Peran ganda perempuan pedagang pakaian kaki lima: studi kasus di pasar kemiri muka Depok Jawa Barat

(1)

PERAN GANDA PEREMPUAN PEDAGANG

PAKAIAN KAKI LIMA: STUDI KASUS DI PASAR

KEMIRI MUKA DEPOK JAWA BARAT

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Erin Alifa Dini

108032200004

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad SAW dan para keluarga, sahabat serta pengikutnya yang telah berjuang di jalan Allah.

Merupakan anugerah yang tidak dapat dihitung dengan angka atau diungkap dengan kata, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akan tetapi di luar itu semua tentu ada faktor yang turut memberi motivasi baik moril maupun materiil. Dan merupakan sebuah keharusan bagi penulis untuk mengucapkan terima kasih. Terima kasih itu penulis sampaikan kepada:

Pertama, kepada Ayahanda Edi Suhendra dan Ibunda Laelantini, terima kasih atas jerih payah dan segala pengorbanannya yang tak terhingga serta memberi semangat yang tidak ada hentinya untuk penulis. Sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini terutama untuk Ibunda yang tengah berjuang melawan kankernya.

Kedua, Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Ketua Program Studi Sosiologi Kemudian, untuk Ibu Iim Halimatussa’diyah, MA selaku Sekretaris program studi sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih sudah memotivasi serta seluruh Civitas Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ketiga, Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, perhatiannya, serta saran dan kritik yang bersifat


(7)

iii

membangun yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Ketiga, adik tercinta penulis Annisa Rahma Dhani dan Aldin Saktia Fahrizal, terima kasih karena kalian telah menjadi bagian hidup penulis dan memberikan kehangatan serta semangat ketika berada di rumah.

Keempat, keluarga besar Hiroshi Martial Art dan PB Amura yang telah memberikan begitu banyak ilmu beladiri. Sehingga penulis bisa menjadi pribadi yang baik terutama Coach Barnabas Ricky Budi Kusumo yang memberikan penulis kesempatan untuk mengenal Karate lebih mendalam.

Kelima, teman angkatan Sosiologi 2008 terutama sahabat terbaik penulis Ahmad Kamal dan Sufi Alfrida, yang telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan skripsi terima kasih tak terhingga penulis ucapkan dan yang spesial untuk Heru Hermawan, terima kasih telah menemani dan memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi serta berbagai hal selama tujuh tahun terakhir. Kepada para pedagang pakaian Pasar Kemiri Muka yang telah berkontribusi banyak dalam skripsi penulis serta Dinas Pasar UPT Pasar Kemiri Muka Depok yang telah begitu banyak memberikan kemudahan dalam melakukan penelitian. Semoga skripsi ini bisa diambil manfaatnya oleh segenap lapisan masyarakat. Amin.

Depok 24 Juni 2014


(8)

i

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas peran ganda perempuan di kalangan pedagang pakaian di pasar Kemiri Muka Depok Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan motivasi yang mendorong perempuan untuk bekerja, peran perempuan di ruang domestik dan di ruang publik serta menjelaskan dampak apa saja yang dialami perempuan pedagang pakaian dalam menjalankan peran ganda yang dimilikinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi partisipan wawancara. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis gender Moser, yang bertujuan untuk mendalami beban kerja yang dimiliki laki-laki dengan perempuan dalam rumah tangga dan teori feminis liberal yang berbicara tentang problem ketimpangan gender terutama jika dilihat dari pembagian kerja yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi yang mendorong perempuan untuk bekerja adalah karena pilihan rasionalitas yang menurut feminis liberal perempuan bekerja atas dasar rasa rasionalitas mereka sendiri bukan berdasarkan paksaan atau dorongan orang lain. Peran ganda perempuan dapat terlihat melalui peran lipat tiga yang oleh Moser diklasifikasikan menjadi peran produktif, peran reproduktif, dan peran sosial sehingga dapat terlihat bahwa peran perempuan dalam tiga ranah tersebut lebih dominan daripada laki-laki, kondisi ini menyebabkan ketimpangan gender dalam keluarga karena menurut feminis liberal tidak adanya pembagian kerja secara adil khususnya di ranah domestik. Keadaan ini menimbulkan dampak peran ganda secara personal terhadap perempuan yang bekerja khususnya pedagang pakaian. Kaum feminis liberal memberikan solusi yang menyatakan bahwa perlu adanya negosiasi antara istri dan suami terkait pekerjaan di ranah domestik, sehingga perempuan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terjun dalam ranah publik tanpa mengalami beban ganda yang berlebihan.


(9)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Kerangka Teoretis ... 12

1. Analisis Gender Moser……. ….. ... 12

2. Feminis Liberal……… 15

F. Metodologi Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II GAMBARAN UMUM A. Profil Kota Depok ... 22

1. Letak Geografis ... 22

2. Kondisi Demografi ... 23

3. Kondisi Sosial Ekonomi………... 24


(10)

v

BAB III TEMUAN DAN ANALISIS

A. Motivasi Yang Mendorong Perempuan Bekerja Sebagai Pedagang

pakaian Di Pasar Tradisional Kota Depok ... 28

1. Membantu Pendapatan Suami……… 29

2. Menjadi Tulang Punggung Ekonomi Keluarga……….. 30

3. Kemandirian……… 31

4. Mengisi Waktu Luang………. 32

5. Meningkatkan Status Sosial………. 33

6. Faktor Lainnya………. 37

B. Beban Ganda Perempuan Dalam Ranah Domestik Publik Dan Sosial ……… 40

1. Tanggung Jawab Mengantar Anak Dan Menjemput Anak… 41 2. Bekerja Sambil Mengasuh Anak……… 43

3. Kegiatan Pengaturan Rumah Tangga Sebelum Bekerja…… 45

4. Melayani Suami Ketika Bekerja……… 49

5. Perempuan Dan Ranah Sosial………... 53

6. Pandangan Suami Dan Istri Terhadap Peran Ganda Yang Dijalankan Perempuan…..……….... 56

C. Dampak Peran Ganda Terhadap Kehidupan Perempuan Secara Personal……….. 62

1. Perempuan Tidak Bisa Memanjakan Dirinya Sendiri…….... 63

2. Rasa Bersalah……….. 64


(11)

vi

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B. Rekomendasi ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... viii LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel. II.A.1. Data Informan……… 18 Tabel.II.A.2. Kondisi Demografi Kota Depok……… 24 Tabel.II.A.3. Data pasar Kemiri Muka Kota Depok………... 27 Tabel.II.A.4. Tabel Alasan Perempuan Bekerja

Sebagai Pedagang Pakaian… ……….. 39 Tabel II.A.5. Perbandingan Beban kerja Suami dan Istri

Di Ranah Domestik dan Publik……… 50 Tabel II.A.6. Perempuan dan Ranah Sosial……… 55


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini membahas fenomena peran ganda perempuan pedagang pakaian di wilayah Pasar Kemiri Muka Depok Jawa Barat, karena perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian mempunyai jam kerja yang lebih daripada pedagang yang ada di Pasar, sehingga terlihat beban gandanya. Dimana seorang perempuan yang bekerja mempunyai tugas ganda atau double burden, selain bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, dia juga mempunyai tugas untuk mengurus anak dan berperan sebagai ibu rumah tangga. Namun terkadang peran perempuan sering “dinomerduakan” atau dianggap tidak penting, seperti yang diutarakan oleh salah satu tokoh feminis Simone de Beauvoir dalam karyanya yang berjudul “The Second Sex” (Rosemarie, 2004:262).

Simone menggambarkan bahwa unsur-unsur biologis diatributkan pada tubuh perempuan melalui atribut-atribut patriarki dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri, tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarki ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi dan diinternalisasikan melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial. Dalam kerangka tersebut maka perempuan kemudian diposisikan sebagai jenis kelamin kedua (The Second Sex) dalam struktur masyarakat. Akibatnya, perempuan tidak dapat memiliki kebebasan dan identitas kediriannya dalam kegiatan-kegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam situasi yang


(14)

2

demikian ini, pola relasi kaum laki-laki dan perempuan menjadi tak ramah lagi ((Rosemarie, 2004:262).

Kaum perempuan identik dengan peran domestik dan kurang berperan dalam sektor ekonomi dan publik, Pandangan inilah yang sering dianggap sebagai bias gender dan menimbulkan ketidakadilan. Fenomena sekarang ini memperlihatkan bahwa kaum perempuan sudah mulai keluar rumah untuk bekerja seperti halnya kaum laki-laki. Fenomena ini semakin jelas ketika kaum perempuan terlibat dalam berbagai sektor ekonomi. Dengan demikian, peran perempuan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga tidak dapat dipandang remeh. Kemajuan zaman saat ini telah diiringi dengan berkembangnya informasi dan tingkat kemampuan intelektual manusia. Bersama itu peran perempuan dalam kehidupan pun terus berubah untuk menjawab tantangan zaman, tak terkecuali mengenai peran perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Biasanya, tulang punggung kehidupan keluarga adalah pria atau suami. Tapi kini para perempuan banyak yang berperan aktif untuk mendukung ekonomi keluarga. Perempuan tidak sekedar berada dalam wilayah domestik, tetapi juga banyak mempunyai peran dalam keluarga.

Menurut konsep ibuisme (Suryakusuma, 1996) kemandirian perempuan tidak dapat dilepaskan dari perannya sebagai ibu dan istri, perempuan dianggap sebagai makhluk sosial dan budaya yang utuh apabila telah memainkan kedua peran tersebut dengan baik. Seperti halnya seorang ibu yang memilih untuk berkarier atau bekerja pastilah mempunyai peran ganda, seperti seorang ibu yang berprofesi sebagai pedagang. peran ganda yang diemban seorang perempuan


(15)

3

pedagang selain menjadi guru untuk anak-anaknya, melayani suami sebagaimana tugas seorang istri, juga berperan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarganya dengan begitu, seorang ibu dituntut untuk dapat menjaga keseimbangan antara pekerjaannya di dunia publik dan domestik agar tidak terjadi ketimpangan dalam keluarga.

Selain itu keterbatasan perempuan dalam mengakses peluang kerja yang ada, tidak terlepas dari pengaruh budaya patriarki yang berlaku secara universal. Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki pada kedudukan dan peran yang lebih penting serta dominan dalam menentukan segala keinginan dan keputusan terutama menyangkut kebebasan perempuan terjun kedalam dunia publik. Terjunnya mereka ke dunia publik menyebabkan mereka harus merampungkan pekerjaan domestik terlebih dahulu sebelum mereka terjun ke sektor publik. Dengan demikian keterlibatan perempuan dalam dunia publik akan memperberat tugas-tugas perempuan, sehingga perempuan sering memikul beban ganda bahkan triple roles.

Pada sektor publik, umumnya peluang kerja yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua yakni sektor formal dan sektor informal. Pada sektor informal setiap orang dapat masuk dan berkecimpung didalamnya, karena bidang ini tidak terlalu banyak menuntut persyaratan. Ciri dari sektor informal antara lain, sektor ini sangat mudah dimasuki karena tidak memerlukan keterampilan yang tinggi, bersandar pada sumber daya lokal, bergerak dalam lingkup operasi sekala kecil, dan berbentuk usaha sendiri sehingga mudah diatur sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Sedangkan pada sektor formal berlaku sebaliknya (Manning, 1985:75).


(16)

4

Untuk itulah penelitian ini menarik untuk dikaji secara mendalam karena, hasil pengamatan awal peneliti, di Depok Jawa Barat. Khususnya di Pasar Kemiri Muka memperlihatkan perempuan sebagian besar pedagang yang melakukan aktifitas perdagangan mempunyai beban ganda double burden (salah satu jenis kelamin bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya ) sering mengalami ketimpangan gender akibat dari adanya struktur sosial, dimana salah satu jenis kelamin ( laki-laki maupun perempuan) menjadi korban.

Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan melalui sosialisasi dalam beragam bentuk di dalam keluarga, sekolah, peer group dan lainnya. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan, namun sosialisasi yang dilalui seringkali bias gender sehingga perempuan berada pada sisi subordinasi (Sasongko, 2008:10). Kenyataan menunjukan bahwa perempuan pedagang sebagai bagian dari komunitas sektor informal memegang peranan penting dalam perekonomian, baik dalam skala makro maupun mikro (Rumah tangga). Pendapatan mereka cukup signifikan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka mulai dari pemenuhan biaya pendidikan, kebutuhan sehari-hari, kesehatan, sampai pembelian kekayaan lainnnya. Perempuan pedagang dapat dikatakan sebagai kunci dari mata rantai perdagangan di sektor pasar (Ester, 1984:115).

Kota Depok merupakan Kota dengan taraf ekonomi yang sedang berkembang, dengan masyarakatnya yang memiliki berbagai macam pola mata pencaharian selain penduduknya bekerja di sektor formal mereka juga bekerja di sektor informal, tidak ada data yang pasti mengenai berapa jumlah penduduk yang


(17)

5

bekerja di sektor informal. Perdagangan pakaian di kawasan Depok khususnya pasar Kemiri Muka termasuk kedalam usaha kecil menengah (UKM), dimana UKM memegang peranan penting dalam ekonomi negara dan daerah khususnya daerah Depok Jawa Barat. Usaha kecil menengah menjadi salah satu alternatif lapangan kerja baru, dan berperan dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. UMKM di Indonesia merupakan sektor usaha yang populasinya dua kali lipat dari Malaysia, dan penyumbang pendapatan terbesar dalam sektor Ekonomi. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengkontribusi 53 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun 2009. Ini angka yang sangat signifikan. Wajar bila sektor UMKM disebut-sebut paling penting dalam menggerakan perekonomian nasional. Pada tahun 2013 saja populasi UMKM nasional mencapai 51,26 juta unit atau 99 persen dari seluruh unit usaha yang ada di tanah air (BPS Kota Depok: 2013). Keberadaannya dapat memberikan kontribusi pemasukan daerah sebesar 60 persen selama beberapa tahun terakhir di kota Depok sendiri, laju pertumbuhannya semakin meningkat 20 persen sepanjang tahun 2007-2011, menurut data UMKM dan Dinas Pasar ini mampu berinvestasi antara 5juta-200juta pertahun (Data Indag kota Depok: 2011).

Pekerja perempuan merupakan penyumbang pendapatan terbesar dalam sektor UMKM, Menurut artikel yang ditulis oleh Arum Setyowati pada tahun 2010,yang berjudul “Perempuan Sebagai Tonggak Perekonomian Suatu Negara”. Tercatat bahwa ada 46 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), diketahui bahwa 60 persen pengelolanya dilakukan oleh perempuan, mereka dianggap mampu mengelola pendapatan mereka dengan baik untuk keluarga dan masa


(18)

6

depan pendidikan anak-anak mereka, namun sampai saat ini masalah UMKM perempuan belum bisa berkembang maksimal karena waktu mereka terbatas untuk mengembangkan usaha mereka, dimana mereka harus tetap bekerja mengurus rumah selain itu juga mereka harus memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Penelitian ini dilakukan di Pasar Kemiri Muka Depok karena dari enam Pasar tradisisonal yang ada di Kota Depok hanya Pasar Kemiri Muka saja yang kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Depok, karena posisi Pasar tersebut berdampingan dengan Mall-Mall yang ada di Kota Depok yakni, Mall Depok dan ITC Depok. Berdasarkan penjelasan di atas, maka studi perempuan pedagang pakaian di Pasar Kemiri Muka Depok perlu dilakukan.

B. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan dalam studi ini adalah :

1. Motivasi apa yang mendorong perempuan dalam bekerja sebagai pedagang pakaian?

2. Bagaimana peran ganda perempuan di dalam keluarga dan di tempat bekerja? 3. Dampak apa yang dialami sebagai pedagang pakaian dalam melaksanakan

peran ganda yang dimilikinya? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah: 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk menjelaskan motivasi yang mendorong perempuan untuk bekerja.


(19)

7

b. Untuk menjelaskan peran perempuan dalam keluarga dan tempat bekerja. c. Untuk menjelaskan dampak apa saja yang dialami perempuan pedagang

pakaian dalam menjalankan peran ganda yang dimilikinya. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat di peroleh dari skripsi adalah: a. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori tentang peran ganda perempuan, serta dapat menjadi bahan bacaan dan sekaligus sebagai literatur untuk penelitian selanjutnya.

b. Manfaat praktis

Menjadi masukan dan evaluasi bagi institusi pemerintahan Kota Depok, untuk memberikan perhatian khusus dan program-program untuk mendukung peranan pedagang perempuan, khusunya di sektor ekonomi. D. Tinjauan Pustaka

Kajian yang terkait dengan peran ganda perempuan yang bekerja bukanlah hal yang baru, karena banyak dilakukan penelitian sebelumnya terkait dengan hal itu, termasuk diantaranya adalah:

Pertama Tesis yang berjudul “Pergulatan Tukang Suun Pasar Badung Kota Denpasar: Sebuah Kajian Kebudayaan.” Yang ditulis oleh Ni Ketut Purwati pada program magister kajian budaya, Universitas Udayana tahun 201l. Penelitian ini fokus kepada masalah bagaimana pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung Kota Denpasar pada sektor domestik dan publik, faktor-faktor apa saja yang mendorong pergulatan perempuan tukang suun pasar Badung kota Denpasar,


(20)

8

serta bagaimana makna pergulatan perempuan tukang suun pasar Badung kota Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Informan di tetapkan secara purposive, analisis data secara deskriptif kualitatif, dan interpretative. Sedangkan teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan tersebut adalah teori feminis pasca strukturalis, teori motivasi, teori perubahan sosial, ketiga teori ini digunakan secara eklektik. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pergulatan perempuan tukang suun pasar Bandung kota Denpasar berupa upaya yang ditempuh perempuan dalam merekonstruksi diri yakni mengatur diri dan keluarga agar kegiatan domestik dan publik tidak terganggu. Faktor pendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun adalah faktor ekonomi, status sosial, etos kerja dan tingkat pendidikan yang rendah.

Makna yang diperoleh menekuni pekerjaan sebagai tukang suun adalah keterlibatannya dalam sektor publik memberi sumbangan ekonomi sehingga mampu mengangkat kesejahteraan keluarganya, penghasilan yang diperoleh merupakan sumber pribadi yang secara psikologis dapat menumbuhkan rasa aman dan nyaman, percaya diri untuk berani mangambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, diri pribadi dan juga untuk kepentingan sosial seperti menyama braya. Juga keterlibatannya di sektor publik dapat dijadikan ajang rekreasi untuk melepas rasa penat dan jenuh dalam urusan rumah tangga.

Penelitian kedua yang dilakukan oleh UNRI, atau Universitas Riau dengan judul “Peranan Perempuan Dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga.” Yang dilakukan pada tahun 2005 . Permasalahan yang diangkat dalam penelitian


(21)

9

ini adalah bagaimana peran perempuan pedagang ikan di kecamatan Kampar dalam peningkatan pendapat keluarga serta faktor apa saja yang menyebabkan mereka berdagang ikan di pasar. Metode yang digunakan adalah penelitian sensus atau survey dengan sampel 32 orang pedagang, pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan wawancara berdasarkan pada metode pengumpulan data maka penulis dapat mengklasifikasikan data primer dan data sekunder, sedangkan dalam menganalisa data peneliti menggunakan metode deskriptif terhadap kasus yang ada. Dari hasil penelitian yang dilakukan adalah hubungan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, baik di rumah tangga maupun di masyarakat telah di konstruk oleh nilai-nilai agama dan sosial budaya yang telah dipegang oleh masyarakat. Kaum perempuan sering dipandang sebagai kelompok yang sering dirugikan dan dieksploitasi serta kaum laki-laki dianggap sebagai kelompok yang paling berhak di sektor publik dan sebagai kepala keluarga.

Penelitian yang Ketiga artikel penelitian Departemen Pendidikan Nasional, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang berjudul “Peran Ganda Perempuan Dalam Keluarga Nelayan.” Pada tahun 2007. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran ganda perempuan keluarga nelayan di desa sendang kucing, serta mengetahui dampak pergeseran perempuan keluarga nelayan di desa sendang kucing. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, menggunakan teori nature dan teori peran Robert Linton. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa begitu banyak peran yang dilakukan oleh perempuan menandakan bahwa perempuan telah mengalami beban ganda, selain itu seiring perkembangan zaman tidak sedikit perempuan yang masuk kedalam ranah publik


(22)

10

sehingga dampak pergeseran yang terjadi terhadap perempuan karena faktor ekonomi, serta kondisi keluarga yang mendukung mereka untuk bekerja, selain itu faktor kemiskinan mendorong perempuan untuk mengambil alih tanggung jawab keluarga.

Penelitian keempat yang dilakukan oleh Ken Widyawati SE dan Mahfudz SS, yang berjudul “Pengaruh Konflik Peran Ganda Sebagai Ibu Rumah Tangga Dan Pekerja Terahadap Tingkat Stress Perempuan Karir”, Pada tahun 2003, fakultas sastra Universitas Diponegoro. Fokus penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis pengaruh konflik peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja (baik konflik peran yang berasal dari dalam diri sendiri, keluarga maupun lingkungan kerja) terhadap tingkat stress yang bersumber dari faktor intirinsik di pekerjaan yang dialami perempuan karir. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan teknik purposive sampling, sumber data utama adalah data primer yang pengumpulan datanya melalui kuisioner, data diolah menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan analisis regresi linier berganda, Adapun teori yang dipakai adalah Teori Konflik.

Hasil analisis menunjukan bahwa hampir seluruh suami responden (95%) mendukung istri mereka untuk bekerja/berkarir dengan berbagai alasan. Antara lain untuk membantu suami mencari nafkah, untuk bersosialisasi dan menambah wawasan, serta keinginan berprestasi dan sebagainya. Sedangkan bila perempuan yang menjadi responden dihadapkan pada dua pilihan yaitu, memilih keluarga atau karir ternyata (72%) memilih keluarga. Hasil analisis regresi berganda menunjukan bahwa konflik peran yang berdasarkan yang bersumber dari dalam


(23)

11

diri perempuan karir dan konflik peran yang bersumber dari lingkungan kerja secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat stress yang bersumber dari faktor intirinsik pekerjaan, sementara konflik peran yang berasal dari keluarga tidak berpengaruh. Diduga jenis konflik peran yang terjadi merupakan konflik yang sifatnya fungsional.

Penelitian yang kelima adalah tesis yang dibuat oleh Marny P Nanjan, yang berjudul “Kegiatan perempuan dalam usaha skala kecil: perempuan penjual beras di kota Madya Salatiga” (Marry, 2003:10). Fokus penelitian tesis ini adalah mencari kiat apa yang dilakukan oleh perempuan pedagang beras yang dikategorikan berhasil, belum berhasil, dan mennuju berhasil, dalam usaha dagangnya dan dalam memainkan perannya di dalam rumah tangga serta berperan ganda dalam keberhasilan usaha para penjual beras, dan kiat-kiat yang dipilih untuk mengtasi hambatan tersebut. Dan kemungkinan adanya pengaruh peran istri sebagai penghasil pendapatan terhadap status sosial perempuan penjual beras yang menjadi informan di dalam rumah tangga.

Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah kualitatif, menggunakan metode survey dan wawancara secara mendalam, teori yang digunakan adalah teori peran. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa pedagang kategori 1 memanfaatkan tenaga kerja dari dalam dan dari luar disiplin dan diberi insentif. Pedagang kategori 2 hanya memanfaatkan tenaga kerja dari dalam, disiplin tidak ketat tetapi diberi insentif. Pedagang kategori 3 melakukan hal yang sama dan tidak diberi insentif. Ketiga kategori di atas sama-sama m emanfaatkan modal dari dalam dan dari luar. Namun pedagang kategori 1 dan 2 secara perlahan-lahan


(24)

12

menghentikan sistem ngalap nyaur dengan meminjam dana dari pihak bank. Di pihak lain pedagang kategori belum berhasil tetap menerapkan tradisi lama karena posisi mereka lemah, terkecuali seorang informan. Pedagang kategori 1, 2 dan 3 membentuk modal dengan cara menabung di bank (terkecuali 2 orang informan kategori 3), arisan, membeli tanah dan emas. Membeli perhiasan emas sudah lazim dilakukan oleh para informan. Hal tersebut tampaknya tidak jauh dengan sifat-sifat perempuan yang tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan berhias khususnya pada saat hajatan, maupun sebagai lambang status.

Dari beberapa penelitian di atas dengan penelitian ini fokus penelitiannya sama yaitu sama-sama meneliti tentang peran ganda perempuan, namun dengan teori yang berbeda, subjek penelitian ini adalah pedagang pakaian kaki lima. Bila penelitian sebelumnya menggunakan teori Feminis pasca strukturalis, teori motivasi, teori perubahan sosial, teori peran, teori konflik dan teori nature. Penelitian ini menggunakan teori kerangka analisis gender Moser dan feminis liberal untuk melihat lebih jelas beban ganda yang dimilki oleh perempuan pedagang pakaian. Peran ganda yang dimaksud disini adalah perempuan yang memiliki beban lebih daripada laki-laki, karena dia bekerja di ruang publik dan domestik (Fakih, 1996:22).

E. Kerangka Teoretis 1. Analisis Gender Moser

Adalah kerangka analisis gender yang dikembangkan oleh Caroline Mosser didasarkan pada konsep peran gender dan kebutuhan gender, dan pendekatan kebijakan gender yang dipakai dalam perencanaan gender dan


(25)

13

pembangunan. Analisis Moser bertujuan untuk meningkatkan emansipasi perempuan dari posisi mereka yang subordinat, dan untuk mencapai kesamaan, dan kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan (Moser, 1993:15).

Upaya-upaya ini berbeda antara satu konteks dengan konteks lainnya tergantung pada seberapa besar status perempuan (sebagai kategori kelompok yang tersubordinasi) dari laki-laki (sebagai sebuah kategori). Analisis ini masih melihat laki-laki dan perempuan sebagai kelompok yang terpisah. Moser melihat bahwa masih kentalnya budaya stereotype yang menekankan bahwa (Moser, 1993:15):

1) Rumah tangga terdiri dari keluarga inti dari suami, istri dan dua atau tiga anak

2) Bahwa fungsi rumah tangga sebagai unit sosial-ekonomi di mana ada kontrol yang sama atas sumber daya dan kekuatan pengambilan keputusan antara semua anggota dewasa dalam hal mempengaruhi kehidupan rumah tangga.

3) Bahwa dalam rumah tangga ada pembagian kerja yang jelas berdasarkan jenis kelamin. Suami sebagai 'pencari nafkah', terutama terlibat dalam pekerjaan produktif di luar rumah, sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga dan 'ibu' mengambil tanggung jawab penuh untuk pekerjaan reproduksi dan domestik terlibat dalam organisasi rumah tangga .(Moser, 1993:27):


(26)

14

Pertama, kerja reproduksi di mana pekerjaan ini berada dalam ranah domestik meliputi pemeliharaan rumah tangga dan anggotanya (termasuk melahirkan, pengasuhan anak, pemeliharaan kesehatan keluarga ), mengerjakan pekerjaan rumah tangga ( memasak, berbelanja, membersihkan rumah). Kedua, kerja reproduktif pekerjaan yang sifatnya berada di luar rumah seperti produksi barang jasa dan perdagangan, pekerjaan ini lebih di hargai dibandingkan kerja reproduktif, fungsi tanggung jawab dan upah laki-laki dan perempuan seringkali berbeda, perempuan seringkali dilihat dan dinilai dibandingkan laki-laki. Ketiga, kerja sosial/komunitas biasanya bersifat perayaan-perayaan dan upacara-upacara (agama,budaya), kegiatan dalam pekerjaan sosial biasanya perempuan terlibat dalam pekerjaan reproduktif yang sifatnya komunitas atau sosial seperti memasak dalam pesta atau selamatan tetangga dimana pekerjaan ini tidak dibayar dan bersifat sukarela, sedangkan kegiatan politik komunitas secara dijalankan oleh laki-laki yang berkaitan dengan organisasi politik formal, umumnya dibayar, bermanfaat secara tidak langsung berkaitan dengan peningkatan status kekuasaan( Moser, 1993:29-35). .

Kerangka Moser dapat membantu dalam menganalisa peran ganda yang dilakukan oleh perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian di pasar tradisonal. Pertama, dimana perempuan berada pada posisi strata bawah, dan mereka dianggap sebagai pekerja pelengkap karena posisi pencari nafkah yang utama adalah suami sebagai kepala keluarga, Moser menawarkan analisanya untuk mencapai persamaan antara peran perempuan dan laki-laki di ranah domestik (rumah tangga) dan publik (masyarakat),terutama dalam bidang


(27)

15

pembangunan ekonomi. Kedua, kerangka analisis gender Moser dapat menemukan akar permasalahan yang melatarbelakangi masalah beban kerja perempuan secara mendalam, yang dapat dilihat dari peran lipat ganda.

2. Feminis Liberal

Merupakan aliran feminis paling awal yang akar sejarahnya dapat ditarik hingga abad ke-18. Sejak kemunculannya hingga sekarang ini, pemikiran feminis liberal tidaklah statis tetapi sebaliknya mereka memiliki banyak perubahan pemikiran dari abad ke abad sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakatnya. Para feminis melihat bahwa subordinasi perempuan dalam lembaga dan praktik bersifat struktural. Subordinasi struktural ini disebut sebagai patriarki bersama dengan makna-makna tuntutannya tentang keluarga yang dipimpin laki-laki, penguasaan dan superioritas. Perubahan politik feminis terjadi ketika kaum feminis menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi perempuan yakni, hak perempuan untuk politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara intelektual (Bhasin, 2002:295). Terdapat berbagai macam teori atau aliran feminis meliputi, Feminis Liberal, Feminis Radikal, Feminis Marxis, Feminis sosialis, Feminis kultural, serta Feminis Pasca Strukturalis. Teori Feminis muncul dari gerakan “Wages Of House Work” pada permulaan era 1970 di Inggris dan Italia.

Feminisme liberal mengakui adanya institusi perkawinan, namun ketimpangan gender masih sangat kuat terjadi di dalam keluarga. Hal itu terlihat dari segi pembagian kerja yang tidak seimbang antara laki-laki dan


(28)

16

perempuan. Pada umumnya perempuan memiliki peranan yang lebih banyak dan lebih besar di ranah domestik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut feminisme liberal menawarkan sebuah solusi yang bersifat interpersonal yakni dengan cara mengajak suami untuk berkontribusi di dalam ranah domestik tersebut. Dan ketika melibatkan suami dalam ranah domestik maka hal itu akan sangat berpeluang bagi istri agar bisa berkarir di ranah publik ( Ida dan Hermawati, 2009:59-61). Dewasa ini masyarakat beranggapan bahwa perempuan tidak mampu menjalankan perannya di ranah public dengan adanya keterbatasan intelektualitas dan keterbatasan fisik jika dibanding dengan para kaum laki-laki. Berangkat dari hal tersebut sehingga menyudutkan kaum perempuan pada ranah domestik, namun pada dasarnnya para pemerhati feminis liberal tidak sependapat akan hal itu, dan mereka berusaha memposisikan kaum perempuan agar setara dengan para laki-laki khususnya di ranah domestik. Dan para kaum liberalis ini menolak adanya “status quo” khususnya dominasi suami dalam keluarga, dan mendorong perempuan untuk bekerja di luar rumah ( Ida dan Hermawati, 2009: 54-55).

Berdasarkan penjelasan di atas teori ini digunakan untuk membahas bagaimana peran atau kedudukan perempuan didalam keluarga ataupun di ruang publik, akibat ketimpangan gender yang masih kuat terjadi dalam keluarga, melahirkan pembagian kerja yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga peranan perempuan ditempatkan di posisi bawah, Meskipun jam kerja perempuan di ranah publik ataupun di domestik jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki.


(29)

17 F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan.

1. Pendekatan penelitian

Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, penelitian dengan menggunakan kualitatif sebagai prosuder penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2009:4-5). Disamping itu penelitian ini menekankan pada persoalan kedalaman data bukan banyaknya data tersebut karena untuk melihat pengalaman beban ganda perempuan secara lebih dalam dan mengungkap keberagaman beban ganda yang dialami perempuan pedagang pakaian di Pasar Kemiri Muka.

2. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah case study atau biasanya disebut “studi kasus” yakni metode penelitian yang menggunakan analisis mendalam, yang dilakukan secara lengkap dan teliti terhadap seorang individu, keluarga, kelompok, lembaga, unit sosial lain (Pollit dan Hungler 1999). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan case study karena peneliti hanya fokus pada satu subjek penelitian yaitu perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian di Pasar Kemiri Muka, Depok.


(30)

18 3. Subjek penelitian

Subjek utama penelitian ini adalah 13 orang, dengan kriteria penelitian yakni 10 perempuan pedagang pakaian yang sedang dalam ikatan pernikahan dan memiliki anak usia antara 2-17 tahun, serta 3 orang yang merupakan suami dari pedagang pakaian yang diteliti.

Tabel. II.A.1 Data Informan

No Nama Usia Latar Belakang

Pendidikan Etnis

1. EV 40 SMP Minangkabau

2. AH 25 SMP Betawi

3. EY 43 SMP Minangkabau

4. NH 38 SMP Betawi

5. MR 32 SD Betawi

6. NI 45 SMP Betawi

7. EN 35 SMA Minangkabau

8. LR 28 SMA Minangkabau

9. ED 35 SMA Minangkabau

10. RD 40 SD Betawi

11. HR 30 SMA Minangkabau

12. SJ 45 SMP Minangkabau

13. JW 38 SMA Minangkabau

Sumber : Data informan a. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan September 2013 sampai dengan Desember 2013. Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini diantaranya adalah Dinas Pasar Kota Depok, UPT Pasar Kemiri Muka, Pasar Kemiri Muka Kota Depok.

4. Jenis Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen (Moleong,


(31)

19

2009:157). Berdasarkan hal itu, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian yang langsung dari sumber asli. Data primer yang dimaksud adalah data yang dikumpulkan melalui metode wawancara dan pengamatan langsung.

Saat wawancara peneliti menggunakan rekaman handphone untuk merekam langsung data dari informan. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik pencatatan lapangan saat wawancara. Maksudnya peneliti mencatat langsung data para informan saat wawancara. Semua data tersebut kemudian peneliti tuliskan kembali dalam bentuk transkrip yang kemudian peneliti tabulasi dengan melihat poin-poin penting yang mendukung untuk analisis hasil penelian. Data sekunder, merupakan data yang peneliti peroleh secara tidak langsung. Peneliti menggunakan teknik kepustakaan, yaitu mempelajari buku-buku, artikel, skripsi,tesis, serta data-data dari internet yang berhubungan dengan penelitian.

5. Teknik pengumpulan data

Untuk tekhnik pengumpulan data, peneliti menggunakan: a. Observasi Partisipan

Adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan yang diamati secara langsung dan hidup bersama dalam sirkulasi kehidupan objek. Dalam observasi ini, peneliti melakukan pencatatan dan pengamatan di lapangan secara mendalam terhadap kegiatan yang dilakukan oleh para pedagang pakaian yang diteliti. Dan untuk


(32)

20

mendapatkan data yang akurat peneliti berinteraksi langsung dengan pedagang pakaian untuk mendapatkan data yang diinginkan, dengan cara melakukan wawancara secara mendalam serta ikut terjun kedalam kegiatan objek yang diteliti yakni pedagang pakaian.

b. Wawancara

Adalah upaya mendapatkan keterangan dengan cara tanya jawab langsung. Dalam wawancara ini peneliti melakukan wawancara berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lebih lama bersama informan. Selama proses wawancara, peneliti berusaha mencari informasi secara rinci dengan menggunakan berbagai pertanyaan yang tertera dalam pedoman wawancara. 6. Analisis Data

Setelah hasil penelitian dapat diperoleh, diolah, maka langkah selanjutnya adalah menganalisanya. Maksudnya adalah penulis menganalisa persoalan-persoalan apa saja yang terjadi selama penelitian dan adakah hasil penelitian sesuai dengan permasalahan yang diangkat, sehingga menjadi data yang valid untuk mempermudah penulis dalam penyusunan.


(33)

21 G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas empat bab. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN Membahas Pernyataan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Kerangka Teori, serta Sistematika Penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM Membahas gambaran umum lokasi penelitian yakni kota Depok dan Pasar Kemiri Muka Depok, Jawa Barat.

BAB III ANALISIS DATA Merupakan bentuk pembahasan dari Hasil Analisa tentang peran sganda perempuan miskin pedagang pakaian di wilayah Depok Jawa Barat.

BAB IV PENUTUP Merupakan kesimpulan dari pemikiran sebelumnya serta saran-saran sebagai bentuk hasil dari analisa dalam penelitian penulis.


(34)

22 BAB II

GAMBARAN UMUM A. Profil Kota Depok

1. Letak Geografis Kota Depok

Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota-kota lainnya. Pada Tahun 2009 luas wilayah kota Depok (KM2) 200,29 , jumlah penduduk laki-laki 780.092 jiwa, jumlah penduduk perempuan 723.585 jiwa, jumlah kelahiran bayi 300 jiwa. Perbatasan Kota Depok sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat dan Dki Jakarta, sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kab. Bogor, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor.

Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan


(35)

23

antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali Cikeas.

Kota Depok sendiri ditetapkan sebagai daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok tanggal 20 April 1999. Kota Depok diresmikan pada tanggal 27 April 1999. Secara administratif, Pemerintah Kota Depok membawahi 11 (sebelas) kecamatan. Adapun kecamatan-kecamatan dimaksud antara lain meliputi : Kecamatan Beji,Kecamatan Pancoran Mas,Kecamatan Cipayung, Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cilodong, Kecamatan Limo, Kecamatan Cinere, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Tapos, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Bojongsari (Dokumen Kota Depok).

2. Kondisi Demografi Kota Depok

Sebagai Kota yang berbatasan langsung dengan Ibu kota Negara, Kota Depok menghadapi berbagai permasalahan perkotaan, termasuk masalah kependudukan. Sebagai daerah penyangga Kota Jakarta, Kota Depok mendapatkan tekanan migrasi penduduk yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya jumlah kawasan permukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa. Berdasarkan data sensus Badan pusat Statistik Kota Depok, total penduduk Kota Depok tahun 2010 mencapai 1.736.565 jiwa. Dari jumlah tersebut, 879.325 orang adalah laki-laki dan 857.240 perempuan.

Penduduk Kota Depok yang tergolong angkatan kerja sebanyak 815.062 jiwa, sedangkan penduduk yang bukan angkatan kerja sebanyak 474.990 jiwa penduduk yang bekerja masih didominasi oleh laki-laki daripada perempuan,


(36)

24

dari penduduk yang bekerja di sektor informal yakni (perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi) status pekerjaan masih didominasi buruh/karyawan/pegawai sebanyak 62.67 persen kemudian berusaha sendiri 20,35 persen termasuk kedalam UMKM (BPS Kota Depok: 2010). Namun tidak semua sektor pekerjaan dapat dimasuki oleh setiap orang khususnya perempuan.

Tabel.II.A.2.Kondisi Demografi Kota Depok

Total penduduk

Laki-laki Perempuan

Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja Buruh/ Karyawan/ Pegawai Berusaha Sendiri 1.736.565 Jiwa 879.325 Jiwa 857.240 Jiwa 815.042 Jiwa 474/990

Jiwa 62.67% 20.35% Sumber: BPS Kota Depok 2010.

3. Kondisi Sosial Ekonomi Kota Depok

Adanya kondisi sosial budaya Kota Depok yang saat ini sudah mengarah pada budaya metropolis yang multi etnis dan dari berbagai tingkat intelektualitas, namun masih dalam ikatan satu homogenitas agama tanpa mengucilkan agama minoritas. Di masa depan, kondisi sosial budaya yang ada akan terus berkembang dan ikatan homogenitas agama akan masih ada dengan kadar yang berbeda. Kondisi ekonomi Kota Depok berdasarkan data yang diperoleh dari survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 hingga 2012 silam, Depok kini tercatat sebagai kota dengan perekonomian tertinggi di Jawa Barat. Pasalnya, kota Depok telah mengalami kenaikan di bidang ekonomi hingga 6,58 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 6,4 persen saja.


(37)

25

Itulah sebabnya, Pemerintah Kota Depok berani menegaskan bahwa Depok telah menjadi kota jasa dan perdagangan terbesar di Jawa Barat, mengingat sektor ekonomi Depok paling tinggi dibandingkan kota-kota lain yang terdapat di provinsi tersebut. Bahkan, Depok pun semakin gencar melakukan aksi penambahan produk di bidang ekonomi. Hal ini bertujuan agar kota Depok bisa lebih meningkatkan pertumbuhan secara signifikan di sektor perekonomian. Perlu diketahui, jalannya usaha pembangunan itu sendiri memang tak pernah lepas dari peran berbagai sektor tersier seperti perdagangan jasa, properti, konstruksi, industri, dan hotel, dan restoran. Selain itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Depok diprediksi juga akan meningkat sebanyak 50 persen atau senilai dengan Rp 300 miliar per tahun.

4. Gambaran Lokasi Pasar Kemiri Muka Kota Depok

Pasar Kemiri Muka Kota Depok dibangun pada tahun 1987 oleh pemerintah Kabupaten Daerah tingkat II Bogor dan bekerjasama dengan PT Petamburan Jaya Raya Jakarta. Terletak di Jl. Arif Rahman Hakim, Beji Kota Depok. Pasar ini berdiri di atas lahan seluas 2,6 Ha dan luas bangunan 1,2 Ha dengan rincian pembangunan sebagai berikut : Kios : 524 unit, Los : 480 unit, Lahan parkir Timur dan Barat Dan fasilitas lainnya termasuk Musholah satu unit. Kios, Los dan Awuning yang dibangun oleh PT. Petam,buran Jaya Raya diperjualbelikan kepada para pedagang melalui Koperasi Pasar Bina Karya dengan memberi Uang Muka 20 persen dari total harga kios, los, awuning dan sisanya di cicil oleh pedagang tersebut.


(38)

26

Pedagang Pasar Muka yang ada sampai saaat ini sebagian besar adalah pindahan dari pasar Dewi Sartika atau Pasar Lama yang mana pada saat itu Pemerintah Kota Depok menghimbau agar para pedagang yang ada di Pasar Lama untuk segera pindah ke pasar Kemiri Muka Kota Depok karena lahan pasar Lama akan digunakan untuk di jadikan sarana Taman Rekreasi Kota Depok. Pasar Kemiri Muka belum dilengkapi oleh dengan sarana/prasarana yang lengkap termasuk jalan masuk pasar yang mana sampai saat ini juga belum ada yang memadai ( masih lintas Mall Depok ). Umur pasar sudah 24 tahun semenjak pembangunan tahun 1987.

Sejalan dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat, pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 15 tahun 1999, tanggal 27 April tentang pembentukan kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, maka pengelolaan Pasar Kemiri Muka yang berada dalam wilayah administrasi Kota Depok Provinsi Jawa Barat diserahkan kepada pemerintah kotmadya Depok oleh pemerintah kabupaten Bogor, dan sejak saat itulah pengelolaan, pemanfaatan dan pendayagunaan aset pasar Kemiri Muka berdasarkan HGB No. 68 Desa Pasar Kemiri Muka yang terletak di Kelurahan Kemiri Muka Kecamatan Beji menjadi hak dan wewenang pemerintah Kota Depok dan segala permasalahan yang ada termasuk proses hukum yang sedanng berlangsung di Mahkamah Agung.


(39)

27

Tabel.II.A.3. Data pasar Kemiri Muka Kota Depok

Luas tanah 2.6 Ha

Luas bangunan 1,2 Ha

Jumlah Blok 6 Blok yaitu : a,b,c,d,e,f

Status kepemilikan Status Quo

Di bangun pada tahun 1987

Jumlah Kios

0-5 dan 6-10 524

Buka 0-5 dan 6-10 280

Tutup 0-5 dan 6-10 244

Jumlah Los 480

Buka 115

Tutup 365

Jumlah Lemparakan 672 Buka: 421

Tutup: 251

Jumlah Radius 160

Jumlah Pedagang 976 Orang

Jumlah Pedagang Pakaian 35 Orang

Jumlah Pedagang Pakaian Perempuan 27 Orang Jumlah Pedagang Pakaian laki-laki 8 Orang Sumber: UPT Pasar Kemiri Muka Kota Depok


(40)

28 BAB III

TEMUAN DAN ANALISIS

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan dan menggambarkan sisi kehidupan pedagang perempuan mulai dari kehidupan keluarga mereka sampai pada pola hubungan kerja yang secara tidak langsung memberikan mereka strategi dalam menjaga statusnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Sehingga pada tulisan ini, penulis menekankan pada gambaran kehidupan dan pandangan mereka tentang dunia kerja yang digeluti, faktor pendorong mereka bekerja sebagai pedagang perempuan, peran mereka dalam keluarga serta dunia publik, dan dampak yang dialami sebagai pedagang pakaian dalam melaksanakan peran ganda mereka. A.Motivasi Yang Mendorong Perempuan Bekerja Sebagai Pedagang

Pakaian Di Pasar Tradisional Kemiri Muka Depok.

Feminis liberal menyatakan sebagaimana diungkapkan di muka, fenomena di masyarakat beranggapan bahwa perempuan tidak mampu menjalankan perannya di ranah publik dengan adanya keterbatasan intelektualitas dan keterbatasan fisik jika dibanding dengan para kaum laki-laki. Selain itu posisi perempuan di lingkungan publik tidak muncul atas kesadaran dirinya sendiri. Pandangan ini di tolak oleh feminis liberal karena tidak sesuai dengan realitas yang ada ( Ida dan Herawati, 2013:53). Bagi feminis liberal perempuan memiliki kemampuan rasionalitas yang sama dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada motivasi yang mendorong seorang perempuan untuk bekerja. Kebanyakan dari mereka bekerja karena atas dasar kesadaran mereka sendiri dan bukan dipaksa oleh orang lain. Pada bagian ini


(41)

29

akan dijelaskan mengenai motivasi yang mendorong perempuan untuk bekerja yaitu:

1. Membantu Pendapatan Suami

Secara sederhana, pemenuhan kebutuhan hidup merupakan hal yang sulit dilakukan oleh manusia. Jika apa yang mereka hasilkan dari pekerjaan mereka tidak sesuai dengan besarnya kebutuhan yang ingin dipenuhi, kenyataan yang penuh dengan perjuangan hidup memberikan pandangan tersendiri bagi mereka tentang apa yang mereka kerjakan. Selain itu, faktor ekonomi merupakan salah satu motivasi yang kuat mengapa perempuan bekerja sebagai pedagang pakaian. Motivasi berarti dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar untuk melakukan sikap dengan tujuan tertentu. Begitu pula dengan kegiatan perempuan sebagai pedagang pakaian, segala aktivitas yang dilakukannya selalu didasari oleh beberapa motif yang mendorong mereka melakukan aktivitas tersebut. Secara konseptual motivasi berkaitan erat dengan prestasi atau hasil yang dicapai (Partanto, 1994:120) orang yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja umumnya akan memperoleh prestasi kerja yang lebih baik, begitu pula sebaliknya.

Kondisi tersebut nampak jelas pada sosok pedagang perempuan yang rela bekerja keras meski pendapatan mereka kurang menentu. EV (40 Tahun) sebagai pedagang pakaian anak-anak menjelaskan kepada peneliti:

“Membantu perekonomian keluarga, Membantu meringankan beban suami sebagai kepala rumah tangga, karena sebagai pencari nafkah utama penghasilannya kurang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari” (wawancara 03 Desember 2013).


(42)

30

Dari pernyataan informan di atas, penulis dapat gambarkan bahwa apa yang mereka kerjakan karena dorongan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena berdasarkan pernyataan informan suami yang selama ini mencari nafkah untuk keluarga. Penghasilannya tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-sehari. Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan NH (38 Tahun) kepada peneliti:

“Untuk bantu-bantu perekonomian keluarga kalau mengandalkan suami pendapatannya tidak cukup saya harus ikut putar otak juga untuk tambah penghasilan, saya memilih untuk berdagang di sini (Pasar Kemiri Muka) soalnya disini sewanya masih murah sewa kiosnya. Soalnya belum mampu beli kios kadang,penghasilan

perbulan yang juga masih belum cukup” (wawancara 03 Desember 2013).

2. Menjadi Tulang Punggung Ekonomi Keluarga

Tidak sedikit perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, untuk dapat menghasilkan penghasilan bagi keluarganya, seperti yang dialami oleh ED (35 Tahun) ia menuturkan dalam sebuah wawancara:

“Bekerja sebagai pedagang pakaian saya lakukan karena mengantikan peran suami saya untuk mencari nafkah bagi keluarga saya, karena suami saya baru saja berhenti dari pekerjaannya. Semua penghasilan didapat untuk menghidupi keluarga” (wawancara 12 Desember 2013). Senada dengan ungkapan di atas, NI (45 Tahun) mengungkapkan alasannya bekerja:

“Saya berdagang awalnya karena saat itu suami berhenti bekerja dari tempat dia bekerja karena penyakit Diabetes yang dideritanya, saya harus bekerja untuk melanjutkan hidup dan membiayai semua kebutuhan rumah tangga,untungnya saat ini suami sudah sehat dan bisa bekerja menjadi supir angkutan umum walaupun dengan trayek yang tidak jauh karena sakit yang dia derita” (wawancara 10 Desember 2013).


(43)

31

Perempuan bekerja karena pencari nafkah utama tidak mampu lagi untuk bekerja, sehingga mereka menggantikan peran suami. Dalam konteks ini menambah pendapatan keluarga serta menjadi pencari nafkah utama pengganti suaminya, adalah bentuk kesadaran informan akan kebutuhan keluarganya. Mereka bekerja karena ada “rasa sadar” akan tanggung jawabnya yang ditandai dengan “andilnya” dalam menggeluti dunia kerja (Mudzhar, 2001:34). Dalam penelitiannya mengatakan bahwa perempuan bekerja hanya beralasan ekonomi, di mana mereka berupaya menambah penghasilan suami relatif kecil atau istri mempunyai kemampuan untuk bekerja dan memiliki waktu untuk usaha tersebut.

3. Kemandirian

Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, alasan lain mengapa perempuan bekerja adalah “kemandirian” sebagian dari mereka beranggapan bahwa perempuan berhak untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup pribadi mereka, seperti yang dijelaskan informan MR (32 Tahun) kepada peneliti:

“Saya minta modal sama suami untuk jualan pakaian, karena tidak mau bergantung pada penghasilan suami, karena dari kecil saya sudah terbiasa berdagang ikut orang tua” (wawancara 10 Desember 2013).

Pernyataan informan di atas menggambarkan tentang kebiasaan informan yang dari kecil sudah terbiasa dengan hidup mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain, karena sudah terbiasa dari kecil mencari uang dengan membantu orangtuanya di pasar, selain itu sikap tidak ingin bergantung dengan suami pun digambarkan oleh informan dengan memilih


(44)

32

membuka usaha berdagang pakaian sendiri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan EV (40 Tahun) dalam wawancara:

“Sekarang kan sudah jamannya modern, jadi perempuan berhak untuk untuk bekerja maunya sih usahanya lancar, siapa tau berkembang dan bisa maju karena pendapatan suami sebagai satpam rasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan serta biaya pendidikan anak” (wawancara 03 Desember 2013).

Perempuan juga berhak untuk bekerja mandiri serta bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih pendapatan suami yang hanya bekerja sebagai satpam sebuah pabrik, tidak cukup untuk memenuhi kehidupan keluarga. Selain itu yang dikerjakan olehnya adalah bentuk partisipasinya dalam keluarga untuk menambah pendapatan suami serta untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Begitu pula dengan pernyataan LR 28 (Tahun) kepada peneliti:

“Dagang pakaian salah satunya untuk memenuhi kebutuhan saya pribadi, seperti beli alat make up, pakaian, arisan pokoknya kebutuhan wanita jadi lebih enak beli kebutuhan sendiri tanpa minta sama suami ” (wawancara 04 Desember 2013).

4. Mengisi Waktu Luang

Ada beberapa faktor lain yang mendorong perempuan bekerja. Di antaranya adalah pekerjaan ini cukup mudah untuk dikerjakan dan pendapatan yang didapat bisa membantu perekonomian keluarga, selain itu pekerjaan menjadi pedagang pakaian terhitung santai sehingga mereka masih bisa melakukan pekerjaan yang lain seperti pekerjaan rumah terlebih dahulu. Seperti penuturan informan MR 32 (Tahun) kepada peneliti:

“Setiap hari kebutuhan semakin meningkat dengan harga-harga yang setiap harinya naik, saya berinisiatif membuka usaha toko pakaian


(45)

33

kecil-kecilan selain itu juga untuk mengisi waktu luang daripada di rumah tapi tidak menghasilkan uang” (wawancara 10 Desember 2013).

Sama dengan hal ini, mereka perempuan pedagang pekerja hanya untuk mencari tambahan penghasilan dimana aturan-aturan santai dan tidak mengikat mereka yang membuatnya memilih profesi pedagang pakaian sebagai pekerjaan yang cocok bagi mereka, selanjutnya dijelaskan oleh EN (35 Tahun) kepada peneliti:

“Saya juga untuk mencari kesibukan, berdagang pakaian sendiri enak bisa atur waktu jadi kerjaan rumah kepegang sendiri biar capek juga, selain itu di pasar tradisional tidak selalu ramai seperti mall pada umumnya dan sampai malam harus jaga tokonya” (wawancara 27 November 2013).

Pernyataan diatas menjelaskan bahwa selain faktor ekonomi, ia berdagang untuk mengisi waktu luang dan pekerjaan yang dipilih termasuk santai dan mudah dikerjakan selain itu pekerjaan rumah yang dikerjakan sendiri pun bisa dikerjakan setelah berjualan ataupun sebelum berangkat ke pasar.

5. Meningkatkan Status Sosial

Selain itu faktor yang mendorong perempuan untuk bekerja adalah untuk meningkatkan status sosial. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial selalu mencerminkan konsep-konsep tindakan sosial, pola interaksi, sturktur sosial dan nilai-nilai atau norma-norma yang kesemuanya terintegrasi kedalam satu sistem kekeluarga mengatur pelaksanaan perkawinan reproduksi). Sistem ini sangat bervariasi dari masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Batas-batas dari hubungan kekerabatan ditentukan oleh


(46)

34

prinsip-prinsip keturunan. Umumnya dikenal tiga prinsip keturunan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu patrilineal, matrilineal dan bilineal (Sanderson, 2004:45).

Pada masyarakat, sistem kekerabatan yang kebanyakan dianut adalah sistem kekerabatan patrilineal, di mana pada sistem ini laki-laki menempati posisi yang lebih tinggi dan secara hukum adat sebagai pewaris harta kekayaan keluarga, sedangkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dan tidak berstatus sebagai pewaris harta keluarga. Perempuan hanya mempunyai hak sebagai pemakai hak harta orang tua atau suaminya. Meskipun hampir sebagian besar informan perempuan pedagang pakaian mengikuti sistem matrilineal, yakni garis kekerabatan dimana perempuan statusnya lebih tinggi daripada laki-laki. Nyatanya kebanyakan mereka tidak terlalu berpengaruh dengan garis kekerabatan matrilineal seperti pernyataan EN (35 Tahun):

“Saya asalnya padang suami juga dari padang, tapi di keluarga saya gak berlaku sistem matrilineal kayagitu tetep aja suami di atas kedudukannya istri dibawah, keluarga juga gitu karena sudah lama tinggal di Depok jadi tidak terlalu mengikuti adat yang ada malah kebawa-bawa kebiasaan orang sini. Saya bekerja karena memang ingin bukan karena paksaan dari siapapun lagipula jika saya bekerja saya jadi punya penghasilan seperti suami saya dan saya jadi terlihat sama dengan perempuan yang bekerja menjadi pegawai ” (wawancara 27 November 2013).

Dari pernyataan informan dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini, adat dan garis keturunan tidak begitu dianggap penting, karena konstruk sosial yang ada di masyarakat bahwa laki-laki tetap memegang kekuasaan dan perempuan berada dibawah. Untuk itulah perempuan terdorong untuk


(47)

35

berusaha mencari penghasilan sendiri sehingga mereka terjun ke dunia publik (mencari nafkah).

Terjunnya perempuan ke ranah publik akan memungkinkan perempuan memperoleh sumber daya pribadi, berupa penghasilan yang nantinya dapat merubah posisinya dalam keluarga. Sebagai seorang perempuan yang pada mulanya dipandang hanya bisa meminta belas kasihan dari suami menjadi bergeser, dan ini juga secara sosial akan merubah pandangan individu di sekitarnya. Perempuan akan dipandang lebih berarti, jika tidak bergantung sepenuhnya secara ekonomi pada suami.

Keterlibatan perempuan ke dunia nafkah, tidak berarti mereka dapat melepaskan segala kewajiban pada sektor domestik dan kegiatan domestik pada dasarnya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan perempuan bekerja (Sanderson, 2000:75). Kondisi ini menyebabkan perempuan dalam memilih pekerjaan akan memadukan antara kerja nafkah dengan kerja rumah tangga. Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam struktur subordinat dalam berbagai kegiatan, telah menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik. Wilayah perempuan yang berkisar sekitar tugas-tugas rumah tangga seringkali tidak dihargai atau dianggap tidak bernilai ekonomi. Tugas rumah tangga bagi perempuan merupakan suatu titah, perempuan adalah ratu rumah tangga (Budiman dalam Abdullah, 1997:151). Keadaan ini menyebabkan status perempuan semakin terpinggirkan.


(48)

36

Paradigma ini memotivasi perempuan untuk bekerja, dengan bekerja mereka akan memperoleh penghasilan sendiri dengaan demikian mereka akan mampu merubah status sosialnya menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak bekerja atau mencari nafkah, karena itulah mereka merasa terdorong untuk menekuni pekerjaan yang menghasilkan uang. Mereka tidak mau hidupnya hanya berkutat disekitar dapur, seperti penuturan LR (28 Tahun):

“Saya bekerja agar tidak dianggap sebelah mata oleh suami, walaupun kebutuhan keluarga sudah ditanggung oleh suami saya” (wawancara 04 Desember 2013).

Penuturan yang sama diucapkan oleh EV (40 Tahun):

“Sekarang kan zamannya sudah modern, jadi menurut saya perempuan berhak untuk bekerja, soalnya kebanyakan di daerah rumah saya kebanyakan para istri hanya jadi ibu rumah tangga dan hanya mengandalkan pendapatan suami, karena kebanyakan ibu-ibu yang seumur saya hanya tamatan SD, mereka bingung mau kerja apa saya tidak ingin dicap seperti itu meskipun saya hanya lulusan SMP” (wawancara 03 Desember 2013).

Apa yang diungkapkan oleh Ibu LR dan EV di atas, merupakan salah satu model perjuangan perempuan untuk keluar dari sektor domestik. Perempuan merasa tidak tenang jika hanya tinggal di lingkungan tempat tinggalnya, mereka lebih senang keluar rumah dan bertemu dengan teman-teman seprofesi di pasar (Abdullah, 2001:143).

Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah sebagai pedagang pakaian. Bagi mereka bekerja sebagai pedagang pakaian dapat dilakukan setelah menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, berdasarkan hasil wawancara


(49)

37

seluruh responden menyatakan faktor inilah yang menjadi salah satu alasan mereka memilih pekerjaan sebagai pedagang pakaian.

6. Faktor lainnya ( kenyamanan, alasan kedaerahan, pasar yang tergolong murah untuk sewa kios, informasi usaha perdagangan).

Penjelasan pada faktor ini, wawancara dilakukan oleh empat orang informan yang memiliki jawaban berbeda-beda, tentang alasan mereka bekerja menjadi pedagang pakaian. Berikut adalah data wawancara dari para informan, yang pertama adalah informan EV (40 Tahun):

“Mulai berdagang sejak tahun 2000, sudah 13 tahun selain itu saya sudah nyaman berdagang, karena merasa lebih pandai berjualan pakaian” (wawancara dilakukan pada tanggal 03 Desember 2013). Menurut informan EV alasan dia bekerja adalah karena informan merasa sudah nyaman dengan bekerja sebagai pedagang pakaian sehingga informan tidak berani untuk berspekulasi untuk mencari pekerjaan lainnya. Hal yang berbeda diungkapkan oleh AH (25 Tahun) dan EY (43 (Tahun) alasan mereka selain ekonomi adalah karena faktor dari daerah mana mereka berasal mempengaruhi mereka berdagang pakaian berikut penuturan informan kepada peneliti:

“Karena biasanya rata-rata orang padang berjualan pakaian, selain itu jualan baju selalu banyak model baru tidak seperti lainnya, apalagi sayuran yang memang ada waktu busuknya kalau pakaian kan tidak” (wawancara 27 November 2013).

Penuturan yang sama disampaikan oleh informan EY (43 Tahun) kepada peneliti:

“Rata-rata orang padang ya jualan pakaian coba kau tengok dan tanya orang yang dagang pakaian, hampir semua orang Sumatera Barat. Kalau sayuran itu sebagian banyak orang Jawa, jadi sepertinya


(50)

38

masing-masing daerah mempunyai keahlian

masing-masing”(wawancara 03 Desember 2013).

Banyaknya perempuan yang bekerja karena tuntutan dan dorongan ekonomi serta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk tetap melanjutkan hidup, dirasakan oleh beberapa perempuan yang bekerja dengan pendapatan yang pas-pasan menuntut mereka memilih tempat berdagang yang sesuai dengan pendapatan mereka, informan NH (38 Tahun) menjelaskan kepada peneliti:

“Saya memilih berdagang disini (Pasar Kemiri Muka) soalnya disini sewanya masih kiosnya masih murah, saya belum mampu membeli lapak karena penghasilan perbulan saya masih belum cukup” (wawancara dilakukan pada tanggal 03 Desember 2013).

Tidak dipungkiri bahwa apa yang menjadi standar hidup seseorang adalah, bagaimana kebutuhan itu terpenuhi dan hasil yang didapatkan dari pekerjaan mereka dapat ditabung atau digunakan untuk hari esok. Selanjutnya RD (40 Tahun) menjelaskan kepada peneliti alasan dia bekerja sebagai pedagang pakaian di Pasar Kemiri Muka, berikut penuturannya:

“Awalnya ditawari oleh saudara dari suami dipinjami modal untuk

berdagang, pelan-pelan diajari caranya berdagang karena

kebanyakan saudara suami sebagian berjualan pakaian dan berhasil” (wawancara 11 Desember 2013).

Informasi akan usaha perdagangan merupakan faktor pendorong RD untuk terjun dalam usaha yang digelutinya, selain dorongan akan pemenuhan kebutuhan yang lebih kompleks. Pengalaman akan keberhasilan lingkungan keluarga merupakan pelajaran baginya yang mendorongnya sehingga dia memilih pekerjaan tersebut sebagai profesinya. Jelasnya bahwa


(51)

39

informan tertarik menggeluti usaha perdagangan adalah karena tertarik dengan keberhasilan saudaranya dengan bekerja sebagai pedagang pakaian, sehingga ia berusaha untuk bekerja dan berharap berhasil seperti saudaranya.

Tabel.II.A.4. Tabel Alasan Perempuan Bekerja Sebagai Pedagang Pakaian

No

Faktor-Faktor

Nama Umur

Membantu Pendapatan Suami Menjadi tulang punggung keluarga

Kemandirian Status

Sosial Lainnya

1. EV 40 -

2. AH 25 - - -

3. EY 43 - - -

4. NH 38 - - - -

5. MR 32 - - -

6. NI 45 - -

7. EN 35 - -

8. LR 28 - - -

9. ED 35 - -

10. RD 40 - - -

Keterangan faktor Sumber: Hasil wawancara 2013.

Dari penjelasan tabel di atas, maka hal yang dapat ditarik adalah yang mendasari perempuan bekerja sebagian besar adalah faktor ekonomi. Hal ini dikarenakan keadaan yang memaksa mereka untuk bekerja. Temuan di atas mendukung teori feminis liberal yang menyatakan tentang pilihan rasionalitas, di mana mereka bekerja atas dasar pilihan mereka sendiri dan didorong pemikiran secara rasional seperti mereka bekerja (Ida dan Hermawati, 2013:53). Mereka tidak ingin dipandang sebelah mata oleh suami mereka. Mereka berpikir bagaimana caranya untuk membantu perekonomian keluarga dan menggantikan posisi suami untuk menjadi


(52)

40

tulang punggung ekonomi keluarga. Motivasi yang mendorong mereka bekerja membuktikan bahwa, seorang perempuan yang digambarkan sebagai sosok yang lemah, emosional, sensitif, dan kurang akal dianggap pas untuk berada di ranah domestik itu ternyata tidak benar. feminisme liberal menyatakan bahwa perempuan harus bisa keluar dari ruang domestik dengan melakukan perubahan, indikator perubahan pada perempuan dapat diukur bila perempuan memiliki otonomi diri sendiri. Sehingga, dia mampu menentukan dirinya sendiri, bukan menjadi alat dan media untuk kesenangan orang lain, karena perempuan harus menjadi agen rasional yang mempunyai kemampuan dan kehendak sendiri (Ida dan Hermawati, 2013:54). Oleh karena itu mereka berusaha untuk keluar dari ranah domestik, karena adanya kesadaran gender yang timbul dari dalam diri mereka.

B.Beban Ganda Perempuan Dalam Ranah Domestik, Publik Dan Sosial. Perempuan mengalami beban ganda yang lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut dikarenakan adanya budaya patriarki dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi, sehingga beban pekerjaan rumah tangga senantiasa disematkan kepada kaum perempuan. Menurut Moser (Moser, 1993:27) untuk mengetahui beban ganda perempuan, maka harus melihat triple roles yang meliputi peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Dari kacamata triple roles tersebut dapat membantu dalam menganalisa mengenai pengalaman perempuan terkait double burden. Berikut hasil temuan:


(53)

41

1. Tanggung Jawab Mengantar Anak Dan Menjemput Anak

Anak merupakan karunia Tuhan di mana para orang tua wajib mendidik dan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Namun dilain pihak mengasuh anak merupakan salah satu kegiatan pada sektor domestik perempuan selain mengatur rumah tangga. Sebagai dambaan orang tua, anak adalah modal masa depan yang akan memelihara dan mempertahankan kehidupan keluarga baik fisik, mental dan sosial. Oleh sebab itu pembinaan dan pengembangan emosi anak yang optimal dibutuhkan untuk menyiapkan potensi manusia yang tanggguh dan berkualitas.Anak membutuhkan kemampuan untuk berfikir, mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dalam menghadapi masa depan, untuk dapat mengambil keputusan yang benar. Peran orang tua dan keluarga sebagai unit sosial yang pertama dan utama, bertugas mensosialisasikan nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar dalam mempersiapkan kemampuan anak untuk menjadi generasi penerus.

Kegiatan pengasuhan anak sebagai peran orang tua dan keluarga mengiringi peran pendidikan formal dan informal sehingga kualitas anak yang terbentuk mampu menjadi sumber daya tangguh dan unggul. Namun dalam pelaksanaan tidak sepenuhnya mengasuh anak selama 24 jam di pegang oleh seorang perempuan yang bekerja, mereka terpaksa menitipkan anak-anak mereka ke kerabat atau keluarga terdekat mereka. Dan sepulangnya dari bekerja mereka harus menjemput si anak dari tempat


(54)

42

penitipan anak atau rumah orangtuanya seperti penuturan informan MR (32 Tahun) yang tinggal tidak jauh dari lokasi pasar, di dekat Stasiun Depok Lama sebagai berikut:

“Saya mempunyai tiga orang anak yang masih kecil. Karena saya sangat sibuk mencari nafkah berdua dengan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jadi anak kami saya titipkan di rumah orang tua biasanya bersama neneknya (ibu mertua) agar ada yang menjaganya. Setelah saya selesai berdagang saya menjemput anak-anak” (wawancara 10 Des ember 2013).

Dari pengakuan MR menunjukan bahwa keluarganya adalah keluarga kurang mampu yang menyebabkan dia menjadi perempuan pekerja, rela bangun pagi buta dan pulang pada sore hari untuk menafkahi keluarganya, dan ia tidak punya waktu yang cukup untuk mengasuh dan mendidik anaknya, solusi untuk mengatasi kondisi ini adalah informan terpaksa menitipkan anaknya pada orang tuanya. Selain itu ia tidak mampu untuk menyewa seseorang untuk menjaga dan mengasuh anaknya, hal ini di perjelas lagi:

“Habis mau bagaimana lagi, maunya saya menyewa seseorang untuk mengasuh anak saya agar tidak membebani orang tua yang memang sudah berumur. Tapi karena uang yang saya dapatkan berdua dengan suami hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak saya, karena pendapatan saya perbulan saja hanya sekitar 3juta kalau rame, belum untuk putar modal, jajan anak, sekolah anak, bayar listrik masih kurang jadi terpaksa saya titipkan ke orang tua suami. Selain aman dan juga tidak mengeluarkan uang lebih untuk membayar (babysitter)” (wawancara dilakukan pada tanggal 10 Desember 2013).

Kondisi keluarga MR merupakan cerminan keluarga kelas bawah yang sebagian besar menerapkan ekonomi subsisten. Menurut Raharjo


(55)

43

ekonomi subsisten adalah mereka melakukan pekerjaan untuk nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan (Raharjo, 1999:67). Pada keluarga MR, menunjukan pola pengasuhan anak yang dipercayakan kepada pihak lain seperti pada orang tua. Hal ini sama dengan penuturan ED (35 Tahun), kepada peneliti:

“Selama saya bekerja, anak-anak saya titipkan sama neneknya (ibu informan). Selain bersama neneknya terkadang saya titipkan sama bibinya (kakak informan). Semua itu dikarena keterbatasan ekonomi dan tidak ada uang untuk biaya asuh. Sehingga hal tersebut memudahkan kami di dalam mencari nafkah (wawancara 12 Desember 2013).

Selain karena keterbatasan dalam ekonomi, mereka menitipkan ke keluarga terdekat mereka karena mereka merasa aman, mempercayakan anak mereka untuk dijaga dan diasuh ketimbang ke orang lain. Selain itu mereka juga mempunyai beban dan tanggung jawab untuk menjemput anak mereka ketika mereka selesai bekerja.

2. Bekerja Sambil Mengasuh Anak

Di samping pengasuhan anak oleh orang lain (keluarga), ada pula pengasuhan anak sendiri yakni dengan mengikut sertakan anaknya ketika sedang berdagang. Seperti yang dilakukan oleh keluarga EN (35 Tahun) informan mempunyai anak berumur enam tahun dan tiga tahun, seperti berikut ini:

“Anak-anak selalu ikut saya berdagang, karena masih kecil-kecil jadi masih bisa saya bawa ke pasar. Saya memilih mengurus anak sendiri karena masih bisa di pegang sendiri, anak-anak tidak saya titipkan ke orang tua karena orang tua di kampung, kalaupun mau dititipkan ke saudara jarak rumah kami yang cukup jauh. Maka saya


(56)

44

memutuskan untuk membawa mereka ke pasar dan sekolah anak saya pun dekat dengan pasar” (wawancara 27 November 2013).

Dari penuturan informan tersebut, sangat jelas bahwa pengasuhan anak yang dilakukan keluarga EN adalah pengasuhan sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh pola menetap bersifat neolokal yaitu pasangan suami istri yang bertempat tinggal terpisah dari orang tua. Informan dan suaminya merantau karena ingin memperoleh penghidupan yang lebih baik. Kelangsungan hidup mereka merupakan tujuan utama, keadaan ini menyebabkan EN rela bangun pagi buta dan bekerja membanting tulang sebagai pedagang pakaian dan masih harus mengasuh anak saat bekerja secara bersamaan. Pola pengasuhan anak dengan melakukan penitipan anak pada lembaga penitipan anak, tidak dilakukan oleh perempuan yang menekuni pekerjaan sebagai pedagang pakaian. Dari informasi yang diperoleh dari semua informan menyatakan pola pengasuhan pada lembaga penitipan anak hanya sesuai dilakukan oleh ibu-ibu yang bekerja sebagai pegawai kantoran, sedangkan mereka yang bekerja sebaga pedagang pakaian tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk membayar biaya penitipan anak pada lembaga penitipan anak tersebut, untuk kebutuhan pokok saja masih kurang.

Dari paparan di atas pola mengasuhan anak yang dilakukan oleh perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian Pasar Kemiri Muka berlaku pengasuhan sendiri. Hal ini berhubungan dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing keluarga perempuan pedagang pakaian Pasar Kemiri Muka, yang secara sosial ekonomi termasuk ekonomi kelas bawah


(57)

45

dan kelas menengah sehingga sangat sulit untuk membayar tenaga lain untuk mengasuh anaknya dan mereka juga terbebani oleh pola menetap neolokal artinya mereka tinggal di kota Depok sebagai migran dan jauh dari sanak saudara.

Sehingga aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pedagang pakaian sangat beragam dan berat, disamping bekerja mencari nafkah mereka juga tetap terbebani oleh kerja domestik seperti pengasuhan anak dan kegiatan rumah tangga lainnya. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik dengan jalan mentransformasi hubungan sosial dalam rumah tangga baik isteri, suami dan keluarga untuk bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. Tapi pada kenyataannya mereka melakukan tugas pengasuhan anak sendiri tanpa bantuan suami mereka. 3. Kegiatan Pengaturan Rumah Tangga Sebelum Bekerja

Aktivitas mencari nafkah rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dalam struktur ekonomi kelas bawah merupakan kesatuan sosial ekonomi. Dalam proses pemenuhan kebutuhan nafkah hidup dilakukan dari sejumlah anggota keluarga. Tenaga kerja tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa maupun anak-anak yang dianggap cukup mampu melaksanakan sesuatu yang menghasilkan. Keadaan ini diperkuat lagi oleh kehidupan masyarakat saat ini yang lebih terikat pada sistem ekonomi kapitalis, di mana segala sesuatu diukur dengan uang sebagai konskuensinya semua orang terikat pada uang .


(58)

46

Sejalan dengan pandangan analisis kerangka Moser yang bertujuan untuk meningkatkan emansipasi perempuan, dari posisi mereka yang subordinat, untuk mencapai kesamaan, dan kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan. Maka salah satu upayanya adalah perempuan harus bekerja keluar rumah, pekerjaan rumah tangga dapat menghambat perempuan bekerja mencari nafkah, maka faktor tersebut harus dibagi-bagi pada semua anggota keluarga yang sudah mampu mengerjakannya seperti suami dan anak-anak yang sudah besar. Namun kenyataan di lapangan bahwa suami mereka tidak membantu banyak dalam hal domestik. Seperti penuturan EY (43 Tahun) yang bekerja sebagai pedagang pakaian perempuan menuturkan kepada peneliti:

“Saya berangkat ke pasar paling pagi dari pedangan pakaian lain, kira-kira saya berangkat pukul 04,00 WIB sebelum berangkat saya pasti masak untuk sarapan suami dan anak-anak saya dulu baru berangkat ke pasar dan tutup pukul 16,00 WIB juga karena saya mengelola toko bersama suami jadi kadang gantian berjaganya atau kalau urusan mengurus pekerjaan rumah tangga saya suka dibantu oleh anak perempuan saya, kadang suami saya bantu tapi hanya sekedarnya saja, kalau dia lagi kepengen bantu” (wawancara 27 November 2013).

Berdasarkan ungkapan di atas melakukan pekerjaan sebagai pedagang pakaian di Pasar Kemiri Muka. Sebagai ibu rumah tangga atau seorang istri sudah tentu EY juga terikat oleh pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikannya. Seperti menyiapkan makanan untuk keluarga, mencuci, membersihkan rumah. Sebagai pedagang pakaian EY tidak terikat waktu bekerja seperti halnya orang yang bekerja di kantor, jadi ia


(59)

47

bebas untuk memilih waktu berangkat ke pasar. Berbeda dengan informasi dari NI (48 Tahun) yang menuturkan sebagai berikut:

“Saya berangkat ke pasar habis subuh, sekitar jam 05,00 WIB atau kalau sedang repot jam 06,00 WIB karena saya harus beres-beres rumah terlebih dahulu kaya nyuci baju, ngepel, pokonya beres-beres rumah. Kalau masak seadanya buat sarapan anak-anak kalau tidak sempat anak-anak saya suruh masak mie saja,baru hari libur sekolah anak saya yang paling besar bantu itupun pekerjaan yang masih termasuk ringan seperti menyapu halaman, mencuci piring, dan mengepel lantai,saya baru pulang dari pasar jam 03,00 WIB. Rata-rata pedagang pakaian disini sudah tutup jam 02,00 WIB, karena biasanya pasar rame itu justru pagi, banyak yang beli” (wawancara 10 Desember 2013).

Dari penuturan tersebut, menggambarkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pedagang pakaian, dalam melaksanakan kebutuhan mencari nafkah berkaitan dengan cara mereka mengatur penyelesaian tugas rumah tangga. Serta pengaturan waktu masing-masing saat berangkat bekerja, seperti NI yang memilih berangkat ke pasar tidak terlalu pagi. Pemilihan waktu ini karena berkaitan dengan tugas-tugas rumah tangga yang harus diselesaikan. Hal ini sama dengan EN (35 Tahun) kepada peneliti:

“Saya biasanya ke pasar pada pukul 09,00 WIB, tapi toko sudah buka pukul 06,00 WIB karena saya ada yang bantu-bantu biasanya saudara yang bukakan toko karena saya harus beres-beres rumah dulu, mengantar anak ke sekolah, masak, mencuci pakaian setelah beres baru saya bisa ke pasar” (wawancara 27 November 2013). Dari penuturan kedua informan tersebut sesuai dengan pendapat (Suratiyah, 1996:60) yang menyatakan bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga selain harus mengalokasikan waktunya untuk melakukan


(60)

48

segala kegiatan rumah tangga sehubungan dengan kedudukannya dengan sebagai istri dan ibu rumah tangga, disamping itu juga harus meluangkan waktunya untuk melakukan kegiatan mencari nafkah baik dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga.

Agar aktivitas dalam mencari nafkah tidak berbenturan dengan penyelesaian tugas rumah tangga maka pengalokasian waktu untuk menyelesaikan ke dua tugas tersebut dilakukan dengan jalan mentransformasi hubungan-hubungan sosial dalam rumah tangga antara suami, isteri dan anak. Dengan perubahan-perubahan hubungan sosial dalam rumah tangga maka semua anggota keluarga mempunyai tugas yang sama untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, hanya saja sangat tergantung dari waktu yang mereka miliki atau alokasi tersebut tergantung pada kemampuan dan kebutuhan masing-masing rumah tangga. Agar perempuan harus terbebas dari keterpinggiran maka perempuan harus bekerja dan harus mentransformasi kan dirinya di masyarakat (Barker,2005:299). Namun tidak sesuai dengan hasil temuan di lapangan Seperti penuturan RD (40 Tahun) :

“Saya bekerja sebagai pedagang sudah sebelas tahun, saya berangkat cari nafkah dari pukul 08,00 WIB dan tutup lapak jualan saya pada pukul 04,00 WIB karena tempatnya masih dibatasi untuk pedagang yang lain bila menjelang malam, saya bekerja kurang lebih 7 jam sehari dan sisa waktu yang saya miliki, saya gunakan untuk istirahat dan mengerjakan tugas rumah tangga” (wawancara 06 Desember 2013).

Dari penuturan informan di atas diperoleh keterangan bahwa, disamping kedudukannya sebagai istri dan ibu rumah tangga dia juga


(1)

Profil (identitas informan) Nama :

Umur : Agama :

Pekerjaan Suami : Suku :

Pedoman wawancara

Pertanyaan tentang gambaran umum penelitian 1) Ibu berasal dari mana?

2) Di depok ibu tinggal bersama siapa? 3) Suami ibu bekerja dimana?

4) Berapa jumlah anggota keluarga ibu?

5) Apa yang ibu kerjakan selama tinggal di kota depok?

Pertanyaan tentang peran yang dijalankan 1) Bagaimana peran ibu di keluarga?

2) Bagaimana keluarga, suami atau anak-anak menyikapi peran ganda yang ibu lakukan? 3) Apa peran ibu di tempat ibu bekerja?

4) Menurut ibu apakah pendidikan mempengaruhi status atau peranan dalam keluarga? 5) Apakah ibu menikmati peran ganda yang ibu jalankan saat ini?

6) Sebagai ibu rumah tangga apakah peranan yang ibu lakukan, seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dibantu oleh suami atau bahkan digantikan?

Aspek yang mendorong perempuan bekerja dan bagaimana perempuan mengatur waktu dalam berdagang dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

1) Apa yang memotivasi ibu untuk bekerja/berdagang pakaian? 2) Sejak kapan ibu mulai berdagang pakaian?

3) Apa suami mengijinkan ibu bekerja?

4) Kenapa ibu memilih untuk berdagang pakaian? 5) Jam berapa ibu pergi kepasar, dan pulang dari pasar?


(2)

7) Bagaimana cara ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga?

8) Apa ibu tidak malu bekerja sebagai pedagang pakaian kaki lima yang tidak mempunyai kios atau bahkan mengontrak tempat?

9) Apa suami ibu tidak menyarankan pekerjaan yang lain?

10) Apa ibu tidak merasa berat dengan pekerjaan yang ibu lakoni?

11) Berapa penghasilan ibu perbulan?

12) Untuk apa saja hasil yang ibu peroleh?

13) Apakah penghasilan ibu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga?

Pertanyaan tentang hambatan-hambatan yang dialami sebagai pedagang pakaian dalam melaksanakan peran ganda yang dimiliki.

1) Apa pendapat masyarakat tentang pekerjaan yang ibu lakukan?

2) Apakah pekerjaan yang ibu lakukan menghambat peran ibu sebagai ibu rumah tangga atau sebagai seorang istri?

3) Bagaimana situasi keuarga ibu setelah ibu bekerja? 4) Bagaimana pandangan suami ibu setelah ibu bekerja?

5) Menurut ibu apakah budaya yang ibu percaya saat ini (sistem patriarki), membuat ibu terbebani dalam melaksaan peran ibu saat ini?


(3)

Dokumentasi hasil wawancara

Wawancara dengan salah satu pedagang


(4)

Salah satu konsumen yang sedang memilih pakaian


(5)

(6)