Pendakian Gunung Bukan Pelarian

merasakan adanya jarak dengan dunia saya yang lama dan amat saya cintai, dunia mahasiswa.” Secara emosional, Hok Gie mengaku sulit menyesuaikan diri dengan situasi baru sebagai seorang dosen. Kepada seorang kawan karibnya, Hok Gie menumpahkan kegundahannya, “Gue sekarang telah selesai dan kerja di FSUI. Rasanya gue nggak punya tujuan hidup. Gue dapat kamar kerja, dapat meja dan dapat jabatan. Jadi birokrat perguruan tinggi. Rasanya aneh sekali... Jadi bapak dosen yang terhormat. Kursi tempat gue duduk rasanya ada pakunya. Hidup gue jadi rutin, tidak menarik.” Pasca mahasiswa bagi Hok Gie adalah masa yang paling tidak menarik. Untung ia punya sejumlah kolega mahasiswa dan sahabat yang mau mengerti.

H. Pendakian Gunung Bukan Pelarian

Semenjak mahasiswa Hok Gie telah mulai mencintai gunung. Bersama kawan-kawannya ia mendirikan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam Mapala UI. Kegiatan Mapala adalah tempat Hok Gie melantunkan lagu-lagu pembebasan ala Joan Baez dan Bob Dylan. Hingga kini Mapala UI menjadi organisasi mahasiswa di bidang pendakian gunung yang lain terkemuka di Indonesia. Dengan perlengkapan yang bisa terbilang masih sederhana, gunung demi gunung di daerah Jawa Barat didakinya. Pada tahun 1967, ia mulai mencoba mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah, Gunung Slamet. Bagi Hok Gie, gunung bukan sekadar pelepas stress. Tapi, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Di Universitas Sumatera Utara tempat yang jauh dari semua fasilitas dan penuh dengan kesulitan orang yang mengalami ujian, apakah dia seorang yang selfish atau orang yang mau memikirkan orang lain. Perjalanan menuju puncak gunung adalah sebuah sarana interaksi dengan masyarakat yang sangat baik. “Kami tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,” 49 Lewat sejumlah persiapan yang cukup panjang, pada Desember 1969, Hok Gie bersama kawan-kawannya berangkat menuju Puncak Semeru lewat kawasan Tengger. Ia meninggalkan catatan terakhir dalam buku hariannya. “Saya punya perasan untuk selalu ingat pada kematian.” Tapi Hok Gie tetap berkeinginan bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-27 di atas atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. jelas Hok Gie kepada beberapa pengusaha yang membantunya saat akan mendaki Gunung Slamet. Gunung bukan merupakan tempat pelarian bagi Hok Gie, tapi adalah tempat belajar. “Hanya di puncak gunung aku merasa bersih,” ujar Hok Gie kepada seorang kawannya. Sebagai seorang yang terlanjur jatuh cinta pada gunung, Hok Gie bercita-cita suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yaitu Gunung Semeru. 49 Stan ley, Aris Santoso, Ibid , hal : 68 Universitas Sumatera Utara Cita-Cita Mati Muda Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan Yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda. 50 Bagi Hok Gie, hidup ibarat sebuah Itulah sepucuk puisi kesayangan Hok Gie. Puisi filsuf Yunani itu mengusik kalbu serta membayangi langkahnya. Bayang kematian. Hok Gie pernah menulis surat kepada kawannya, Riandi, “Jangan ditanyakan..., mereka pasti akan senang sekali kalau saya mati karena jatuh dari puncak gunung.” perjalanan. la. bersyukur bisa berkesempatan menikmati sebuah perjalanan yang penuh warna dan sarat makna.Seperti tulisannya dalam sebuah surat, “Sebelum saya mati, saya masih dapat berkata ya, saya telah hidup dan meresapi panas dan hujan.” Hok Gie akhirnya memang tewas terkena gas beracun di Puncak Semeru. Sebelumnya ia berujar, “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan yang kasar dan keras untuk seminggu kira-kira. Diusap oleh angin dingin yang seperti pisau atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Dekat dan menyatu dengan alam.” Cita-cita Hok Gie untuk mati ditengah alam betul-betul kesampaian. la pernah mengatakan, “Orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.” Namun, ia mungkin tak pernah menduga bahwa kepergiannya merepotkan teman-teman seMapalanya. Tapi, barangkali ia memang pergi dengan bahagia, seperti ucap sepenggal puisi itu. “Berbahagialah mereka yang mati muda.” 50 Stanley, Santoso, Aris. Ibid, hal : 310 Universitas Sumatera Utara TEPAT 25 tahun lalu, 16 Desember 1969, di ketinggian hampir 3.676 meter dpl puncak Mahameru, seorang tokoh mahasiswa meninggal dunia. Soe Hok Gie namanya. la gugur bersama seorang anggota Mapala UI lainnya, Dhanvantari Lubis, gara-gara terjebak gas beracun. Ia gugur hanya sehari sebeIum hari ulang tahunnya. Hok Gie meninggal di tengah berbagai kegelisahan. Ia menghadapi kenyataan, bekas teman aktivis mahasiswanya telah melupakan perjuangan sebelumnya. Sebagai tokoh Angkatan ‘66 lebih memburu hal-hal yang berbau keduniawian ketimbang memikirkan perbaikan pasca-perubahan. Mantan aktivis mahasiswa yang duduk dalam DPR-GR malah berebut mendapatkan kredit- kredit mobil Holden, mobil mewah saat itu 51 Sahabat-sahabat Hok Gie mengenangnya sebagai seorang yang tajam pikirannya, rajin membaca, tekun menguji sendiri pengetahuan yang diperoleh kepada kenyataan kehidupan di tengah rakyat. “Dalam hampir setiap hal atau masalah, ia merupakan batu penguji yang kokoh untuk sikap yang berani dan . Perjalanannya ke puncak Semeru merupakan bagian dari upaya melupakan kegundahannya pada republik yang dicintainya. Sebelum berangkat, Hok Gie sempat mengirimkan perlengkapan benda peranti dandan kepada sejumlah wakil mahasiswa di DPR-GR. “Semoga anda makin tampil manis di mata pemerintah”, pesannya kepada teman-teman seperjuangannya dulu. Sayang, Hok Gie keburu pergi untuk selama-lamanya. 51 Stan ley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : 36 Universitas Sumatera Utara independen, hati yang bersih dan pikiran yang murni,” 52 52 ibid hal : 294 tulis Adnan Buyung Nasution. Memang, secara esensi, pada dasarnya pria bertubuh kecil ini adalah - seorang modernisator yang populis. . Universitas Sumatera Utara

BAB III CATATAN SANG DEMONSTRAN