam hal ini didalam Pasal 1131 KUHPerdata tidak menunjuk terhadap suatu barang khusus tertentu, tetapi menunjuk terhadap semua barang milik debitor 2. Benda tidak diblokir Jika dibuat jaminan hutang khusus maka dapat ditentukan bahwa benda tersebut tidak dapat dialihkan kecuali dengan izin pihak kreditor. 3. Jaminan tidak mengikuti benda Apabila benda objek jaminan hutang dialihkan kepada pihak lain oleh debitor, maka hak kreditor tetap melekat pada benda tersebut, terlepas di tangan siapa pun benda tersebut berada. 4. Tidak ada kedudukan preferens dari kreditor Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan atas Pasal 1131 KUHPerdata, maka terhadap pemegang jaminan hutang yang khusus yang bersifat kebendaan, oleh hukum diberikan hak preferens. Artinya, kreditornya diberikan kedudukan yang lebih tinggi didahulukan pembayaran hutangnya yang diambil dari hasil penjualan benda jaminan hutang. 40 40 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 138. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sedapat-dapatnya adanya kesamaan antara jenis valuta untuk kredit dengan penggunaan dana tersebut, sehingga resiko fluktuasi mata uang dapat dihindari. Hakekat perjanjian kredit jika dihubungkan dengan KUHPerdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit dapat dilihat dari 2 dua segi pandang sebagai berikut: 1. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis 2. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak akan ada perjanjian bernama dalam KUHPerdata yang disebut perjanjian kredit. Karena itu, yang berlaku adalah ketentuan umum dari hukum perjanjian, tentunya ditambah dengan klausul-klausul yang telah disepakati bersama dalam kontrak yang bersangkutan. Selanjutnya, penggolongan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama dalam tampilannya sebagai perjanjian pinjam pakai, maka di samping terhadapnya berlaku ketentuan umum tentang perjanjian, berlaku juga ketentuan KUHPerdata tentang Perjanjian Pinjam Pakai Habis. Hal ini berbeda dengan perjanjian pinjam pakai biasa dimana yang harus dikembalikan oleh debitornya adalah fisik dari benda yang dipinjam, misalnya pinjam mobil, maka yang dikembalikan adalah mobil yang dipakai tersebut. Sementara dalam perjanjian pinjam pakai habis, yang dikembalikan adalah nilai dari benda yang dipinjam pakai tersebut. Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak menentukan bentuk perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktek perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku standard contract., biasanya Perjanjian kredit kecil bank bisa dibuat di bawah tangan dengan legalisir oleh notaries dan bisa secara notariil. Praktek perbankan yang demikian ini didasarkan pada ketentuan sebagai berikut: 1. Instruksi Presiden Nomor 15IN1066 tentang Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 junto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2539UPKPemb. Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2649UPKPemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10EK21967 tanggal 6 Februari 1967 yang menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelas bahwa dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad kreditnya; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27162KEPDIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 277UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati oleh pihak kreditur dan debitur, maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit akad kredit secara tertulis. Dengan demikian pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara terulis, baik dengan akta di bawah tangan maupun akta notarial. Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkut, namun demikian ada hal-hal yang tetap harus dipedomani yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Perjanjian kredit ini mendapat perhatian khusus, baik oleh bank maupun oleh nasabah, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Menurut Ch. Gatot Wardoyo, pemberian kredit mempunyai fungsi, yaitu : 41 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. Oleh karena itu, sebelum pemberian kredit dilakukan, bank harus sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. 41 Ch. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen, Novermber-Desember,1992, hal. 64-69. Adapun proses demi proses ataupun tata cara dari pelaksanaan hak tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit sampai dengan hapusnya hak tanggungan tersebut. Pertama yang harus diperhatikan yaitu pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Jika perjanjian tersebut telah ada dan memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian selanjutnya pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggunganpa oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan tetapi belum dilakukannya pendaftaran, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan, dan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak atas tanah yang menjadikan objek Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur maka buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya dan Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah hak Tanggungan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per-undang- undangan yang berlaku. Sertifikat Hak Tanggungan tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah, kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Dan sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan. Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku- tanah Hak Tanggungan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak Tanggunga tersebut pun juga dapat terhapus karena hal-hal sebagai berikut : 3. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; 4. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; 5. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; 6. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karema dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanag yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanag yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin. Biasanya pihak kreditor meminta jaminan hutang yang khusus dari pihak debitor agar pembayaran hutang menjadi aman. Sedangkan didalam Pasal 1131 KUHPerdata bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing- masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Jadi, Pasal 1131 KUHPerdata membagi lembaga jaminan atas 2 dua sifat berdasarkan transaksi pemberian jaminan yang diberikan oleh debitor kepada pihak yang berpiutang kreditor yaitu: 1. Jaminan yang bersifat konkuren, ialah jaminan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor di mana sifat jaminan tersebut tidak mempunyai hak saling mendahului dalam pelunasan hutang antara kreditor yang satu dengan yang lainnya. 2. Jaminan yang bersifat preferen, adalah jaminan yang diberikan oleh debitor kepada satu kreditor, dimana diberikan hak untuk didahulukan dalam pelunasan utang kreditor lainnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam satu perikatan. Lembaga jaminan tersebut guna menjamin dananya untuk kepentingan kreditor melalui suatu perikatan khusus yang bersifat accesoir dari perjanjian pokok oleh debitor dengan kreditor. Sedangkan menurut H.Salim bahwa Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda. Di dalam sektor perbankan maupun non perbankan selalu membutuhkan suatu jaminan, karena apa yang diberikan itu merupakan dana atau kekayaan negara, obyek yang dijadikan jaminan juga bervariasi. Tanah menempati prioritas lebih diutamakan dibandingkan dengan benda bergerak yang nilai ekonomisnya cenderung menurun. Jaminan kebendaan yang bersifat khusus adalah penentuan atas benda tertentu milik debitor atau milik pihak ketiga, yang dimaksudkan sebagai jaminan hutangnya kepada kreditor, dimana jika Debitor wanprestasi atas pembayaran hutangnya. Hasil dari penjualan benda obyek jaminan tersebut harus terlebih dahulu dibayar kepada kreditor untuk melunasi pembayaran hutangnya, sedangkan kalau ada sisanya baru dibagikan kepada kreditor lain. Didalam jaminan ini berlaku asas publisitas, pencatatan, dan prioritas dimana dikatakan bahwa kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan yang lebih dahulu, yang dibuktikan dengan pencatatan dan publisitas yang dilakukan memiliki hak mendahulu atas kreditor dengan jaminan kebendaan yang sama. Hal ini berbeda dengan jaminan perseorangan yang memiliki cirri dan akibat hukum yang menimbulkan hubungan langsung pada diri orang perorangan atau pihak tertentu yang memberikan penjaminan, dan hanya dapat dipertahankan terhadap penjamin tertentu tersebut, terhadap harta kekayaan miliknya tersebut. Ini berarti dalam jaminan yang bersifat perorangan ini berlaku asas persamaan yaitu bahwa tidak ada benda antara piutang yang datang terlebih dahulu dan yang kemudian. Kata Kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu “credere” yang atinya percaya. Dalam bahasa Belanda untuk arti yang sama dipergunakan istilah “vertrouwen”, dan dalam bahasa Inggris digunakan istilah”believe, trust, atau confidence”. Oleh karena itu apabila seseorang atau suatu badan memberikan kredit berarti ia percaya akan kemempuan pihak Debitor pada masa yang akan mampu memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan bak itu berupa uang, barang atau jasa. Dalam dunia bisnis kredit juga mempunyai banyak arti, salah satunya adalah kredit seperti kredit yang diberikan oleh suatu bank kepada nasabahnya. Pada umumnya dalam dunia bisnis kata “kredit” diartikan sebagai kesanggupan dalam meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak. Pengertian kredit dapat juga dilihat dalam Pasal 1 angka 11 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan untuk selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perbankan dirumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian diatas menunjukkan bahwa prestasi wajib dilakukan oleh debitor atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata- mata melunasi hutangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Ada pula hal-hal yang menjadi elemen-elemen yuridis dari suatu kredit adalah sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan antara debitor dengan kreditor yang disebut dengan perjanjian kredit 2. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor 3. Adanya kesanggupan atau janji untuk membayar hutang 4. Adanya pinjaman berupa pemberian sejumlah uang 5. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pembayaran kredit. Dan ada pula hal-hal yang menjadi dasar hukum dari suatu kredit adalah: 1. Kontrak Kredit 2. Undang-undang, terutama Undang-Undang Perbankan dan Undang- Undang tentang Jaminan Hutang termasuk Undang-Undang Hak Tanggungan 3. Peraturan Perundang-undangan lainnya 4. Yuriprudensi tentang perkreditan 5. Kebiasaan, terutama kebiasaan perbankan Kredit itu sendiri memiliki prinsip-prinsip tertentu. Adapun yang merupakan prinsip-prinsip dari suatu kredit adalah: 1. Prinsip Kepercayaan Karena Kredit berarti kepercayaan, maka hal pemberian kredit haruslah ada kepercayaan dari kreditor bahwa dana tersebut akan bermanfaat bagi debitor dan kepercayaan dari kreditor bahwa debitor dapat mengembalikan dana tersebut. 2. Prinsip Kehati-hatian Agar kredit tidak menjadi macet, maka dalam memberikan kredit, haruslah cukup kehati-hatian dari pihak Kreditor dengan menganalisis dan mempertmbangkan semua factor yang relevan. Untuk itu perlu dilakukan pengawasan terhadap suatu pemberian kredit. 3. Prinsip Sinkronisasi Prinsip Sinkronisasi merupakan prinsip yang mengharuskan adanya sinkronisasi antara pinjaman dengan asset dari debitor. Misalnya, jangan diberikan kreditpembiayaan jangka pensek untuk keperluan investasi jangka panjang. 4. Prinsip Kesamaan Valuta Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sedapat-dapatnya adanya kesamaan antara jenis valuta untuk kredit dengan penggunaan dana tersebut, sehingga resiko fluktuasi mata uang dapat dihindari. 5. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dengan Modal Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah antara pinjaman dengan modal haruslah dalam suatu resiko wajar. 6. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dengan Aset Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah antara pinjaman dengan aset haruslah dalam suatu resiko yang wajar. 7. Prinsip 5C Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah harus diperhatikan faktor-faktor dari debitor sebagai berikut: a. Character Kepribadian Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kredit adalah penilaian atas karakterwatak dari calon debitornya. “Kepribadian, moral dan kejujuran dari calon masalah perlu diperhatikan sehubungan untuk mengetahui apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik, yang timbul dari perjanjian yang akan diadakan.” b. Capacity kemampuan Calon Debitor harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemempuan untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya ataupun kinerja bisnisnya lagi menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika menurunnya itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan biaya peluncuran kredit, maka kinerja bisnisnya dipastikan akan semakin membaik. c. Capital modal Capital adalah “modal usaha dari calon nasabah yang telah tersediatelah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit”. Permodalan dari suatu debitor juga merupakan hal yang harus diketahui oleh calon kreditornya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan dari seorang Debitor akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi, masalah likuidasi dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya. d. Condition of Economy kondisi ekonomi Kondisi perekonomian baik secara mikro atau makro juga merupakan faktor penting pula untuk dianalisa sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitor. e. Collateral agunan Di dalam pemberian kredit, agunan merupakan hal yang sangat penting. Jaminan ini merupakan jaminan tambahan karena yang merupakan jaminan yang utama adalah kepribadian calon nasabah dan kemampuan usahanya. 8. Prinsip 5 P Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan prinsip 5 P adalah memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Party Dalam hal pemberian kredit, para pihak haruslah pihak yang dapat dipercaya karena para pihak adalah merupakan titik yang utama. b. Purpose Di dalam hal pemberian kredit, pihak Kreditor harus mengetahui apa tujuan dari penggunaan dana oleh Debitor. Dalam hal penggunaan dana haruslah digunakan untuk hal-hal yang positif dan ekonomis bagi kepentingan Debitor. Agar tercapainya hal tersebut, maka Pihak Kreditor harus melakukan pengawasan. c. Payment Pihak Kreditor harus memperhatikan kemampuan pembayaran dari Debitor agar tidak terjadi kredit macet. Dalam hal ini, Pihak Kreditor dapat menganalisis apakah setelah pemberian kredit kepada Debitor punya income yang bisa digunakan untuk pembayaran kredit. d. Profitability Pihak Kreditor harus selalu untuk mengetahui perolehan laba dari pihak Debitor. Jika Debitor selalu memperoleh laba yang signifikan maka pembayaran kredit akan berjalan dengan lancar. e. Protection Perlindungan kredit yang baik bagi kredit haruslah dilakukan dengan menggunakan jaminan Perseorangan Personal guarantee danatau dengan Jaminan Perusahaan Corporate guarantee. Hal tersebut diperlukan untuk tindakan preventif jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 9. Prinsip 3 R Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Returns Returns merupakan hasil yang diperoleh oleh debitor, dalam hal ini ketika kredit tersebut sudah dimanfaatkan nanti harus dapat diantisipasi oleh Kreditor. Artinya, perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, disamping membayar keperluan perusahaan yang lain. b. Repayment Pihak debitor harus memiliki kemampuan pembayaran yang sangat baik. c. Risk Bearing Ability Kemampuan menahan risiko dari debitor haruslah baik yang artinya sejauh mana kemampuan dari debitor untuk menahan risiko yang bisa menyebabkan terjadinya kredit macet. Salah satu cara menahan resiko adalah jaminan tersebut dimasukkan ke dalam asuransi. 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN