semula diharapkannya bisa menyatukan bangsa yang sedang mengalami polarisasi. Hok Gie bukan cuma dipecat, ia didesas-desuskan sebagai orang yang
telah membocorkan rahasia intern LPKB, mau menjadi pahlawan kaum buruh, mengidap “hero complex” bahkan dituduh agen PKI yang sengaja disusupkan ke
tubuh LPKB.
D. Komitmen Politik dan Intimidasi
Dunia politik yang dimasuki Hok Gie menimbulkan banyak sandungan. Bukan hanya dalam urusan cinta saja ia harus gagal, tapi juga harus menghadapi
berbagai intimidasi dan teror. Suatu kali Hok Gie mendapat surat kaleng dari seseorang yang mengaku
diri sebagai pecinta Bung Karno. Rupa-rupanya, si pengirim surat kaleng tersebut marah dengan kritik-kritik dalam tulisan Hok Gie di Mingguan
Mahasiswa Indonesia. Si pengirim surat memaki-maki
Hok Gie dengan kata-kata: pencopet, babi, coro, tekek dan kata-kata kotor lainnya. “Cina yang tahu diri, sebaiknya kamu pulang saja ke
negerimu”
43
Hok Gie menghadapi semua intimidasi dan ancaman dengan tenang- tenang saja. Ibunya gundah dan sempat mengingatkannya, “Gie, untuk apa
. Bukan cuma itu, si pengirim surat mengancam akan membuat cacat seumur hidup. “Nasibmu akan ditentukan pada suatu ketika. Kau sekarang
sudah mulai dibuntuti. Saya nasihatkan jangan pergi sendirian atau malam hari,” ancam si pembuat surat kaleng.
43
Stan ley, Aris Santoso, Ibid, hal : 303
Universitas Sumatera Utara
semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapatkan uang.” Hok Gie hanya tersenyum dan berkata,”Ah, Mama tidak mengerti.”
Begitulah cara Hok Gie menjawab berbagai tekanan terhadap dirinya. Dengan sebuah senyuman.
E. Diantara Kompromi dan Sikap Resi
Bagi banyak orang, Hok Gie adalah orang yang jujur, berani dan sekaligus mengerikan. la maju lurus dengan prinsip-prinsipnya tanpa kenal ampun.
Makanya, ia kerap bentrok. Hok Gie mengidentikkan gerakan yang dilakukannya sebagai sebuah
gerakan moral.
44
membahayakan. la Agaknya Hok Gie telah mengerjakan apa yang telah disepakati
banyak orang tentang peran yang harus diambil oleh kaum intelektual, yaitu peran resi. Seorang resi yang mengetahui sebuah keadaan buruk akan bergegas
meninggalkan pertapaannya untuk mengabarkan keadaan yang bisa berharap penguasa akan mengubah keadaan yang buruk
tersebut. Dan ketika keadaan telah berubah baik, sang resi akan kembali ke pertapaannya. la tak boleh memiliki pamrih politik apapun.
Namun, kadang Hok Gie menjadi tidak sabar, melihat kadaan buruk terus berlarut-larut. Dalam kondisi demikian, ia bisa menjadi seorang anarkis.
“Kadang-kadang saya berpikir apakah tidak lebih baik meledakkan dunia ini agar supaya semuanya berakhir?”
45
44
Stan ley, Aris Santoso, Ibid, hal : 304
45
Stan ley, Aris Santoso, Ibid, hal : 304
Universitas Sumatera Utara
Hok Gie kecewa pada mantan teman-teman seperjuangannya yang berebut kekuasaan dan hidup enak. Tapi ia tak pernah iri. la justru merasa perlu
menjaga jarak. Namun, tidak jarang Hok Gie dihinggapi kesangsian. la jadi sering berdiskusi dengan teman-teman seperjuangannya dalam kedinginan angin
gunung di Cimacan tentang nasib mereka. Diskusi tersebut ditulisnya dalam surat kepada seorang kawannya. “Gue
teringat dengan diri gue sendiri dan diri teman-teman lain. Kita semua terdidik dalam suasana untuk berontak terhadap semua kemunafikan”. Kita biasa terlatih
untuk melawan kesewenang-wenangan. Dan kita semua punya keahlian untuk bikin pekerjaan-pekerjaan aneh yang terlarang, radio gelap, PTPG, atau
memimpin demonstrasi. Tetapi suatu masa, kalau sekiranya negara kita sudah beres, tentu keahlian seperti kita-kita ini tidak akan ada gunanya. Yang
diperlukan dalam suatu masyarakat mapan adalah orang-orang yang patuh, yang tekun teliti seperti tukang arloji, yang bisa mengurus pabrik sepatu atau
bisa jadi bookkeeper.
F. Pembunuhan Massal dan Tapol