Tinjauan Hukum Terhadap Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pengikatan Jaminan Bank

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

NIM: 070200343 ALKY REBY HASIBUAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 070200343 ALKY REBY HASIBUAN

Disetujui oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP: 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Maria Kaban, SH, M.Hum

NIP :196012251987032001 NIP: 196801281994032001 Puspa Melati Hsb, SH, M.Hum


(3)

mana berkat rahmat dan hidayah-NYA maka skripsi saya yang berjudul “TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PENGIKATAN JAMINAN BANK” ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini disadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun selepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, atau tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu diucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Maria Kaban, SH, M.Hum, sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

8. Ibu Pupsa Melati Hsb, SH, M.Hum, sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

9. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, sebagai Penasehat Akademik selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10.Terima kasih kepada para dosen dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Kepada keluarga juga saya ucapkan terima kasih untuk kedua orang tua Irfan Hasibuan, SH dan Rosyanthy Matondang yang telah sabar dan mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya dan segala pengorbanannya serta doanya sehingga dapat mencapai pendidikan tinggi ini, dan juga terima kasih kepada abang dan adik tersayang, Rico Andry Hsb dan Devy Iryanthy Hsb. Serta terima kasih kepada kak Anne, Klarissa Daniela K, dan Milky atas bantuan dan dukungannya;

12.Teristimewa kepada Dita Amelia Dislan , terima kasih atas bantuan, dukungan dan kesabarannya untuk setia mendampingi dalam keadaan apapun.


(5)

dan semua anggota Mess Squad yg tidak dapat disebutkan satu per satu) ; 14.Untuk semua teman-teman stambuk 2007 Fakultas Hukum USU serta semua pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum wr.wb.

Penulis

Alky Reby Hasibuan


(6)

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Metode Penulisan ... 13

F. Keaslian Penulisan ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH A. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 21

B. Pihak- pihak yang dapat diangkat Menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 24

C. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 25


(7)

B. Objek Hak Tanggungan ... 45 C. Para Pihak Dalam Hak Tanggungan ... 50 BAB IV PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI

JAMINAN PEMBERIAN KREDIT

A. Peranan PPAT dalam Pemberian Hak Tanggungan ... 60 B. Pelaksanaan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pemberian

Kredit ... 64 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

D. Kesimpulan ... 81 E. Saran ... 82


(8)

*) Maria Kaban, SH, M.Hum **) Puspa Melati Hsb, SH, M.Hum

***) Alky Reby Hasibuan

Perjanjian jaminan atau pengikatan jaminan hak atas tanah dalam praktek Pejabat Pembuat Akta Tanah sudah sangat lazim dilakukan oleh pihak bank. Dengan maraknya pemberian kredit oleh bank dengan jaminan berupa Hak Tanggungan maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah sangat dibutuhkan dalam hal tersebut. Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) adalah pihak yang sangat penting dalam kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar perbuatan hukum itu.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah tentang peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pemberian Hak Tanggungan dan mengenai pelaksanaan Hak Tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini yaitu dengan meniliti subjek dan objek dari Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) dan dari pengikatan jaminan bank tersebut. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis empiris, dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisi. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian yang didasarkan pada hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu buku-buku, artikel, majalah dan internet, yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari penulisan skripsi ini.

Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah bahwa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut perundang-undangan yang berlaku sangatlah penting. Dan peranannya juga sangat penting dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan Hak Tanggungan sebagai jaminannya.

Kata Kunci : PPAT, Pengikatan, Jaminan Bank

___________________________ *) Dosen pembimbing I

**) Dosen pembimbing II


(9)

1 A. Latar Belakang

Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur oleh undang - undang termasuk dalam hal pengikatan antara debitur dan kreditur di bank.

Profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan instansi yang membuat akta-akta yang menimbulkan alat-alat bukti tertulis dan mempunyai sifat otentik. Dalam hal ini Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus aktif dalam pekerjaannya dalam keadaan terpaksa misalnya di dalam suatu kapal ada seseorang membutuhkan notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membuat wasiat.

Pada pokoknya akta-akta Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu diperbuat dalam lapangan hubungan hukum perdata, hukum perjanjian, yang bila dikaji merupakan bagian dari pekerjaan dari Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur kepentingan antara warganegara perseorangan yang satu dengan warganegara perseorangan yang lain.1

1

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty,

1974), hal. 1.

Selanjutnya Hukum Perdata ini ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum Perdata yang tertulis ialah Hukum Perdata sebagaimana yang diatur dalam


(10)

Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Hukum Perdata yang tidak tertulis itu ialah Hukum Adat. Dari dua macam hukum ini yang dibicarakan dalam buku ini ialah Hukum Perdata yang tertulis yaitu sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUHPerdata. Selain dalam arti sempit, Hukum Perdata juga dikenal dalam arti luasnya, yaitu Hukum Dagang adalah termasuk Hukum Perdata dalam arti luas.2

Menurut Ilmu Pengetahuan, Hukum Perdata dapat dibagi atas 4 (empat) bidang (bagian):

1. Hukum Perorangan / Hukum Badan Pribadi (Personenrecht) 2. Hukum Keluarga (Familierecht)

3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) 4. Hukum Waris (Erfrecht)

Sedangkan berdasarkan buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu sendiri dibagi menjadi empat buku yakni :

1. Buku I : Hukum perorangan / Hukum badan pribadi 2. Buku II : Hukum benda

3. Buku III : Hukum Perikatan

4. Buku IV : Hukum bukti dan kadaluwarsa.

Hukum Benda sebagaimana diatur dalam buku II KUHPerdata hendaknya dengan mengingat berlakunya Undang Pokok Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria lazim dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai

2


(11)

berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut memberikan pengaruh perubahan terhadap berlakunya buku II KUHPerdata dan juga terhadap berlakunya Hukum Tanah di Indonesia.3

Perubahan besar terhadap berlakunya buku II KUHPerdata terjadi karena berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria yaitu sebagaimana tercantum dalam undang- undang tersebut menentukan bahwa mencabut Buku II Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan- ketentuan mengenai hipotik, yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria tersebut maka dicabutlah berlakunya semua ketentuan – ketentuan mengenai hak- hak kebendaaan sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dari buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kecuali ketentuan mengenai Hipotik.4

Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta harus berpedoman dengan Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kewenangan lainnya yang dimaksud undang-undang tersebut dijabarkan mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan. Berkaitan dengan peranannya sebagai pejabat umum tersebut maka selanjutnya Notaris dalam kapasitas tugasnya yang terjabar pada Pasal 15 ayat (2) berwenang untuk :

3

Ibid, hal. 3.

4


(12)

1. Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;

3. Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertambahan; atau

7. Membuat akta risalah lelang.

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau di mana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.5

Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyatakan bahwa Notaris berkewajiban membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Namun dalam prakteknya akta cukup dimengerti oleh para pihak penghadap.

5


(13)

Sesuai dengan pembahasan diatas mengenai Notaris yang berkewajiban membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) huruf l, akta itu sendiri mempunyai fungsi formil yang artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta dan juga fungsi sebagai alat bukti yang artinya sebagai pembuktian di kemudian hari oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian. Akta itu sendiri dapat dibedakan jenisnya yang ditinjau dari segi pembuatannya, dan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis akta yaitu :

1. Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan yang dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.6

Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan : “Akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang diperbuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat”.

Dengan melihat ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, maka suatu akta agar dapat dikatakan suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan :

a. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum.

6


(14)

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus yang

mempunyai wewenang.

Pejabat yang dimaksud dari pengertian dan ketentuan di atas antara lain Notaris, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatatan Sipil, Hakim dan sebagainya.7

Akta yang diperbuat dihadapan Notaris dan PPAT yang merupakan pejabat pembuat akta tanah mempunyai nilai yuridis dalam arti mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang sempurna, maka akta Notaris tersebut harus dipenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu sebagai berikut : 8

1. Syarat subyek yaitu para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah pihak yang berhak atau berwenang.

2. Syarat obyek yaitu tanah yang dijadikan sebagai obyek peralihan hak atas tanah dibolehkan secara hukum tidak sengketa, tidak menjadi jaminan utang dan lain- lain.

3. Syarat yuridis formil yaitu pejabat umum yang membuat akta peralihan hak atas tanah adalah pejabat yang berwenang, ada 2 (dua) orang saksi yang sudah dewasa, disetujui oleh ahli warisnya, dalam hal hibah merupakan akta otentik standar khusus yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang- undangan.

Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang

7

Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Alumni, 1991),

hal. 55.

8

Supranowo, Himpunan Karya Tulis Bidang Hak Tanggungan Dan Pejabat Pembuat Akta


(15)

apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh Hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

2. Akta Dibawah Tangan

Akta dibawah tangan (under hands) adalah tulisan di bawah tangan antara satu pihak dengan pihak lain tanpa perantaraan seorang pejabat yang diakui oleh pihak lain.

Pasal 1874 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan : “Sebagai tulisan- tulisan di bawah tangan dianggap akta- akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat- surat, register-register, surat- surat urusan rumah tangga dan lain- lain

tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”. Kekuatan

bukti otentik para pihak dan ahli waris serta mereka yang memperoleh hak dari padanya merupakan bukti yang sempurna. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai bukti sempurna, apabila tanda tangan didalam akta tersebut diakui oleh pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas. 9

Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak

9


(16)

dapat diperlukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1869 KUHPerdata. Sebagai contoh akta di bawah tangan adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.

Dan akta di bawah tangan ini dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai.

Fungsi dan peranan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembangunan semakin kompleks dewasa ini yang semakin bertambah luas dan berkembang. Hal ini disebabkan karena kepastian hukum dari pelayanan dan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, oleh karena itu pemerintah dan masyarakat khususnya sangat mempunyai harapan kepada Notaris agar jasa yang diberikan oleh Notaris benar-benar dapat diandalkan dalam peningkatan serta perkembangan hukum nasional di Indonesia pada saat ini dan masa yang akan datang.

Dengan adanya kepastian hukum yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dari pelayanan dan produk-produk hukum yang dihasilkan Notaris ataupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maka masyarakat mempunyai bukti yang sah apabila terjadi permasalahan sengketa dan atau bahkan dengan adanya


(17)

Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat mengurangi terjadinya sengketa.

Adapun faktor-faktor yang menjadi sumber terjadinya sengketa-sengketa tersebut, yaitu : 10

1 Menghambat tujuan pribadi. 2 Kehilangan status (kedudukan) 3 Kehilangan otonomi (kekuasaan) 4 Kehilangan sumber- sumber

5 Tidak mendapat bagian yang adil dari sumber- sumber yang langka. 6 Mengancam nilai

7 Mengancam suatu nama

8 Kebutuhan yang berbeda dan berbenturan. 9 Kesalahpahaman atau salah mengerti. 10 Pembelaan harga diri.

Sengketa pertanahan menurut Hadi Mulyo bahwa dasar penyebab utama dari adanya sengketa dapat ditelusuri dari akar- akar ekonomi politik. Jadi pendapat mereka terhadap sengketa merupakan suatu perspektif yang lebih sebagai faktor yang menekankan pada aspek-aspek ekonomi, politik yang menonjol ketimbang aspek- aspek lainnya. Dengan kata lain, sengketa disini dilihat sebagai masalah ekonomi-politik, dan oleh karena itu upaya-upaya

10

T.O Ihromi, Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa, dalam T.O Ihromi Antropologi


(18)

penyelesaiannya pun haruslah mempertimbangkan pada faktor-faktor ekonomi politik. 11

Sengketa sering terjadi dimana tidak dibacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris sehingga menimbulkan minat penulis untuk mengadakan penelitian terhadap peristiwa hukum tersebut.

Didalam melakukan tugasnya Notaris memerlukan perlindungan hukum dalam melakukan tugas jabatannya sesuai dengan peraturan Notaris disumpah oleh Pengadilan Negeri dan lingkup kerjanya untuk seluruh Indonesia. Disamping itu tugas notaris menangani segala akta (lebih luas dari PPAT).

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Pasal 1 yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Perbuatan Hukum yang dimaksud diatas yaitu mengenai :

a. jual beli b. tukar menukar c. hibah

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) e. pembagian hak bersama

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik

11

Hadi Mulyo, Mempertimbangkan Alternatif Dispute Resolution (ADR), Kajian


(19)

g. pemberian Hak Tanggungan

h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan

B. Perumusan Masalah

Dari uraian singkat mengenai latar belakang penulisan tersebut, maka ada beberapa masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu:

1. Apa yang menjadi peranan PPAT dalam pemberian Hak tanggungan ?

2. Bagaimana pelaksanaan Hak Tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit ?

C. Tujuan Penulisan

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan dengan metode ilmiah serta bertujuan untuk mendapatkan data baru. Pengertian dari penelitian itu sendiri adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul. 12

Tujuan penulisan skripsi ini pada khususnya adalah untuk memenuhi persyaratan agar memperoleh gelar sarjana hokum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun secara umum pembahasan mengenai aspek Tujuan penelitian lainnya secara praktis merupakan usaha untuk menjawab berbagai pertanyaan ilmiah seputar permasalahan hokum.

12


(20)

hukum terhadap peranan pejabat pembuat akta tanah dalam pengikatan jaminan bank seperti yang dibahas dalam skripsi ini mempunyai tujuan yaiitu:

1. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, pihak- pihak yang dapat diangkat menjadi pejabat pembuat akta tanah.

2. Untuk memahami dan mengetahui hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan, prosedur pembebanan hak tanggungan, objek hak tanggungan, para pihak dalam tanggungan.

3. Untuk mengetahui peranan PPAT dalam pemberian hak tanggungan.

4. Untuk mengetahui pelaksanaan Hak Tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan ini meliputi 2 (dua) hal yakni aspek teoritis dan praktis yaitu:

1. Secara teoritis :

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang hukum khususnya dalam penanganan dan penyelesaian terhadap peranan PPAT dalam pemberian hak tanggungan, pelaksanaan hak tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit

b. Hasil penelitian ini dihadapkan dapat memberikan kejelasan prosedur peranan PPAT dalam Pemberian Hak Tanggungan, Pelaksanaan Hak Tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit.


(21)

2. Secara praktis :

Untuk mengetahui secara praktis pelaksanaan penanganan melalui pendekatan hukum dalam praktek PPAT terutama di kalangan di Kota Medan. Selain itu diharapkan dapat memberikan masukan atau manfaat bagi mahasiswa, praktisi notaris dan PPAT dan masyarakat

E. Metode Penelitian

Menurut pendapat Koentjaradi, yang dinamakan motode penelitian adalah dalam arti kata yang sesunggunya, maka metode (Yunani : “methods”) adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek dari sasaran yang bersangkutan.13 Untuk memenuhi criteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang objektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar. 14

Metode penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu prises penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian olmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ada metode yuridis normatif. Metode penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan

13

Danang Ari, Studi Tentang Perlindungan Dagang, (Surakarta: UUM, 2008), hal. 9.

14 Ibid,.


(22)

oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law in decide by the judge through the judicial process). 15

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapat jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Penduhuluan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 16

Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukumtertentu dengan jalan menganalisisnya. 17

15

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Gratifi

Press, 2006), hal. 118.

16

Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1998), hal. 9.

17


(23)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yaitu yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari).18 Pada dasarnya yang dicari itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir yang ditempuh melalui penalaran deduktif19

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya serta juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

dan sistematis dalam penguraiannya.

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode pendekatan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hubungan ini dilakukan pengukuran dan analisis terhadap “Tinjauan Hukum Terhadap Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pengikatan Jaminan”.

18

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Indonesia,

2005), hal. 27.

19

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas


(24)

2. Sumber Data

Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan diantaranya adalah catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks dan jurnal. Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualitas keilmuan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum penunjang pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya adalah misalnya abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya. Dan kedua bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain


(25)

sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan-undangan, dokumen-dokumen dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisa Data

Pengelolaan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan tinjauan terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian ditinjau berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan :

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pengikatan jaminan bank.

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah.


(26)

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian ditinjau secara deskriptif dan kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

F. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pengikatan Jaminan Bank” belum pernah dilakukan. Dengan demikian, penulisan ini dapat dinyatakan asli dan dapat penulis pertanggungjawabkan kebenarannya.

G. Sistematika Penulisan

Dalam usaha untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian dalam karya ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi kedalam susunan yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam setiap bab dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam bab pertama yang berisi pendahuluan ini, dipaparkan pengantar untuk mendapat memberikan penjelasan singkat dan pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada pembahasan karya ilmiah ini. Meliputi latar belakang, perumusan masalah, tinjauan


(27)

penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, serta sistematika penulisannya sendiri.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

Didalam bab kedua ini akan dibahas mengenai pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang mencakup tentang pihak-pihak yang dapat diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta tugas, wewenang dan kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah itu sendiri.

BAB III : HAK TANGGUNGAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Didalam bab ketiga ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai bagaimana prosedur pembebanan hak tanggungan, mengenai objek hak tanggungan dan para pihak yang terdapat dalam hak tanggungan tersebut.

BAB IV : PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN PEMBERIAN KREDIT

Pembahasan dalam bab yang keempat ini adalah merupakan pembahasan yang bersumber dari penelitian (research). Aspek yang akan dibahas dalam bab ini adalah mengenai peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pemberian hak tanggungan dan pelaksanaan hak tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit.


(28)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan setiap bab dalam permasalahan tersebut. Bab ini juga akan memaparkan beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan pemaparan tersebut.


(29)

21 A. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah

Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN) guna membantu menguatkan atau mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subjek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Secara normatif, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 juncto Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997.

Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang menjelaskan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pemberian hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(30)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pengaturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT terbagi dalam beberapa kategori yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara

Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dan Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta didaerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Khusus

Pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri.

Dalam pembuatan akta otentik, maka ada persyaratan formal yang harus dipenuhi antara lain harus dibuat oleh pejabat umum yang khusus diangkat untuk itu dengan akta yang dibuat dalam bentuk tertentu, sehingga dapat dipastikan bahwa tindakan dalam pembuatan akta didasarkan atas hukum yang berlaku, aktanya dapat dijadikan sebagai dasar telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut secara sah dan dapat dijadikan alat pembuktian di depan hukum.


(31)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan perndaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanag atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Hal ini sesuai dengan tugas pokok dan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, dan PPAT diangkat untuk satu daerah kerja tertentu. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berhenti menjabat sebagai PPAT dengan alasan karena meninggal dunia, telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun, diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT, atau diberhentikan oleh Menteri. 20

Dasar hukum yang dijadikan pedoman teknis dalam pelaksanaan tugas PPAT adalah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah serta peraturan pelaksanaannya.

20

Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


(32)

B. Pihak-Pihak Yang Dapat Diangkat Menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah

Khusus mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang ditetapkan tanggal 5 Maret 1998 dan ketentuan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006. Dalam peraturan tersebut lebih gamblang dijelaskan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.

Pejabat Pembuat Akta Tanah dibagi ke dalam tiga kategori, yakni : 21 1. PPAT Biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam

pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu (dapat merangkap sebagai Notaris, konsultan atau penasehat hukum)

2. PPAT Sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT (Camat atau Kepala Desa).

3. PPAT Khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu (Kepala Kantor Pertanahan). Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar bagi

21

Muhammad Hasyim Soska, Tentang PPAT, http://hasyimsoska.blogspot.com/2012/02/tentang-ppat.html, akses tanggal 12 Mei 2012.


(33)

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Dan ada pula syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut, yaitu sebagai berikut : 22

1. Kewarganegaraan Indonesia;

2. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;

4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatabn hukum tetap;\ 5. Sehat jasmani dan rohani;

6. Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;

7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.

C. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah

Tugas pokok Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar sebagai pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum

22

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


(34)

itu.Perbuatan Hukum mengenai hak atas tanah yang dapat dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut antara lain :

1. Jual Beli; 2. Tukar menukar; 3. Hibah;

4. Pemasukan ke dalam perusahaan; 5. Pembagian hak bersama;

6. Pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas tanah Hak Milik; 7. Pemberian hak tanggungan;

8. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah yang terletak di dalam daerah kerjanya. PPAT dalam melaksanakan tugasnya diharuskan untuk :

1. Berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan pengangkatan, dan diharuskan diharuskan memasang papan nama jabatan PPAT Sementara, dengan rincian sebagai berikut :

a. Ukuran 100 x 40 cm atau 150 x 60 cm atau 200 x 50 cm b. Warna dasar dicat putih tulisan hitam

c. Bentuk huruf Kapital

2. Mempergunakan kop surat dan sampul dinas PPAT dengan letak penulisan dan warna tertentu.


(35)

Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi perbuatan hukum dalam akta. Hal tersebut terdapat di dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pengaturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dalam pelaksanaan tugasnya PPAT mempunyai Hak dan kewajiban, yakni 1. Hak PPAT adalah :

a. menerima uang jasa (honorarium) termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi;

b. memperoleh cuti. 2. Kewajiban PPAT adalah :

a. mengangkat sumpah jabatan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kota setempat;

b. berkantor dalam daerah kerjanya dengan memasang papan nama;

c. membuat, menjilid dan memelihara daftar-daftar akta, akta-akta asli, warkah warkah pendukung, arsip laporan dan surat-surat lainnya yang menjadi protokol PPAT;

d. Hanya dapat menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);


(36)

e. Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua akta yang dibuatnya selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya kepada:

1) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya; 2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; 3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak;

4) Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi.

Selain wewenang yang dipegang oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), adapun larangan bagi PPAT dalam melakukan pekerjaan, yaitu :

1. dilarang membuat akta untuk dirinya sendiri, suami atau istrinya, keluarga sedarah dalam garis lurus vertikal tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping derajat kedua, menjadi para pihak atau kuasa. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;

2. PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai pengacara atau advokat dan pegawai negeri atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah, sesuai dengan isi dari Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.

Apabila PPAT tidak mentaati hal-hal yang dilarang dalam melakukan pekerjaannya, adapun ketentuan sanksi yang diberikan ketika PPAT yang melakukan pelanggaran :

1. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai dengan pemberhentian


(37)

jabatannya sebagai PPAT, sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 37 PMNA/KBPN No. 4 Tahun 1999; 2. Sanksi atas pelanggaran tidak menyampaikan laporan bulanan, dikenakan

denda sebesar Rp. 250.000,- setiap laporan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tamah.

Pengangkatan PPAT saat ini adalah berasal dari Notaris, artinya dipundak ada dua jabatan, selaku Notaris dan selaku PPAT. Selaku Notaris seseorang harus mempedomani Undang Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris beserta peraturan pelaksanaannya dan harus tunduk pada pejabat Departemen Kehakiman dan HAM, sedangkan selaku PPAT harus mempedomani Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta peraturan pelaksanaannya dan tunduk dan patuh pada pejabat Badan Pertanahan Nasional. Dalam hal ini bermakna bahwa terdapat dua payung hukum yang harus dipatuhi oleh seseorang yang bertindak dalam dua jabatan.

Dalam pelaksanaan tugasnya selaku PPAT/Notaris, maka segala tindakannya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya dalam pembuatan akta PPAT akan diawasi oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat, termasuk pemeriksaan terhadap pembuatan akta, pengadaan dan pengisian protokol serta pelaksanaan segala kewajiban yang telah ditentukan, oleh karena itu sebelum melaksanakan tugas sebagai PPAT, hendaknya saudara berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kantor Pertanahan. Bahwa dalam setiap membuatkan akta PPAT, lakukan koordinasi dengan Kantor Pertanahan setempat guna mendapatkan


(38)

informasi tentang status tanah yang akan dibuatkan aktanya, apakah tanah tersebut benar-benar telah terdaftar atau apakah data yuridis dan data fisik yang ada dalam sertifikat tanah tersebut sesuai dengan data yang ada pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Penyesuaian data dalam sertifikat dengan data dalam buku tanah tersebut lebih dikenal dengan nama “cek bersih”. Dalam hal ini bermakna bahwa seorang PPAT dalam melaksanakan tugasnya harus senantiasa berkoordinasi dengan pihak pihak terkait.

Bahwa dalam pembuatan akta pastikan benar-benar dilakukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dan keterangan yang sebenarnya dari para pihak yang bersangkutan, misalnya keadaan yang sebenarnya adalah bahwa dalam pembuatan akta itu benar benar para pihak berada dan menandatangani akta di hadapan PPAT, bukan dilakukan pembuatan aktanya di kantor tetapi penandatanganannya di rumah masing-masing. Perbuatan demikian apabila ada temuan dari pengawas, maka perbuatan tersebut merupakan pelanggaran berat dan akan menjadi salah alasan untuk pemberhentian dari jabatan PPAT dan juga berpotensi terkena tindakan pidana dengan delik membuat pernyataan palsu di dalam akta otentik. Dalam tindakan ini bermakna harus terdapat kepastian mengenai subyek dari yang berkepentingan.

Bahwa dalam rangka membuat Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), walaupun tidak ada keharusan, namun disarankan sedapat mungkin dilakukan cek ke lapangan untuk memastikan ada tanahnya, letak pastinya dan keadaan tanahnya guna menjaga hal-hal yang tidak diinginkan seperti adanya sengketa dan tanahnya fiktif. Hal itu penting karena salah satu syarat untuk


(39)

membuatkan akta PPAT haruslah tanahnya bebas dalam sengketa, apabila PPAT membuatkan akta yang ternyata tanahnya dalam sengketa, maka PPAT tersebut telah melakukan pelanggaran berat, konsekwensi hukumnya tidak hanya terancam akan dicabut jabatan yang diembannya tetapi juga berpotensi menjadi bahan penyidikan oleh aparat hukum yang pada akhirnya dapat mengantarkannya ke dalam penjara. Dalam hal ini bermakna kepastian mengenai objek.

Bahwa adanya ketentuan undang-undang mengenai jangka waktu penyampaian akta ke Kantor Pertanahan oleh PPAT yang bersangkutan yaitu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta ditandatangani, hal ini perlu diperhatikan khususnya terhadap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dengan tegas Undang Undang Hak Tanggungan mengatur dengan limitatif jangka waktu penyampaian Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ke Kantor Pertanahan maksimal 7 (tujuh) hari sejak penandatnaganan akta. Dalam hal ini bermakan suatu kepastian dalam limit waktu.

Bahwa tugas apapun yang dilaksanakan dengan pembuatan akta PPAT, semuanya harus dilaporkan secara berkala kepada Badan Pertanahan Nasional, bahkan jika tidak melaksanakan tugaspun, artinya aktanya nihil, tetap harus dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional. Dalam hal ini bermakna kepatuhan dalam menyampaikan laporan.

Dalam menjalankan tugas-tugas selaku Notaris sekaligus PPAT, banyak yang terkait dengan kegiatan di bidang pertanahan yang terkait dengan tugas dan kewenangan PPAT, seperti :


(40)

1. Persoalan mengenai warisan, siapa dan berapa ahli waris sah dan apa warisannya

2. Persoalan mengenai wasiat atau hibah, terkait ketentuan legitime portie

3. Masalah status anak, apakah anak sah, anak tidak sah atau anak angkat dan hak haknya.

4. Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) yang masih bermacam-macam bentuknya sesuai dengan golongan penduduk, misalnya untuk penduduk Eropa dan Tionghoa dibuat oleh Notaris, Golongan Timur Asing dibuat oleh Balai Harta Peninggalan, sedang untuk penduduk pribumi cukup dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan disaksikan oleh Lurah dan Camat, khusus untuk pribumi yang beragama Islam, penetapan ahli waris dapat dibuat oleh Mahkamah Syariah dan bagi yang beragama Kristen dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

5. Pembuatan kuasa, ada kuasa umum, ini kuasa yang lemah karena hanya bertindak membawa nama yang memberi kuasa, ada kuasa menjual, tetapi dijual kepada dirinya sendiri, itu salah besar. ada kuasa mutlak yaitu kuasa yang tidak punya batas waktu, tidak dapat dicabut kembali dan tidak dikecualikan terhadap perbuatan hukum tertentu serta isinya tidak dapat dirubah, ada kuasa mutlak substitusi yaitu kuasa yang dapat dipindahkan kepada orang lain. Kuasa mana yang bisa dijadikan dasar perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, harus benar-benar diketahui dengan sejelas-jelasnya.


(41)

Hal lain yang menjadi perhatian adalah adanya kewajiban-kewajiban yang harus dicantumkan dalam akta misalnya pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak Penghasilan (PPh), sebab jangan sampai terjadi hal yang semula maksud hati hendak membantu masyarakat dalam melayani pembuatan aktanya, tetapi karena ketidaktahuan aturan main, maka dengan seenaknya membuat akta PPAT yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat seperti tanahnya masih dalam keadaan sengketa, tidak melampirkan bukti setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang, yang pada akhirnya dapat menyeret Pejabatan Pembuat Akta Tanah (PPAT) menjadi pesakitan di hadapan aparat penegak hukum.

Penyidikan oleh aparat penegak hukum, beberapa PPAT telah dan sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian, ada yang menjadi saksi, bahkan ada yang menjadi tersangka. Ini yang harus diwaspadai. Sekali lagi pastikan semua aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dimengeri dengan baik, sehingga dalam menjalankan amanat dan tanggung jawab selaku pejabat negara bisa survive.

Bahwa dalam menjalankan tugas selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga turut membantu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam memberikan penyuluhan hukum pertanahan kepada masyarakat tidak semata-semata dilihat dari sudut bisnis saja, tetapi ada sisi pengabdian sosial selaku pejabat negara.


(42)

34 A. Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah maka undang-undang hak tanggungan yang ada dan berlaku saat ini di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Lahirnya undang-undang ini merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengamankan terciptanya suatu lembaga jaminan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah. Pengertian lain berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan UUPA, khususnya yang berkaitan dengan Hak Tanggungan. Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan berati bahwa segala ketentuan mengenai lembaga jaminan dalam bentuk hipotik sebagaimana diatur di dalam Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 yang diubah dengan Staasblad 1937 Nomor 190 tidak berlaku lagi. 23

Hak Tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan terhadap hak atas tanah. Namum kenyataannya seringkali

23

A.P Parlindungan, Komentar Undang-Undang Hak Tanggungan dan Sejarah


(43)

terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan hutang. Hukum tanah nasional yang berlaku didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Dalam kaitan dengan bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut hukum tanah nasional menggunakan asas pemisahan horizontal. Bertitik tolak pada asas pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi juga benda-benda tersebut.

Penggunaan lembaga jaminan hak tanggungan yang diatur Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ternyata dalam praktek yang terjadi di lapangan belum dapat memenuhi harapan sepenuhnya bagi lembaga perbankan milik negara selaku kreditur pemegang hak tanggungan, karena masih ada ketentuan lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang mewajibkan lembaga perbankan menyerahkan kredit macetnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) atau Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) sehingga ia tidak dapat mengeksekusi langsung barang jaminannya. Ketentuan undang-undang tersebut melarang instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara termasuk lembaga perbankan milik negara menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara. PUPN atau KP2LN memiliki wewenang untuk mengurus piutang negara, termasuk melakukan eksekusi lelang jaminan hutang menurut tata cara


(44)

sendiri, walaupun telah diikat dengan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pelaksanaan eksekusi terhadap barang bergerak yang diikat dengan fidusia termasuk dalam hal ini stock barang dagang termasuk gula, beras pada umumnya tidak melalui lelang tetapi dengan mengefektifkan kwitansi kosong yang sebelumnya telah ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau debitur. Pada masa yang lalu mungkin tidak ada eksekusi jaminan fidusia yang melalui pelelangan umum. Selain itu, pada waktu yang lalu sangat banyak objek jaminan fidusia perbankan yang tidak diketahui keberadaannya.

Pada waktu yang lalu, pengikatan jaminan fidusia sangat lemah karena tidak terdaftar dan tidak diumumkan. Akibatnya banyak pengikatan pendamping fidusia yang terkesan ragu-ragu. Hal ini, terlihat dari banyaknya pengikatan pendamping fidusia seperti kuasa menjual, kwitansi kosong, pengakuan hutang dan sewa beli.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia juga mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yaitu memberikan alternative eksekusi barang jaminan fidusia melalui penjualan secara lelang dan penjualan di bawah tangan. Namun, berbeda dengan eksekusi hak tanggungan atas tanah, eksekusi jaminan fidusia menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya mengenal 2 (dua) cara eksekusi, yaitu :


(45)

1. Melaksanakan titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui lelang atas kekuasaan penerima fidusia selaku pihak yang memberi fasilitas kredit (untuk selanjutnya “debitur”) sendiri dengan menggunakan parate eksekusi. Parate eksekusi merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau putusan pengadilan kepada salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala pihak yang lain wanprestasi. Pelaksanaan titel eksekusi (atas hak eksekusi) dengan parate eksekusi oleh penerima fidusia mengandung 2 (dua) persyaratan utama yaitu debitur atau penerima fidusia wanprestasi dan telah ada sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Menjual objek jaminan fidusia secara di bawah tangan atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Seperti halnya dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, maka dalam Undang-Undang-Undang-Undang Jaminan Fidusia ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan. Ada 3 (tiga) persyaratan untuk dapat melakukan penjualan di bawah tangan objek jaminan fidusia, yakni :

a. Kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Syarat ini diperkirakan akan berpusat pada soal harga dan biaya yang menguntungkan para pihak.


(46)

b. Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

c. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Beratnya persyaratan tersebut, besar kemungkinan (seperti halnya selama ini Hak Tanggungan Atas Tanah), penjualan dengan cara di bawah tangan ini tidak akan populer. Diperkirakan kalau cara ini pun akan ditempuh hanya akan terbatas pada kredit berskala besar. Bisa saja, cara yang selama ini berlangsung akan lebih disenangi oleh para pihak dibandingkan dengan cara yang baru dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dengan cara lama debitur atau pemilik jaminan atas persetujuan debitur akan menembus atau melunasi beban (nilai pengikatan) barang yang menjadi objek fidusia. Uang penebusan mungkin berasal dari calon pembeli. Setelah itu atau pada saat yang sama pemilik melakukan jual beli dengan pembeli secara di bawah tangan (ditandatangani oleh pemilik barang). Tetapi karena maksud penjualan di bawah tangan adalah untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, maka cara eksekusi yang kedua ini masih dapat dikembangkan, tidak di bawah tangan tetapi melalui lelang sukarela terutama oleh Balai Lelang Swasta.

Berbeda dengan benda tetap seperti tanah, maka Undang-Undang Jaminan Fidusia menghendaki sebelum pelelangan barang sudah dalam penguasaan kreditur atau penerima fidusia.

Sesuai dengan asas yang tercantum dalam Pasal 1977 KUHPerdata, antara lain menentukan bahwa barang siapa yang menguasai barang bergerak dianggap


(47)

sebagai pemilik. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia tersebut di atas masih perlu diatur lebih jelas terutama mengenai prosedur permintaan bantuan pihak yang berwenang, mungkin harus dengan permintaan tertulis dan melampirkan dokumen (fotocopi sertifikat fidusia). Artinya perlu diatur mengenai bagaimana mekanisme dalam hal pemilik jaminan tidak bersedia menyerahkan barang jaminannya untuk dieksekusi.

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Dalam hal pemberi fidusia tidak meyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia, dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Selanjutnya dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri dari benda perdagangan efek atau saham yang dapat dijual di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena ketentuan ini menggunakan kata “dapat” maka pelelangan atas saham atau efek dapat dilakukan melalui pialang atau melalui Kantor Lelang Negara yang sekarang namanya menjadi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Namun demikian, ketentuan tersebut diatas perlu diatur lebih lanjut mengingat perdagangan surat -surat berharga atau efek/saham pada waktu ini telah berkembang pesat. Pasar


(48)

modal Indonesia saat ini misalnya sedang mengembangkan perdagangan saham tanpa kertas (scripless). Kantor Lelang Negara atau KP2LN dan balai lelang swasta juga sudah mulai merintis pelelangan barang tertentu melalui media internet.

Hampir dapat dipastikan mengingat biaya eksekusi dan untuk kepastian hukum dimasyarakat, maka tidak mungkin semua jenis barang bergerak dapat dijadikan jaminan untuk semua jumlah barang tanpa pembatasan minimum. Oleh karena itu kiranya sangat perlu juga diatur mengenai barang bergerak apa saja yang mungkin atau yang dapat diikat dengan jaminan fidusia dan berapa nilai terendah pinjaman uang yang dapat menggunakan jaminan fidusia. Barang bergerak dalam penguasaan pemilik yang dapat dijaminkan secara fidusia hendaknya dibatasi hanya terhadap barang bergerak yang berdokumen saja. Pengertian barang berdokumen, dalam hal ini dapat diperluas hingga meliputi barang yang tidak berwujud namun didukung dokumen. Dengan cara ini, selain dapat didaftar juga dapat dipasang label pada barang bergerak yang dijaminkan. Dengan pendaftaran dan pemasangan label dimaksud akan memberikan kepastian dan perlindungan kepada masyarakat mengenai barang mana saja yang bebas dan yang mungkin diikat dengan fidusia. Untuk itu harus ditentukan barang bergerak apa saja yang wajib berdokumen dan apa yang dapat dijaminkan atau dibebani.

Dalam hubungannya dengan eksekusi objek fidusia (yang pada dasarnya merupakan barang bergerak) kiranya sangat perlu diatur kewenangan menetapkan harga limit terendah barang yang akan dilelang, apakah berdasarkan penilaian oleh penilai profesi/appraisal atau berdasarkan taksasi dari penaksiran atau hanya


(49)

kreditur. Sebab penilaian selalu berpotensi menjadi sumber komplain khususnya barang yang bernilai besar atau spesifik seperti berlian, batu mirah (rubi), saham perseroan dan sebagainya. Salinan itu perlu juga ditetapkan status hukum harga limit dimaksud, apakah masih dapat atau tidak dapat dibatalkan oleh hakim.

Sebagaimana disebut di atas, eksekusi jaminan fidusia menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya mengenal 2 (dua) cara yaitu dengan melaksanakan titel eksekutorial dengan menjual objek jaminan fidusia sendiri dengan menggunakan Parate Eksekusi dan mejual objek jaminan fidusia secara di bawah tangan atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.

Panitia Urusan Piutang Negara/Ditjen KLN dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara adalah dengan cara pencairan. Dalam Pasal 1 angka 23 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara dijelaskan bahwa pencairan adalah tindakan penjualan melalui lelang, penjualan tidak melalui lelang maupun penebusan barang jaminan dan atau harta kekayaan lain yang dilakukan dalam rangka penyelesaian hutang.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian hutang pananggung hutang/penjamin hutang yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Ditjen KLN digunakan 3 (tiga) cara dalam mengeksekusi barang jaminan/pencairan itu : 24

24

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara, Pasal 1 angka 24, 25, 26.


(50)

1. Lelang adalan penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku;

2. Penjualan tidak melalui lelang adalah pencairan barang yang dilakukan oleh penanggung hutang dalam rangka penyelesaian hutang;

3. Penebusan hutang adalah pencairan barang jaminan yang dilakukan oleh penjamin hutang dalam rangka penyelesaian hutang.

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia melalui pelelangan umum diawali dengan permohonan/permintaan lelang dari kreditur atau penerima fidusia yang ditujukan kepada Kepala Kantor Lelang Negara (KLN) atau Kantor Pejabat Lelang Kelas II di wilayah hukum objek jaminan fidusia itu berada (dalam hal ini di wilayah domisili penerima fidusia). Selanjutnya KLN/Pejabat Lelang Kelas II menetapkan waktu pelelangan yang diikuti dengan pengumuman lelang.

Pada umumnya tidak setiap pelaksanaan eksekusi lelang barang jaminan berjalan sebagaimana mestinya, namun dalam pelaksanaan eksekusi lelang mengalami berbagai hambatan-hambatan. Hambatan dalam pelaksanaan eksekusi lelang barang jaminan salah satunya adalah apabila peminat lelang tidak ada. Pelelangan benda jaminan dimaksudkan agar masyarakat dapat membeli barang jaminan tersebut, sehingga dengan adanya pelelangan benda tersebut, debitur dapat melunasi segala hutang-hutangnya kepada kreditur. Namun, seringkali peminat lelang tidak ada. Rendahnya atau tidak adanya peminat untuk membeli barang lelang ini disebabkan :


(51)

2. Penguasaan benda lelang pasca lelang sangat sulit untuk dilakukan pengosongan;

3. Adanya budaya dalam masyarakat untuk membeli barang lelang itu tabu, karena tidak enak dengan pemilik benda jaminan, sehingga berdampak negatif pada pemanfaatan lahan; dan

4. Barang jaminan berbentuk girik, bukan sertifikat.

Yang dimaksud dengan benda yang tidak bagus adalah suatu benda di mana letaknya kurang strategis, peruntukannya juga kurang baik, dan barang tersebut milik pihak ketiga. Berikut adalah benda-benda yang dimaksud dengan benda yang dikategorikan dengan benda yang tidak bagus :

1. Benda jaminan milik pihak ketiga

Pada prinsipnya, jaminan yang akan dijaminkan oleh debitur adalah tanah miliknya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa benda jaminan itu milik pihak ketiga. Pihak ketiga ini telah memberikan kuasa untuk pemasangan jaminan. Dalam pelaksanaan lelang, pihak ketiga ini menghalangi terjadinya pelelangan benda jaminan, dengan alasan yang bersangkutan tidak pernah memberikan kuasa kepada debitur untuk menjaminkan tanah. Kalau terjadi pemberian kuasa, maka pemberian kuasa itu dilakukan dengan cara bedrog, dwaling, dan unduemfluence.

2. Barang jaminan belum didaftarkan

Pada prinsipnya, barang jaminan pada lembaga perbankan harus dilakukan pendaftaran jaminan. Namun, dalam kenyataannya banyak kredit yang diberikan kepada debitur tanpa adanya pendaftaran. Pendaftaran jaminan


(52)

untuk fidusia dalam hal ini termasuk beras dan gula dilakukan pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terdapat di Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi.

3. Nilai jual objek jaminan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah hutang debitur

Pada saat dilakukan analisis terhadap objek jaminan berupa beras dan gula oleh lembaga perbankan, maka nilai jual objek jaminan pada saat itu dianggap tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang debitur, manakala debitur wanprestasi. Namun, pada saat dilakukan pelelangan, nilai jual benda jaminan itu tidak cukup untuk dapat melunasi hutang-hutang debitur sehingga KP2LN harus melakukan penangguhan pelelangan terhadap benda jaminan sampai cukup harga yang sesuai dengan jumlah hutang pokok dan bunga yang tertunggak.

4. Kurang itikad baik dari debitur

Kurangnya itikad baik merupakan kurang atau tidak adanya kemauan debitur untuk melunasi hutang-hutangnya, walaupun yang bersangkutan mempunyai uang. Debitur sendiri berpendapat bahwa kami mempersilahkan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) untuk melakukan pelelangan benda jaminan, dan berpendapat bahwa nilai benda jaminan lebih kecil dari jumlah hutang-hutangnya.

Hambatan-hambatan tersebut dapat dipilih menjadi 2 (dua) hambatan pokok, yaitu hambatan yang berkaitan dengan nasabah dan benda jaminan yakni mudah busuk dalam hal ini beras dan gula. Disamping hambatan itu, maka tidak


(53)

kalah pentingnya adalah hambatan karena ketentuan yang berlaku kurang memberikan kepastian hukum.

Pada pelaksanaan putusan yang isinya untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan sering timbul masalah dalam menilai kepentingan yang akan diperoleh kreditur dengan uang dari barang berupa beras dan gula Lebih-lebih kalau prestasinya itu berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak jelas jumlahnya. Hal ini menimbulkan berbagai pendapat dan penafsiran sehingga sering menyulitkan pelaksanaanya.

Pada dasarnya para debitur tidak menginginkan barang jaminan berupa beras dan gula atau benda-benda lainnya dilelang oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Mereka tetap menginginkan supaya barang jaminan tidak dijual dan mereka tetap berharap supaya penbayaran hutang-hutangnya dapat diperpanjang. Walaupun dari pihak perbankan ataupun lembaga keuangan non bank telah melakukan somasi beberapa kali kepada debitur, namun mereka tetap tidak melaksanakan prestasinya tepat pada waktunya.

Apabila hal itu tetap tidak diindahkan oleh debitur, lembaga perbankan, khususnya perbankan yang modal milik pemerintah sebanyak 51% (lima puluh satu persen) dan lembaga keuangan non bank mengajukan hal tersebut kepada Kantor Pelayanan Piutang Lelang Negara (KP2LN).

B. Objek Hak Tanggungan

Pengertian jaminan fidusia menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak


(54)

bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya sehingga hal tersebut menjadi objek hak tanggungan.

Dengan demikian bahwa dari pengertian diatas ada beberapa prinsip utama dari jaminan fidusia menurut Munir Fuady, antara lain: 25

1. Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya

2. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wan prestasi dari pihak debitor

3. Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia

4. Jika hasil penjualan barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.

Berdasarkan pengertian jaminan fidusia diatas maka hak jaminan berupa objek yang dapat dibebani secara fidusia adalah benda bergerak baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap penguasaan pemberi fidusia.

Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menjelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan. Selain hak-hak atas tanah sebagimana yang dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) tersebut, Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan

25


(55)

menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada maupun yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dengan yang dimaksudkan diatas tidak memiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik. 26

Pada Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menjelaskan bahwa suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang dan apabila suatu objek Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.

Ada pula beberapa prinsip utama yang terdapat dalam jaminan fidusia yakni sebagai berikut : 27

1. Pemegang fidusia berfungsi sebagai jaminan bukan sebagai pemilik sebenarnya

26

Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tantang Hak Tanggungan.

27


(56)

2. Pemegang fidusia berhak untuk mengeksekusi barang jaminan jika ada wanpestasi dari debitor

3. Objek jaminan fidusia wajib dikembalikan kepada pemberi fidusia jika hutang sudah dilunasi

4. Jika hasil eksekusi barang fidusia melebihi jumlah hutang, maka sisanya harus dikembalikan kepada pemberi fidusia

Pemberi fidusia dilakukan dengan Constitutum Possessorium yang artinya penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali.

Secara umum ada beberapa asas yang berlaku bagi hak jaminan, baik gadai, hipotik, hak tanggungan maupun fidusia. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: 28

1. Hak jaminan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap para kreditor lainnya.

2. Hak jaminan merupakan hak accesoir terhadap perjanjian pokok yang dijamin tersebut. Perjanjian pokok yang dijamin itu ialah perjanjian utang-piutang antara kreditor dan debitor. Artinya, apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian hak jaminan demi hukum berakhir pula.

3. Hak jaminan memberikan hak separatis bagi kreditor pemegang hak jaminan itu. Artinya, benda yang dibebani dengan hak jaminan itu bukan merupakan harta pailit dalam hak debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.

4. Hak jaminan merupakan hak kebendaan. Artinya, hak jaminan itu akan selalu melekat diatas benda tersebut (atau selalu mengikuti benda tersebut) kepada siapapun juga benda beralih kepemilikannya. Sifat kebendaan dari hak jaminan diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata.

5. Kreditor pemegang hak jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya. Artinya, kreditor pemegang hak jaminan itu berwenang untuk menjual sendiri, baik berdasarkan penetapan pengadilan maupun berdasarkan kekuasaan yang diberikan undang-undang, benda yang dibebani dengan hak jaminan tersebut dan mengambil hasil penjualan tersebut untuk melunasi piutangnya kepada debitor.

28

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan dan Kepailitan, Makalah yang disampaikan dalam

Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 10 Mei 2000, hal. 7.


(57)

6. Karena hak jaminan merupakan hak kebendaan, maka hak jaminan berlaku bagi pihak ketiga. Oleh karena hak jaminan berlaku bagi pihak ketiga, maka terhadap hak jaminan berlaku asas publisitas. Artinya, hak jaminan tersebut harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Hak Jaminan yang bersangkutan. Dan asas publisitas tersebut dikecualikan bagi hak jaminan gadai.

Sedangkan ada pendapat lain mengenai Asas Jaminan Fidusia menurut Tan Kamello berdasarkan Undang-Undang Jaminan Fidusia, antara lain : 29

1. Bahwa kreditor penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditor yang diutamakan dari kreditor-kreditor lainnya.

2. Bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada.

3. Bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lain disebut asas asesoritas.

4. Bahwa jaminan fdusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada (kontinjen).

5. Bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. 6. Bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan atau rumah

yang terdapat di atas tanah milik orang lain.

7. Bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia.

8. Bahwa pemberian jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.

9. Bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. 10.Bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki

oleh kreditor penerima jaminan fidusia sekalipun itu diperjanjikan.

11.Bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditor penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia dari kreditor yang mendaftarkan kemudian.

12.Bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik.

13.Bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.

Dengan demikian dari apa yang telah disampaikan di atas, maka jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok yakni perjanjian piutang dan hal ini juga sebagaimana yang disebutkan didalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu yang berisi

29

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung:


(58)

“Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Perjanjian yang dapat menimbulkan hutang-piutang dapat berupa perjanjian pinjam meminjam maupun perjanjian lainnya.

Berkaitan dengan asas dari jaminan fidusia tersebut, bahwa objek jaminan fidusia mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji. Objek yang terdapat didalam jaminan fidusia tersebut meliputi : 30

1. Benda dapat dimiliki dan dapat dialihkan; 2. Benda berwujud dan tidak berwujud;

3. Benda bergerak dan tidak bergerak (yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan, Hipotik);

4. Benda yang sudah ada maupun benda yang akan ada; 5. Benda persediaan (inventory, stok barang dagangan);

C. Para Pihak Dalam Hak Tanggungan

Pengertian jaminan fidusia merupakan suatu hak jaminan atas benda yang pengalihannya didasarkan atas kepercayaan, yang kepemilikannya tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima kuasa terhadap kreditor lainnya.

Tujuan dibentuknya Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum mayarakat, untuk menjamin kepastian hukum

30


(59)

dan untuk memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pengaturan ini dimaksudkan agar para pemakai jaminan fidusia mendapat kejelasan sehingga tidak mendapat hambatan dalam pelaksanaannya.

Jaminan fidusia sebagai salah satu jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif, memberikan keuntungan secara ekonomis bagi para pelaku usaha bisnis jika dibandingkan dengan lembaga gadai. Keuntungan tersebut dapat dilihat dari adanya penguasaan benda jaminan berada di tangan debitur sehingga kegiatan usaha bisnis dapat berjalan dan jaminan kredit dapat dikembalikan secara lancar.

Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir, sehingga keberadaannya tidak dapat berdiri sendiri. Melainkan harus didahului dengan perjanjian pokok, yaitu perjanjian hutang piutang. Dalam perjanjian jaminan fidusia, benda yang dijaminkan diserahkan oleh debitor kepada kreditor secara constitutum possessorium, yaitu penyerahan hak milik tetapi keberadaan benda tersebut tetap ada pada debitor. Tetapi pengalihan hak kepemilikan tersebut hanyalah sebagai rekayasa saja. Hak kepemilikan tersebut tidaklah berpindah sebagaimana dalam perjanjian jual beli.

Dengan adanya perjanjian jaminan fidusia ini bukanlah untuk mengalihkan hak kepemilikan dari debitor kepada kreditor. Walaupun dalam hal kepailitan ada wewenang kurator dalam mengeksekusi harta milik debitor tetapi hak debitor fidusia ini tetap terlindungi sehingga para pihak dalam hak tanggungan adalah debitor dan kreditor

Jaminan fidusia juga menganut asas droit de suite, yaitu jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun


(60)

benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia. Menurut teori fidusia, pemberi fidusia menyerahkan secara kepercayaan hak miliknya sebagai jaminan hutang kepada penerima fidusia. Penyerahan hak milik atas benda jaminan fidusia tidaklah sempurna sebagaimana pengalihan hak milik dalam perjanjian jual beli. Yang ditonjolkan dalam penyerahan yuridis sudah terjadi.

Peraturan perundang-undangn yang ada telat menciptakan dan melahirkan serta mengundangkan dan memberlakukan jaminan dalam bentuk kebendaan. Jaminan dalam bentuk kebendaan diberikan dalam bentuk penunjukan atau pengalihan atas kebendaan tertentu, yang jika debitor gagal melaksanakan kewajibannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan, memberikan hak kepada kreditur untuk menjual atau melelang kebendaan yang dijaminkan tersebut, serta untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut, secara mendahului dari kreditur-kreditur lainnya (Droit de preference).

Ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1132 KUHPerdata yang isinya “Kebendaan tersebut menjadi bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua kreditor. Di sini para kreditor mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorium), kecuali apabila kreditor mempunyai hak istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 1133 KUHPerdata yaitu gadai dan


(1)

80

untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, disamping membayar keperluan perusahaan yang lain.

b. Repayment

Pihak debitor harus memiliki kemampuan pembayaran yang sangat baik.

c. Risk Bearing Ability

Kemampuan menahan risiko dari debitor haruslah baik yang artinya sejauh mana kemampuan dari debitor untuk menahan risiko yang bisa menyebabkan terjadinya kredit macet. Salah satu cara menahan resiko adalah jaminan tersebut dimasukkan ke dalam asuransi.


(2)

81

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari pembahasan tersebut diatas maka dapat dapat diambil suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pemberian Hak Tanggungan menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut perundang-undangan yang berlaku. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dan PPAT juga yang bertanggung jawab terhadap semua akibat termasuk kerugian yang diderita pihak-pihak yang bersangkutan apabila terjadi keterlambatan pengiriman berkas pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

2. Pelaksanaan Hak Tanggungan sebagai jaminan pemberian kredit diberikan didahului dengan perjanji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam suatu surat perjanjian sah antara para pihak yang bersangkutan dan merupakan bagian


(3)

82

tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Dan Hak Tanggungan tersebut hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah saja dan berikut benda diatasnya atau dibawah tanah.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dari kesimpulan diatas yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunya peranan yang sangat penting dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) maka diharapkan pada PPAT untuk tidak melakukan kesalahan dalam melaksanakan proses pelaksanaannya dan tidak terjadi keterlambatan dalam proses pendaftaran. Dan diharapkan kepada para pihak yang bersangkutan memenuhi persyaratan-persyaratannya sehingga tidak terjadi hambatan yang nantinya akan mempersulit kedua belah pihak.

2. Dalam pelaksanaan jaminan Hak Tanggungan diharapkan PPAT memberikan penjelasan kepada pihak tentang perjanjian kredit dan persyaratan dalam jaminan Hak Tanggungan. Karena tidak semua orang paham tentang hukum dan perbuatan hukum. Sebagai bentuk penyuluhan hukum dari PPAT dalam penegakan hukum. Sehingga para pihak menjadi paham dan mengerti dalam pelaksanaannya dan dalam proses pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan dan hambatan.


(4)

83

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Jakarta: Grafiti Pres, 2001.

Ari, Danang, Studi Tentang Perlindungan Dagang, Surakarta: UUM, 2008. Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni, 1983 Fuady, Munir, Jaminan Fidusia, Cetakan Kedua, Bandung, 2003.

---, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Gatot, Ch Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan

Manajemen, 1992.

Hanintijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria), 2003.

Hasan, Djuhaendah, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jakarta: Badan Pertanahan Hukum Nasional, 2001.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Ihromi T.O, Catatan mengenai metode kasus sengketa, dalam T.O Ihromi

Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1993.

Kamello Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung: PT Alumni Bandung, 2004.

Kusumaatmadja Mochtar, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002.

Mulyo, Hadi, Mempertimbangkan Alternatif Dispute Resolution (ADR), Kajian Alternative Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan, Jakarta: ELSAM, 1997.

Murad Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Alumni, 1991.


(5)

84

Parlindungan A.P, Komentar Undang-Undang Hak Tanggungan dan Sejarah Terbentuknya, Bandung: Mandar Maju, 1996.

Patrik Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan dengan UUHT, Edisi Revisi, Semarang.

Prodjodikoro, Wirjono, Azas-azas Hukum Perjanjian, Jakarta: Sumur Bandung, 1979.

Salim H, Perkembangan Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni, 1999.

---,Hak Jaminan dan Kepailitan, Makalah yang disampaikan dalam Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 2000.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata : Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1974.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Indonesia, 2005.

Supranowo, Himpunan Karya Tulis Bidang Hak Tanggungan Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Jakarta: Badan Pertanahan Hukum Nasional, 1990.

Wigjosoebroto Sutandyo, Apakah Seseungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya.


(6)

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Keputusan Menteri keuangan Nomor 300/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara