PANDANGAN UMUM TENTANG Taqlid dalam perspektif al-qur'an

Dalam bahasa Indonesia kata taqlîd dapat diartikan peniruan, keikutan atau pegangan kepada suatu paham pendapat ahli hukum yang sudah, tanpa mengetahui dasar atau alasan. Ber-taqlîd berarti : 1. Berpegang kepada pendapat ahli hukum yang sudah-sudah. 2. Tunduk atau percaya pada kata orang mengikuti atau menuruti orang lain meladeni. 3. Meniru atau mengikuti suatu paham tanpa mengetahui dalil-dalil ataupun alasan. 3 Kata taqlîd juga sering diartikan mengikuti, kemudian makna kata mengikuti sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah ikut atau turut serta, ikut-ikutan, mengikuti saja pikiran, perbuatan orang lain, mengikuti, menurutkan sesuatu yang berjalan dahulu, yang telah ada 4 b. Menurut Istilah Adapun definisi taqlîd menurut istilah, sebagaimana para ulama memberikan pengertian sebagai berikut : 1. Imam Abu Abdillah Khuwaz Mandad al-Maliki berkata : “Taqlîd artinya pada syara adalah kembali berpegang kepada perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya.” 2. Imam al-Ghazali taqlîd adalah : 3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. 1, h. 887. 4 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 323. “Taqlîd adalah menerima perkataan tidak dengan alasan.” 3. Imam ash-Shan’ani berkata : “Taqlîd adalah mengambil pada perkataan orang lain yang tidak dengan hujjah. ” 5 4. Imam as-Syaukani berkata 6 : “Taqlîd ialah menerima pendapat orang yang tidak berdiri dengannya hujjah. ” 5. Abu Hamid dan Abu Mansur 7 : “Menerima suatu ucapan tanpa mengetahui kehujjahan yang menjelaskan perkataan orang yang di ikutinya. ” 6. Abi Zakaria al-Anshori 8 : 5 KH. Moenawar Chalil, h. 341. 6 Muhammad bin Ali in Muhammad As-Syaukani, Irsyadul Fuhul, Jeddah : Al- haramain, tt h. 265. 7 Muhammad bin Ali in Muhammad As-Syaukani, h. 265. 8 Abi Zakaria Al-Anshori, Gayat al-Wushul Syarah Lubbu al-Ushul, Surabaya: Sarikat Ahmad Bin Saad bin Nababan, tt , h. 150. “Mengambil suatu perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.” 7. K. H. Iding Sarhidi “Menerima perkataan dari orang yang membicarakan tanpa mengetahui dari apa y ang ditanyakannya.” 9 8. Abdul Hamid Hakim : “Menerima perkataan dari orang yang memberikan pembicaraan dan kamu tidak mengetahui darimana asal kehujjahan perkataan orang tersebut.” 10 9. Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman berpendapat bahwa arti dari taqlîd adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan hukumnya Istinbât al-ahkâm 11 . 10. Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo berpendapat taqlîd adalah 12 : Taqlîd yaitu meniru atau mengikuti faham ajaran seseorang dengan tidak mengetahui dasar, bukti ataupun alasan-alasannya. 9 Iding Sarhidi, Matan Lathaif al-_Irsyaad Fi Fanni Ushul Fiqh, Jakarta : Sa’adiyah Putra, tt, h. 32. 10 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Jakarta : Sa’adiyah Putra. tt, h. 21. 11 Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. ttp, h. 409 12 Nogarsyah Moede Gayo, Buku Pintar Islam, Ladangpustaka Intimedia, Jakarta. tt, H. 447. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha di dalam kitab al-Manar memberikan pengertian sebagai berikut: Taqlîd yaitu mengikuti orang terhormat atau terpercaya dalam suatu hukum dengan tidak memeriksa lagi benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau madharatnya hukum itu 13 . c. Definisi Operasional Di atas telah penulis bahas pengertian taqlîd baik dari sisi bahasa mau pun dari sisi istilah yang banyak dikemukakan oleh para ulama ahli fikih dan telah penulis ulas secara panjang lebar mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah taqlîd. Secara teks, al-Quran tidak ada yang mencantumkan sebuah kata taqlîd atau pun derivasinya, tapi itu bukan merupakan alasan, bahwa pembicaraan mengenai taqlîd yang diisyaratkan oleh al-Quran itu tidak ada. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah definisi “baru” yang dapat menjembataninya, seperti definisi operasional. Definisi operasional adalah semacam petunjuk kepada kita tentang bagimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional merupakan informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan menggunakan variabel yang sama. Karena berdasarkan informasi itu, ia akan mengetahui bagaimana caranya melakukan pengukuran terhadap variabel yang dibangun berdasarkan konsep yang sama. 14 Berdasarkan pengertian dari definisi operasional di atas, penulis akan mencari variabel yang ada di beberapa ayat yang ada hubungannya dengan taqlîd 13 KH. Moenawar Chalil, h. 342. 14 http:suhartoumm.blogspot.com200907pengertian-variabel-variabel-definisi_30.html atau yang bisa dikatakan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang maknanya juga berbicara tentang taqlîd. Menurut penulis, ada tiga ayat yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan variabel makna talîd dalam penelitian kali ini, yaitu: Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: Tidak, tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? Q.S al-Baqarah:70 Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah. mereka menjawab: Tidak, tapi Kami hanya mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya. dan Apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala neraka? Q.S Luqman:21 dan Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Q.S al-Isra:36 Dari dua ayat pertama dapat digarisbawahi, bahwa orang-orang yang hanya mengikuti apa “warisan” ajaran nenek moyang mereka, tanpa ada keinginan mencari tahu sumber pijakan atau dasar dalil yang digunakan oleh para leluhur mereka itu, dapat dikatakan sebagai orang yang bertaqlîd. Asumsi ini muncul apabila kedua ayat tersebut dikaitkan dengan definisi taqlîd yang telah penulis paparkan di atas yang dikuatkan lagi dengan ayat 36 dari surat al-Isra` dan dari sinilah definisi operasional yang penulis maksudkan diambil. Dari semua pengertian di atas dapat diambil benang merah dari definisi taqlîd adalah menerima, mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui landasan dan basis argumentasi yang digunakan. 15 Memang dalam arti taqlîd menurut istilah penulis kebanyakan mengambil referensi dari buku- buku atau kitab-kitab fiqh, dikarenakan penulis tidak menemukan arti taqlîd menurut istilah di dalam kitab-kitab tafsir maupun hadis. B. Kosa Kata Taqlîd dalam al-Quran Banyak sekali ayat-ayat dalam al-Quran yang berkaitan dengan taqlîd. Akan tetapi penulis tidak menemukan satu kosa kata taqlîd di dalam al-Quran, namun terdapat beberapa kata yang maknanya mengacu kepada kata taqlîd, yakni ittiba`, akhadza, dan taqfu sebagai berikut: a. Ittiba` Kata ittiba` berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja fi’il – Tabi`a - Taba`an – Watabâ`an – Watabâ`atan yang artinya mengikuti, atau menyusul. 16 Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 15 Aceng Abdul Aziz, dkk, Islam Ahlussunnah Wal Jama`ah di Indonesia, Jakarta : Pustaka Ma`rif NU, 2007, h. 46. 16 A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 128. 170 : Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: Tidak, tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?. Dan terdapat juga dalam surat Luqman ayat 21 yang berbunyi : Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah. mereka menjawab: Tidak, tapi Kami hanya mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya. dan Apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala neraka? Dan juga terdapat di pertengahan ayat 15 dalam surat Luqman : Artinya : .....Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Quran yang menggunakan asal kata Tabi`a, yang penulis tidak bisa sebutkan semuanya di dalam skripsi ini. b. Akhadza Kata akhadza berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja fi’il ا Akhadza – Akhdzan – Wata’khâdzan yang artinya mengambil. 17 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Yâsîn ayat 74 : Artinya : Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan. Dan juga dalam surat al-`Ankabût ayat 41 : Artinya : Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Dan terdapat juga pada surat at-Taubah ayat 31 yang berbunyi : Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dan masih banyak sekali dalam al-Quran yang pada ayat-ayatnya menggunakan kata yang berasal dari Akhadza, tetapi di dalam skripsi ini 17 A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 11. penulis tidak memaparkan semuanya, hanya beberapa permisalan saja. c. Taqfu Kata taqfu berasal dari bahasa Arab, ا Qafâ – Qafwan – Waqufuwan, yang artinya mengikuti, atau Qafâ atsarahu : Tabi`ahu yang artinya mengikuti, atau Iqtafâ atsarahu yang berarti mengikuti jejaknya atau juga Taqaffâ bifulânin yang artinya berlebih- lebihan dalam menghormatinya 18 . berarti mengikuti jejak, kemana orang pergi, kesanalah juga orang lain mengikuti. 19 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat al- Isra’ ayat 36 : Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Dalam hal ini, tidak banyak contoh yang penulis berikan, karena penulis hanya menemukan satu ayat saja di dalam al-Quran yang menggunakan kata yang berasal dari Qafâ . C. Pembagian Taqlîd Setelah menginventarisir ayat-ayat yang berkaitan dengan tema taqlîd, 18 A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 1144. 19 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1993, Juz. XIII-XIV, h. 64. untuk mempermudah pembahasan maka penulis mengelompokkannya kepada : 1. Taqlîd yang diperbolehkan Sebagaimana yang tertuang dalam salah satu kitab karangan Yusuf Qardhawi Dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Jihad, secara garis besar taqlîd terbagi menjadi empat bagian, antara lain : a. Taqlîd Syakhsi. Taqlîd Syakhsi adalah taqlîd yang langsung kepada Rasul atau merupakan bentuk taqlîd terhadap Rasulullah, baik itu perkataan, perbuatan maupun ketetapannya 20 . Hal ini dikarenakan pribadi Rasulullah yang dapat dijadikan suri tauladan bagi seluruh umat Islam. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 21. Artinya : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. Al-Quran adalah merupakan kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril untuk menjelaskan berbagai masalah agama kepada kaum muslim. Al-Quran mengajarkan kepada setiap muslim untuk melaksanakan perintah dan menauladani Rasul dengan ikhlas dan sepenuh hati, dan mengembalikan segala sesuatu permasalahan hanya kepada Allah dan Rasul. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 59 : 20 Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Ijtihad, h. 16. Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Ayat ini diturunkan mengenai Abdullah bin Hudzafah yang keluar bersama pasukannya. Suatu ketika Abdullah bin Hudzafah marah-marah lalu menyalakan api dan memerintahkan pasukannya untuk terjun kedalam kobaran api tersebut, lalu sebagian pasukannya ada yang menolak perintahnya dan adapula yang hampir terjun. Pada saat itu para pasukan mengalami kebingungan dan memerlukan petunjuk terhadap apa yang harus mereka lakukan, maka turunlah ayat ini. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa apabila ada suatu permasalahan diantara kaum muslimin, maka permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada al-Quran dan Hadits. 21 Dan juga berdasar petunjuk Ilahi, termasuk sunnah Rasul yang sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat al-Imran ayat 31: Artinya : Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. 21 Al-Imam Jalaluddin as-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci al-Quran, terj. M. Abdul Mujieb. AS ttp. Darul Ihya Indonesia, 1986, h. 163. Berdasarkan beberapa ayat di atas yang menunjukan bahwa umat manusia diharuskan mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga hal inilah yang mewajibkan taqlîd syakhsi. b. Taqlîd Mutlak. Taqlîd Mutlak ini adalah bagian dari cara taqlîd mengikuti orang lain atau madzhab tanpa mengikatkan kepada satu madzhab apapun, atau dalam arti ia tidak terikat kepada satu madzhab saja, ia membebaskan kepada muqallid untuk mengikuti pendapat mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakuinya 22 . 2. Taqlîd yang dilarang a. Taqlîd Mahdhi Taqlîd Mahdhi adalah suatu bentuk taqlîd kepada suatu madzhab tertentu dan menetap tidak berpindah-pindah selama hidupnya. Dalam arti bahwa muqallid tidak mengikuti atau mengambil pendapat selain daripada imam madzhab yang dipegangnya, atau boleh diartikan bahwa bentuk taqlîd mahdhi ini adalah bentuk keterikatan pada satu madzhab saja. b. Taqlîd Jamid Taqlîd Jamid adalah merupakan bentuk ekstrim dari taqlîd mahdhi yakni taqlîd atau keterikatan kepada suatu madzhab tertentu secara fanatik. Taqlîd ini hanya mengikuti pendapat satu madzhab saja dan menganggap pendapat satu madzhab saja dan menganggap pendapat madzhab lain salah. Disisi lain ia menganggap bahwa hanya pendapat madzhabnya yang paling benar. Hal ini 22 Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Ijtihad, h. 16. bertentangan dengan semangat taqlîd, yakni harus mengikuti pribadi Rasulullah. Akan tetapi yang terjadi ia mengikuti pendapat salah seorang imam madzhab saja dan menganggap madzhab lain adalah salah. Taqlîd ini juga bertentangan dengan ijma’ sahabat, tabi’in dan para mujtahid golongan salaf. 23 Manusia tidak boleh mengikuti apa-apa yang telah diambil dari kebiasaan atau perbuatan leluhurnya. Karena leluhurnya belum tentu atau bahkan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah SWT mengenai perbuatan yang mereka lakukan itu. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 170 : Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: Tidak, tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?. Mengikuti orang tua adalah sesuatu yang wajar, bahkan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia, khususnya ketika ia masih kecil. Saat itu boleh jadi ia mengikuti atau meniru sebagian dari apa yang dilakukan ayah atau ibunya, atau bahkan kakek dan neneknya. Tetapi para orang tua tidak mustahil keliru dalam tindakkannya, baik akibat kelengahan, kebodohan, atau keterpercayaan oleh syetan. Buktinya ada yang dilakukan kakek neneknya yang tidak dilakukan ayah dan ibunya. Saat itu seorang anak bisa bingung. Nah, dari sini Allah SWT dari saat kesaat mengutus para Nabi membawa petunjuk- 23 Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taklid dan Ijtihad, h. 17. petunjuk-Nya untuk meluruskan kekeliruan serta mengantar kejalan yang benar. Dari sini juga, setiap ajaran yang dibawa oleh para Nabi tidak membatalkan semua tradisi masyarakat, tetapi ada yang dibatalkannya, ada yang sekedar diluruskan kekeliruannya, disamping ada juga yang dilestarikan. Pembatalan, pelurusan, dan pelestarian itu, ketiganya terma suk dalam apa yang dinamai “apa yang di turunkan Allah SWT.” Di sisi lain manusia mengalami perkembangan dalam pemikiran dan kondisi sosialnya. Ilmu pengetahuan yang diperolehnya pun dari saat ke saat bertambah, atau harus diluruskan. Itu semua melahirkan perubahan. Perubahan ini menuntut pula perubahan tuntunan, yang sedikit atau banyak berbeda dengan tuntunan yang pernah diberikan kepada orang tua. Tuntunan Ilahi, atau nilai-nilai- Nya yang mengandung perubahan itu, termasuk juga dalam pengetian “ apa yang di turunkan Allah”. Dari sini sungguh keliru bila ada yang menjawab “Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami”. Karena tidak satu generasipun yang dapat luput dari kesalahan, sebagaimana tidak ada generasi yang tidak mengalami perubahan. Kekeliruan ucapan itu lebih jelas lagi jika orang tua dan nenek moyang mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntunan akal sehat atau tuntunan petunjuk Ilahi, yakni tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak juga menda pat petujuk. Itulah yang dimaksud dengan penutup ayat ini “apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? Ayat ini memberi isyarat bahwa tradisi orang tua sekalipun, tidak dapat diikuti kalau tidak memiliki dasar-dasar yang dibenarkan oleh agama, atau pertimbangan akal yang sehat. Jika demikian, kecaman ini tertuju kepada mereka yang mengikuti tradisi tanpa dasar, bukan terhadap mereka yang mengikutinya berdasar pertimbangan nalar, termasuk di dalamnya yang berdasar ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan. 24 sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat al-Maidah ayat104 : Artinya : Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. mereka menjawab: Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya. dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk ?. Ayat ini bukan berarti bahwa bila mereka memiliki pengetahuan, maka mereka boleh mengikuti kesesatan orang tua mereka. Pengetahuan dan kesesatan adalah dua hal yang bertolak belakang dan tidak mungkin dapat bertemu, sehingga bila mereka mengikuti orang tua mereka, pastilah mereka tidak memiliki pengetahuan. Ayat di atas menggunakan redaksi demikian untuk mencatat kemanfaatan yang menyelubungi keadaan mereka, yaitu kebodohan dan kejahuan petunjuk Ilahi 25 . 24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, Jakarta : Lentera Hati, 2002, h. 381-383. 25 M. Quraish Shihab,

BAB III TAQLID AKIDAH DALAM AL-QURAN

Pada bab kedua, penulis telah menjelaskan panjang lebar mengenai definisi taqlîd, baik secara bahasa atau pun istilah, sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh ahli bahasa. Di dalam pembahasan tersebut, sangat jelas bahwa kegiatan ber-taqlîd merupakan hal negatif sehingga menjadikan orang yang melakukan taqlîd adalah orang-orang yang dianggap bodoh dan jauh dari ilmu serta pemahaman yang mendalam, karena tidak mau menggunakan akalnya untuk memikirkan ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Quran dan hadis-hadis Nabi. Selain terjerumus ke “jurang” kebodohan, ber-taqlîd juga memiliki dampak negatif, bukan hanya kepada orang tersebut sebagai personal, akan tetapi berdampak kepada hal yang lebih besar lagi, yaitu kemunduran bagi umat Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Abduh dalam bukunya Risalah Tauhid . “dan benarlah ucapan yang mengatakan: bahwa taqlîd itu, sebagaimana ia terdapat dalam perkara yang hak, yang memiliki nilai manfaat. Tentu ia datang juga dengan membawa kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan sendiri merasakan keberatan terhadapnya, karena memang taqlîd itu tidak membawa kepada kemajuan terhadap umat Islam ” 1 Menurut penulis, “label” muqallid kepada seseorang yang melakukan taqlîd tidak mesti menjadikan orang tersebut dianggap bodoh, malah justru sebaliknya, dia adalah termasuk orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi di 1 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, penerjemah: Firdaus A.N., Jakarta: Bulan Bintang, 1963, h. 17 hadapan Allah swt, karena mengikuti setiap perintah dan larangan Allah SWT yang tercatat di dalam al-Quran. Dan dia juga termasuk orang-orang yang menjaga diri dari kesalahan dalam memahami setiap hukum yang di-syari`at-kan oleh Allah SWT dan rasul-Nya dengan mengikuti apa yang dikatakan oleh orang yang ahli dibidangnya, seperti menentukan hukum-hukum. Walaupun Abdullah bin Baz melarang keras perbuatan tersebut. Dia mengatakan “ilmu yang dimiliki oleh seorang imam yang empat atau yang lain, mutlak tidak wajib mengikutinya, karena kebenaran itu ada pada mengikuti al-Quran dan al-Sunnah, bukan ber- taqlîd kepada seorang manusia”. 2 Bagi penulis, pandangan Abdullah bin Baz tersebut sangat berbahaya, kerena semua orang akan dapat menentukan hukum-hukum Islam semaunya mereka, tanpa dasar pengetahuan sama sekali. Dan orang yang mengatakan, bahwa “praktek taqlîd dapat mengakibatkan terhambatnya dinamika pemikiran sebagai alat pencari kebenaran” 3 . Tidak perlu diterima juga secara mentah- mentah, karena dalam satu kondisi taqlîd itu diperlukan dan dalam kondisi yang lain tidak diperlukan. Melihat posisi seorang muqallid yang berada di antara makna kebodohan dan kemuliaan dikarenakan ber-taqlîd. Oleh karenanya harus ada sebuah garis pembeda yang jelas di antara keduanya. Sehingga akan mudah diketahui mana yang berada dalam kebodohan dan mana yang berada dalam kemuliaan. Dan untuk mengetahui garis pembeda tersebut, dapat ditentukan dari, kepada siapa 2 Muhammad Ibn Hadi al-Madkhali, al-Iqna` bimâ jâ a `an aimmati al-da`wah min al- aqwâl fi ittibâ`, penerjemah: Abu Ismail Fuad Yogyakarta: Pustaka al-Haura, 2006, t.t.h, h. 117 3 Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, editor: Abdul Munir Mulkhan, Yogyakarta: SIPRES, 1999, cet 1, h. 4