Pandangan Suami Dan Istri Terhadap Peran Ganda Yang Dijalankan

60 antara lain adalah pengaruh kultur timur tengah yang diikuti oleh Negara Islam lain pada jaman dulu, kultur semacam itu disebagian masyarakat islam masih dipertahankan, namun di berbagai masyarakt muslim sudah tidak berlaku Faqih, 1996:132, dengan kata lain kultur patriarki yang masih dianut oleh sebagian masyrakat benar-benar ikut andil dalam melanggengkan ketidak adilan gender. Dengan menekuni persoalan- persoalan gender, ada beberapa permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untk dilakukan kajian. Masalah persoalan subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletekkan kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil equal. Oleh Karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan seperti beberapa ayat dalam Al- Quran, surat Al-Hujurat ayat 14 yang berbunyi: “Sesungguhnya telah aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenal; sesungguhnya yang mulia diantara kalian adalah yang paling takwa” Q.S. AL-Hujurat, Ayat 14. Masih banyak lagi ayat Al-Quran yang mendukung pandangan bahwa kaum perempuan tidaklah subordinasi terhadap kaum laki- laki,seperti at-taubah ayat 71; an-Nisa ayat 123. Selain itu pemahaman 61 yang bias gender selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan, juga segenap ayat yang berkaitan dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan dalam tradisi penafsiran Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, sehingga kaum perempuan tidak memiliki hak berproduksi maupun reproduksi Faqih, 1996:138. Ketidak pahaman laki- laki dalam memaknai setiap ajaran agama dan isi kandungan ayat suci Al- Quran melahirkan kesenjangan yang terjadi didalam keluarga serta menanamkan subordinasi terhadap masing-masing anggota keluarga mereka, bahkan perempuan sendiri yang melanggengkan subordinasi tersebut karena pemahaman yang serupa dengan laki-laki. Seperti penuturan EY 43 Tahun: “Karena sudah dari kecil di keluarga ditanamkan agama yang kuat, saya juga melihat ibu saya begitu patuh kepada bapak jadi saya ingin seperti ibu saya, jadi ikhlas-ikhlas aja ngelakuinnya meskipun capek dan suami jarang membantu, yang penting mendapatkan pahala dari dulu juga perempuan sebenarnya tugasnya mengurus rumahya istilahnya di dapur mah memang sudah kodratnya perempuan” wawancara 27 November 2013. Hal senada diungkapkan oleh EN 35 Tahun kepada peneliti: “Sebenarnya suami saya tidak mengijinkan saya untuk bekerja, karena menurutnya perempuan itu harusnya di rumah, kalau dia bekerja pekerjaan rumah tidak bisa dipegang jadi anak-anak tidak bisa diperhatikan juga, jadi saya kalau mau berdagang harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dulu, kalau sudah rapih baru boleh berangkat ke pasar, jadi sangat nurut apa kata suami karena keluarga harus diutamkan, kalau masalah pekerjaan jadi double sudah resiko, karena suami sudah lelah bekerja jadi pekerjaan saya lakukan sendiri kalau laki-laki yang mengerjakan nanti dibilang tidak becus mengurus keluarga dan rumah” wawancara 27 November 2013. 62 Menurut gambaran diatas terlihat bahwa apa yang mereka lakukan meniru apa yang dilakukan perempuan terdahulu pada umumnya, hal itu semata-mata kontruksi sosial yang turun menurun ada di keluarga atau masyarakat kelas menengah. Dan latar belakang pendidikan mereka yang kurang dalam memahami kajian agama dan konsep kesetaraan gender dalam rumah tangga. Hal ini juga diperkuat dengan ajaran agama yang mereka dapatkan terlalu bias gender seperti penafsiran teks suci secara harfiah yang berdampak pada posisi perempuan semakin terpuruk Ida dan Hermawati, 2013:118. Selain itu tidak adanya penyuluhan yang diadakan lembaga-lembaga yang terkait menyebabkan subordinasi masih kerap terjadi di kalangan masyarakat menengah dan kebawah, bahkan mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan hal yang biasa.

C. Dampak Peran Ganda Terhadap Kehidupan Perempuan Secara Personal

Secara umum peran ganda perempuan diartikan sebagai dua atau lebih peran yang harus dimainkan oleh seorang perempuan dalam waktu bersamaan. Adapun peran-peran tersebut umumnya mengenai peran domestik, sebagai ibu rumah tangga, dan peran publik yang umumnya dalam pasar tenaga kerja Rustiani, 1996:60. Namun dalam menjalankan peran ganda selalu ada hambatan atau kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh perempuan. Banyak persoalan yang dialami ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, seperti bagaimana mengatur waktu dengan suami dan anak hingga mengurus tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Ada yang bisa menikmati 63 peran gandanya, namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan- persoalan rumit kian berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Sejak dulu persoalan yang dihadapi kaum ibu yang bekerja di luar rumah tidak jauh berbeda berbagai dampak dan kesulitan yang mereka alami dari masa ke masa, berasal dari sumber yang sama. Faktor-faktor yang mucul akan berdampak menjadi sumber persoalan bagi para ibu yang bekerja khususnya perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian yaitu: 1. Perempuan Tidak Bisa Memanjakan Dirinya Sendiri Dampaknya tersebut biasanya berasal dari dalam diri perempuan itu sendiri khususnya yang sudah berumah tangga dan mempunyai anak, ada beberapa diantaranya yang hanya ingin menjadi ibu rumah tangga saja tanpa harus bekerja, namun keadaan menuntutnya untuk bekerja menyokong keuangan keluarga. Kondisi ini mudah menimbulkan stress karena bekerja bukanlah timbul dari keinginan diri namun seakan tidak punya pilihan lain demi membantu ekonomi rumah tangga. Hal ini dapat menyebabkan perempuan yang bekerja dan mempunyai peran ganda cenderung merasa sangat lelah karena memaksakan diri mereka untuk bekerja, seperti penuturan NH 38 Tahun kepada peneliti: “Kadang saya suka kepikiran tidak ada waktu buat urusin diri saya sendiri, tidak bisa menyenangkan diri saya sendiri karena waktunya sudah habis untuk berdagang pakaian sama urusin keluarga” wawancara 03 Desember 2013. Dari penuturan NH dapat ditangkap bahwa informan terlihat terbebani dengan keadaan yang memaksanya untuk bekerja dan mengurus keluarga, sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Peran 64 suami sangatlah berperngaruh dalam membantu tugas-tugas rumah tangga, karena apabila salah satu dari mereka tidak memainkan perannya dengan baik maka akan terjadi ketimpangan dimana salah satu dari mereka lebih banyak mengambil peran dalam keluarga seperti yang dialami oleh informan yang mengurus keluarga dan bekerja, harusnya mereka saling mendukung perannya masing-masing. 2. Rasa Bersalah Kemampuan manajemen waktu dan rumah tangga merupakan salah satu kesulitan yang paling sering dialami oleh ibu yang bekerja khususnya perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian. mereka ada perasaan bersalah karena tidak dapat mengawasi dan mendidik anaknya secara penuh. Seperti yang diungkapkan oleh MR 32 Tahun: “Sejujurnya saya merasa terbebani dengan kondisi sekarang, kadang suka kasian kalau ingat anak-anak saya menunggu di rumah. Sementara saya tidak bisa seharian penuh mengawasi dan mendidik mereka karena harus bekerja belum lagi pusing mikirin dagangan yang kadang sepi” wawancara dilakukan pada tangal 10 Desember 2013. Lain halnya dengan penuturan informan ED 35 Tahun kepada peneliti: “Karena saya jarang bergaul dan ikut kegiatan yang ada di lingkungan rumah saya ,mereka beranggapan bahwa saya terlalu sibuk dipasar sehingga melupakan kodrat saya sebagai perempuan yang seharusnya mengurus keluarga bukan sibuk terus-terusan dipasar, sampe lupa kegiatan sosial saya dilingkungan karena saya jarang ngaji. Ya ada beberapa memang menyindir seperti itu tapi mereka kan tidak tahu keadaan ekonomi saya jadi saya berusaha untuk cuek meski kadang kepikiran” wawancara 12 Desember 2013. Berdasarkan penuturan diatas, informan merasa bersalah karena tidak dapat mengurus keluarga dengan baik. Akibat kesibukannya mencari uang 65 sebagai pedagang pakaian di Pasar. Menyebabkan konflik peran yang dialami oleh sebagian besar perempuan yang bekerja sebagai pedagang pakaian, disatu sisi mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka namun disisi lain mereka tidak dapat menjalankan peran mereka sebagai seorang istri dan seorang ibu karena keterbatasan waktu yang mereka miliki harus mereka bagi antara pekerjaan domestik dan publik. 3. Fisik Yang Lemah Pada kehidupan perempuan pedagang, sangat memungkinkan bahwa mereka biasanya selalu mengalami kelebihan bobot kerja. Dimana mereka harus bekerja ekstra, baik di ruang lingkup domestik maupun publik guna membantu mengurus dan menyediakan berbagai kebutuhan keluarganya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa mau tidak mau mereka yang rata- rata berasal dari keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke bawah harus ikut berpartisipasi guna membantu pendapatan ekonomi keluarga. Karena hal itulah menyebabkan fisik mereka mudah lelah akibat jam kerja yang melebihi kapasitas batas fisik mereka lama kelamaan akan mengalami ketidakadilan gender. Keterbatasan fisik yang dimiliki oleh setiap perempuan yang bekerja sebagai pedagang merupakan faktor yang terpenting, faktor ini masih terkait erat dengan faktor internal yang berakibat munculnya rasa stress atau depresi serta beban kerja yang berlebihan, kapasitas fisik seseorang berbeda-beda dengan lainnya, hal itu lah yang dirasakan oleh EV 40 Tahun kepada peneliti: 66 “Setiap hari saya harus bangun jam 04.00 pagi, dan tidur pada jam 10.00 malam dalam 18 jam tubuh saya benar-benar diporsir untuk bekerja, kadang badan seperti tidak mampu lagi buat bekerja sering sakit-sakit badan, tapi ya mau bagaimana lagi itu resiko yang harus saya tanggung untuk tetap bertahan hidup dan membantu membiayai keluarga saya” wawancara 03 Desember 2013. Berdasarkan keterangan EV dapat disimpulkan bahwa fisik sangat dibutuhkan dalam kehidupan mereka, karena adanya beban kerja perempuan yang tinggi. Tingginya beban kerja perempuan ini tidak terlepas dari dijalankannya tiga tanggung jawab, yaitu tanggung jawabatas pekerjaan produktif, tanggung jawab reproduksi, dan tanggung jawab terhadap fungsi- fungsi sosial di komunitas. Masyarakat belum menghargai pekerjaan dengan tanggung jawab reproduksi dan sosial, ironisnya pengharagaan masyarakat terhadap pekerjaan yang dilakukan perempuan lebih kecil dibandingkan laki-laki Enny, 2007:84. Solusi dari beban kerja berlebihan yang dialami oleh perempuan yang mempengaruhi fisik mereka adalah, kerjasama antar anggota keluarga dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sangat dibutuhkan. Namun akan timbul masalah apabila nantinya tidak terjadi pembagian kerja yang adil dan sikap tenggang rasa dalam keluarga, sehingga perempuan dalam keluarga lama kelamaan akan mengalami ketidakadilan gender. Sama Seperti yang diungkapakan ED 35 Tahun kepada peneliti: “Pendapatan saya tidak menentu setiap bulannya, kalau sedang ramai sebulan itu bisa Rp.3000.000 pendapatan kotor yang belum dipotong apapun kalau sepi sebulan saya hanya bisa mengantongi Rp.1.500.000 dan itu jauh dari kata cukup kalau pendapatan saya setiap bulannya stabil mungkin saya bisa sewa pembantu untuk membantu pekerjaan saya jadi saya tidak repot-repot memikirkan