BAB II Riwayat Hidup Soe Hok Gie
A. Asal-Usul Soe Hok Gie Sebagai Sorang Pemikir
Soe Hok Gie lahir 17 Desember 1942. Ia adalah putra keempat dari keluarga penulis produktif, Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Usia 5 tahun,
adik Arief Budiman ini masuk sekolah Sin Hwa School, sekolah khusus untuk keturunan Cina
34
Suatu saat, ia bedebat dengan sang guru. Sang guru pun marah. Namun kata Hok Gie, “Aku sebetulnya tak menganggapnya perang, hanya bertukar
pikiran saja... kalau angkaku ditahan – model guru tak tahan kritik – aku akan . Lulus SD, ia meneruskan ke SMP Strada dan kemudian di
SMA Kanisius, Jakarta. Masa kecilnya tentu saja tak luput diwarnai dengan baku hantam dan kenakalan sejenisnya. Ia pun kadang bolos sekolah agar bisa
keluyuran ke perpustakaan seperti di British Council atau pergi ke toko buku. Sejak muda, Hok Gie juga telah memperlihatkan ketidaksenangan atas
segala bentuk ketidakadilan. Saat dihukum guru ilmu buminya, ia menulis catatan hariannya, “Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras bagai
batu. Biar aku dihukum, aku tak pernah jatuh dalam ulangan.” Wajar saja bila ia sewot berat. Nilai yang seharusnya 8 dipotong hingga tinggal 5. Padahal
menurutnya, dia adalah murid terpandai di bidang itu. Lelaki yang tak pernah berpakaian necis ini dikenal sebagai murid yang ‘cerewet’. Kalau sang guru
salah, ia tak sungkan mendebat. Meski kena makian. Hok Gie tak peduli.
34
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES,Jakarta, 2005. hal : 58
Universitas Sumatera Utara
mengadakan koreksi habis-habisan. Sedikit kesalahan akan kutonjolkan. Sebetulnya tak sedemikian maksudnya...Aku tak mau minta maaf. Memang
demikian kalau dia bukan guru yang pandai. Tentang karangan saja dia lupa. Guru model gituan, yang tak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah.
Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
35
Kebiasaan surat-menyurat semenjak di sekolah menengah berlanjut hingga ia menjadi dosen UI. Namun, isinya hampir berubah total. Mulai awal
1966, hampir semua surat Hok Gie lebih mirip diskusi masalah politik kebangsaan. Kepada dua sahabatnya, Thung dan Boediono, Hok Gie
Pengalaman nyaris tidak naik kelas tatkala SMP dijadikannya sebuah pelajaran berharga. Hok Gie bukan hanya tak pernah lagi tidak naik kelas, tapi ia
selalu meraih nilai di atas rata-rata. Hok Gie tak cuma hobby dengan bacaan, ia juga sering menulis. Tak
hanya puisi yang ia ubah, buku harian pun penuh dengan goresan rajin tintanya. Jarang ia alpa merekam kesehariannya. Di buku itu, Hok Gie bicara
tentang intisari buku-buku yang dicernanya, perdebatan dengan teman-teman, kegiatan sehari-hari, hingga kisah kasihnya. Tak cuma itu, urusan bolpoin
hilang pun ikut ditulisnya. Setelah catatan harian, pria ini juga rajin menulis surat kepada teman-
teman akrabnya. Isinya tentang keresahan pikiran-pikirannya atau sekadar banyolan. Ngalor-ngidul tak karuan. Melalui surat, ia berkomunikasi dan
mendiskusikan keadaan dan lingkungan sekitarnya dengan orang lain.
35
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran,Ibid, hal : 58
Universitas Sumatera Utara
menumpahkan semua perasaannya. Terutama yang menyangkut pengkhianatan intelektual para pejuang Orde Baru. Selain itu, ia juga menuliskan pikirannya di
koran-koran.
B. Kesadaran Seorang Aktivis Politik