Pembunuhan Massal dan Tapol Perjalanan Gie Di Australia

Hok Gie kecewa pada mantan teman-teman seperjuangannya yang berebut kekuasaan dan hidup enak. Tapi ia tak pernah iri. la justru merasa perlu menjaga jarak. Namun, tidak jarang Hok Gie dihinggapi kesangsian. la jadi sering berdiskusi dengan teman-teman seperjuangannya dalam kedinginan angin gunung di Cimacan tentang nasib mereka. Diskusi tersebut ditulisnya dalam surat kepada seorang kawannya. “Gue teringat dengan diri gue sendiri dan diri teman-teman lain. Kita semua terdidik dalam suasana untuk berontak terhadap semua kemunafikan”. Kita biasa terlatih untuk melawan kesewenang-wenangan. Dan kita semua punya keahlian untuk bikin pekerjaan-pekerjaan aneh yang terlarang, radio gelap, PTPG, atau memimpin demonstrasi. Tetapi suatu masa, kalau sekiranya negara kita sudah beres, tentu keahlian seperti kita-kita ini tidak akan ada gunanya. Yang diperlukan dalam suatu masyarakat mapan adalah orang-orang yang patuh, yang tekun teliti seperti tukang arloji, yang bisa mengurus pabrik sepatu atau bisa jadi bookkeeper.

F. Pembunuhan Massal dan Tapol

Pada dasarnya, Hok Gie memang seorang yang berpandangan humanis. Ketika sekitar 80 ribu tahanan eks’ G30S diarbitrasi dalam tahanan tanpa proses pengadilan, Hok Gie melontarkan kritik-kritik pedas lewat media massa. Barangkali Hok Gie adalah orang pertama yang memprotes perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap sebagian warganya itu. Maklum, ketika itu angin yang tertiup sedang kencang-kencangnya mendukung pengganyangan komunisme beserta segenap antek-anteknya. Universitas Sumatera Utara Hok Gie mengkritik keras atas dijadikannya orangorang yang berindikasi GestapuPKI sebagai objek pemerasan baru. “Selain harus melapor, mereka harus membeli apa yang dinamakan gambar Pancasila di Koramil. Mereka wajib beli surat tanda bukti lapor.” Pemberian stigma secara khusus dalam kartu tanda penduduk yang berindikasi PKI, menurut Hok Gie, tidak ada bedanya dengan cara-cara yang pernah dipakai Nazi untuk orang-orang Yahudi. 46 Antara 8 Oktober 1968 sampai 3 Januari 1969, Hok Gie mendapat kesempatan untuk melawat ke Amerikaan Australia. Selama hampir 70 hari perjalanan dihabiskannya dari kampus ke

G. Perjalanan Gie Di Australia

kampus. la berkenalan dengan para mahasiswa dan intelektual yang kebanyakan tergabung sebagai Generasi Bunga. Hok Gie menemukan bagaimana perlakuan orang kulit putih terhadap orang-orang “Negro”, bagaimana kaum muda Amerika menentang invasi negaranya di Vietnam, bagaimana kaum Hippies mencoba melawan establishment dan sebagainya. Ada banyak hal yang disaksikan oleh Hok Gie dan membawanya pada kesimpulan, bahwa di mana-mana telah terjadi kebusukan. “Betapa banyak ketidakadilan di dunia ini. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di mana-mana di seluruh dunia. Di Guatemala, di Vietnam, di Amerika Serikat, di Rusia, di Ceko, di Afrika dan lain-lainnya. Seolah dunia 46 Stan ley, Aris Santoso, Ibid , hal : 305, terjadi pembunuhan massal terhadap kaum Yahudi. Universitas Sumatera Utara ini adalah tumpukan sampah dari nafsu dan ketamakan manusia.” 47 Hok Gie adalah manusia biasa yang kadang juga mengalami rasa lelah, stagnan dan kadang bingung. Dalam beberapa kesempatan, kepada kaan- kawannya Hok Gie selalu mengaku bingung. Pernah suatu kali Hok Gie ditawari posisi di sebuah media massa. Jawaban Hok Gie, sebagaimana ditulis dalam sebuah surat untuk sahabatnya, sudah jelas, “Gue nggak mau, gue mau tetap jadi orang bebas dan tetap jadi cross boy. Enak deh.” Cita-cita Hok Gie memang jadi manusia bebas. Dan, ada banyak kaum muda berupaya ke luar dari proses pembusukan itu. Di antara kesibukan diskusi di kampus-kampus, Hok Gie sempat menyusuri lorong-lorong kawasan lampu merah. Ia menyaksikan betapa Amerika dipenuhi berbagai persoalan sosial. Dari mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di AS, Hok Gie baru tahu bahwa pejabat Indonesia kalau ke luar negeri paling hobi ‘naik’ dan merasakan kenikmatan ‘kuda putih.’ Hok Gie menuliskan sejumlah pengalaman keluyuran di AS-nya di berbagai media massa. Ia menyuguhkan sejumlah problem kemanusiaan dan sosial atas dasar moralitas. 48 Tanggal 13 Mei 1969, Hok Gie lulus ujian sarjana. Skripsi yang ditulisnya membahas tentang sikap paradoksal manusia dalam sejarah yang berjudul “Mereka yang Berada di Persimpangan Jalan.” Menjadi sarjana tak membuat Hok Gie tenang. la justru makin gelisah. “Setelah lulus saya justru 47 Stan ley, Aris Santoso, Ibid , hal : 206 48 Stan ley, Aris Santoso, Ibid , hal : 307 Universitas Sumatera Utara merasakan adanya jarak dengan dunia saya yang lama dan amat saya cintai, dunia mahasiswa.” Secara emosional, Hok Gie mengaku sulit menyesuaikan diri dengan situasi baru sebagai seorang dosen. Kepada seorang kawan karibnya, Hok Gie menumpahkan kegundahannya, “Gue sekarang telah selesai dan kerja di FSUI. Rasanya gue nggak punya tujuan hidup. Gue dapat kamar kerja, dapat meja dan dapat jabatan. Jadi birokrat perguruan tinggi. Rasanya aneh sekali... Jadi bapak dosen yang terhormat. Kursi tempat gue duduk rasanya ada pakunya. Hidup gue jadi rutin, tidak menarik.” Pasca mahasiswa bagi Hok Gie adalah masa yang paling tidak menarik. Untung ia punya sejumlah kolega mahasiswa dan sahabat yang mau mengerti.

H. Pendakian Gunung Bukan Pelarian