pemeliharaan yang dilakukan relatif sama namun kemungkinan bibit awal yang diterima petani ternak di desa Saree Aceh memiliki rataan bobot badan yang
lebih tinggi dibandingkan desa lain. Rataan bobot badan dan kondisi tubuh Sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rataan dan hasil uji –t skor kondisi tubuh dan bobot badan sapi Bali
menurut umur I0, I1 dan I2 di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar Kriteria
Peubah Diamati Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia
Data Gaseu Bareuh
1. Umur ≤ 1 Tahun
a. Jumlah Sampel n Jantan
Betina b.Skor Kondisi Tubuh
Jantan Betina
c. Bobot Badan kg Jantan
Betina
2. Umur 1 –2 Tahun
a. Jumlah Sampel n Jantan
Betina b.Skor Kondisi Tubuh
Jantan Betina
c. Bobot Badan kg Jantan
Betina
3. Umur ≥ 2 Tahun a. Jumlah Sampel n
Jantan Betina
b.Skor Kondisi Tubuh Jantan
Betina c. Bobot Badan kg
Jantan Betina
4 6
3.25
a
±0.50 3.50
a
±0.55 90.05
a
±7.32 86.18
a
±3.71
7 70
3.57
a
±0.53 3.41
a
±0.63 273.27
a
±17.70 217.36
a
±21.88 7
10 3.57
a
±0.53 3.30
a
±0.48 90.79
a
±6.62 83.99
a
±3.41
2 2
3.50
a
±0.71 4.00
a
133.25
a
±1.32 117.59
a
±3.52
4 88
3.75
a
±0.50 3.51
a
±0.73 279.07
a
±15.10 218.62
a
±20.48 7
8
3.43
a
± 0.53 3.25
a
± 0.46 89.08
a
±7.63 84.81
a
±3.58
4 3
3.50
a
± 0.58 3.67
a
± 0.58 131.23
a
±4.46 117.56
a
±2.25
1 27
4.00
a
3.44
a
± 0.97 271.68
a
217
a
±21.11 1
2
4.00
a
4.00
a
85.55
a
83.82
a
±5.40
1 19
3.00
a
3.11
a
±0.79 267.80
a
211.8
a
±20.2
Sumber : Hasil pengamatan dan analisis pendugaan bobot badan sapi Bali 2011 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata p 0,05.
Penampilan produksi berupa bobot badan dan skor kondisi tubuh pada semua umur gigi I0, I1, dan I2 di lokasi kawasan sapi potong VBC kabupaten
Aceh Besar masih termasuk sedang dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian Deptan 2006. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan produktifitas dan mutu genetik induk sapi Bali yang dimasukkan ke
kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar yang berasal dari daerah lain sehingga berdampak pada kualitas bibit yang dihasilkan.
Gambar 14 Proses pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali di lokasi penelitian
Daya Dukung Lahan dan Potensi Pengembangan
Pada usaha sapi potong, lahan merupakan salah satu faktor produksi yang berfungsi sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi dan penyedia
hijauan pakan ternak. Pada peternakan rakyat dengan pola penggembalaan, lahan padang rumput merupakan sumber utama penyedia hijauan pakan ternak
sehingga potensinya sangat menentukan bagi pengembangan sapi potong. Komposisi botani merupakan indikator dinamika populasi tumbuhan pada
padang penggembalaan yang berdampak pada produksi dan kualitas hijauan pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Jenis species dominan merupakan species yang
paling mampu bertahan di lokasi dan menunjukkan pola pertambahan ketika dominasi lebih dari 50 menutupi lahan. Tanaman natif lokal lebih adaptasi
terhadap kondisi lingkungan lokal. Kebanyakan rumput lokal adalah tanaman
abadi dan tidak memerlukan penanaman kembali tiap tahun dan umumnya rumput didaerah tropis mempunyai ketinggian tajuk tanaman yang rendah sesuai dengan
fungsinya sebagai vegetasi penutup tanah. Hasil identifikasi komposisi vegetasi hijauan pakan ternak di kawasan Cot
Seribe umumnya didominasi oleh rumput alam Polytrias amaura, Paspalum conjugatum, trifolium, Axonopus compresus dan Cynodon dactylon. Untuk
kawasan Blang Ubo-ubo selain jenis yang sama dengan kawasan Cot Seuribe juga ditemui rumput unggul yakni Setaria splendida dan Stylosanthes guyanensis,
karena kawasan ini sebelumnya pernah dijadikan sebagai tempat pengembalaan sapi dengan introduksi rumput unggul. Salah satu pengaruh yang signifikan dari
komposisi botani adalah struktur tanaman yang berdampak pada kualitas dan produksi HMT. Produksi HMT di padang penggembalaan di Blang bo-ubo lebih
tinggi dibandingkan dengan produksi HMT di lokasi Cot Seribe. Produksi dari padangan sangat dipengaruhi oleh kepadatan stocking rate.
Tidak ada suatu petunjuk yang umum untuk stocking sebab keputusan harus didasarkan pada kharakteristik pastura dan hasil akhir yang diinginkan.
Pengembalaan intensif meningkatkan konsumsi bagian dari hijauan yang tidak palatabel. Jika ini terjadi dalam waktu yang panjang akan menyebabkan penurunan
produksi per ternak. Pada daerah dimana curah hujan cukup atau dilakukan irigasi, padangan mungkin dapat menampung sebanyak 1-2 ekor sapiHa.
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian tatalaksana pengembalaan yang dilakukan secara terus menerus sering digunakan. Ini berarti suatu jenis
tanaman yang sama dimakan oleh ternak untuk jangka waktu yang lama. Sistem ini mungkin tidak jadi masalah bila stocking rate tidak berakibat pada overgrazing.
Pada kondisi tersebut species yang palatabel akan dikonsumsi dulu, selanjutnya baru species non palatabel yang menyebabkan turunnya species-species yang
palatabel yang diproduksikan. Rataan produksi hijauan pakan ternak di lokasi kawasan diestimasikan sekitar 18 - 25 tonhatahun hijauan segar atau 3,6- 5,1
tonhatahun hijauan kering. Di Cot Seribe, produksi hijauan pakan lebih rendah dibandingkan dengan di kawasan Blang Ubo-ubo disebabkan kondisi tanahnya
yang kurang subur dan ketersediaan air yang kurang di musim kemarau. Potensi lahan di kawasan sapi potong kabupaten Aceh Besar ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11 Potensi lahan di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar No
Uraian Peubah Diamati
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu
Bareuh 1
2
3 4
5 6
7 Luas lahan Ha
a. Padang rumput alam
b. Padang rumput buatan
B.humidicola c.
Padang Alang-alang d.
Kebun rumput P.purpureum
Kapasitas Tampung ST a.Padang rumput alam
b.Padang rumput buatan B.humidicola
c. Padang Alang-alang d. Kebun rumput
P.purpureum PMSL ST
PMKK ST KPPTR SL ST
KPPTR KK ST KPPTR Efektif ST
310 20
107 1
0.60 0.77
1.09 12.59
330.62 3 940
250.12 3 859.5
250.12 300
20 74
1
0.58 0.68
0.93 11.17
267.59 420
169.29 321.7
169.29 96
20
16
0.50 0.95
0.85
80.6 960
45.3 924.7
45.3 31
12
0.68
1.13
34.64 900
2.84 868.2
2.84
Sumber : Hasil survey dan pengukuran produksi hijauan pakan ternak 2011 Keterangan : a. PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan
b. PMKK = Potensi maksimum berdasarkan Kepala Keluarga c. KPPTR = Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
Kapasitas tampung pada lokasi penelitian menunjukkan jumlah ternak yang dapat ditampung dalam memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak untuk hidup
pokok dan berproduksi secara optimal di lokasi kawasan tanpa menyebabkan kemungkinan rusaknya lahan padang penggembalaan tersebut. Kapasitas tampung
dihitung berdasarkan konsumsi ternak terhadap hijauan pakan kering, yaitu 6,29 kghahari. Berdasarkan kapasitas tampung ternaknya, maka populasi ternak
maksimal yang dapat dipelihara pada luasan lahan efektif bervariasi diantara lokasi penelitian dan vegetasi hijauan pakan ternak yang tersedia. Pada padang
penggembalaan ternak vegetasi rumput alam memiliki kemampuan yang paling rendah 0.50
– 0.68 Satuan Ternakhatahun dibandingkan vegetasi rumput buatan B.humidicola dan rumput alang-alang P.maximum di semua lokasi kawasan.
Untuk kemampuan kapasitas tampung yang paling tinggi diperoleh dari kebun
rumput dengan vegetasi Rumput Gajah P.purpurem berkisar antara 11.17 – 12.59
Satuan Ternakhatahun, yang masih terdapat di lokasi Saree Aceh dan Sukamulia. Ketersedian lahan dan tenaga kerja berupa Rumah Tangga Petani Ternak
di Kawasan Blang Ubo-ubo yaitu di desa Saree Aceh dan Sukamulia masih memungkinkan peningkatan populasi ternak sapi potong dengan jumlah lebih
besar dibandingkan Cot Seuribe. Untuk pengembangan kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seribe melalui kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia efektif
berdasarkan pertimbangan potensi sumberdaya lahan. Sehingga arahan pengembangan kedua kawasan sapi potong tersebut aspek sumberdaya lahan
merupakan faktor pembatas dan perlu penangganan dan perbaikan.
Karakteristik Peternak
Karakteristik adalah sifat-sifat yang ditampilkan oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dalam lingkungannya sendiri.
Keberhasilan dalam mengelola usaha ternak diantaranya dipengaruhi oleh umur peternak, tingkat pendidikan dan pengalaman beternak Danudiredja 1999;
Rakhmat 2000. Sebagian besar ≥ 80 responden umur peternak berkisar antara 15
– 55 tahun yang termasuk dalam usia produktif, sedangkan di atas 55 tahun kurang dari 20 responden. Banyaknya peternak dengan usia produktif
yang ikut terlibat akan berpengaruh positif dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan program kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, dimana dengan memiliki pengetahuan formal yang lebih tinggi maka
seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi dan wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian Rakhmat 2000. Tingkat pendidikan peternak
relatif beragam, dengan didominasi oleh tingkat SD 57 – 76, sedangkan
tingkat Perguruan Tinggi PT terendah 1 – 2. Tingkat pendidikan yang
rendah akan mempengaruhi motivasi dan partisipasi peternak dalam pelaksanaan program kawasan. Data karakteristik peternak sapi potong pada lokasi penelitian
ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar No
Uraian Peubah Diamati
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu
Bareuh 1
2
3
4
5
6 Jumlah Responden n
Umur Peternak : a.
Produktif 15 – 55 thn b.Tidak produktif 55 thn
Tingkat Pendidikan a.
SD b.SLTP
c. SLTA
d. PT Pekerjaan Pokok :
a. Petani
b.Wiraswasta a.
PNS b.Lainnya
Usaha Budidaya Ternak a.
Pokok b.Sambilan
Pengalaman Beternak a.
5 tahun b.5-10 tahun
c. 10 tahun
13 80.71
19.29
57.14 7.14
35.72
86.44 4.23
7.63 1.69
12.7 87.3
21.3 38.7
40 24
83.66 16.34
73.73 11.86
11.86
2.54 78.57
11.14
11.29 14,6
85.4
36,76 30,34
33,90 12
86.40 13.60
57.10 7.18
30.72 5
78.57 7.14
14.29 19.08
80.92
40 23.95
36.05 22
82.42 17.58
75.58 15.12
8.14 1.16
94.19 2.33
2.33 1.15
11,3 88.7
15.2 67.3
18.5
Sumber : Hasil kuisioner karakteristik petani ternak 2011
Keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan erat kaitannya dengan pengetahuan, motivasi dan partisipasi. Adanya pengetahuan tentang manfaat
melakukan suatu kegiatan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap hal tersebut, dan selanjutnya dapat memotivasinya untuk ikut dalam kegiatan itu.
Adanya motivasi untuk melakukan suatu kegiatan sangat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan ataukah tidak Rakhmat 2000.
Petani ternak di kawasan sapi potong kabupaten Aceh Besar memiliki pengetahuan relatif rendah skor 25 terutama pada aspek manajemen budidaya
sapi potong dengan pola kawasan. Skor paling rendah adalah peternak di desa Bareuh 12.47 dan tertinggi di desa Sukamulia 19.17. Pengetahuan yang
rendah tentang budidaya sapi potong dengan pola kawasan erat kaitannya dengan pengalaman peternak dalam budidaya sapi potong di padang pengembalaan
secara berkelompok. Sebelumnya sistem pemeliharaan sapi potong di padang
penggembalaan secara ekstensif dan dilakukan tanpa berkelompok sehingga pola kawasan merupakan hal baru bagi petani ternak. Hasil analisis mengenai
pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak di kawasan sapi potong Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar
No Uraian
Peubah Diamati
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh
Sukamulia Data Gaseu
Bareuh 1
2 3
4 Jumlah
Responden n Pengetahuan
Motivasi Partisipasi
13 13.47 ± 2.76
18.23 ± 2.23 21.17 ± 1.45
24 19.17 ± 2.16
34.53 ± 2.43 40.17 ± 3.45
12 13.47 ± 2.76
13.23 ± 2.23 10.17 ± 1.45
22 12.47 ± 3.76
11.23 ± 2.83 12.17 ± 2.15
Sumber : Hasil analisis pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak 2011
Motivasi petani ternak pada kawasan sapi potong di Aceh Besar termasuk rendah skor 25 kecuali desa Sukamulia yang memiliki motivasi tinggi skor
34 – 41. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa peternak di desa Bareuh
memiliki motivasi yang rendah 11.23 dibandingkan dengan petani ternak di desa lainnya dikarenakan sebelumnya sebagian kecil petani ternak
mengusahakan sapi potong terkait keterbatasan lahan untuk padang penggembalaan dan posisi desa yang berbatasan dengan ibukota kabupaten
dimana peraturan yang ditetapkan oleh pihak kecamatan Kota Jantho yang melarang semua jenis ternak ruminansia berkeliaran di kawasan perkotaan Kota
Jantho. Motivasi yang tinggi di desa Sukamulia terkait tidak adanya lahan sawah sehingga kurangnya kontribusi lahan pangan bagi perkonomian penduduk
setempat dan ternak dijadikan sebagai tambahan sumber pendapatan. Partisipasi peternak dalam budidaya sapi potong dengan pola kawasan yang teridentifikasi
juga masih rendah skor 25 kecuali desa Sukamulia yang memiliki angka partisipasi tinggi skor 34
– 41. Nilai partisipasi yang tinggi di desa Sukamulia berkaitan dengan motivasi yang kuat dan manajemen kelembagaan relatif lebih
baik dari kelompok petani ternak di desa Sukamulia.
Teknis Budidaya dan Layanan Peternakan
Budidaya sapi potong yang dijalankan oleh peternak sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa peternak di kawasan sapi potong
VBC di Kabupaten Aceh Besar menerapkan sistem semi intensif. Pola yang dijalankan dengan melepaskan ternak di areal padang pengembalaan pada pagi
hari dan dikandangkan pada malam hari tanpa tambahan hijauan dimana keseluruhan kebutuhan pakan berasal dari padang penggembalaan. Menyangkut
pemberian mineral mineral blok atau garam dapur, intensitas pemberian hanya 50 tergantung pada ketersedian dana. Untuk limbah pertanian, palawija dan
perkebunan walaupun potensial tersedia namun belum dimanfaatkan. Menurut Riady 2004, pemanfaatan teknologi peternakan yang belum optimal mengingat
keterbatasan peternak seperti pengetahuan dan modal dalam menerapkannya merupakan salah satu permasalahan pengembangan sapi potong di Indonesia.
Pelayanan peternakan yang masih diterima oleh petani ternak di kawasan sapi potong Aceh Besar berupa pelayanan kesehatan dan penyakit
hewan dan penyuluhan, sedangkan pelatihan teknis hanya diterima pada saat awal program berjalan tahun 2008
– 2009. Pelayanan peternakan yang diterima oleh petani ternak menunjukkan
persentase yang rendah ≤ 18.4. Pelayanan kesehatan ternak pada awal program berjalan dengan baik, namun pada saat ini
mulai kurang berjalan walaupun belum pernah dilaporkan kejadian penyakit hewan menular dan berbahaya pada ternak sapi Bali. Vaksinasi yang dilakukan
berupa pencegahan berjangkitnya penyakit Septicaemia epizooticae SE. Penyakit yang sering menyerang ternak sapi pada umumnya disebabkan oleh
eksternal parasit, seperti caplak, cacingan, putih mata istilah lokal, kudis, dan luka gangguan binatang buas, terkena alat jerat yang dipasang pemburu hewan
liar, dan kawat pagar. Penyakit reproduksi terutama Brucellosis dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan produksi anak pada ternak
sapi. Data status penyakit ternak sapi di kawasan sapi potong VBC masih terbatas dan memerlukan surveilans untuk mengidentifikasi carriers seropositif
pada sapi agar dapat dilakukan tindakan penanganan lebih lanjut.
Tabel 14 Aspek teknis pemeliharaan dan layanan peternakan di kawasan sapi potong lokasi penelitian
No Uraian
Peubah Diamati Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh
1
2 3
4 5
6 Sistem Pemeliharaan
a. Digembalakan
Sepanjang Hari Ekstensif
b. Digembalakan Siang
Hari Malam Hari Dikandangkan
Semi-Intensif
c. Dikandangkan
Intensif Pakan :
a.Hijauan Ya
Tidak b.Konsentrat
Diberikan Tidak
c. Suplemenmineral
Diberikan Tidak
Pelayanan Keswan Pelayanan IB
Penyuluhan Pelatihan Teknis
100
100
100 50
4.3 3.1
100
100
100 50
5.8 3.7
100
100
100 50
18.4 13.4
100
100
100
100 7.5
16.5
Sumber : Hasil Survey 2011
Kesadaran peternak untuk pencegahan dan pengobatan penyakit masih kurang berkaitan dengan lemahnya koordinasi antara petani ternak dengan
petugas pelayanan peternakan, khusus kawasan Blang Ubo-ubo sulitnya aksesibilitas ke lokasi karena kondisi jalan tidak beraspal dan rusak parah serta
letaknya jauh dari pemukiman anggota kelompok merupakan suatu kendala. Laporan kejadian penyakit ditindaklanjuti oleh petugas dengan mendatangi
lokasi dan melakukan pengobatan namun terkadang tidak ditindaklanjuti berkaitan kendala aksesibilitas dan keterbatasan petugas kesehatan hewan. Selain
itu anggota kelompok juga mampu melakukan pengobatan pada ternak yang
sakit dengan obat alami dan obat yang tersedia. Secara umum peternak 85 responden di kawasan tersebut dapat dikatakan belum melaksanakan aspek
teknis tatalaksana pemeliharaan ternak sapi secara baik dan benar. Berbagai sarana prasarana dan fasilitas pelayanan peternakan sapi potong
yang diidentifikasi relatif cukup memadai dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Kondisi inisangat mendukung bagi upaya pengembangan dan
pembibitan peternakan sapi potong, yang menunjukkan peran aktif pemerintah daerah terutama ditinjau dari segi ketersediaan, mobilitas, dan jangkauan
pelayanan peternakan yang akhirnya dapat mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Fasilitas layanan
peternakan di Kabupaten Aceh Besar ditunjukkan pada Tabel 15. Tabel 15 Kondisi sarana dan fasilitas peternakan di kawasan sapi potong VBC
Aceh Besar No
Uraian Peubah Diamati
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia
Data Gaseu Bareuh
1 2
3
4 5
6 7
8
9 10
11 12
13 14
15 16
17 18
Holding ground Karantina ternak
Laboratorium diagnostik
Unit pendidikan dan pelatihan
Poskeswan Pos IB
Penyalur sapronak Unit pembibitan
ternak RPHTPH
Pasar hewan DAMEmbung air
Petugas peternakan Medisparamedis
Penyuluh lapangan Jaringan listrik
Jaringan Telekom Jalan usaha tani
Jarak dengan pemukiman km
– –
Rusak berat 10
–
–
– –
Rusak berat 6
–
– Aspal
2 –
– –
Rusak 1.5
Sumber : Hasil Survey 2011 Keterangan : aksesibilitas keberadaan
Gambar 15 Jalan usaha tani menuju lokasi kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe dengan kondisi rusak
Tingkat Perkembangan Kawasan Sapi Potong
Analisis kawasan agribisnis peternakan dimaksudkan untuk mengevaluasi tingkat perkembangan suatu kawasan. Evaluasi kawasan ini memiliki peranan
yang penting dalam penyusunan program pembinaan dan strategi pengembangan kawasan secara efektif sesuai dengan tahapan perkembangannya sehingga
kedepan dapat dicapai suatu kawasan peternakan yang mandiri yang memiliki skala ekonomis baik pada tingkat peternak, kelompok peternak maupun tingkat
kawasan yang akan menjadikan fungsi usaha ternak sebagai mesin penggerak agribisnis di kawasan tersebut.
Berdasarkan hasil analisis tingkat perkembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dengan menggunakan metode skoring
memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Total skor yang diperoleh, pada kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe dengan kriteria untuk
kawasan pembibitan di semua desa menunjukkan skor 500, yang berarti keempat lokasi penelitian di klasifikasikan sebagai Kawasan Baru. Nilai total
skor menunjukkan kawasan Blang Ubo-ubo desa Saree Aceh dan Sukamulia memiliki skor sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan Cot Seuribe
desa Data Gaseu dan Bareuh. Kondisi tersebut berkaitan ketersedian lahan dan tingkat kesuburan tanah yang mempengaruhi peningkatan produksi hijauan
pakan ternak yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas ternak di kawasan Blang Ubo-ubo.
Tabel 16 Skoring penilaian kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar untuk kriteria pembibitan
No Kriteria
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia
Data Gaseu Bareuh
1 2
3 4
5 6
7 8
Lahan Ketersedian HMT
Ternak Teknologi budidaya
Peternak Tenaga pendamping
Fasilitas Kelembagaan
50 90
74 89
40
22.5 97
10 50
90 74
89 40
22.5 93
12.5 47.5
30 45
85 43
26
104 10
47.5 15
33 62
33 26
104 7.5
Total 472.5
471 387.5
325
Sumber : Hasil analisis potensi kawasan 2011
Pengembangan budidaya ternak ruminansia dengan pola penggembalaan salah satu faktor yang sangat menentukan adalah kemampuan lahan untuk
produksi hijauan pakan ternak. Sebagaimana ditunjukkan dari hasil penelitian, kawasan Blang Ubo-ubo memiliki kapasitas peningkatan ternak ruminansia
berdasarkan ketersedian lahan untuk produksi hijauan pakan ternak dengan sistim penggembalan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan Cot Seuribe.
Komponen kawasan lainnya memiliki skor yang relatif sama diantara kedua kawasan kecuali fasilitas sarana prasarana dan tenaga pendamping yang
menunjukkan kawasan Blang Ubo-ubo memiliki nilai relatif lebih rendah dibandingkan kawasan Cot Seuribe. Kondisi tersebut disebabkan aksesibilitas ke
kawasan Blang Ubo-ubo lebih jauh dan sulit dijangkau oleh tenaga teknis peternakan dan dokter atau hewan dalam memberikan pelayanan kesehatan
hewan karena kondisi jalan yang rusak parah serta jauh dari pemukiman. Komponen yang juga harus diperhatikan dalam pengembangan kawasan
adalah kelembagaan yang memiliki nilai relatif pada kedua kawasan yang menunjukkan masih lemahnya kemampuan kelembagaan petani ternak dan
permodalan. Menurut Ditjennak 2002, Priyanto, dan Bappenas 2004, kawasan peternakan sapi potong merupakan kawasan khusus yang
diperuntukkan bagi kegiatan usaha sapi potong maupun terintegrasi dengan komponen usaha tani atau ekosistem tertentu dan dalam pengembangannya
banyak melibatkan partisipasi rakyat dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang ada.
Perkembangan Komponen Kawasan Sapi Potong
Tingkat perkembangan kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar ditentukan oleh beberapa komponen yang mempengaruhi produksi ternak
didalam kawasan. Sehingga perlu diuraikan beberapa komponen tersebut dalam mempengaruhi tingkat perkembangan kawasan saat penelitian dilakukan.
a. Lahan Skoring kawasan dengan kriteria lahan memiliki nilai tertinggi 47.5
– 50 yang menunjukkan lahan usaha sepenuhnya dikuasai oleh kelompok ternak.
Penguasaan lahan di kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar berupa hak guna usaha sebagai lahan milik desa atau lahan terlantar pada kawasan
Blang Ubo-ubo dan lahan milik beberapa anggota kelompok pada kawasan Cot Seuribe. Status lahan di kawasan Cot Seuribe sebagai hak milik memiliki
kendala yang lebih kecil terkait dengan keberlanjutan pemanfaatan lahan dibandingkan kawasan Blang Ubo-ubo. Untuk keberlanjutan pengembangan
usaha sapi potong dengan pola kawasan perlu kiranya status lahan dipertimbangkan terutama di kawasan Blang Ubo-ubo.
Topografi lahan di kawasan Blang Ubo-ubo didominasi wilayah berbukit dengan kemiringan antara 25
– 45 dan berada pada ketinggian diatas 500 m dpl. Selain itu kondisi ekosistem hutan dan letaknya yang berada di pinggiran
hutan kawasan konservasi dengan vegetasi tanaman tahunan dan hutan di kawasan tersebut menyebabkan lahan cepat tertutupi dengan semak belukar dan
pohon apabila lama tidak digarap. Berbeda dengan kondisi lahan di kawasan Blang Ubo-
ubo yang berada pada ketinggian ≥ 300 m dpl dengan topografi wilayah dataran dan berbukit memiliki kemiringan lahan 0
– 45. Ekosistem padang rumput di kawasan Cot Seuribe didominasi vegetasi rumput alam,
padang alang-alang, dan semak belukar merupakan hamparan lahan pertanian
lahan kering dan padang penggembalaan umum yang telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat.
Kawasan Cot Seuribe dengan tingkat kesuburan tanah dan ketersedian air yang rendah dibandingkan kawasan Blang Ubo-ubo menyebabkan pengaruh
musim kemarau merupakan faktor pembatas. Berdasarkan kondisi agrofisik lahan pada kedua kawasan tersebut yang berbeda maka perlu adanya
penangganan melalui pembangunan sarana prasaran dan kebijakan penggunaan lahan untuk mendukung produktivitas lahan bagi keberlanjutan pengembangan
kawasan sapi potong VBC di kabpaten Aceh Besar.
b. Ketersedian Hijauan Makanan Ternak
Padang rumput alam dan hijauan pakan yang tumbuh di padang penggembalaan dan pinggiran hutan masih merupakan pakan utama ternak sapi
Bali pada sistem pemeliharaan di kedua kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar. Pengembangan hijauan pakan ternak berupa penanaman rumput
gajah Penissetum purpureum pada lahan kebun rumput dan rumput gembalaan Brachiaria humidicola pada lahan penggembalaan telah dilakukan pada saat
awal program berjalan. Selain itu pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak dedak, kulit kakao, limbah tanaman palawija, ampas
singkong dan ubi jalar belum dilakukan walaupun ketersediaannya dapat dimanfaatkan secara optimal.
Hasil pengamatan sebagian lahan pengembangan hijauan pakan ternak di kedua kawasan dengan kondisi lahan yang rusak dimana infasi gulma berupa
rumput alam dan semak belukar serta dibeberapa tempat kondisi permukaan tanah yang terbuka. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan tatalaksana
penggembalaan yang buruk dan terjadinya overgrazing tanpa menerapkan pola penggembalaan bergilir padok sehingga kemampuan hijauan rumput unggul
untuk beregenerasi terganggu dan pada akhirnya vegetasi tanaman mati. Perbaikan kondisi padang penggembalaan yang dilakukan anggota kelompok
melalui kegiatan gotong royong berupa pembersihan lahan, namun jarang dilakukan kecuali di kelompok petani ternak di desa Sukamulia yang
melakukannya secara rutin setiap bulan sekali. Kondisi tersebut berkaitan
dengan ketersedian dana, waktu dan kurangnya motivasi petani ternak karena masing-masing anggota memiliki pekerjaan pokok diluar kegiatan kawasan.
Pengembangan hijauan pakan ternak dengan kondisi topografi berbukit di kawasan Blang Ubo-ubo harus dilakukan penerapan pola tanam dan pemilihan
jenis hijauan pakan ternak yang sesuai untuk mengatasi erosi, sedangkan kesuburan tanah yang rendah di kawasan Cot Seuribe perlu perlakuan
penggolahan tanah maupun penggembalaan bergilir.
c. Ternak
Ternak sapi potong yang dikembangkan di kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar adalah bangsa sapi Bali sebagai bibit dasar populasi.
Populasi sapi Bali dalam kawasan Blang Ubo-ubo masih rendah dibandingkan dengan ketersedian lahan menghasilkan hijauan pakan ternak yaitu 24.20
– 36.73 sehingga kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia KPPTR di
kawasan tersebut masih cukup tinggi. Berbeda kondisinya dengan kawasan Cot Seuribe dimana tingkat populasi ternak dibandingkan kemampuan lahan
menghasilkan hijauan pakan ternak yang rendah sehingga kapasitas peningkatan populasi ternak yang rendah.
Hasil pendugaan bobot badan menunjukkan bahwa sapi Bali di kedua kawasan memiliki produktivitas yang rendah. Persentase kelahiran 2.94
– 14.66 dan kematian 10.62
– 24.72 dari populasi menunjukkan tingkat kematian relatif masih cukup tinggi dibandingkan dengan tingkat kelahiran.
Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan kinerja reproduksi dan produksi ternak sapi pada kawasan tersebut masih belum optimal. Salah satu ciri dari
kawasan baru adalah ternak sapi yang dipelihara memiliki tingkat reproduksi yang rendah, dicirikan dengan tingkat kelahiran dibawah 50 dan kematian
anak sapi ≥15 serta memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah dengan rataan pertambahan bobot badan dibawah 0.5 kgekorhari Deptan 2002.
d. Teknologi Budidaya
Untuk komponen teknologi budidaya pada kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar penerapannya hanya pada level produksi subsistem yaitu
teknologi input rendah sehingga pemakaian input dan biaya produksi sangat minim. Pada aspek teknologi budidaya menunjukkan kedua kawasan masih pada
tahapan kawasan baru yang dicirikan ; 1 Jenis sapi yang dibudidaya terutama jenis sapi lokal yaitu sapi Bali, 2 Metode pembiakan sapi masih tergatung pada
kawin alam, penggunaan pejantan unggul dan teknik inseminasi buatan dengan semen pejantan unggul belum diterapkan dan belum ada seleksi yang terarah
untuk memperbaiki mutu bibit sapi Bali, 3 Sumber pakan ternak terutama mengandalkan rumput alam tanpa tambahan hijauan potongan dan limbah sisa
hasil pertanian dan perkebunan untuk diolah sebagai sumber pakan maupun konsentrat, hanya mineral mineral blok dan garam yodim yang sering diberikan
bergantung pada ketersedian dana dari kas kelompok, penggadaan dari Dinas Peternakan kabupaten Aceh Besar maupun perorangan, 3 Sistem budidaya
ternak yang diterapkan walaupun secara semi-intensif namun pelaksanaannya masih kurang terarah. Sistem semi-intensif yang diterapkan berupa aktivitas
melepaskan ternak pada siang hari dan mengandangkannya pada malam hari, dan 4 Penanganan kesehatan, gangguan reproduksi, dan vaksinasi pada ternak
masih tidak rutin dilakukan, hanya pengobatan yang sering dilakukan pada ternak yang sakit oleh anggota kelompok itu sendiri.
e. Peternak
Tingkat ketrampilan yang berkaitan dengan pengelolaan usaha dari petani ternak oleh anggota kelompok ternak di kedua kawasan sapi potong VBC cukup
baik karena sudah terbiasa melakukan budidaya sapi potong namun secara tradisional dengan input manajemen yang masih rendah. Untuk tingkat
pengetahuan terkait dengan penguasaan teknologi dan ketrampilan pengelolaan usaha ternak secara modern dengan memperhatikan aspek bisnis masih rendah
begitupula dengan motivasi dan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan manajemen. Umumnya anggota kelompok petani ternak
merupakan petani ternak pada lahan pertanian kering sehingga budidaya sapi potong yang dilakukan dengan pola ekstensif. Untuk itu masih dibutuhkan
bimbingan maupun pendampingan yang intensif dari intansi pemerintah baik
berupa penyuluhan, pendidikan non formal seperti pelatihan kursus maupun pembuatan percontohan budidaya ternak experimental farm berupa demplot.
f. Tenaga Pendamping
Keberadaan tenaga pendamping pada kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar masih sangat terbatas dari segi keberadaan maupun
aksesibilitasnya terutama untuk kawasan Blang Ubo-ubo. Tenaga pendamping berupa Dokter hewan atau mantri hewan dan tenaga teknis walaupun tersedia
namun dikarenakan beban kerja dan cakupan wilayah kerja yang luas dikarenakan merangkap sebagai petugas pelayanan di kecamatan sehingga
pelayanan peternakan di kawasan tidak optimal. Demikian pula dengan tenaga inseminator dan pemeriksa kebuntingan sudah ada namun kegiatan inseminasi
buatan belum berjalan. Berkaitan dengan tenaga pendamping di kawasan juga komunikasi dengan anggota kelompok kurang intensif dan kurang berjalan
dengan baik menjadi hambatan dalam memberikan pelayanan teknis terutama pemahaman dari petani ternak terhadap tugas dan tanggung jawab pendamping.
g. Fasilitas
Untuk mendukung pelaksanaan program pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2008 dirintis pembangunan UPTD
Ternak Ruminansia Besar dan sarana layanan peternakan lainnya. Fungsi UPTD Ternak Ruminansia Besar sebagai pelaksana pengawasan, pelayanan, dan
penanggung jawab pengembangan ternak ruminansia besar termasuk kawasan sapi potong Blang bo-ubo dan Cot Seuribe, sehingga perkembangan UPTD
tersebut juga akan mempengaruhi perkembangan kawasan sapi potong. Ketersediaan fasilitas sarana prasarana pendukung peternakan di kawasan sudah
memadai kecuali di desa Sukamulia yang masih terbatas. Ketersedian fasilitas dasar berupa holding ground dan cattle yard sudah memadai di kedua kawasan
namun Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD khusus ruminansia besar, poskeswan, unit penyuluhan, penyalur sapronak, pos IB, pasar hewan, rumah
potong hewan dan laboratorium diagnostik untuk kawasan Blang Ubo-ubo walaupun tersedia dan masih dimungkinkan dari kecamatan lain yang berdekatan
namun masih menjadi kendala karena aksesibilitas ke lokasi kawasan masih kurang baik.
Gambar 16 Fasilitas Unit Pelaksana Terknis Daerah UPTD Ruminansia Besar Kabupaten Aceh Besar
Gambar 17 Kondisi fasilitas peternakan di kawasan Blang Ubo-ubo desa Saree Aceh
Pos pelayanan peternakan Poskeswan dan Pos IB dan Balai penyuluhan sudah tersedia di tingkat kecamatan dan sudah terlembaga, selain itu tempat
penjualan daging juga sudah tersebar di beberapa kecamatan walaupun aktivitas tidak berlansung setiap hari. Tempat penjualan daging dan pemotongan ternak
sapi juga diawasi oleh instansi terkait dengan mendata yang dilanjutkan pengeluaran izin penjualan daging dan pemotongan ternak sapi di wilayah
kabupaten Aceh Besar.
h. Kelembagaan
Pada aspek kelembagaan petani ternak di kedua kawasan masih berupa kelompok pemula walaupun di kawasan Blang Ubo-ubo di desa Saree Aceh dan
Sukamulia sebelumnya sudah pernah terbentuk kelompok petani ternak namun belum menerapkan pola kawasan dengan kandang komunal. Walaupun program
pengembangan kawasan telah berjalan selama tiga tahun namun kelembagaan petani ternak di kawasan belum berkembang menjadi kelembagaan yang kuat
dan masih merupakan kelompok pemula dengan aktivitas yang masih terbatas pemagaran, pemeliharaan kandang, pemberian air garam pada sapi.
Keberadaan kelembagaan keuangan perbankan maupun non bank sangat penting karena merupakan alternatif pembiayaan usaha. Pada lokasi penelitian
sepenuhnya belum ada akses permodalan melalui perbankan. Seluruh bantuan pengembangan kegiatan usaha peternakan sapi potong di kedua kawasan masih
berasal dari program pemerintah daerah kabupaten Aceh Besar. Sesuai dengan tingkat perkembangannya sebagai kawasan baru dimana peternak belum banyak
berhubungan dengan lembaga keuangan formal. Menurut Deptan 2002 dan Saragih 2000, upaya mewujudkan kawasan agribisnis peternakan menjadi
sumber pertumbuhan ekonomi membutuhkan dukungan ketersedian sumber permodalan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing usaha.
Langkah yang harus ditempuh dalam pengembangan kawasan sapi potong berkaitan dengan kendala permodalan yaitu memperkenalkan kerjasama
dengan pihak perbankan atau pihak swasta pengusaha peternakan dan lainnya kepada kelompok peternak. Untuk menjalankan langkah tersebut keterlibatan
instansi pemerintah sebagai pihak ketiga untuk menjembatani maupun penjamin
sangat dibutuhkan. Bantuan permodalan tidak hanya mengandalkan pemerintah tetapi juga dari pihak swasta dan masyarakat.
Berdasarkan evaluasi komponen kawasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar, sesuai dengan
tingkat pertumbuhannya, termasuk kedalam kawasan baru dengan tipe kawasan sapi potong yang berkembang berbasis pada padang rumput. Berdasarkan
kondisi dan ketersedian lahan yang berbeda pada kedua kawasan tersebut, maka perlu ada pengembangan pola produksi hijauan pakan ternak yang sesuai untuk
masing-masing kawasan tersebut. Bentuk kerjasama yang dapat diaplikasikan bagi pengembangan kawasan sapi potong adalah sistem bagi hasil dan input-
output hasil produksi.
Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong
Strategi pengembangan kawasan sapi potong merupakan proses berkelanjutan dimulai dari perencanaan awal, kemudian pelaksanaan strategi
diantaranya mencakup penentuan tujuan, kegiatan recording, optimalisasi struktur kelembagaan kawasan, dan evaluasi untuk mengetahui hasil yang
dicapai. Penyusunan strategi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dilakukan secara efektif pada level strategis dan taktis.
Penelaahan pada level strategis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis SWOT. Hasil kajian pada level strategis ini akan menghasilkan suatu arahan
sebagai masukan untuk penelaahan pada level taktis. Penelaahan pada level taktis dilakukan dengan menggunakan metode IFAS Internal Strategic Factors
Analysis Summary dan EFAS External Strategic Factors Analysis Summary. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan
pelaksanaan berikutnya. Keberhasilan program kawasan sapi potong sangat ditentukan oleh kejelasan tujuan budidaya yang dilakukan serta peran peternak
yang terlibat dalam kegiatan budidaya tersebut. Untuk pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar harus menerapkan beberapa program
yang meliputi; on farm strategis, recording dan data processing, monitoring kemajuan produktivitas ternak, kebijakan pembangunan pertanian dan pasar,
nilai-nilai sosial dan budaya, sistem produksi, karakteristik populasi, dan infrastruktur sarana dan prasarana pendukung.
Berdasarkan kerangka di atas komponen yang harus diperhatikan dalam pengembangan program kawasan sapi potong dapat dikelompokkan menjadi dua
faktor antara lain faktor internal yaitu faktor-faktor yang langsung terlibat dalam program kawasan sapi potong dan faktor eksternal yaitu faktor pendukung dalam
program kawasan sapi potong. Faktor internal antara lain sumber daya lahan, sumber daya manusia, sumber daya ternak, sistem produksi, fasilitas layanan
peternakan dan manajemen pengelolaan kawasan, sedangkan faktor ekstemal antara lain adalah sarana dan prasarana infrastruktur penunjang, kebijakan
pemerintah, pasar, dan sosial budaya
Identifikasi Faktor Internal – Eksternal
Kekuatan Strenghts
Kekuatan strenghts merupakan faktor strategi internal dari kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar yang harus dapat dimanfaatkan untuk
mencapai tujuan dari pengembangan kawasan sapi potong. Analisis kekuatan dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar melibatkan
beberapa aspek penting yaitu : a agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong, b tingkat produktivitas ternak cukup baik, c
tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai, d potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha, dan e
kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat Kondisi agrofisik dan potensi lahan merupakan unsur kekuatan bagi
budidaya ternak ruminansia pada peternakan rakyat sehingga komponen ini sangat penting bagi pengembangan ternak sapi potong dengan pola kawasan.
Kondisi ini memungkinkan sebagian besar sapi potong di wilayah tropis seperti halnya sapi Bali dapat berkembang dengan baik, yang didukung oleh posisi
geografis yang strategis. Lokasi kawasan yang dekat dengan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Kota Banda Aceh memudahkan aksesibilitas
terhadap fasilitas layanan peternakan.
Lahan padang penggembalan yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sapi potong, selain itu lahan pertanian dan areal perkebunan
merupakan potensial bagi tambahan penyedian pakan ternak berupa hijauan, konsentrat, dan limbah pertanian. Kontribusi dari padi sawah di lokasi penelitian
kurang mendukung peningkatan pendapatan petani sehingga dapat diarahkan ke usaha sapi potong dengan sistem ekstensif maupun semi intensif. Struktur
penduduk di wilayah kawasan sapai potong sebagian besar adalah petani ternak merupakan modal tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
sapi potong di daerah tersebut. Keragaan penduduk seperti ini mengindikasikan potensi yang relatif besar bagi upaya pengembangan sapi potong karena dari
kelompok inilah sebagian besar menjadi ujung tombak aktivitas peternakan rakyat. Hal tersebut terkait kebiasaan petani ternak yang memelihara ternak sapi
sebagai bagian dari usaha taninya yang merupakan dukungan bagi pengembangan sapi potong yang tidak dapat berjalan sendiri, tetapi memrlkan
masyarakat petani disekitarnya. Keberadaan UPTD Ternak Ruminansia Besar di kecamatan Seulimum
sebagai instansi yang terlibat langsung dengan kegiatan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar merupakan komponen pendukung pengembangan
kawasan sapi potong. Tersedianya poskeswan, tenaga teknis peternakan, penyuluh, tenaga medis dan paramedis menjadi suatu kemudahan pelayanan
ternak maupun peningkatan ketrampilan petani ternak. Selain itu adanya Balai Pembibitan Ternak Unggul di kecamatan Indrapuri kabupaten Aceh Besar
memungkinkan kerjasama pengembangan kawasan sapi potong kearah sentra pembibitan ternak untuk menghasilkan sapi unggul.
Guna menunjang keberhasilan pengembangan program kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar di masa mendatang maka perlu diupayakan
peningkatan pengetahuan dan partisipasi peternak melalui program penyuluhan, pelatihan atau magang. Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD Ternak
Ruminansia Besar harus dapat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan kawasan sapi potong sehingga tenaga ahlitrampil perlu ditambah, atau dalam
tataran tertentu UPTD perlu melakukan kerjasama dengan instansi terkait seperti
perguruan tinggi atau badan penelitian dan pengembangan peternakan yang memiliki tenaga ahli bidang peternakan yang dibutuhkan.
Kelemahan Weakness
Kajian mengenai unsur kelemahan dalam pengembangan kawasan ternak sapi potong pada lokasi penelitian meliputi aspek : a rendahnya partisipasi dan
motivasi petani ternak, b kemampuan manejerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah, c penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang,
d terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan, e sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong, f koordinasi kelompok
petani ternak dengan lembaga terkait stakeholders lemah. Peternak sebagai pelaku usaha, merupakan unsur penting dalam upaya
pengembangan peternakan sapi potong. Pada konteks yang lebih modern, peternak dituntut berperan aktif sebagai pelaku sekaligus manajer bagi usaha
ternak sapi potongnya. Relatif masih lemahnya kualitas SDM peternak terlihat dari masih kurang efektifnya teknis produksi peternakan. Peternak sapi potong di
Kabupaten Aceh Besar sebagian besar termasuk dalam usia produktif dengan pengalaman beternak kurang dari 5 tahun. Banyaknya peternak usia produktif
namun pengalaman yang masih rendah dalam usaha sapi potong di kawasan akan berpengaruh terhadap pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten
Aceh Besar. Pengalaman beternak yang masih kurang, tingkat pendidikan, pengetahuan, motivasi dan partisipasi masih rendah akan sangat berpengaruh
kurang baik terhadap pengembangan program kawasan yang akan dilaksanakan. Penguasaan teknologi peternakan masih relatif rendah oleh kalangan
peternak di kawasan pengembangan juga menjadi hambatan. Hasil pengkajian di lapangan, para peternak menegaskan pentingnya peningkatan kualitas SDM
peternak melalui penyuluhan dan pelatihan baik yang menyangkut aspek pengetahuan dan ketrampilan manajemen pembibitan, pemeliharaan, produksi,
pakan maupun kesehatan ternak sapi potong. Penguasaan teknologi penanganan limbah peternakan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya
pengembangan peternakan sapi potong, teknologi ini diperlukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani ternak.
Peluang Opportunities
Kajian mengenai unsur peluang dalam upaya pengembangan kawasan sapi potong meliputi aspek : a prospek pasar dan harga produksi ternak relatif
meningkat, b dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah, c berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat, dan d fungsi
strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong. Dukungan pemerintah daerah merupakan unsur penting dalam upaya
pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Hal ini terlihat dari Rencana Strategis dan Program Kerja Dinas Peternakan Kabupaten Aceh
Besar mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Prioritas kerjanya meliputi : a peningkatan ketahanan pengan, b pengembangan agribisnis peternakan, c
peningkatan kesehatan hewan dan masyarakat veteriner, d peningkatan populasi dan produksi ternak, e peningkatan SDM peternak dan petugas
peternakan dan f peningkatan PAD dari sektor peternakan.
Ancaman Threats
Kajian secara mendalam mengenai unsur-unsur ancaman meliputi : a adanya wabah penyakit menular, b pemotongan induk betina produktif, c
kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas, dan d kondisi politik, keamanan dan konflik internal.
Belum berjalannya proses karantina ternak yang memasuki wilayah Kabupaten Aceh Besar, khususnya kedalam kawasan dan belum optimalnya
layanan peternakan memungkinkan terjadinya wabah penyakit menular tertentu dengan sangat cepat. Apabila hal ini tidak ditanggulangi dapat mengarah pada
makin menurunnya populasi sapi potong sehingga akan menghambat upaya pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Otonomi daerah
mengharuskan setiap daerah memprioritaskan arah pembanggunannya untuk menggali seluruh sumber pendapatan daerah yang potensial. Daerah dengan
orientasi SDA yang tidak mendukung sektor peternakan sebagai basis andalan daerah tentunya sedikit banyak akan menjadi ancaman bagi upaya
pengembangan kawasan sapi potong.
Analisis Faktor Internal – Eksternal
Analisis faktor internal pada penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kawasan sapi potong
di Kabupaten Aceh Besar. Faktor lingkungan internal adalah faktor-faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan serta faktor-faktor kelemahan yang harus
diantisipasi dalam pengembangan kawasan sapi potong. Hasil evaluasi faktor internal ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Hasil Evaluasi Faktor Internal IFE
No Faktor Penentu Internal
Bobot Peringkat
Skor A
Kekuatan
1 Agrofisik dan lahan cukup potensial
untuk pengembangan sapi potong 0.127
3 0.381
2 Tingkat produktivitas ternak cukup baik 0.110
3 0.330
3 Tersedianya fasilitas layanan
peternakan yang memadai 0.123
3 0.369
4 Potensi Rumah Tangga Petani Ternak
memungkinkan peningkatan skala usaha
0.119 3
0.357 5
Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat
0.107 2
0.214
Total 0.586
1.651 B Kelemahan
1 Rendahnya partisipasi dan motivasi
petani ternak 0.122
4 0.488
2 Kemampuan manajerial kelembagaan
di tingkat petani ternak masih rendah 0.112
3 0.336
3 Penguasaan dan adopsi teknologi
belum berkembang 0.060
1 0.060
4 Terbatasnya akses terhadap lembaga
permodalan dan kemitraan usaha 0.055
2 0.110
5 Sistim tataniaga belum menjamin
peningkatan insentif usaha sapi potong 0.065
2 0.130
Total 0.414
1.084 Total Skor Internal
1 2.735
Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden, diperoleh beberapa faktor internal yang mempengaruhi pengembangan kawasan
sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Secara keseluruhan total skor tertimbang untuk keseluruhan faktor lingkungan internal mencapai 2.735. Menurut David
2006, total nilai tersebut berada di diatas nilai rata-rata tertimbang rata-rata = 2.5. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara internal komponen kawasan
sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dalam rangka pengembangan ternak sapi potong saat ini memiliki komponen internal yang cukup potensial dalam
memanfaatkan kekuatan yang ada dengan faktor kendala kelemahan yang masih mungkin diatasi
Berdasarkan hasil pembobotan menunjukkan terdapat dua komponen yang menjadi kekuatan utama dalam pengembangan kawasan sapi potong di
Kabupaten Aceh Besar yaitu : a agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong dan b tersedianya fasilitas layanan peternakan yang
memadai. Kondisi agrofisik dan potensi lahan dan tersedianya fasilitas layanan peternakan cukup kuat dalam memanfaatkan faktor kekuatan tersebut peringkat
= 3, sehingga faktor tersebut diperoleh skor tertimbang yang hampir sama. Faktor lingkungan eksternal adalah faktor-faktor peluang yang dapat
dimanfaatkan serta faktor-faktor ancaman yang harus diantisipasi dalam pengembangan kawasan sapi potong. Berdasarkan Tabel 18, dapat dilihat bahwa
secara keseluruhan total skor tertimbang faktor lingkungan eksternal sebesar 2.782. Menurut David 2006, total nilai tersebut berada di atas nilai rata-rata
tertimbang rata-rata = 2.5. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara eksternal, perkembangan kawasan sapi potong sangat dipengaruhi oleh
lingkungan eksternal dengan memanfaatkan peluang yang cukup baik dan ancaman yang harus diantisipasi juga cukup tinggi.
Hasil perhitungan EFE menunjukkan bahwa faktor peluang yang sangat penting pengaruhnya dalam rangka pengembangan kawasan sapi potong di
Kabupaten Aceh Besar adalah terbukanya peluang pasar hasil ternak sapi potong baik lokal maupun ekspor dengan bobot tertinggi sebesar 0.180. Menurut
pendapat responden, faktor terbukanya peluang pasar hasil ternak sapi potong baik lokal maupun ekspor direspon dengan baik oleh para pelaku stakeholders
yang terlibat langsung dengan kegiatan kawasan sapi potong yang ditunjukkan dengan nilai peringkat sebesar 3, sehingga diperoleh skor tertimbang sebesar
0.540. Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar seperti ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Hasil Evaluasi Faktor Eksternal EFE
No Faktor Penentu Eksternal
Bobot Peringkat
Skor A
Peluang
1 Prospek pasar dan harga produksi
ternak relatif meningkat 0.180
3 0.540
2 Dukungan kebijakan program
pemerintah pusat dan daerah 0.151
3 0.453
3 Berkembangnya teknologi dan
informasi yang semakin pesat 0.095
3 0.285
4 Fungsi strategis sebagai wilayah
pengembangan sentra produksi sapi potong
0.070 2
0.140
Total 0.496
1.418 B
Ancaman
1 Adanya wabah penyakit menular
0.117 2
0.234 2
Pemotongan induk betina produktif 0.172
3 0.516
3 Kekuatan hukum peruntukkan dan
pengguasaan lahan belum jelas 0.101
2 0.272
4 Kondisi politik, keamanan dan konflik
internal 0.114
3 0.342
Total 0.504
1.364 Total Skor Eksternal
1 2.782
Faktor peluang pasar hasil ternak sapi potong terutama daging baik lokal maupun ekspor merupakan faktor yang sangat penting dalam pengembangan
ternak sapi potong. Peluang pemenuhan kebutuhan daging sapi di Provinsi Aceh sangat terbuka dan juga peluang ekspor daging sapi ke negara tetangga dan
negara timur tengah sangat terbuka karena permintaan di negara tersebut cenderung meningkat. Selain itu kebijakan ekspor pangan ke negara-negara
tersebut mengharuskan adanya label produk pangan dengan label ASUH aman,
sehat, utuh dan halal dan hal ini sangat memungkinkan dilakukan daerah-daerah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal sebagai salah satu wilayah
dengan mayoritas penduduk muslim sehingga peluang ekspor ke negara-negara tersebut dapat dimanfaatkan.
Alternatif Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Aceh Besar
Alternatif strategi dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dilakukan dengan pendekatan analisis matriks SWOT
Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats. Analisis
matriks SWOT
merupakan kelanjutan dari analisis matriks IFE dan EFE melalui pencocokkan faktor-faktor internal kekuatan dan kelemahan dengan faktor-faktor eksternal
peluang dan ancaman yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Hasil penggabungan faktor internal dan
ekternal melalui matriks SWOT, maka alternatif strategi yang diperoleh adalah; strategi SO Strenghts-Opportunities; strategi ST Strenghts-Threats; strategi
WO Weaknesses-Opportunities; dan strategi WT Weaknesses-Threats.
Matriks SWOT pengembangan ternak sapi potong dapat dilihat pada lampiran 2.
Strategi SO Strenghts
– Opportunities
Perumusan strategi SO Strenghts – Opportunities didasarkan kepada
pengelolaan kekuatan yang dimiliki kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam
pengembangan produktifitas kawasan sapi potong. Perumusan strategi SO Strenghts
– Opportunities menghasilkan strategi yaitu: “Peningkatan produktifitas kawasan sapi potong melalui optimalisasi potensi lahan,
sumberdaya petani ternak dan sumberdaya ternak yang ditunjang dengan peningkatan fasilitas layanan peternakan, mengadopsi teknologi dan akses
pemasaran untuk meningkatkan skala usaha dan pendapatan petani ternak”. Pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar
adalah melalui pola pengembangan kawasan agribisnis sapi potong yang diarahkan pada keterpaduan usaha tani antara ternak sapi potong dengan
tanaman pangan, perkebunan kawasan peternakan terpadu dan kehutanan yang
memiliki kegiatan utama usaha ternak sapi potong, seperti lahan pengembalaan umum, ranch peternakan dan kawasan hutan tanaman industri. Pengembangan
dan peningkatannya dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga mengarah kepada wilayahdaerah yang berkembang, mandiri dan memiliki nilai
ekonomis. Pencapaian
tujuan tersebut
maka penataan,
pembinaan dan
pengembangannya harus dilakukan secara bertahap dan terpadu berdasarkan kesepakatan dan berbagai instansi terkait daerah, sehingga semua kegiatan,
fasilitas, sarana, prasarana dapat terarah dan terkait, menuju kepada: a. komoditas yang diunggulkan; b.wilayah yang diandalkan sebagai sentra
produksi; c. peternak yang mandiri dan partisipatif; d. kelembagaan peternak yang berkembang dan dinamis; e. usaha ternak sapi potong yang
menguntungkan dengan skala usaha yang ekonomis, baik tingkat peternak, kelompok, usaha bersama antar kelompok, koperasi maupun skala usaha pada
tingkat kawasan dan sentra-sentra produksi; f. Kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan yang terpadu; g. pakan yang cukup baik kuantitas dan
kualitas; serta h. sumber pembiayaanperkreditan yang menunjang.
Strategi WO Weaknesses
– Opportunities
Perumusan strategi WO Weaknesses – Opportunities didasarkan kepada
mengatasi kelemahan yang dimiliki Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam pengembangan
ternak sapi potong berwawasan agribisnis di Provinsi Aceh. Perumusan strategi WO Weaknesses
– Opportunities menghasilkan strategi yaitu: “Peningkatan partisipasi dan motivasi petani ternak serta kemampuan manajerial kelompok
tani ternak melalui penguasaan dan adopsi teknologi dengan melakukan koordinasi yang intensif dengan pemerintah untuk mendapatkan akses
permodalan dan jaminan”. Seluruh Stakeholders yang terkait dengan pengambangan kawasan sapi
potong di Kabupaten Aceh Besar diperlukan koordinasi yang baik, karena akan sangat menentukan keberhasilan dari pembangunan tersebut. Stakeholders yang
terlibat dalam pembangunan peternakan sapi potong tersebut harus memiliki
peran yang jelas dalam pembangunan peternakan sapi potong yang terdiri dari : Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kabupaten Aceh Besar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Promosi dan Investasi, Dewan Legislatif DPRA Tingkat I dan II, Perguruan
Tinggi, Lembaga permodalan dan peternakswasta. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan provinsi dan kabupatenkota di
Nanggroe Aceh Darussalam memiliki peran dalam pengembangan usaha ternak sapi potong sebagai insulator sekaligus sebagai regulator, oleh karena itu fungsi
dan kontribusinya adalah: pembangunan kebijakan sektoral dan penyedian dana pengembangan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan lebih memiliki peran pada
subsistem hilir, yaitu pengembangan industri hasil olahan daging sapi dan ikutannya dan sistem perdagangan dalam maupun luar negeri. Badan Promosi
dan Investasi berperan mempromosikan peluang usaha sapi potong dan produk daging sapi dan hasil olahannya dalam rangka menarik investor untuk
menanamkan modalnya di sektor usaha sapi potong. Dewan legislatif berperan sebagai pendukung dan pengawasan dalam kegiatan pengembangan usaha ternak
sapi tersebut. Perguruan tinggi negeri maupun swasta yang berperan sebagai konduktor harus mampu menjadi mitra inovatif bagi lembaga lain. Pemberian
bantuan kredit merupakan peran yang diemban oleh lembaga permodalan serta swastapeternak berperan sebagai pelaku usaha dalam pengembangan ternak sapi
potong di Kabupaten Aceh Besar. Koordinasi dari seluruh stakeholders yang terkait sangat dibutuhkan
dalam rangka memanfaatkan peluang yang ada seperti: daya dukung sumber daya lahan dan pakan, perkembangan teknologi dan sistem informasi serta
jumlah rumah tangga petani ternak yang masih cukup tersedia sebagai pelaku usaha. Dengan adanya koordinasi yang baik antar seluruh stakeholders dalam
memanfaatkan potensi yang ada maka akan memberikan dampak positif bagi pengembangan kawasan sapi potong.
Strategi ST Strenghts
– Threats
Perumusan strategi ST Strenghts – Threats didasarkan kepada
pengelolaan kekuatan yang dimiliki kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh
Besar untuk mengantisipasi ancaman yang ada dalam pengembangan ternak sapi potong . Perumusan strategi ST Strenghts
– Threats menghasilkan strategi yaitu: “Peningkatan Sumber Daya Manusia Peternakan peternak, penyuluh,
inseminator, paramedis melalui pola pembinaan kelompok peternak, pelatihan- pelatihan, magang dan studi banding dalam upaya meningkatkan motivasi,
kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari SDM peternakan”.
Peningkatan Sumber Daya Manusia SDM peternakan khususnya peternak, dilakukan dengan mengintesifkan penyuluhan, pembinaan peternak,
pelatihan dan peningkatan pengetahuan manajerial dan kelembagaan. Peningkatan SDM peternak, diharapkan agar peternak dapat mengelola
kelompok atau koperasi dengan baik dan lebih berperan aktif dalam menerima penyuluhan yang berhubungan dengan pengembangan permodalan, manajemen
usaha ternak sapi potong, distribusi dan pemasaran hasil, serta mempunyai daya saing dalam memasuki era pasar bebas. Peningkatan penguasaan manajerial dan
teknologi dapat dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan teknologi tepat guna dan melaksanakan magang ke kelompok-kelompok ternak yang sudah maju
atau perusahan peternakan.
Strategi WT Weaknesses
– Threats
Perumusan strategi WT Weaknesses – Threats didasarkan kepada
mengatasi kelemahan yang dimiliki kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar untuk mengantisipasi ancaman yang ada dalam rangka
pengembangan ke tahapan kawasan mandiri dengan konsep agribisnis. Perumusan strategi WT Weaknesses
– Threats menghasilkan : “Penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi potong yang berkesinambungan dan dikontrol
dengan baik oleh dinas peternakan Aceh Besar ”.
Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dan usaha menengah atau besar yang disertai dengan pembinaan oleh usaha menengah atau
usaha besar tersebut. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip saling mebutuhkan, memperkuat dan menguntungkan. Secara ekonomi kemitraan
merupakan esensi kemitraan yang terletak pada kontribusi bersama, baik berupa
tenaga labour maupun benda proverty atau keduanya untuk tujuan kegiatan ekonomi. Pengendalian kegiatan dilakukan bersama dimana pembagian
keuntungan dan kerugian didistribusikan diantara pihak yang bermitra. Kemitraan usaha ditujukan untuk menumbuhkan, meningkatkan kemampuan dan
peranan usaha kecil dalam perekonomian nasional khususnya dalam mewujudkan usaha kecil sebagai usaha yang tangguh dan mandiri yang mampu
menjadi tulang punggung dan mampu memperkokoh struktur perekonomian daerah yang berbasis pada komoditi peternakan.
Model Kemitraan Usaha Ternak sapi potong di kabupaten Aceh Besar yang dapat dilaksanakan melalui kerjasama diantara pengusaha pengolahaan atau
eksportir inti, petani ternak plasma dengan melibatkan UPTD Ruminansia Besar pemerintah dan bank pemerintah atau swasta perbankan sebagai
pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Hubungan kerjasama antara kelompok petaniusaha kecil dengan
pengusaha pengolahan atau eksportir dalam Pola Kemitraan, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti
Rakyat PIR. Petaniusaha kecil merupakan plasma dan Perusahaan PengelolaanEksportir sebagai Inti.
Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikutsertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani
plasma. Hal ini bertujuan antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Hubungan kemitraan perusahaan inti
industri pengolahan atau eksportir dan petani plasmausaha kecil memiliki kedudukan hukum yang setara dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti,
dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi. Rumusan model kemitraan pada komoditi ternak sapi potong
diindikasikan bahwa kerangka dasar pola kemitraannya terdiri dari inti dan plasma, dimana perusahaan inti bertindak sebagai penyedia sarana produksi sapi
bakalan, teknologi dan pakan untuk selanjutnya menampung hasil penggemukan yang dilakukan oleh peternak plasma serta melakukan pengolahan dan
pemasaran. Plasma berkewajiban memelihara sapi yang digemukkan. Rumusan model kemitraan pengembangan kawasan agribisnis sapi potong dapat dilihat
pada Gambar 18. Kemitraan
Tripartit Sapronak
Budidaya Pengolahan
Pemasaran
Gambar 18 Rumusan Model Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong
Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong
Penetapan prioritas strategi pengembangan kawasan sapi potomg di Kabupaten Aceh Besar dilakukan dengan analisis Quantitative Strategic
Planning Matrix QSPM. Analisis QSPM merupakan kelanjutan dari analisis SWOT sebagai tahapan pengambilan keputusan decision stage. Pada analisis
QSPM, alternatif strategi yang diperoleh dari analisis SWOT diprioritaskan berdasarkan tingkat ketertarikan dari lingkungan internal dan eksternal pada
pengembangan kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar, sehingga strategi alternatif tersebut dapat dilakukan berdasarkan tingkatan prioritas
kepentingannya. Urutan prioritas strategi ditunjukkan oleh total kemenarikan terbobot atau
Total Attractiveness Score TAS, total TAS tertinggi menempatkan alternatif strategi pada prioritas utama dan seterusnya sampai pada total TAS terendah
yang merupakan alternatif strategi dengan urutan prioritas terendah. Hasil
Perusahaan Inti pengusaha
eksportir
Pembiakan cow calf
operation Penggemukan
Permodalan
Bibit Teknologi
Layanan Teknis
ng
Bakalan Pakan
Lahan Tenaga Kerja
Peternak Plasma kelompok
ternak UPTD
Pembibitan Daging
konsumsi Dendeng
Sosis dll
Dalam Negeri
Luar Negeri
perhitungan QSPM terdapat empat alternatif strategi sehubungan dengan
pengembangan kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar, diperoleh hasil sebagaimana diperlihatkan pada lampiran 8.
Berdasarkan hasil perhitungan QSPM didapatkan bahwa strategi I SO memperoleh nilai TAS tertinggi sebesar 7.1711 yaitu strategi penerapan kawasan
agribisnis sapi potong terpadu cluster yang ditunjang oleh tersedianya subsistem-subsistem dalam agribisnis dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa
penunjang. Hal ini menunjukkan bahwa strategi tersebut menjadi prioritas utama dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar.
Prioritas strategi kedua dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah strategi peningkatan Sumber Daya Manusia
Peternakan peternak, penyuluh, inseminator, paramedis melalui pola pembinaan kelompok peternak, pelatihan-pelatihan, magang dan studi banding
dalam upaya meningkatkan motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari SDM peternakan, dengan nilai TAS sebesar 6.1925.
Prioritas strategi ketiga dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi
potong yang berkesinambungan yang dikontrol dengan baik oleh Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar dengan nilai TAS sebesar 6.1926. Strategi
peningkatan koordinasi dengan semua pihak yang terkait stakeholders dalam memanfaatkan sumberdaya alam, perkembangan teknologi dan informasi serta
ketersedian rumah tangga petani ternak untuk meningkatkan daya saing usaha sapi potong menjadi strategi keempat untuk pengembangan kawasan agribisnis
sapi potong di Kabupaten Aceh Besar, dengan nilai TAS sebesar 6.0975.
Faktor Penentu Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong
Melalui analisis yang telah dilakukan maka diperoleh beberapa sub elemen kunci yang merupakan faktor penggerak keberhasilan program
pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar. Sub elemen tersebut sebagai penyusun pola pengembangan kawasan sapi potong berkaitan
dengan ; sumberdaya lahan dan bibit ternak, sumberdaya manusia, teknologi dan informasi peternakan, fasilitas budidaya sapi potong, fasilitas karantina hewan,
fasilitas layanan peternakan dan kesehatan hewan, pasar dan pemasaran, kelembagaan petani ternak, dan lembaga keuangan permodalan.
Ketersedian sumberdaya manusia peternakan merupakan salah satu kebutuhan dan sub elemen kunci yang memiliki daya gerak besar bagi suksesnya
program pengembangan kawasan agribisnis sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Menurut Deptan 2002, peningkatan kualitas sumberdaya manusia
SDM merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan peternakan, sumberdaya manusia tidak hanya sekedar faktor produksi
melainkan yang lebih penting lagi adalah pelaku langsung kawasan peternakan. Sasaran penting pengembangan sumberdaya manusia di kawasan sapi
potong VBC Kabupaten Aceh Besar mencakup tiga hal pokok ; 1 meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dan ketrampilan sehingga
sejalan dengan pengembangan teknologi peternakan pada sistem usaha agribisnis, 2 mengembangkan kewirausahaan bagi peternak sehingga dapat
menjadi pelaku ekonomi bidang peternakan yang handal, 3 meningkatkan kemampuan kerja stakeholders langsung pengembangan kawasan sapi potong
sehingga dapat terbentuk jaringan akses di kelembagaan yang ada pada setiap sub-sistem agribisnis hulu, on-farm, hilir, dan pendukung.
Untuk mencapai sasaran yang diharapkan dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar maka ada beberapa kebijakan dan
operasional yang dapat dilakukan. Penerimaan tenaga teknis yang bertugas pada UPTD Ruminansia Besar Kabupaten Aceh Besar masih diperlukan, selain itu
diusahakan tenaga tersebut berdomisili berdekatan dengan kawasan sapi potong dan baik sebagai tenaga kontrak atau honorer namun diupayakan sebagai
pegawai negeri dalam lingkup pemerintah daerah. Pembinaan terhadap sumberdaya mansia yang ada pun harus dilakukan
secara kontinu melalui pelatihan dan magang. Pembinaan terhadap peternak dan petugas peternakan diarahkan pada upaya terjadinya transfer teknologi dalam
budidaya sapi potong, teknologi penanganan limbah sumber biogas dan pupuk organik. Bila dilakukan pengelolaan yang baik, hasil pengolahan limbah dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi dan tambahan penghasilan. Selain itu diharapkan pembuatan instalasi biogas dapat menjadi motivator bagi peternak
pemula dan penduduk sekitarnya untuk beternak sapi potong Hal tersebut sangat dimungkinkan karena dengan beternak sapi potong, ketergantungan akan bahan
bakar konvesional minyak dan gas sebagai sumber energi dan penerangan dapat digantikan oleh KTS kotoran ternak segar sapi potong.
Pembinaan terhadap kelompok ternak sebagai peternak binaan dan partner dari UPTD Ruminansia Kabupaten Aceh Besar perlu diintesifkan karena
fungsi kelompok ternak akan mendukung kegiatan UPTD Ruminansia Besar. Kelompok peternak memerlukan pembinaan intensif dari petugas peternakan
karena sebagian besar responden menyatakan kurang memperoleh pembinaan dari petugas peternakan. Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Besar diharapkan
dapat lebih mengintesifkan program terpadu lintas sektoral dan instasi yang terkait dengan kegiatan pengembangan kawasan sapi potong sehingga dapat
dicapai efektifitas pemanfaatan sumberaya lahan dan sumberdaya manusia. Kualitas bibit sapi potong yang rendah di kawasan sapi potong VBC
Kabupaten Aceh Besar dipengaruhi oleh kurang tersedianya bibit berkualitas sehingga bibit dasar dalam populasi yang dikembangkan memiliki mutu genetik
rendah. Kondisi tersebut apabila tidak ada suatu penangganan dan manajemen budidaya yang baik akan mengakibatkan produktifitas ternak akan menurun.
Oleh karena it perlu diterapkan “good breeding practice” yang dapat dilakukan berupa ; 1 sistem perkawinan silang melalui proses seleksi bibit, 2
memasukkan pejantan sapi Bali unggul yang memiliki performans baik, dan 3 pencatatan recording ternak secara teratur.
Fasilitas layanan peternakan dan prasarana transportasi yang belum memadai perlu ditingkatkan terutama untuk layanan kesehatan ternak.
Pembangunan poskeswan beserta sarana dan prasarana serta penambahan tenaga dokter hewan dan paramedis kesehatan hewan perlu direalisasikan, guna
menunjang perbaikan kesehatan dan penangganan penyakit serta perbaikan penangganan reproduksi ternak. Prasarana jalan menuju lokasi perlu diperbaiki
dan ditingkatkan guna memudahkan aksesibilitas petani ternak maupun petugas teknis. Sarana dan prasarana seperti embung air dam perlu dibangun apabila
belum tersedia atau ditingkatkan apabila sudah tersedia untuk menjamin
ketersedian air sepanjang tahun, selain itu pagar di area kawasan sapi potong juga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menjamin keamanan.
Berkaitan dengan ketersedian hijauan pakan ternak maka peningkatan kualitas padang penggembalaan dapat dilakukan beberapa mekanisme dan
tahapan dengan menerapkan manajemen pengelolaan padang penggembalaan. Introduksi hijauan pakan ternak unggul dan pola budidayanya disesuaikan
dengan kondisi agrofisik lahan dan ekosistem setempat. Kombinasi rumput dan legum yang tahan injakan dan penggembalaan sangat disarankan untuk
meningkatkan nilai gizi dan produksi hijauan padang rumput di kawasan dengan pola penggembalaan. Penyediaan instalasi tepat guna untuk pengolahan limbah
pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan nilai gizi pakan ternak baik berupa sillase maupun konsentrat, serta instalasi pembuatan biogas dan kompos
untuk memanfaatkan limbah sapi potong. Sistem pemasaran ternak yang berjalan selama ini di lokasi penelitian
merupakan sistem pemasaran tradisional. Untuk itu pemerintah dalam hal ini UPTD Ruminansia Besar difungsikan sebagai penyedia fasilitas dan pelaksana
pasar sekaligus pengontrol pasar, seluruh hasil panen berupa ternak sapi hidup dijal peternak dengan standar harga pasar tertinggi kepada UPTD. Hal ini
dimaksudkan agar peternak terhindari dari persaingan pasar yang cenderung merugikan peternak sebagai produsen, selain itu akan memotivasi kelompok
ternak untuk semakin mengembangkan usaha ternaknya.
Kebijakan dan Program Pengembangan Kawasan Sapi Potong
Konsep pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar hendaknya berbasis pendekatan agribisnis terpadu dengan memanfaatkan
sumberdaya lokal. Pengembangannya dimulai dengan perencanaan di tingkat kelembagaan petani ternak dan UPTD Ruminansia Besar yang selanjutnya
diarahkan kemitraan dengan pengusaha pengusaha daging atau eksportir dan perbankan. Kelembagaan petani ternak sebagai pelaku usaha yang bergerak di
sub sistem agribisnis hulu dan budidaya, sedangkan UPTD Ruminansia Besar meliputi kegiatan pada sub sistem hulu dan pendukung. Integrasi hulu-hilir dan
horizontal-vertikal perlu mendapatkan tekanan perhatian dalam pendekatan agrisbisnis terpadu agar pengembangan kawasan sapi potong berjalan efisien dan
bermanfaat secara ekonomis bagi semua stakeholder. Integrasi yang dimaksud meliputi : a keterpaduan sistem produksi , b pengembangan skala usaha, c
penyediaan dan pengembangan modal, d adopsi teknologi tepat guna khususnya dalam hal pakan, pengendalian penyakit, dan pengembangan model
kawasan, e pemberdayaan kelembagaan petani ternak, f seleksi target peternak dan lokasi yang tepat, g peningkatan dan distribusi fasilitas pelayanan
peternakan, dan h pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang efektif dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil
rumusan yang
telah ditetapkan
dengan mempertimbangkan potensi dan faktor kendala pengembangan kawasan sapi
potong, maka ditetapkan kebijakan sebagai berikut : 1. Penguatan Sistem Pengembangan Kawasan Kawasan perlu dukungan
beberapa kebijakan berikut ini : a.
Perlindungan penggunaan lahan pengembangan kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar dalam rangka mewujudkan jaminan dan
keberlanjutan usaha sapi potong. Kawasan yang telah ada beserta area pengembangannya perlu mendapat kepastian status lahan sehingga tidak
menimbulkan kekawatiran akan adanya peralihan lahan untuk kegiatan lain. Kejelasan status lahan diperlukan dalam penyiapan dan
pengembangan kawasan dengan sistem agribisnis terpadu yang mendukung sistem produksi secara berkesinambungan.
b. Penetapan prioritas produksi dalam pengembangan kawasan sapi potong
melalui penerapan konsep agribisnis secara terpadu pada semua kawasan. Kawasan sapi potong VBC di Kabupaten memiliki prioritas
pengembangan kawasan yang hampir seragam melihat pada daya dukung wilayah dan potensinya, tetapi khusus lokasi desa Sukamulia
akan diarahkan kepada pengembangan pilot proyek demplot informasi kawasan sapi potong. Kondisi ini memperhatikan potensi yang dimiliki
kelompok petani ternak di desa Sukamulia dengan motivasi dan
partisipasi yang cukup kuat untuk melaksanakan pengembangan kawasan sapi potong walaupun keterbatasan sarana dan prasarana.
c. Pengendalian pemasukan dan pengeluaran ternak untuk mencegah
pengurasan stok khususnya bibit berkualitas. Sistem insentif bagi peternak yang mendukung upaya tersebut dapat diterapkan demi
terjaganya sumberdaya bibit berkualitas. d.
Pemanfaatan dana pembangunan pemerintah daerah untuk mendukung investasi pembibitan baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun
swasta. Dalam anggaran pembangunan daerah, pemerintah perlu mengalokasikan dana secara khusus untuk mendukung pengembangan
usaha pembibitan di samping mobilisasi dana yang berasal dari masyarakat luas dan investor.
e. Mewujudkan iklim yang kondusif untuk mendorong partisipasi semua
stakeholder melalui peraturan dan ketentuan yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam pengembangan usaha sapi potong.
2. Kebijakan yang ditempuh dalam Peningkatan Kualitas Pakan meliputi : a.
Fasilitasi kerjasama lintas sektor dalam pemanfaatan sumber hijauan alami sebagai makanan ternak serta perlindungan terhadap kawasan
sumber-sumber hijauan pakan, baik rumput maupun limbah pertanian. b.
Kemudahan dalam investasi pengembangan industri pengolahan pakan berbasis sumberdaya lokal khususnya di sentra produksi. Selain peran
investasi pemerintah, pihak swasta didorong dalam pembangunan industri pakan melalui fasilitasi pemerintah.
3. Dukungan kebijakan yang diperlukan dalam peningkatan iklim investasi yang kondusif menyangkut regulasi yang dapat meningkatkan minat
investor dalam penanaman modal dalam berbagai lapangan usaha di bidang peternakan. Perijinan yang dewasa ini menjadi wewenang pemerintah
daerah perlu dikelola secara lebih baik dengan sistem kelembagaan yang saling menguntungkan antara pemerintah, swasta dan peternak.
4. Dalam mendukung strategi standardisasi mutu terpadu, kebijakan yang diperlukan meliputi :
a. Up-grading bibit sehingga bibit yang dikembangkan semakin berkualitas.
Teknologi budidaya diarahkan menggunakan standar Good Farming System GFS sehinga produk yang dihasilkan dapat bersaing secara
internasional. Tuntutan konsumen akan semakin tinggi terhadap kualitas produk yang sangat ditentukan oleh manajemen budidaya.
b. Standarisasi penanganan pasca panen. Nilai tambah pada kegiatan pasca
panen umumnya lebih tinggi dari kegiatan budidaya. Oleh karena itu penanganan pasca panen memerlukan Standard Operasional Proccedure
SOP secara lebih ketat. Hal ini sangat penting, selain untuk meningkatkan nilai tambah juga dimaksudkan menurunkan tingkat resiko
kerusakan dan kehilangan. c.
Perbaikan sistem transportasi. Transportasi memiliki posisi strategis dalam kegiatan usaha sehingga pemerintah daerah perlu memberi
perhatian terhadap tersedianya sarana transportasi untuk menjamin distribusi produk peternakan karena jarak lokasi antara produsen dengan
konsumen produk ternak umumnya relatif jauh. 5. Peningkatan skala ekonomis dilakukan melalui kebijakan yang meliputi:
a. Penyediaan paket bantuan ternak pemerintah kepada petani yang
memiliki potensi pengembalian yang cukup tinggi. Pendampingan secara intensif dalam implementasi paket tersebut perlu dilakukan
dengan melibatkan tenaga pendamping yang kompeten. Lokasi dengan kepemilikan sumber daya pakan yang tinggi perlu mendapat prioritas.
Penyebaran bibit atau bakalan lebih diorientasikan pada pengembangan usaha komersial skala cabang usaha dan usaha pokok.
b. Memberikan kesempatan kepada pihak swasta dalam melakukan
kemitraan dengan masyarakat peternak melalui model kemitraan dalam pengembangan usaha secara lebih efisien dan ekonomis. Kerjasama
kemitraan yang perlu dikembangkan menyangkut kegiatan penyediaan sapronak dan pemasaran;
6. Kebijakan yang perlu ditempuh dalam pengembangan riset dan sistem informasi antara lain meliputi:
a. Memberikan kesempatan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam
kegiatan riset dalam melakukan kajian potensi dan pengembangan sumberdaya kawasan sapi potong di Aceh Besar. Kerjasama
pengembangan riset dengan instansi tertentu ini sangat strategis dalam upaya pembelajaran bagi masyarakat luas serta mengembangkan
budaya riset di kalangan masyarakat luas. b.
Penyediaan sarana dan pembinaan personel yang dapat mendukung kegiatan koleksi data recording informasi peternakan serta
memberikan pelayanan secara lebih efektif. Dalam hal ini perlu dialokasikan dana secara khusus untuk membangun jaringan
penyediaan dan pelayanan data dalam bentuk sistem informasi terpadu yang lebih murah dan mudah diakses. Kebutuhan data yang sangat
diperlukan antara lain menyangkut data produksi, teknologi, permodalan, harga dan pasar.
7. Kebijakan untuk strategi Optimalisasi Pelayanan Publik meliputi: a.
Penyediaan dana pemerintah untuk pembangunan fasilitas pelayanan teknis budidaya dan pemanfaatan fasilitas bagi peternak. Efisiensi dan
produktifitas yang masih rendah di tingkat peternak sangat memerlukan bantuan pemerintah dalam kemudahan akses fasilitas
layanan yang disediakan. b.
Penyediaan subsidi untuk pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan hewan dan kesmavet. Fasilitas pelayanan kesehatan hewan dan
masyarakat veteriner yang memadai diperlukan dalam upaya mendukung proses produksi menghasilkan produk hasil ternak yang
bersih, sehat, dan halal. c.
Penyediaan subsidi dalam pembangunan fasilitas pelayanan penanganan produksi hasil ternak. Fasilitas pengolahan hasil ternak
diperlukan untuk menghasilkan produk ternak dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
d. Menciptakan pelayanan prima dalam pemanfaatan fasilitas secara
menyeluruh oleh peternak. Manajemen pelayanan fasilitas harus dilakukan secara terpadu untuk meningkatkan efisiensi pelayanan di
berbagai lokasi yang tersebar. e.
Penempatan fasilitas pelayanan di lokasi yang strategis dengan konsep minimalisasi beban pelayanan. Tingkat kebutuhan fasilitas pelayanan
di setiap daerah ditentukan berdasarkan faktor pembobot populasi ternak atau penduduk sesuai dengan jenis fasilitas yang tersedia.
8. Kebijakan penguatan kelembagaan dan SDM meliputi : a.
Kemudahan dan fasilitasi bagi petugas dan peternak dalam peningkatan wawasan, pengetahuan dan keterampilan terkait dengan
sumberdaya peternakan. Dalam jangka panjang pengembangan sumberdaya perlu juga menyangkut teknik perencanaan, pembinaan
masyarakat, manajemen proyek, monitoring dan evaluasi merupakan beberapa aspek pembinaan yang harus ditingkatkan.
b. Intensifikasi komunikasi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi,
balai penelitian, dan LSM untuk meningkatkan kerjasama dalam pengembangan teknologi, konsep, model dan manajemen yang terkait
dengan pembangunan peternakan. Sasaran pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh
Besar dengan konsep agribisnis terpadu yang akan dicapai meliputi : 1
Peningkatan ketahanan produksi sapi potong. Di masa yang akan datang,
produk ternak termasuk ruminansia akan semakin memiliki peran strategis dalam kehidupan masyarakat luas yang cenderung terus mengalami
peningkatan baik sebagai bahan pangan maupun untuk kegiatan jasa. Program peningkatan produksi sapi potong dimaksudkan untuk menjamin
masyarakat dalam memperoleh pangan asal ternak dalam jumlah yang cukup dengan kondisi yang ’Aman, Sehat, Utuh dan Halal’ ASUH. Secara spesifik
aspek yang diperhatikan dalam ketahanan produksi sapi potong di Kabupaten Aceh Besar mencakup: a ketersedian input produksi, b ketersediaan
produksi sapi potong; c ketersedian dan distribusi daging sapi yang merata; d diversifikasi produk, dan; e kesehatan dan kehalalan produk daging.
2
Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk. Persaingan pasar baik
secara nasional maupun internasional masih menjadi kendala pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Efisiensi produksi yang
memerlukan biaya tinggi menjadi salah satu faktor kendala yang dihadapi peternak sapi potong di Aceh Besar dalam berkompetisi dengan peternak di
wilayah lain. Perbaikan dalam sistem pengelolaan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah serta memiliki daya saing yang lebih baik.
3
Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Ternak sapi potong
dalam kehidupan masyarakat Aceh Besar telah memberikan kontribusi dalam sistem ekonomi rumah tangga petani ternak. Namun demikian, kontribusinya
relatif mengalami penurunan beberapa tahun belakangan karena semakin terbatasnya bibit dan bakalan sehingga skala usaha semakin kecil. Posisi
ternak dalam usahatani masih sebagai usaha sambilan karena kontribusinya masih sulit ditingkatkan. Di sisi lain waktu luang peternak cenderung
semakin tinggi dengan menurunnya aktivitas tenaga kerja keluarga petani akibat menyempitnya kepemilikan lahan sawah dan ladang. Kondisi ini
merupakan peluang lebih terbukanya kesempatan usaha pemeliharaan ternak dalam rangka peningkatan kontribusi usaha ternak dalam ekonomi rumah
tangga. Peluang usaha ternak sebagai cabang usaha atau usaha pokok masih terbuka apabila didukung fasilitas dan program pembangunan secara tepat.
4
Pengembangan Unsur Penunjang Agribisnis Peternakan. Dalam upaya
mencapai ketiga program utama di atas, diperlukan program penunjang yang diharapkan dapat mengakselerasi program utama. Program pengembangan
unsur penunjang dalam agribisnis secara garis besar mencakup aspek sumberdaya manusia, fasilitas, dan kelembagaan.
Untuk mewujudkan sasaran pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dengan konsep agribisnis perlu disusun dalam suatu
program yang terbagi menjadi program jangka panjang dan program jangka pendek.
Program Jangka Panjang
Program jangka panjang dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Program Jangka Panjang Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar
No Sasaran
Program
1 Peningkatan
ketahanan produksi sapi potong
a. Pengembangan
model kawasan
agribisnis terpadu b.
Pengembangan teknologi hijauan pakan dan konsentrat
c. Pengembangan
fasilitas layanan
peternakan 2
Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk
a. Pengembangan teknologi diversifikasi
pasca panen dan pengolahan b.
Pengembangan sistem transportasi dan pemasaran
3 Peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan peternak a.
Pengembangan sistem usaha skala ekonomis berbasis sumberdaya lokal
b. Pengembangan
sistem kemitraan
budidaya ternak 4
Pengembangan unsur
penunjang agribisnis
peternakan a.
Pengembangan riset peternakan b.
Pengembangan sistem informasi
1 Program peningkatan ketahanan produksi sapi potong meliputi :
a. Pengembangan model kawasan agribisnis terpadu yang diarahkan untuk
mengoptimalkan seluruh sumberdaya kawasan sapi potong melalui integrasi vertikal dan horizontal antar stakeholder yang terkait dengan
kegiatan pengembangan kawasan sapi potong dan antar kawasan sapi potong yang berada di Kabupaten Aceh Besar. Integrasi yang
dimaksudkan berkaitan dengan keterpaduan pada aspek budidaya,
manajemen padang penggembalaan, kebutuhan fasilitas, sarana dan prasarana serta kelembagaan.
b. Pengembangan teknologi hijauan pakan dan konsentrat dengan bahan
baku lokal dalam rangka peningkatan nilai gizi hijauan dari padang pengembalaan, sisa hasil tanaman pangan dan perkebunan dalam rangka
efisiensi dan produktivitas dalam proses produksi budidaya sapi potong. c.
Pengembangan fasilitas layanan peternakan dengan memperhatikan kebutuhan jenis fasilitas, kecukupan pelayanan fasilitas setiap sentra
produksi serta pengembangan kelembagaan. 2. Program peningkatan nilai tambah dan daya saing produk peternakan
meliputi: a.
Pengembangan diversifikasi teknologi pasca panen melalui perbaikan dalam penanganan hasil ternak dan pengembangan teknologi pengolahan
daging, kulit, dan hasil ikutan lainnya, b.
Pengembangan sistim transportasi ternak dan hasil ternak yang mengarah pada adanya standardisasi alat pengangkutan ternak, manajemen
pengangkutan ternak dan sarana penunjang transportasi ternak yang memadai untuk menjamin terpeliharanya kualitas produk dalam jangka
waktu lebih lama dan jarak yang lebih jauh. 3. Program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak meliputi:
a. Pengembangan model usaha skala ekonomis berbasis sumberdaya lokal
dalam wadah kelompok peternak dengan harapan dapat dicapai efisiensi dalam proses produksi dan volume usaha komersial.
b. Pengembangan sistem kemitraan budidaya ternak, dengan kajian tentang
pihak stakeholders terkait, model kerjasama, jangka waktu kerjasama, bidang kerjasama, serta sistem pembagian hasil yang memberikan
kepuasan dan kenyaman semua pihak terlibat. 4. Program pengembangan unsur penunjang agribisnis peternakan meliputi :
a. Pengembangan riset dengan mengkaji bidang yang dibutuhkan melalui
kerjasama dengan lembaga riset yang berkompeten.
b. Pengembangan sistem informasi untuk penataan database dan promosi
potensi setiap kawasan. Selain sumberdaya manusia yang kompeten, teknologi dan sarana yang mendukung sangat diperlukan.
c. Pengembangan sumberdaya manusia yang handal, baik pada tingkat
petani-peternak maupun tenaga pendamping.
Program Jangka Pendek
Program jangka pendek dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Program Jangka Pendek Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar
No Sasaran
Program
1 Peningkatan
ketahanan produksi sapi potong
a. Pengembangan sumber hijauan makanan
ternak b.
Pengembangan inovasi teknologi pakan aplikatif
c. Pengembangan teknologi budidaya sapi
potong 2
Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk
a. Peningkatan kualitas bibit dan bakalan sapi
potong b.
Pengembangan fasilitas pemotongan ternak ruminansia
c. Pengembangan teknologi pengolahan
produk, sisa produk, dan limbah ternak d.
Pengembangan sistem promosi hasil ternak 3
Peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan peternak
a. Pengembangan pola dan skala usaha
b. Pengembangan sistem pemasaran ternak
4 Pengembangan
unsur penunjang
agribisnis peternakan
a. Pengembangan iklim investasi
b. Penigkatan kelembagaan dan sumberdaya
manusia capacity building 1. Program peningkatan ketahanan pangan produk peternakan meliputi :
a. Pengembangan sumber hijauan makanan ternak yang diharapkan dapat
menunjang terciptanya sistem produksi yang berkelanjutan melalui pemanfaatan sumberdaya hijauan yang tersedia di lokasi setempat.
b. Pengembangan teknologi pakan aplikatif dengan sasaran dapat tercapainya
ketersediaan pakan berkualitas secara kontinu sesuai dengan tingkat
kebutuhan setiap lokasi. Pengembangan inovasi teknologi pakan yang aplikabel dan ekonomis, manajemen pengelolaan pakan dan penyimpanan,
dan sistem kelembagaan menjadi perhatian dalam program ini. c.
Pengembangan teknologi budidaya ternak sapi potong untuk mewujudkan proses produksi secara lebih efisien dan ketersedian stok bibit dan bakalan
secara berkesinambungan. 2. Program peningkatan nilai tambah dan daya saing produk meliputi :
a. Peningkatan kualitas bibit dan bakalan sapi potong,
b. Pengembangan fasilitas pemotongan ternak melalui pembangunan dan
perbaikan sarana pemotongan hewan maupun Rumah Potong Hewan, c.
Pengembangan teknologi pengolahan produk, sisa produk, dan limbah ternak melalui introduksi aneka teknik pengolahan,
d. Pengembangan sistem promosi melalui strategi perluasan segmen dan
wilayah pemasaran produk ternak dan hasil ternak sapi potong. 3. Program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak meliputi :
a. Pengembangan pola usaha secara lebih ekonomis melalui manajemen
pemeliharaan yang lebih efisien, penentuan produk yang menguntungkan, pengaturan waktu produksi dan penjualan,
b. Pengembangan sistem pemasaran ternak yang efisien dan memberikan
nilai jual yang lebih tinggi bagi peternak. 4. Program pengembangan unsur penunjang agribisnis peternakan meliputi :
a. Pengembangan iklim investasi yang kondusif yang dapat menarik
berbagai stakeholder untuk terlibat dalam pengembangan usaha peternakan baik dari masyarakat setempat maupun luar wilayah,
b. Program peningkatan kelembagaan dan SDM capacity building dengan
sasaran utama personil peternak dan petugas dari lembaga terkait.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Secara umum kondisi lokasi penelitian merupakan kawasan baru yang
didominasi oleh wilayah yang datar dan sesuai bagi pengembangan sapi potong, didukung agrofisik lahan 30
– 40 daerah dataran berupa padang penggembalaan, alang-alang dan semak belukar.
2. Jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan untuk
memenuhi daya tampung berdasarkan produksi hijauan yaitu sebesar 285.9, 225.3, 54.3, dan 2 ST masing-masing untuk kawasan yang berlokasi di
desa Saree Aceh , Sukamulia, Data Gaseu, dan Bareuh. 3.
Produktivitas sapi Bali di kawasan sapi potong Kabupaten Aceh Besar baik kawasan Blang Ubo-ubo maupun Cot Seuribe masih termasuk rendah dan
belum memenuhi kriteria sebagai kawasan pembibitan ternak karena belum diterapkannya konsep pembibitan ternak.
4. Beberapa faktor internal memiliki potensi yang cukup baik yaitu agrofisik
dan ketersedian lahan, ketersedian tenaga kerja dan kontribusi usaha sapi poton terhadap pendapatan petani besar dapat ditingkatkan.
Saran
1. Untuk pengembangan sapi potong di kawasan Village Breeding Centre
Aceh Besar pola yang memungkinkan diterapkan melalui integrasi disesuaikan dengan penggusahaan budidaya pertanian di lokasi kawasan
tersebut seperti pola pengembangan sapi potong terintegrasi dengan usaha budidaya tanaman pangan, perkebunan, dan hutan produksi.
2. Berdasarkan kerangka pengembangan kawasan sapi potong maka dapat
dilakukan dengan pola dua strata dimana UPTDTernak Ruminansia Besar dan Balai Pembibitan Ternak Unggul sapi Aceh sebagai inti dan peternak
rakyat sebagai plasma dengan skala ekonomis pengembangan minimal 10 ekor dan berbasis pendekatan agribisnis terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah L. 2009. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Sebagai Sumber Penghasil Hijauan Pakan dalam Upaya Peningkatan Populasi
Sapi. Panduan Seminar Nasional: Percepatan Peningkatan Populasi Ternak Sapi di Indonesia. Bogor: Centras LPPM-IPB.
Andini L, WT Sasongko, A Kurniawati, Suharyono. 2007. Pengaruh Jerami Jagung dan SPM Terhadap Produksi Gas Secara In Vitro.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan
Penerapan IPTEK. Bogor. Hlm 116-120.
Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Aceh Besar. 2010. Aceh Besar dalam Angka. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Kota Jantho.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal. 2004. Tata Cara Perencanaan
Pengembangan Kawasan. Jakarta: Bappenas. Bamualim AM, T Bess, C Talib. 2008. Arah penelitian untuk pengembangan
sapi potong di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional; Palu 24 Nov 2008. Hlm 4-12.
Daryanto A. 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Jakarta: PT. Permata Wacana Lestari.
David FR. 2001. Strategic Management: Concepts and Cases. 8
th
ed. New Jersey: Prentice-Hall. Inc.
Departemen Pertanian
RI. 2001.
Keputusan Menteri
Pertanian No.417KptsOT.21072001 tentang Pedoman Umum Penyebaran dan
Pengembangan Ternak. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Departemen Pertanian RI. 2002a. Penyusunan Standar Kawasan Agribisnis
Peternakan dalam Rangka Pengembangan Sistem Informasi. Jakarta: Fakultas Peternakan IPB dan Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Departamen
Pertanian Republik Indonesia.
Departemen Pertanian RI. 2002b. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Departemen
Pertanian Republik Indonesia. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan NAD. 2010. Laporan Tahunan 2009.
Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar. 2011. Laporan Tahunan 2010. Kota
Jantho: Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. 1995. Petunjuk
Pelaksanaan Analisis Potensi Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Buku II. Bogor : Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Direktorat Jendral Peternakan. 2001. Pengembangan Kawasan Berbasis Peternakan. Jakarta: Departemen Pertanian.
Djagra IB, IB Arka. 1994. Pembangunan peternakan sapi Bali di Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Lokakarya Pengembangan Peternakan Sapi di Kawasan Timur
Indonesia; Mataram. 6-8 Februari 1994. Glueck WF, LR Jauch. 1994. Manajemen Strategi dan Kebijakan Perusahaan.
Jakarta: Erlangga. Gurnadi E. 1998. Livestock Development in Indonesia. Makalah Seminar
Pengembangan Peternakan Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gurnadi E. 2004. Prospek Agroindustri-Peternakan Sub Sektor Penggemukan
Sapi. Workshop Sesi II Prospek Dunia Usaha dan Potensi Pembiayaannya Oleh Perbankan. Jakarta: Bank Indonesia
Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kay RD. 1981. Farm Management; Planing, Control and Implementation. Sao Paulo, Singapure, Sydney Tokyo: Mc Grawhill, Internative Book
Company Martoyo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Bogor: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Maryono, E Romjali. 2007. Petunjuk Teknis Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Musa S, AH Nasoetion. 2007. Landasan Statistika Kontemporer. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Natasasmita A, K Mudikdjo. 1980. Beternak Sapi Daging. Bogor: Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Otsuka J, K Kondo, S Simamora, SS Mansjoer dan H Martojo. 1980. Report:
The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock. The Research Group of Overseas Scientific Survey
Peranginangin. 1990. Perkembangan dan Pengendalian Penyakit Sapi Bali di Wilayah Pelayanan BPPH VI Denpasar. Prosiding Seminar Nasional Sapi
Bali, Denpasar. Denpasar: Fapet Universitas Udayana. Putu IG, P Dewyanto, P Sitepu, TD Soedjana. 1997. Ketersediaan dan
Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasioanl Peternakan dan Veteriner, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor. Hlm 50-63.
Rakhmat J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama Rajab. 2009. Kajian pengembangan pembibitan sapi Bali di Kabupaten Raja
Ampat Provinsi Papua Barat [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Hijauan Makanan ternak. Yogyakarta: BPFE Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para pemimpin: Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Sabrani M, M Panjaitan, A Mulyadi. 1981. Prospek Pengembangan Kambing dan Domba Bagi Petani Kecil dan Perlunya Pendekatan Keilmuan
Terpadu. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Saputra H. 2010. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Provinsi Aceh. [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan Kumpulan Pemikiran. Bogor:
Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation. Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta: PT. Penebar
Swadaya. Siregar SB. 1997. Penggemukan Sapi. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Soekartawi A, Soehardjo, JL Dillon JB Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia.
Soesanto M. 1997. Pengintegrasian Pembangunan Sub-sektor Peternakan dengan Pelestarian Keanekaragaman Hayati. Seminar Nasional Peningkatan
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Subagio I, Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan. NUFIC. Malang: Universitas Brawidjaya.
Sudardjat S. 2000. Potensi dan Prospek Bahan Pakan Lokal dalam Mengembangkan Industri Peternakan di Indonesia. Buletin Peternakan
Edisi 10. Hlm 11-15. Tanari M. 1999. Estimasi Dinamika Populasi dan Produktivitas Sapi Bali di
Propinsi Daerah Tingkat I Bali [Tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Tawaf R. 1993. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. Makalah Seminar. Jakarta: CIDES.
Toelihere MR. 1983. Tinjauan Tentang Penyakit Reproduksi pada Ternak Ruminansia Besar. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Wiyono DB, Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis Sistem Perbibitan Sapi Potong.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Yusdja Y, N Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian RI.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Keterangan: A. Lokasi Penelitian I = Kawasan Blang Ubo-Ubo
B. Lokasi Penelitian II = Kawasan Cot Seuribe
B A
Lampiran 2 Rataan Skor Kondisi Tubuh dan Karakterisrik Sifat Kuantitatif Sapi Bali umur
≤ 1 tahun gigi I0 di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar
Sumber: Hasil Survey dan Analisis 2011 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata p 0,05 Kriteria
Peubah Diamati Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia
Data Gaseu Bareuh
1. Jumlah Sampel n ekor
Jantan Betina
2.Skor Kondisi Tubuh Jantan
Betina 3. Lingkar Dada cm
Jantan Betina
4. Tinggi Pundak cm Jantan
Betina 5. Tinggi Pinggul cm
Jantan Betina
6. Panjang Badan cm Jantan
Betina
7. Lebar Pinggul cm
Jantan Betina
8. Lebar Dada cm Jantan
Betina 9. Lingkar Cannon cm
Jantan Betina
10. Bobot Badan kg Jantan
Betina 4
6 3.25
a
± 0.50 3.50
a
± 0.55 114.15
a
±2.40 109.42
a
±1.38 84.70
a
±0.81 80.62
a
±1.24 86.68
a
±0.47 83.32
a
±1.06 82.10
a
±0.58 81.05
a
±0.59 24.50
a
±0.24 25.13
a
±1.16 25.53
a
±0.21 29.22
a
±0.75 11.40
a
±0.14 11.12
a
±0.21 90.05
a
± 7.32 86.18
a
± 3.71 7
10 3.57
a
± 0.53 3.30
a
± 0.48 113.99
a
±1.64 109.35
a
±0.97 85.00
a
±1.26 79.42
a
±2.09 87.03
a
±0.69 81.95
a
±2.47 82.64
a
±0.90 79.07
a
±3.52 25.53
a
±0.97 26.08
a
±1.87 25.71
a
±0.61 29.07
a
±1.77 11.51
a
±0.38 11.87
a
±1.10 90.97
a
±6.62 83.99
a
±3.41 7
8 3.43
a
± 0.53 3.25
a
± 0.46 113.91
a
±2.13 109.58
a
±1.02 84.61
a
±1.04 79.58
a
±2.21 86.53
a
±0.58 82.14
a
±2.63 81.67
a
±0.82 79.15
a
±3.48 24.39
a
±0.32 26.15
a
±1.85 25.44
a
±0.38 29.26
a
±0.85 11.36
a
±0.37 11.74
a
±0.82 89.08
a
±7.63 84.81
a
±3.58 1
2 4.00
a
4.00
a
112.50
a
109.40
a
±1.56 84.00
a
79.00
a
±1.41 87.00
a
83.35
a
±1.91 81.00
a
80.50
a
±0.71 24.50
a
22.50
a
±0.71 27.00
a
26.75
a
±0.35 11.50
a
11.00
a
±0.71 85.55
a
83.82
a
± 5.40
Lampiran 3 Rataan Skor Kondisi Tubuh dan Karakterisrik Sifat Kuantitatif Sapi Bali umur 1
– 2 tahun gigi I1 di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar
Sumber: Hasil Survey dan Analisis 2011 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata p 0,05 Kriteria
Peubah Diamati Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia
Data Gaseu Bareuh
1. Jumlah Sampel n ekor
Jantan Betina
2.Skor Kondisi Tubuh Jantan
Betina 3. Lingkar Dada cm
Jantan Betina
4. Tinggi Pundak cm Jantan
Betina 5. Tinggi Pinggul cm
Jantan Betina
6. Panjang Badan cm Jantan
Betina
7. Lebar Pinggul cm
Jantan Betina
8. Lebar Dada cm Jantan
Betina 9. Lingkar Canon cm
Jantan Betina
10. Bobot Badan kg Jantan
Betina 2
2 3.50
a
± 0.71 4.00
a
123.55
a
±3.89 119.10
a
±0.85 99.25
a
±2.47 95.50
a
±2.12 98.50
a
±2.12 96.80
a
±2.26 97.20
a
±0.28 94.15
a
±0.92 28.45
a
±0.64 28.40
a
± 0.14 26.15
a
±0.78 26.00
a
± 0.14 14.15
a
±0.92 12.95
a
± 0.07 133.25
a
±1.32 117.59
a
±3.52 4
3 3.50
a
± 0.58 3.67
a
± 0.58 124.00
a
±2.12 119.10
a
±0.79 98.13
a
±1.31 96.00
a
±1.73 96.75
a
± 1.19 96.93
a
±1.62 97.63
a
±0.75 94.10
a
±0.66 27.63
a
±0.48 28.43
a
±0.12 25.70
a
± 0.22 26.00
a
±0.10 14.00
a
±0.41 12.97
a
±0.06 131.23
a
±4.46 117.56
a
±2.25
Lampiran 4 Rataan Skor Kondisi Tubuh dan Karakterisrik Sifat Kuantitatif Sapi Bali umur ≥ 2 tahun gigi I2 di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh
Besar
Sumber: Hasil Survey dan Analisis 2011 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata p 0,05 Kriteria
Peubah Diamati Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia
Data Gaseu Bareuh
1. Jumlah Sampel n ekor
Jantan Betina
2.Skor Kondisi Tubuh Jantan
Betina 3. Lingkar Dada cm
Jantan Betina
4. Tinggi Pundak cm Jantan
Betina 5. Tinggi Pinggul
cm Jantan
Betina 6. Panjang Badan cm
Jantan Betina
7. Lebar Pinggul cm