Bab 3 —Perbankan Syariah
33
dirujuk, kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0 nol persen.
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor pada 19–22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya
UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan, Bank Muamalat Indonesia didirikan sebagai Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di
Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh pendirian bank-bank pembiayaan rakyat syariah BPRS. Namun, karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum
sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut sebagai Baitul Maal wat Tamwil BMT dibentuk.
Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia, yaitu Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang
sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksa Dana Syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksa dana
syariah oleh PT Danareksa. Pada tahun yang sama pula, sebuah lembaga berbagai pembiayaan multiinance syariah berdiri, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.
Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali adanya UU No. 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah PP Nomor 72 Tahun 1992, praktis tidak ada peraturan perundang-
undangan lainnya yang mendukung sistem operasional perbankan syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa perbankan syariah menyesuaikan produk-
produknya dengan hukum positif yang berlaku yang tidak lain berbasis bunga—sistem perbankan konvensional di Indonesia. Akibatnya, ciri-ciri syariah yang melekat padanya
menjadi tersamar dan bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.
Dengan diterbitkannya UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Sistem perbankan syariah secara tegas ditempatkan sebagai bagian
dari sistem perbankan nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang
Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat BPR, dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberikan
dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
telah disahkan, di mana UU tersebut menambah kuatnya eksistensi perbankan syariah.
Saat ini, jumlah bank umum syariah BUS di Indonesia telah bertambah banyak dengan telah beroperasinya Bank IFI Cabang Syariah dan Bank Syariah Mandiri, di samping Bank
Muamalat Indonesia dan 78 BPR Syariah yang telah ada. Melihat proses pembentukan bank syariah di Indonesia, ada tiga cara untuk menjadi
bank syariah, sebagai berikut. 1. Mendirikan bank syariah secara langsung dengan full system sistem penuh syariah
seperti halnya Bank Muamalat.
Book 1.indb 33 5232013 12:38:43 PM
34
Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah
2. Melakukan konversi, dari bank konvensional ke bank syariah. Ini pun biasanya menggunakan full system syariah, seperti halnya Bank Syariah Mandiri yang pada
awalnya adalah bank konvensional. 3. Membuka divisi syariah, biasanya adalah bank konvensional yang berniat melakukan
transaksi syariah. Hal itu dilakukan dengan cara membuka divisi syariah dengan menggunakan dual banking system.
Tabel 3.1 Perkembangan bank syariah
Bank Syariah di Indonesia Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah bank umum syariah BUS 3
3 3
5 6
11 Jumlah kantor
304 349
401 581
711 1.215 Jumlah bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah UUS
19 20
26 27
25 23
Bank pembiayaan rakyat syariah BPRS 92
105 114
131 138
150
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI, Februari 2011: hlm. 1.
Tabel 3.1 memberikan arti bahwa terjadi peningkatan jumlah bank syariah di Indonesia. Selama kurun waktu lima tahun, terjadi peningkatan jumlah BUS sebanyak 8 buah, yaitu dari
3 buah menjadi 11 buah. Dilihat dari jumlah kantor cabang yang tersedia, terjadi peningkatan yang signiikan, yaitu dari 304 kantor cabang pada 2005 menjadi 1.215 kantor cabang pada
akhir tahun 2010 atau awal tahun 2011. Untuk UUS, dari 27 buah pada tahun 2008 menjadi 23 buah pada tahun 2010 karena terdapat 4 UUS yang melakukan spin of menjadi bank syariah,
yaitu BRI, Bukopin, BCA, dan BNI. Sementara itu, jumlah bank pembiayaan rakyat syariah meningkat dari 92 buah pada tahun 2005 menjadi 150 buah pada akhir tahun 2010.
Berdasarkan Tabel 3.2, optimisme perkembangan perbankan syariah di Indonesia pada waktu yang akan datang dapat diketahui.
Keuntungan dan risiko Bank syariah
Seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara intermediary antara pihak-pihak yang mengalami kelebihan dana surplus
unit dan pihak lain yang mengalami kekurangan dana deicit unit. Melalui bank, kelebihan dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan
manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank konvensional melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank
berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula, bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar
tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dan nasabahnya adalah hubungan antara kreditor dan debitur.
Book 1.indb 34 5232013 12:38:43 PM
Bab 3 —Perbankan Syariah