Motivasi Yang Mendorong Perempuan Bekerja Sebagai Pedagang

32 membuka usaha berdagang pakaian sendiri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan EV 40 Tahun dalam wawancara: “Sekarang kan sudah jamannya modern, jadi perempuan berhak untuk untuk bekerja maunya sih usahanya lancar, siapa tau berkembang dan bisa maju karena pendapatan suami sebagai satpam rasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan serta biaya pendidikan anak” wawancara 03 Desember 2013. Perempuan juga berhak untuk bekerja mandiri serta bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih pendapatan suami yang hanya bekerja sebagai satpam sebuah pabrik, tidak cukup untuk memenuhi kehidupan keluarga. Selain itu yang dikerjakan olehnya adalah bentuk partisipasinya dalam keluarga untuk menambah pendapatan suami serta untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Begitu pula dengan pernyataan LR 28 Tahun kepada peneliti: “Dagang pakaian salah satunya untuk memenuhi kebutuhan saya pribadi, seperti beli alat make up, pakaian, arisan pokoknya kebutuhan wanita jadi lebih enak beli kebutuhan sendiri tanpa minta sama suami ” wawancara 04 Desember 2013. 4. Mengisi Waktu Luang Ada beberapa faktor lain yang mendorong perempuan bekerja. Di antaranya adalah pekerjaan ini cukup mudah untuk dikerjakan dan pendapatan yang didapat bisa membantu perekonomian keluarga, selain itu pekerjaan menjadi pedagang pakaian terhitung santai sehingga mereka masih bisa melakukan pekerjaan yang lain seperti pekerjaan rumah terlebih dahulu. Seperti penuturan informan MR 32 Tahun kepada peneliti: “Setiap hari kebutuhan semakin meningkat dengan harga-harga yang setiap harinya naik, saya berinisiatif membuka usaha toko pakaian 33 kecil-kecilan selain itu juga untuk mengisi waktu luang daripada di rumah tapi tidak menghasilkan uang” wawancara 10 Desember 2013. Sama dengan hal ini, mereka perempuan pedagang pekerja hanya untuk mencari tambahan penghasilan dimana aturan-aturan santai dan tidak mengikat mereka yang membuatnya memilih profesi pedagang pakaian sebagai pekerjaan yang cocok bagi mereka, selanjutnya dijelaskan oleh EN 35 Tahun kepada peneliti: “Saya juga untuk mencari kesibukan, berdagang pakaian sendiri enak bisa atur waktu jadi kerjaan rumah kepegang sendiri biar capek juga, selain itu di pasar tradisional tidak selalu ramai seperti mall pada umumnya dan sampai malam harus jaga tokonya” wawancara 27 November 2013. Pernyataan diatas menjelaskan bahwa selain faktor ekonomi, ia berdagang untuk mengisi waktu luang dan pekerjaan yang dipilih termasuk santai dan mudah dikerjakan selain itu pekerjaan rumah yang dikerjakan sendiri pun bisa dikerjakan setelah berjualan ataupun sebelum berangkat ke pasar. 5. Meningkatkan Status Sosial Selain itu faktor yang mendorong perempuan untuk bekerja adalah untuk meningkatkan status sosial. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial selalu mencerminkan konsep-konsep tindakan sosial, pola interaksi, sturktur sosial dan nilai-nilai atau norma-norma yang kesemuanya terintegrasi kedalam satu sistem kekeluarga mengatur pelaksanaan perkawinan reproduksi. Sistem ini sangat bervariasi dari masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Batas-batas dari hubungan kekerabatan ditentukan oleh 34 prinsip-prinsip keturunan. Umumnya dikenal tiga prinsip keturunan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu patrilineal, matrilineal dan bilineal Sanderson, 2004:45. Pada masyarakat, sistem kekerabatan yang kebanyakan dianut adalah sistem kekerabatan patrilineal, di mana pada sistem ini laki-laki menempati posisi yang lebih tinggi dan secara hukum adat sebagai pewaris harta kekayaan keluarga, sedangkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dan tidak berstatus sebagai pewaris harta keluarga. Perempuan hanya mempunyai hak sebagai pemakai hak harta orang tua atau suaminya. Meskipun hampir sebagian besar informan perempuan pedagang pakaian mengikuti sistem matrilineal, yakni garis kekerabatan dimana perempuan statusnya lebih tinggi daripada laki-laki. Nyatanya kebanyakan mereka tidak terlalu berpengaruh dengan garis kekerabatan matrilineal seperti pernyataan EN 35 Tahun: “Saya asalnya padang suami juga dari padang, tapi di keluarga saya gak berlaku sistem matrilineal kayagitu tetep aja suami di atas kedudukannya istri dibawah, keluarga juga gitu karena sudah lama tinggal di Depok jadi tidak terlalu mengikuti adat yang ada malah kebawa-bawa kebiasaan orang sini. Saya bekerja karena memang ingin bukan karena paksaan dari siapapun lagipula jika saya bekerja saya jadi punya penghasilan seperti suami saya dan saya jadi terlihat sama dengan perempuan yang bekerja menjadi pegawai ” wawancara 27 November 2013. Dari pernyataan informan dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini, adat dan garis keturunan tidak begitu dianggap penting, karena konstruk sosial yang ada di masyarakat bahwa laki-laki tetap memegang kekuasaan dan perempuan berada dibawah. Untuk itulah perempuan terdorong untuk 35 berusaha mencari penghasilan sendiri sehingga mereka terjun ke dunia publik mencari nafkah. Terjunnya perempuan ke ranah publik akan memungkinkan perempuan memperoleh sumber daya pribadi, berupa penghasilan yang nantinya dapat merubah posisinya dalam keluarga. Sebagai seorang perempuan yang pada mulanya dipandang hanya bisa meminta belas kasihan dari suami menjadi bergeser, dan ini juga secara sosial akan merubah pandangan individu di sekitarnya. Perempuan akan dipandang lebih berarti, jika tidak bergantung sepenuhnya secara ekonomi pada suami. Keterlibatan perempuan ke dunia nafkah, tidak berarti mereka dapat melepaskan segala kewajiban pada sektor domestik dan kegiatan domestik pada dasarnya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan perempuan bekerja Sanderson, 2000:75. Kondisi ini menyebabkan perempuan dalam memilih pekerjaan akan memadukan antara kerja nafkah dengan kerja rumah tangga. Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam struktur subordinat dalam berbagai kegiatan, telah menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik. Wilayah perempuan yang berkisar sekitar tugas-tugas rumah tangga seringkali tidak dihargai atau dianggap tidak bernilai ekonomi. Tugas rumah tangga bagi perempuan merupakan suatu titah, perempuan adalah ratu rumah tangga Budiman dalam Abdullah, 1997:151. Keadaan ini menyebabkan status perempuan semakin terpinggirkan. 36 Paradigma ini memotivasi perempuan untuk bekerja, dengan bekerja mereka akan memperoleh penghasilan sendiri dengaan demikian mereka akan mampu merubah status sosialnya menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak bekerja atau mencari nafkah, karena itulah mereka merasa terdorong untuk menekuni pekerjaan yang menghasilkan uang. Mereka tidak mau hidupnya hanya berkutat disekitar dapur, seperti penuturan LR 28 Tahun: “Saya bekerja agar tidak dianggap sebelah mata oleh suami, walaupun kebutuhan keluarga sudah ditanggung oleh suami saya” wawancara 04 Desember 2013. Penuturan yang sama diucapkan oleh EV 40 Tahun: “Sekarang kan zamannya sudah modern, jadi menurut saya perempuan berhak untuk bekerja, soalnya kebanyakan di daerah rumah saya kebanyakan para istri hanya jadi ibu rumah tangga dan hanya mengandalkan pendapatan suami, karena kebanyakan ibu-ibu yang seumur saya hanya tamatan SD, mereka bingung mau kerja apa saya tidak ingin dicap seperti itu meskipun saya hanya lulusan SMP” wawancara 03 Desember 2013. Apa yang diungkapkan oleh Ibu LR dan EV di atas, merupakan salah satu model perjuangan perempuan untuk keluar dari sektor domestik. Perempuan merasa tidak tenang jika hanya tinggal di lingkungan tempat tinggalnya, mereka lebih senang keluar rumah dan bertemu dengan teman- teman seprofesi di pasar Abdullah, 2001:143. Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah sebagai pedagang pakaian. Bagi mereka bekerja sebagai pedagang pakaian dapat dilakukan setelah menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, berdasarkan hasil wawancara 37 seluruh responden menyatakan faktor inilah yang menjadi salah satu alasan mereka memilih pekerjaan sebagai pedagang pakaian. 6. Faktor lainnya kenyamanan, alasan kedaerahan, pasar yang tergolong murah untuk sewa kios, informasi usaha perdagangan. Penjelasan pada faktor ini, wawancara dilakukan oleh empat orang informan yang memiliki jawaban berbeda-beda, tentang alasan mereka bekerja menjadi pedagang pakaian. Berikut adalah data wawancara dari para informan, yang pertama adalah informan EV 40 Tahun: “Mulai berdagang sejak tahun 2000, sudah 13 tahun selain itu saya sudah nyaman berdagang, karena merasa lebih pandai berjualan pakaian” wawancara dilakukan pada tanggal 03 Desember 2013. Menurut informan EV alasan dia bekerja adalah karena informan merasa sudah nyaman dengan bekerja sebagai pedagang pakaian sehingga informan tidak berani untuk berspekulasi untuk mencari pekerjaan lainnya. Hal yang berbeda diungkapkan oleh AH 25 Tahun dan EY 43 Tahun alasan mereka selain ekonomi adalah karena faktor dari daerah mana mereka berasal mempengaruhi mereka berdagang pakaian berikut penuturan informan kepada peneliti: “Karena biasanya rata-rata orang padang berjualan pakaian, selain itu jualan baju selalu banyak model baru tidak seperti lainnya, apalagi sayuran yang memang ada waktu busuknya kalau pakaian kan tidak” wawancara 27 November 2013. Penuturan yang sama disampaikan oleh informan EY 43 Tahun kepada peneliti: “Rata-rata orang padang ya jualan pakaian coba kau tengok dan tanya orang yang dagang pakaian, hampir semua orang Sumatera Barat. Kalau sayuran itu sebagian banyak orang Jawa, jadi sepertinya 38 masing-masing daerah mempunyai keahlian masing- masing”wawancara 03 Desember 2013. Banyaknya perempuan yang bekerja karena tuntutan dan dorongan ekonomi serta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk tetap melanjutkan hidup, dirasakan oleh beberapa perempuan yang bekerja dengan pendapatan yang pas-pasan menuntut mereka memilih tempat berdagang yang sesuai dengan pendapatan mereka, informan NH 38 Tahun menjelaskan kepada peneliti: “Saya memilih berdagang disini Pasar Kemiri Muka soalnya disini sewanya masih kiosnya masih murah, saya belum mampu membeli lapak karena penghasilan perbulan saya masih belum cukup” wawancara dilakukan pada tanggal 03 Desember 2013. Tidak dipungkiri bahwa apa yang menjadi standar hidup seseorang adalah, bagaimana kebutuhan itu terpenuhi dan hasil yang didapatkan dari pekerjaan mereka dapat ditabung atau digunakan untuk hari esok. Selanjutnya RD 40 Tahun menjelaskan kepada peneliti alasan dia bekerja sebagai pedagang pakaian di Pasar Kemiri Muka, berikut penuturannya: “Awalnya ditawari oleh saudara dari suami dipinjami modal untuk berdagang, pelan-pelan diajari caranya berdagang karena kebanyakan saudara suami sebagian berjualan pakaian dan berhasil” wawancara 11 Desember 2013. Informasi akan usaha perdagangan merupakan faktor pendorong RD untuk terjun dalam usaha yang digelutinya, selain dorongan akan pemenuhan kebutuhan yang lebih kompleks. Pengalaman akan keberhasilan lingkungan keluarga merupakan pelajaran baginya yang mendorongnya sehingga dia memilih pekerjaan tersebut sebagai profesinya. Jelasnya bahwa 39 informan tertarik menggeluti usaha perdagangan adalah karena tertarik dengan keberhasilan saudaranya dengan bekerja sebagai pedagang pakaian, sehingga ia berusaha untuk bekerja dan berharap berhasil seperti saudaranya. Tabel.II.A.4. Tabel Alasan Perempuan Bekerja Sebagai Pedagang Pakaian No Faktor-Faktor Nama Umur Membantu Pendapatan Suami Menjadi tulang punggung keluarga Kemandirian Status Sosial Lainnya 1. EV 40 - 2. AH 25 - - - 3. EY 43 - - - 4. NH 38 - - - - 5. MR 32 - - - 6. NI 45 - - 7. EN 35 - - 8. LR 28 - - - 9. ED 35 - - 10. RD 40 - - - Keterangan faktor Sumber: Hasil wawancara 2013. Dari penjelasan tabel di atas, maka hal yang dapat ditarik adalah yang mendasari perempuan bekerja sebagian besar adalah faktor ekonomi. Hal ini dikarenakan keadaan yang memaksa mereka untuk bekerja. Temuan di atas mendukung teori feminis liberal yang menyatakan tentang pilihan rasionalitas, di mana mereka bekerja atas dasar pilihan mereka sendiri dan didorong pemikiran secara rasional seperti mereka bekerja Ida dan Hermawati, 2013:53. Mereka tidak ingin dipandang sebelah mata oleh suami mereka. Mereka berpikir bagaimana caranya untuk membantu perekonomian keluarga dan menggantikan posisi suami untuk menjadi 40 tulang punggung ekonomi keluarga. Motivasi yang mendorong mereka bekerja membuktikan bahwa, seorang perempuan yang digambarkan sebagai sosok yang lemah, emosional, sensitif, dan kurang akal dianggap pas untuk berada di ranah domestik itu ternyata tidak benar. feminisme liberal menyatakan bahwa perempuan harus bisa keluar dari ruang domestik dengan melakukan perubahan, indikator perubahan pada perempuan dapat diukur bila perempuan memiliki otonomi diri sendiri. Sehingga, dia mampu menentukan dirinya sendiri, bukan menjadi alat dan media untuk kesenangan orang lain, karena perempuan harus menjadi agen rasional yang mempunyai kemampuan dan kehendak sendiri Ida dan Hermawati, 2013:54. Oleh karena itu mereka berusaha untuk keluar dari ranah domestik, karena adanya kesadaran gender yang timbul dari dalam diri mereka.

B. Beban Ganda Perempuan Dalam Ranah Domestik, Publik Dan Sosial.

Perempuan mengalami beban ganda yang lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut dikarenakan adanya budaya patriarki dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi, sehingga beban pekerjaan rumah tangga senantiasa disematkan kepada kaum perempuan. Menurut Moser Moser, 1993:27 untuk mengetahui beban ganda perempuan, maka harus melihat triple roles yang meliputi peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Dari kacamata triple roles tersebut dapat membantu dalam menganalisa mengenai pengalaman perempuan terkait double burden. Berikut hasil temuan: 41 1. Tanggung Jawab Mengantar Anak Dan Menjemput Anak Anak merupakan karunia Tuhan di mana para orang tua wajib mendidik dan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Namun dilain pihak mengasuh anak merupakan salah satu kegiatan pada sektor domestik perempuan selain mengatur rumah tangga. Sebagai dambaan orang tua, anak adalah modal masa depan yang akan memelihara dan mempertahankan kehidupan keluarga baik fisik, mental dan sosial. Oleh sebab itu pembinaan dan pengembangan emosi anak yang optimal dibutuhkan untuk menyiapkan potensi manusia yang tanggguh dan berkualitas.Anak membutuhkan kemampuan untuk berfikir, mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dalam menghadapi masa depan, untuk dapat mengambil keputusan yang benar. Peran orang tua dan keluarga sebagai unit sosial yang pertama dan utama, bertugas mensosialisasikan nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar dalam mempersiapkan kemampuan anak untuk menjadi generasi penerus. Kegiatan pengasuhan anak sebagai peran orang tua dan keluarga mengiringi peran pendidikan formal dan informal sehingga kualitas anak yang terbentuk mampu menjadi sumber daya tangguh dan unggul. Namun dalam pelaksanaan tidak sepenuhnya mengasuh anak selama 24 jam di pegang oleh seorang perempuan yang bekerja, mereka terpaksa menitipkan anak-anak mereka ke kerabat atau keluarga terdekat mereka. Dan sepulangnya dari bekerja mereka harus menjemput si anak dari tempat 42 penitipan anak atau rumah orangtuanya seperti penuturan informan MR 32 Tahun yang tinggal tidak jauh dari lokasi pasar, di dekat Stasiun Depok Lama sebagai berikut: “Saya mempunyai tiga orang anak yang masih kecil. Karena saya sangat sibuk mencari nafkah berdua dengan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jadi anak kami saya titipkan di rumah orang tua biasanya bersama neneknya ibu mertua agar ada yang menjaganya. Setelah saya selesai berdagang saya menjemput anak- anak” wawancara 10 Des ember 2013. Dari pengakuan MR menunjukan bahwa keluarganya adalah keluarga kurang mampu yang menyebabkan dia menjadi perempuan pekerja, rela bangun pagi buta dan pulang pada sore hari untuk menafkahi keluarganya, dan ia tidak punya waktu yang cukup untuk mengasuh dan mendidik anaknya, solusi untuk mengatasi kondisi ini adalah informan terpaksa menitipkan anaknya pada orang tuanya. Selain itu ia tidak mampu untuk menyewa seseorang untuk menjaga dan mengasuh anaknya, hal ini di perjelas lagi: “Habis mau bagaimana lagi, maunya saya menyewa seseorang untuk mengasuh anak saya agar tidak membebani orang tua yang memang sudah berumur. Tapi karena uang yang saya dapatkan berdua dengan suami hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak saya, karena pendapatan saya perbulan saja hanya sekitar 3juta kalau rame, belum untuk putar modal, jajan anak, sekolah anak, bayar listrik masih kurang jadi terpaksa saya titipkan ke orang tua suami. Selain aman dan juga tidak mengeluarkan uang lebih untuk membayar babysitter” wawancara dilakukan pada tanggal 10 Desember 2013. Kondisi keluarga MR merupakan cerminan keluarga kelas bawah yang sebagian besar menerapkan ekonomi subsisten. Menurut Raharjo 43 ekonomi subsisten adalah mereka melakukan pekerjaan untuk nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan Raharjo, 1999:67. Pada keluarga MR, menunjukan pola pengasuhan anak yang dipercayakan kepada pihak lain seperti pada orang tua. Hal ini sama dengan penuturan ED 35 Tahun, kepada peneliti: “Selama saya bekerja, anak-anak saya titipkan sama neneknya ibu informan. Selain bersama neneknya terkadang saya titipkan sama bibinya kakak informan. Semua itu dikarena keterbatasan ekonomi dan tidak ada uang untuk biaya asuh. Sehingga hal tersebut memudahkan kami di dalam mencari nafkah wawancara 12 Desember 2013. Selain karena keterbatasan dalam ekonomi, mereka menitipkan ke keluarga terdekat mereka karena mereka merasa aman, mempercayakan anak mereka untuk dijaga dan diasuh ketimbang ke orang lain. Selain itu mereka juga mempunyai beban dan tanggung jawab untuk menjemput anak mereka ketika mereka selesai bekerja. 2. Bekerja Sambil Mengasuh Anak Di samping pengasuhan anak oleh orang lain keluarga, ada pula pengasuhan anak sendiri yakni dengan mengikut sertakan anaknya ketika sedang berdagang. Seperti yang dilakukan oleh keluarga EN 35 Tahun informan mempunyai anak berumur enam tahun dan tiga tahun, seperti berikut ini: “Anak-anak selalu ikut saya berdagang, karena masih kecil-kecil jadi masih bisa saya bawa ke pasar. Saya memilih mengurus anak sendiri karena masih bisa di pegang sendiri, anak-anak tidak saya titipkan ke orang tua karena orang tua di kampung, kalaupun mau dititipkan ke saudara jarak rumah kami yang cukup jauh. Maka saya 44 memutuskan untuk membawa mereka ke pasar dan sekolah anak saya pun dekat dengan pasar” wawancara 27 November 2013. Dari penuturan informan tersebut, sangat jelas bahwa pengasuhan anak yang dilakukan keluarga EN adalah pengasuhan sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh pola menetap bersifat neolokal yaitu pasangan suami istri yang bertempat tinggal terpisah dari orang tua. Informan dan suaminya merantau karena ingin memperoleh penghidupan yang lebih baik. Kelangsungan hidup mereka merupakan tujuan utama, keadaan ini menyebabkan EN rela bangun pagi buta dan bekerja membanting tulang sebagai pedagang pakaian dan masih harus mengasuh anak saat bekerja secara bersamaan. Pola pengasuhan anak dengan melakukan penitipan anak pada lembaga penitipan anak, tidak dilakukan oleh perempuan yang menekuni pekerjaan sebagai pedagang pakaian. Dari informasi yang diperoleh dari semua informan menyatakan pola pengasuhan pada lembaga penitipan anak hanya sesuai dilakukan oleh ibu-ibu yang bekerja sebagai pegawai kantoran, sedangkan mereka yang bekerja sebaga pedagang pakaian tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk membayar biaya penitipan anak pada lembaga penitipan anak tersebut, untuk kebutuhan pokok saja masih kurang. Dari paparan di atas pola mengasuhan anak yang dilakukan oleh perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian Pasar Kemiri Muka berlaku pengasuhan sendiri. Hal ini berhubungan dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing keluarga perempuan pedagang pakaian Pasar Kemiri Muka, yang secara sosial ekonomi termasuk ekonomi kelas bawah