TAQLID AKIDAH DALAM AL-QURAN

hadapan Allah swt, karena mengikuti setiap perintah dan larangan Allah SWT yang tercatat di dalam al-Quran. Dan dia juga termasuk orang-orang yang menjaga diri dari kesalahan dalam memahami setiap hukum yang di-syari`at-kan oleh Allah SWT dan rasul-Nya dengan mengikuti apa yang dikatakan oleh orang yang ahli dibidangnya, seperti menentukan hukum-hukum. Walaupun Abdullah bin Baz melarang keras perbuatan tersebut. Dia mengatakan “ilmu yang dimiliki oleh seorang imam yang empat atau yang lain, mutlak tidak wajib mengikutinya, karena kebenaran itu ada pada mengikuti al-Quran dan al-Sunnah, bukan ber- taqlîd kepada seorang manusia”. 2 Bagi penulis, pandangan Abdullah bin Baz tersebut sangat berbahaya, kerena semua orang akan dapat menentukan hukum-hukum Islam semaunya mereka, tanpa dasar pengetahuan sama sekali. Dan orang yang mengatakan, bahwa “praktek taqlîd dapat mengakibatkan terhambatnya dinamika pemikiran sebagai alat pencari kebenaran” 3 . Tidak perlu diterima juga secara mentah- mentah, karena dalam satu kondisi taqlîd itu diperlukan dan dalam kondisi yang lain tidak diperlukan. Melihat posisi seorang muqallid yang berada di antara makna kebodohan dan kemuliaan dikarenakan ber-taqlîd. Oleh karenanya harus ada sebuah garis pembeda yang jelas di antara keduanya. Sehingga akan mudah diketahui mana yang berada dalam kebodohan dan mana yang berada dalam kemuliaan. Dan untuk mengetahui garis pembeda tersebut, dapat ditentukan dari, kepada siapa 2 Muhammad Ibn Hadi al-Madkhali, al-Iqna` bimâ jâ a `an aimmati al-da`wah min al- aqwâl fi ittibâ`, penerjemah: Abu Ismail Fuad Yogyakarta: Pustaka al-Haura, 2006, t.t.h, h. 117 3 Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, editor: Abdul Munir Mulkhan, Yogyakarta: SIPRES, 1999, cet 1, h. 4 seorang muqallid itu bersandar dan berpegang dalam menjalankan nilai-nilai agama. Dengan demikian, agar lebih jelas siapa yang harus diikuti dan siapa yang harus dijauhi. Maka penulis membagi hal tersebut kedalam dua aspek, yaitu antara perintah dan larangan ber-taqlîd beserta poin-poinnya yang akan dipaparkan sebagaimana berikut: A. Aspek yang diperintahkan dalam ber-taqlîd 1. Taqlîd kepada perintah Allah atau al-Quran Di bagian awal pendahuluan dalam buku Mazhab Tafsir, Ignaz Goldziher mengatakan “Setiap arus pemikiran yang muncul dalalam perjalanan sejarah Islam senantiasa cenderung mencari mencari justifikasi kebenaran bagi dirinya pada kitab suci ini al-Quran dan menjadikan kitab ini sebagai sandaran untuk menunjukkan kesesuaian pemikirannya dengan Islam dan dengan apa yang dibawa Rasulullah saw. ” 4 Begitulah kitab Suci Al-Quran yang merupakan otoritas tertinggi dalam Islam. Ia adalah sumber fundamental bagi akidah, ibadah, etika dan hukum. 5 Ucapan Ignaz tersebut di atas, bagi penulis adalah sebuah bukti bahwa al- Quran akan terus menjadi sebuah rujukan baik dari awal kemunculannya sampai hari kiamat nanti. Di balik itu semua, al-Quran ternyata memiliki daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain, seperti Taurat, Injil dan Jabur. Daya tarik inilah yang membuat al-Quran selalu ingin dikaji dan digali makna- 4 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, Penerjemah: M. Alaika Salamullah dkk, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006, cet, 3, h. 3 5 Muhammad Abdul Halim, Menafsirkan al-Quran dengan Al-Quran, Bandung: Nuansa, 2008 cet, 1, h. 21 maknanya, baik oleh kalangan Islam maupun kalangan non Islam yang disebut orientalis. Al-Quran dengan segala makna yang terkandung di dalamnya, ternyata tidak hanya memancarkan daya tariknya pasa saat sekarang saja, akan tetapi pada awal kemunculannya daya tarik itu telah terpancar yaitu dari gaya bahasa yang ia tampilkan. Di Mekkah wahyu yang diturunkan dinominasi oleh surat-surat yang ber-ayat pendek yang di dalamnya tidak terkandung hukum syari`at, berita ghaib dan sudah barang tentu tidak mengandung semua keistimewaan yang tersebar di dalam al-Quran secara lengkap? Begitulah yang ditanyakan oleh Said Qutb, lalu ia pula yang menjawabnya, “Sesungguhnya surat-surat pendek ini telah mempesona orang-orang arab sejak detik pertamanya, padahal di dalamnya tidak terkandung ketetapan hukum syariat dan tidak pula tujuan-tujuan yang besar. Tetapi, justrus surat-surat pendek inilah yang memukau perasaan mereka dan membuat mereka terkagum-kagum kepadanya. Kalau demikian, berarti sudah pasti bahwa surat-surat yang pendek ini telah mengandung unsur pemikat yang memukau para pendengarnya, dan mengalahkan semua orang, baik yang mukmin maupun yang kafir. Apabila pengaruh al-Quran diperhitungkan sebagai faktor utama yang menggiring orang- orang kafir masuk Islam, maka tidak salah lagi, surat-surat pendek ini mempunyai andil yang besar betapa pun jumlah kaum muslimin masih sedikit pada masa itu, demikian itu karena kebanyakan dari mereka itu terpengaruh oleh al-Quran semata lalu mereka mau beriman ”. 6 Terlepas dari daya tarik al-Quran yang mengagumkan di atas yang dapat diketahui dari berbagai macam arah disiplin ilmu pengetahuan yang menurut penulis adalah sebuah “kemasan” yang sangat apik agar manusia mau menjadikan al-Quran sebagai pegangan hidup dan menjadikan Allah SWT sebagai satu- satunya Tuhan yang wajib diibadahi. Selain itu juga, pada prinsipnya semua isi al- Quran mulai dari surat al-Fâtihah sampai al-nâs, menurut penulis kesemuanya akan mengerucut kepada penegasan peng-esa-an Allah SWT, bahwa hanya Dia- lah Tuhan yang wajib disembah dan juga ditaati dengan berbagai macam bentuk dan cara ketaatan. Sebuah contoh, ketika seseorang yang mengamalkan sepotong ayat dari al-Quran dan tentu adalah orang yang beriman kepada Allah SWT yang mana ayat tersebut tidak ada kalimat perintah secara eksplisit, hal itu menandakan bahwa dia telah melakukan taat kepada Allah SWT. Seperti ia ingin mengamalkan ayat yaitu ingin termasuk menjadi orang-orang bertaqwa, kalimat “lilmuttaqîn” adalah kalimat berita sekaligus memiliki isyarat kalimat perintah agar umat manusia khususnya umat Islam harus menjadi orang- orang bertakwa sedangkan perintah tersebut harus ditaati. Sebagaimana prinsip dasar yang telah penulis kemukakan tadi, dan ayat- ayat yang berbicara tentang keharusan patuh kepada setiap perintah dan larangan Rasul, keharusan bertanya kepada ahl Dzikr, meninggalkan ketergantungan taqlîd 6 Sayyid Qutb, Keindahan al-Quran yang Menabjubkan, penerjemah: Bahrun Abu Bakar, Jakarta: Robbani Press, 2004, cet 1,h. 29 kepada nenek moyang, ruhbân, kesyirikkan dan juga kepada ketergantungan terhadap informasi yang tidak berdasar sama sekali yang akan dibahas pada poin- poin selanjutnya, menurut penulis adalah ayat-ayat yang secara tidak langsung memerintahkan, agar patuh kepada Allah SWT. 2. Taqlîd kepada Rasulullah Tidak sempurna keimanan seseorang yang hanya mengaku beriman kepada Allah tanpa mengaku akan kenabian Muhammad saw. selain itu juga ia tidak mau mengikuti semua yang dibawa oleh baginda Rasul. Apabila kejadianya seperti itu, maka dengan demikian keimanannya tertolak dan sudah pasti dia masih tetap berada dalam jurang kekufuran. Karena firman Allah: Artinya: Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab Taurat dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? QS. al-Baqarah: 85 Sebuah pertanyaan inkari dari Allah kepada orang-orang Israil tentang penerimaan dan penolakan mereka terhadap sebagian ayat-ayat yang ada di dalam Taurat. Pertanyaan ini pun juga diajukan kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan tidak mau mengikuti perintah Rasul. Karena apabila seseorang yang mangaku beriman kepada Allah tetapi dia tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w dalam artian tidak mau mengikuti ajaran-ajaran beliau dengan alasan merasa cukup dengan berpegang teguh terhadap al-Quran saja. Perbuatan seperti ini sama seperti memilah-milah ayat dan beriman kepada ayat satu dan tidak beriman kepada ayat yang lain. Sebagaimana diketahui banyak ayat-ayat dalam al-Quran sendiri terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang perintah untuk mentaati setiap para rasul, khususnya Nabi Muhammad saw, seperti ayat berikut ini: Artinya: Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah QS: al-Nisa: 64 Membaca arti dari ayat di atas, sangat mudah memahami maksud ayat tersebut, akan tetapi alangkah lebih baik, jika melihat apa dan bagaimana pandangan para mufassir terhadap ayat tersebut. Penulis memulai dengan pendapat Al-Baidâwî: “ ” memahami ayat ini dia mengatakaan “dengan sebab izin Allah SWT utusan tersebut ditaati dan Allah SWT juga memerintahkan kepada orang atau kelompok yang diutus agar menataati dia. Ini adalah dasar dalil untuk menolak orang-orang yang tidak mau berhukum dengan apa yang telah Ia tetapkan ” 7 . Sama halnya Al-Baidâwî, al-Râzî dengan “spirit” makna yang tak jauh berbeda juga memahami demikian ayat tersebut. tetapi point plus-nya al-Râzî dalam kitab tafsirnya Mafâtih al-Ghaib, secara langsung mengkritik alira-aliran kepercayaan yang berkembang pada masanya, yaitu, dengan mengutip apa yang telah dikatakan `Alî al-Jabâî, bahwa makna ayat tersebut seolah-olah Allah mengatakan “Saya tidak mengutus seorang rasul kecuali saya berkeinginan agar dia itu ditaati serta diakui kebenarannya dan saya tidak mengutusnya agar dilanggar. ” Dan masih menurut al-Jabâî, ia mengatakan “dan ini adalah petunjuk 7 Al-Badâwî, tafsîr al-Badâwî, juz 1, h. 468 akan kesesatan kelompok al-Mujabbarah yang mengatakan: Allah SWT mengutus seorang rasul agar tidak ditaati, dan ketidaktaatan menunjukan bahwa mereka kekal di dalam kekufuran. Jadi dalam ayat ini Allah telah mencatat kebohongan mereka, walaupun di dalam al-Quran tidak secara jelas menunjukkan batalnya ucapan mereka, akan tetapi ayat ini telah mencukupinnya. Kelompok al- Mujabbarah juga mengatakan “diutusnya seorang rasul agar ditaati sekaligus dilanggar” hal tersebut menunjukkan kemaksiatan mereka kepada rasul, adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah SWT dan Allah tidak menginginkan kecuali Ia ditaati. 8 Ayat-ayat yang berhubungan dengan taqlîd kepada Rasulullah a. Nabi sebagai penjelas al-Quran Tugas Nabi Muhammad saw sebagai seorang utusan, tidak hanya sebatas menyampaikan pesan-pesan Allah kepada umat manusia. Dia juga bertugas menjelaskan apa yang yang sekiranya belum dipahami oleh para pengikutnya. Tugas inilah yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surat al-Nahl ayat 44 yang berbunyi: Artinya: Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kami menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan. QS. al-Nahl, 44 Ayat 44 dari surat al-Nahl di atas sangat berkaitan erat dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 43 yang berbunyi: 8 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 264 Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. Al-Qurtubî mejelaskan bahwa, ayat tersebut di turunkan untuk orang- orang musyrik Mekkah yang ingkar akan kenabian Muhammad saw., lalu mereka berkata “Allah sangatlah Maha Agung untuk mengutus seorang manusia kepada kami, kenapa Allah tidak mengutus seorang malaikat saja?”. Untuk membantah mereka, maka Allah menurunkan ayat tersebut Adapun makna kalimat , menurut al-Qurtubî yaitu seolah- olah Allah mengatakan “Hai Muhammad Kami tidak mengutus kepada umat-umat terdahulu, kecuali seorang utusan yang berasal dari kalangan bangsa Adam sendiri. Dengan demikian, ini merupakan sebuah berita bahwa semua utusan Allah adalah manusia biasa. 9 Bagi penulis sendiri, diutusnya seorang utusan yang berasal dari kalangan manusia adalah anugerah dan rahmat yang tak terhingga. Bisa dibayangkan, seandainya utusan itu adalah malaikat yang tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak ada rasa lelah dalam beribadah dan umat manusia disuruh untuk mengikuti segala tindak tanduk malaikat tersebut, sudah tentu sebagai manusia yang memiliki batas jenuh tanaga, tidak akan mampu mengikutinya. Melanjutkan penjelasan ayat 44 dari surat al-Nahl, ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw ke tengah-tengah umatnya, Dia juga membekalinya dengan 9 Al-Qurtubi, Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an, Muhaqqiq: Hisyâm Samîr al-Bukârî Riyad, dâr „âlam al-kutub, 2003, juz 10 h. 108 kitab agar bisa dijadikan pegangan dan petunjuk dalam meniti jalan menuju-Nya. kitab tersebut bernama al-Quran yang memiliki nama lain yaitu, al-Dzikr pengingat. Dan tugas dari baginda Rasul adalah menjelaskan setiap makna ayat- ayat dari al-Quran. Berkaitan dengan tugas untuk menjelaskan ayat-ayat yang diemban oleh Rasulullah. Pada saat sampai di firman Allah “ ” al-Qurtubî mengatakan: “di dalam al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang hukum-hukum, janji, ancaman, apa yang engkau ucapkan dan engkau lakukan, maka Rasul saw menjelaskan tentang apa yang Allah swt maksudkan yang masih bersifat global baik itu ayat-ayat tentang hukum-hukum, salat zakat dan lain-lain yang belum ada perinciannya ” 10 Artinya: Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu kitab, kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka hal-hal mereka perselisihkan, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.QS. al-anhl: 64 Allah berfirman kepada Nabi- Nya Muhammad saw: ”kami tidak mengutus engkau hai Muhammad dengan membawa kitab yang telah ada padamu sebagai seorang Rasul kepada hamba-hamba kami, kacuali engkau menjelaskan kepada mereka apa yang perselisihkannya, berkaitan dengan masalah agama Allah, sehingga mereka mengetahui kebenaran antara yang hak dan yang batil dan 10 Al-Qurtubi, Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an Riyad, dâr „âlam al-kutub, 2003, juz 10 h. 109 mereka juga dapat berdiri di atas kebenaran dari bukti-bukti kebenaran Allah yang dengannya Dia telah mengutusmu ” 11 Dan adapun firman Allah swt “ ” yaitu bahwa kitab tersebut atau al- Qur‟an adalah sebagai penjelas, sehingga nampak mana yang sesat dan itu merupakan sebuah rahmat bagi orang-orang yang beriman kepadanya Diantara tugas Rasulullah saw, beliau menjelaskan-baik dengan lisan maupun perbuatan-hal-hal yang masih global dan sebagainya di dalam al-Quran. Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah swt, tentu saja penjelasan terhadap isi al-Quran itu bukanlah sekedar membaca. Banyak ayat-ayat al-Quran yang memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. 12 b. Rasul sebagai seorang yang patut diteladani Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah. QS.al-Ahzâb:21 11 Abû Ja‟far Al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad Muhammad Syâkir Muassasah al-Risâlah, 2000 cet 1, juz 17, h. 236 12 MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006,cet, 4, h.27 Artinya: Dari Sa‟ad Ibn Hisyâm dia berkata, “Aku pernah mendatangi „Âîsyah dan bertanya kepadanya, hai Umm al- Mu’minîn ceritakan kepadaku mengenai akhlak Rasulullah saw, lalu beliau menjawab: Akhlak Rasul adalah al-Qur`an. Apakah kamu tidak membaca firman Allah di dalam al- Qur‟an { dan aku pun berkata lagi, sesungguhnya aku ingin membujang selamanya, lalu „Âîsyah menjawab “jangan kamu melakukan itu, apakah kamu tidak membaca firman Allah di dalam al- Quran?” Sungguh Rasul saw juga menikah dan juga memiliki ana. Riwayat Ahmad c. Rasulullah Wajib Ditaati Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul- Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar perintah-perintah-Nya, QS. al-anfâl:20 Membahas firman Allah ,al-Qurtubîî mengatakan “Objek yang diajak pada ayat tersebut adalah orang-orang mukmin dan kelompok yang memeiliki derajat al-Musaddiqîn. Dan mereka adalah satu- satunya khitâb selain kelompok munafik, karena Allah ingin mengagungkan mereka. Allah memperbaharui perintah kepada mereka agar mematuhi Allah dan Rasul dan melarang mereka untuk berlaing darinya ” menurut al-Qurtubî, apa yang dia kemukakan di atas sesui dengan pandangan juhûr ulama ahli tafsir. Tetapi ada sebagain kelompok yang berpandangan lain, mereka mengatakan “khitâb atau seruan ajakan dari ayat tersebut, objeknya adalah orang-orang munafik. Jadi seolah-olah maksud ayat itu berbunyi: Hai orang-orang yang hanya beriman dengan lisan mereka saja”. Pendapat kelompok ini, dibantah oleh Ibn „Atiyyah, dia mengatakan ”seandainya pandangan dari kelompok tadi maknanya adalah bagian dari ayat itu, maka ini merupakan pandangan yang lemah, karena Allah swt mensifati orang yang menjadi ojek seruan dengan kata-kata iman, dan iman sendiri adalah membenarkan. Sedangkan orang-orang munafik tidak memiliki sifat itu sama sekali ” 13 Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling dari ketaatan itu, Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. QS. al- Nisa :80 Mengenai ayat al-Alusi mengatakan , “ini adalah penjelasan hukum tentang risalah Rasul saw, sebuah jejak penjelas yang sangat nyata. Hal tersebut sangat perlu, karena yang memerintah dan melarang pada hakekatnya adalah hak progratif Allah swt. Sedangkan Rasul sendiri sekadar menyampaikan apa yang diperintah dan dilarang, maka bukanlah disebut harus taat kepada diri Rasul, akan tetapi harus taat kepada Dzat yang telah menyuruhnya untuk menyampaikan. ” 14 13 Al-Qurtubi, Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an Riyad, dâr „âlam al-kutub, 2003, juz 7, h. 387 14 Al-Alusî, Rûh al- M’ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-‘Azîm wa al-Sab’I al-Matsânî, juz 4. H. 148 Melihat pemaparan al-Alusî, penulis memahami bahwa yang dimaksud taat kepada Rasul adalah bukan taat kepada seseorang yang bernama Muhammad Ibn Abdullah, akan tetapi ketaatan itu dilihat dari sisi Muhammad Ibn Abdullah yang berposisi sebagai seorang Rasul atau utusan Allah. Sejarah banyak berbicara yang direkam di dalam hadis-hadis Nabi, bahwa tidak semua perintah yang di ucapkan Rasul kepada para sahabat-sahabatnya itu dituruti oleh mereka, seperti contoh dalam hadis yang diriwayat oleh imam Ahmad. Artinya: Dari „Âîsyah r.a. dia bercerita: pada suatu waktu Usâmah tergelincir atau terjatuh di depan pintu dan Rasulullah saw. menyuruh saya “hai „Âîsyah bersihkan kotoran itu dari wajahnya” karena merasa jijik maka saya menolak permintaan beliau. Lalu Rasul saw, mencuci wajahnya sambil berkata : “bila Usâmah seorang perempuan, aku akan menghiasinya dengan perhiasan-perhiasan dan akan mengeluarkan uang untuknya ” Dari hadis di atas dapat dilihat, bahwa penolakan „Âîsyah atas perintah Rasul bukanlah sebuah bentuk pembangkangan terhadap utusan Allah, karena dalam seperti kasus di atas, posisi Muhammad Ibn Adullah bukan berstatus sebagai seorang Rasul, akan tetapi seorang manusia biasa yang berperan sebagai suami bagi bunda „Âîsyah. Masih melanjutkan penjelasan al-Alû si, dia mengatakan “dalam sebagian riwayat yang bersumber dari Muqâtil, bahwa Nabi saw bersabda: Siapa yang mencintaiku maka dia telah mencintai Allah Ta`âla dan siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah , mendengar sabda tersebut, orang-orang munafik pun berkata: apakah kalian tidak mendengar apa yang telah dikatakan oleh laki-laki ini? Uncapan yang mendekati kesyirikan. Dia melarang untuk tidak menyembah kepada selain Allah, tapi lihat apa yang dia mau? Dia ingin kami menjadikannya sebagai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Umat Nasranî terhadapa ‘Îsâ ‘Alaihi al-Salâm, maka turunlah ayat tersebut. 15 Berkaitan dengan surat al-Nisâ` ayat 80 di atas, sebelumnya pada surat Alu „Imrân ayat 31, Allah swt telah memerintahkan kepada Nabi untuk mengatakan sebagaimana firman-Nya: Artinya: Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S Alu „Imrân: 31 Mengenai penjelasan ayat ini, penulis akan mengutip penafsirannya Wahbah al-Zuhailî . Dia mengatakan “bentuk cintanya Allah terhadap hamba-Nya adalah dengan memberikannya nikmat berupa ampunan, karena pada tempat lain, 15 Al-Alusî, Rûh al- M’ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-‘Azîm wa al-Sab’I al-Matsânî, juz 4. H. 148 yakni dalam surat al-Rûm ayat 45 Allah telah berfirman artinya: sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir yang maksudnya yaitu: Allah tidak akan mengampuni mereka. 16 Dalam ayat ini, lanjut wahbah, Allah mengatakan “katakan kepada mereka hai Muhammad, jika kalian benar-benar cinta kepada Allah dan berharap pahala darinya, maka kerjakan setiap apa yang telah Allah turunkan melalui wahyu, yakin Allah akan meridoi dan mengampuni kalian, dengan kata lain kalian akan mendapatkan hal yang lebih besar atas cinta kalian kepada Allah, yaitu berupa cinta Allah kepada kalian dan ini adalah lebih besar dari yang pertama ” 17 Telah panjang lebar penulis mengutip ayat-ayat Allah tentang keharusan mengikuti Rasul beserta penafsiran para ulama mengenainya. Untuk menguatkan hal tersebut, maka penulis juga membawakan firman Allah, yang dengan tegas memerintahkan: Artinya: Apa yang diberikan diperintahkan Rasul kepadamu maka terimalah kerjakanlah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah QS. al-Hasyr:7 Perintah untuk ber-taqlîd kepada Rasul sudah sangat jelas termaktub dalam al-Qur`an. Lalu apa balasan bagi orang taat kepada Rasul?. Menjawab pertanyaan ini sekaligus mengakhiri pembahasan taqlîd kepada Rasul, sekali lagi 16 Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr Damaskus: Dâr al-Fikr, tth juz 3, h. 206 17 Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr Damaskus: Dâr al-Fikr, tth juz 3, h. 207 penulis akan mengutip apa yang telah dikatakan oleh ar-Razî, ketika dia menafsirkan firman Allah yang berbunyi: Artinya: Dan barang siapa yang mengikuti Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqîn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik- baiknya.QS. al-Nisa: 69 Ketahuilah, bahwa ketika Allah memerintahkan untuk taat kepada Allah dan al-Rasûl dengan berfirman 59 ] kemudian diulangi lagi dengan berfirman [ } 64 setelah itu, Allah memberikan kabar gembira atas ketaatan itu pada surat yang sama di ayat selanjutnya dengan berfirman: } 66 68 18 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 273 Setelah berbicara panjang lebar mengenai sebab-sebab turunnya dari tiap- tiap ayat diatas 19 , al-Razî lalu mengatakan dengan mengutip perkataan para peneliti hadis pada masanya “kami tidak mengingkari sahihnya riwayat-riwayat ini, karena ada hal yang lebih besar dari penyebab turunnya sebuah sebuah ayat, yaitu taat kepada utusan dan kabar gembira bagi yang mentaatinya. Engkau telah mengetahui bahwa khususnya sebab tidak merusak ke umuman lafaz. Dan ayat ini sangatlah umum untuk setiap para mukallaf, yakni, setiap orang yang taat kepada Allah dan al-Rasûl , maka akan bahagia dengan derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di sisi Allah ta`âlâ ” 3. Taqlîd kepada ahl-Dzikr Bertaklîd kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi, semuanya tersebar di dalam al-Quran dan terekam di dalam kitab-kitab hadis. Tetapi, tidak semua orang mampu untuk memahami, paling 19 Berikut ini, penulis mengutip perkataan al-Razî secara lengkap, berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat yang ia maksud: ج ز ا ب س ف ا : أا : ها س ب ث أ س ا ع ج غ ق ف ، ع ص ا ق س ع ها ص ها س بح ا ش س ع ها ص ف ، ح ع س ع ها ص ها س سف ، ج ف زح ا ف ع سج ح ج ف ، أ ح ش شح شح سا ا شا أ ا أ غ عج ب ها س ع ا ج ف أ ا ج ف ف ج ا خ أ أ ، ا أ ا أ ف خ ا ا ز ف ، ا بأ ا أ ا حف ج ا خ أ أ ، ا أ اف . ث ا : س ا ق : س ا ق ص اا : ا ز ف ؟ع ص ف ف ، ا ش ح ، اعأ ف ج ا س ها س . ث ث ا : ق : س ع ها ص ق ص اا ج ف ز : ج خ ا ها س ف ف ، ج ا ف ج ث ، ا عج ح ء ش ع ف ، ا شا أ ع ص اا أ س ع ها ص ا ف ف ، ا ها ز ف ؟ ج ا خ ب ف ، س ع ها ص ا ب خ ف ح ف : أ عب ش أ ا ح عأ ا ج ا ف ع ها عجف ا ش ح ا بح ف ، عف ، أ . عبا ا : سح ا ق : ا اس ا ع ا ق : ع ها ص ا زحف أا ف عف خ ا ا ف ، ا ا ا ز ف ، ا زح س 20 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 273 tidak mendekati kebenaran apa yang dimaui oleh Allah dan juga Rasul-nya. Ketidak mampuan ini yang mengharuskan seseorang bertanya kepada orang yang memang berkompoten dalam bidangnya. Firman Allah swt Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, Q.S. al- Nahl :43 Menafsirkan ayat ini, terutama mengenai kalimat al- Tabarî dalam tafsirnya mengutip beberapa riwayat yang menceritakan makna dari ayat tersebut. agar tidak teralu panjang penyebutan para perawinya, maka di sini, penulis hanya akan merangkum apa yang telah ditulis oleh al-Tabarî. Jadi yang dimaksud ahl Dzikr adalah: ahl al-Taurâh dan ahl Injîl atau ahl al-Kitâb. Kemudian al-Tabarî menceritakan: “ketika Allah menjadikan Muhammad sebagai seorang rasul, orang-orang Arab pada waktu itu mengingkarinya atau ada di antara mereka ada yang mengingkarinya, lalu mereka berkata:Allah sangat Agung untuk menjadikan manusia seperti Muhammad sebagai utusan-Nya ” untuk membantah ucapa mereka, maka Allah menurunkan ayat: Bertanyalah kepada ahl al-Dzikr yaitu para ahli kitab terdahulu, apakah para utusan yang telah datang kepadamu adalah manusia ataukah malaikat. Apabila mereka terbukti malaikat, maka kalian boleh mengingkari dan apabila mereka adalah manusia, maka janganlah kalian mengingkari Muhammad sebagai seorang utusan. 21 Sejalan dengan Abû Ja’far Al-Tabarî, Al-Alusi mengatakan, bahwa yang dimaksud ahl Dzikr dalam surat al-Nahl ayat 43 di atas adalah ahlul kitab dari kelompok Yahudi dan Nasrani, dan ini adalah pendapat yang ia kutip dari Ibn Abbâs, al-Hasan dan lain-lain. 22 Akan tetapi berbeda halnya dengan al-Qurtubî setelah mengutip pendapatnya Ibn Abbâs dan Mujâhid, yang berpendapat bahwa, makna ahl al-Dzikr adalah ahl-Al-Qur`an dan pendapat sebagian kelompok yang menafsirkan ahl al-Dzikr sebagai ahl al- ‘Ilm. Melihat kedua pendapat tersebut, al- Qurtubî mengatakan “bahwa kedua makna tersebut tidak jauh berbeda” 23 Mengetahui sebab turunnya ayat sangatlah perlu, karena dengan begitu, akan menguatkan pemahaman terhadap makna-makna yang terkandung di dalam al-Quran. Ini merupakan pendapat Abû al-Fath al-Qusyairî yang dikutip oleh al- Zamakhsyarî dalam kitabnya al-Burhân. 24 Penulis tidak menolak pendapat di atas, akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa al- Qur’an diperuntukan kepada seluruh manusia, dari zaman ketika diturunkannya sampai hari kiamat nanti, maka penulis lebih cenderung kepada makna ahl al-Dzikr sebagai ahl ‘Ilm. Karena ahl ‘Ilm bentuknya lebih 21 Abû Ja’far Al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad Muhammad Syâkir Muassasah al-Risâlah, 2000 cet 1, juz 17, h. 209 22 Lihat tafsir al-alusi, juz 10 hal. 171 23 Al-Qurtubi. H. 108 24 Al-Zamakhsyarî, al-Burhân, juz 1, h. 32 umum dan berlaku sampai sekarang dari pada memakai makna ahl Kitab. Sehingga wajar imam al-Suyûtî lebih memilih makna yang diambil dari keumuman lafaz ayat dari pada makna yang diambil dari sebab turunnya ayat yang bersifat khusus. 25 B. Aspek yang dilarang dalam ber-taqlid 1. Taqlîd kepada tradisi nenek moyang 170 Artinya: Dan apabila dikatakan kepda mereka: “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “tidak, kami akan tetap mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami” apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? Menurut al-Tabarî yang dimaksud oleh firman Allah dalam kalimat: ” yaitu seolah mengajak “Amalkanlah oleh kalian apa-apa yang telah Allah turunkan di dalam kitabnya kepada rasulnya, oleh karenanya, halalkanlah apa yang ia halalkan dan haramkanlah apa yang ia haramkan dan jadikanlah ia sebagai imam yang kalian ikuti dan tetap mengikuti apa yang telah ia hukumi ” 26 Lebih lanjut al-T abarî mengatakan, “orang-orang kafir itu apabila diajak, makanlah dari apa-apa yang telah Allah halalkan kepada kalian dan jauhilah 25 Al-Suyûtî, al-Itqân fî al- ‘Ulûm al-Qur`an, muhaqqiq: Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm Mesir: al-Hai`ah al-Misriyyah al- ‘Âmah lil kutub, 1973, juz 1, h. 110 26 Muhammad Ibn Jarâr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, muhaqqiq: Ahmad Muhammd Syâkir, Muassasah al-Risalah, 2000cet, 1 juz 3 h. 306 langkah-langkah syaitan serta jalan-jalannya. Dan beramalah dengan apa yang telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya saw di dalam kitab-Nya al-Quran. Mereka itu membangkang atas seruan kebenaran lalu berkata “tidak Kami turut dan mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami, kami akan menghalalkan apa yang mereka halalkan dan mengharamkan apa yang mereka harmkan juga” 27 Adapun ayat Menurut al-Tabarî yaitu: nenek moyang orang-orang kafir tersebut yang telah lebih dulu kafir kepada Allah Yang Maha Agung yaitu mereka tidak mengetahui tentang agama Allah dan kefarduan-kefaduannya, baik itu berupa perintah maupun larangannya, walaupun demikian mereka tetap mengikuti laku, perbuatan dan jalan hidup mereka, orang- orang yang tidak mendapat petunjuk dan juga tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang lain. Berdasarkan ayat ini, Allah seperti “mengejek” mereka dengan berkata “Hai manusia, bagaimana kalian mau mengikuti mereka dengan keadaan mereka seperti itu? ” 28 2. Larangan mengikuti mengikuti ajaran Ruhbân Penulis sebelumnya telah membicarakan kebolehan untuk bertanya kepada orang yang lebih ahli di bidangnya, jika mengikuti bahasa yang dipakai al- Qur’an yaitu ahl Dzikr, ketika seseorang merasa tidak mampu dalam menyelesaikan 27 Muhammad Ibn Jarâr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 3 h 307 28 Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 3 h 307 permasalahannya, lalu tumbuh menjadi sebuah tanda tanya besar di pikirannya yang tak berkesudahan, apabila tidak ditanyakan. Kebolehan ini tidak berarti memilik nilai bebas untuk mengikuti setiap ucapan dari seorang ahli atau pun seorang ulama, atas jawaban dari pertanyaan tersebut, sehingga kepada hal yang bertetangan dengan akal sehat dan juga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Isyarat agar tidak mengikuti ucapan atau fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ketentuan dasar al- Qur’an dan al-Hadîts, dapat dilihat dari bagaimana Allah menceritakan, kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengikuti setiap perkataan ulama-ulama meraka, walaupun itu menyalahi kitab-kitab mereka sendiri. Dan ini adalah bentuk lain dari kesyikirikan 29 , Firman Allah: Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.Q.S al-Taubah: 31 Ahbâr adalah sebutan bagi ulama Yahudi, sedangkan Ruhbân adalah ulama Nasrani 30 mereka merupakan orang-orang yang dipercayakan ber-ijtihâd dalam urusan keagamaan. 31 Kata ruhbân adalah bentuk jamak dari kata râhib yang berarti orang-orang yang takut, karena saking takutnya, mereka 29 Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr Damaskus: Dâr al-Fikr, tth juz 7, h. 186 30 Al-Alusî, Rûh al- M’ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-‘Azîm wa al-Sab’I al-Matsânî, juz 7, h. 210. 31 Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 17, h. 208 meninggalkan kesibukan urusan dunia, menjauhi kenikmatan-kenikmatan, melakukan zuhud, uzlah dan ada pula sebagian dari mereka melakukan keberi, juga menyiksa diri dengan cara mengikat rantai di leher mereka dan penyiksaan- penyiksaan lain. Maka dari sinilah alasan Rasul mengatakan “tidak ada kerahiban di dalam Islam” 32 Pada ayat 31 dari surat al-Taubah tersebut, Allah swt menyamakan mengikuti ucapan para ahbâr serta ruhbân dan mentuhankan nabi ‘Îsâ adalah salah satu bentuk penyekutuan terhadap Allah. Ucapan yang dimaksud adalah sebagaiman hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabarî dalam tafsirnya yaitu: Artinya: Kata al-Tabari, teleh bercerita kepada kami Abû Kuraib dan Ibn Wakî ’, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepada kami Mâlik Ibn Ismâ;il= Telah bercerita kepada kami Ahmad Ibn Ishaq, dia berkata: telah bercerita kepada kami Abu Ahmad= Yang semuanya bersumber dari Abd 32 Al-Alusî, Rûh al- M’ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-‘Azîm wa al-Sab’I al-Matsânî, juz 7, h. 210. Al-Salâm Ibn Harb, dia berkata telah bercerita kapada kami Ghatîf Ibn A’yun dari Mus’ab Ibn Sa’ad dari ‘Adî Ibn Hâtim dia berkata: “Saya pernah mendatangi Rasulullah saw, dan saya waktu itu sedang memakai kalung salib emas dileher saya, lalu Rasul bersabda: Hai ‘Adî buang berhala itu dari leher kamu, kemudian saya membuangnya. Pada saat itu juga, beliau membaca surat al-Barâ ’ah al-Taubah yaitu ayat ini: mendengar ayat tersebut, dengan maksud protes saya berkata kepada beliau: Hai Rasulullah, kami tidak menyembah mereka, lalu Nabi menjawab: bukankah mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan kalian pun ikut mengharamkannya dan mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan kalian juga ikut menghalalkannya? Lalu aku menjawab, ya benar. Terus Nabi bersabda “Nah, itulah bentuk Ibadah mereka” 33 Menurut pandangan wahbah Zuhailî, Mereka melakukan hal tersebut, karena untuk meninggalkan hukum-hukum Allah. Seperti diketahui, bahwa orang- orang Yahudi telah mencampur hukum-hukum buatan ulama-ulama mereka ke dalam taurat, sedangkan orang-orang Nasrani telah merubah hukum-hukum dalam kitab taurat, lalu membuat hukum-hukum baru dalam bidang ibadah dan muamalah. 34 33 Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 17, h. 210 34 Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr Damaskus: Dâr al-Fikr, tth juz 7, h. 183 3. Taqlîd kepada kesyirikan Syirik merupakan kebalikan dari iman kepada ke-Tuhan-an Allah swt. Apabila iman merupakan peng-esa-an Allah, maka beribadah semata-mata karena Allah adalah sesuatu sangat penting dan sangat besar. 35 Dalam urutan tingkatan dosa, Syirik berada di posisi pertama dan teratas yang pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah swt sebagaimana Firman-Nya; Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar Q.S al-Nisâ: 48 Pada ayat lain, Allah mengkisahkan cara luqmân mendidik anaknya. Pelajaran pertama yang ia kasih adalah jangan sekali-kali mensektukan Allah, karena perbuatan demikian merupakan suatu kezaliman yang sangat besar, Firman Allah: Artinya: Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar Q.S Luqmân: 13 35 Abd al- ‘Azîz Ibn Muhammad Âlu ‘Abd al-Tîf, al-Tauhîd li al-Nâsyi’ah wa al- Mubtadi`în , Mekkah: Wizârah al-Syu`ûn wa al-Auqâf wa al-Da`wah al-Irsyâd, 1422H, cet, 1, h. 37 Mengetahui betapa besarnya dosa perbuatan syirik, seseorang yang apa bila diajak untuk melakukannya maka wajib dia menolaknya, walaupun itu orang tuanya sendiri. Penegasan ini telah ditetapkan oleh Allah, masih dalam Surat Luqmân sebagaimana berikut. Artinya: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan Q.S Luqmân 15 4. Taqlîd “buta” tanpa dasar informasi yang benar Pada bagian keempat ini, merupakan poin kunci seluruh pembahasan yang berkaitan dengan taqlîd, baik itu berupa kewajiban ber- taqlîd maupun larangannya. Karena pada dasarnya, seseorang itu dituntut untuk mencari ilmu pengetahuan agar keimanannya kepada Allah serta cara beribadah kepada-Nya tetap terjaga dan dia juga tidak terjerumus kepada jurang kebodohan. Untuk mencapai ilmu dan pengetahuan, Allah telah memberikan bekal untuk hal itu, berupa pendengaran, penglihatan dan hati. Yang mana dengan mendengar kita dapat memperoleh pengetahuan, begitu juga dengan analisis penglihatan dan penelitian, sampai pada tingkat supranatural, maka disitu peran hati yang dominan. Dan orang yang tidak menggunakan bekal tersebut, akan mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, sebagaimana Firman Allah. Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Q.S al-Isrâ ’ : 36 Al-Alûsi dalam menafsirkan ayat di atas, telah mengutip riwayat Ibn Jarîr dan selainnya yang bersumber dari Qatâdah, ia berkata: bahwa maksuf ayat ini adalah jangan mengatakan kamu telah mendengar padahal kamu tidak mendengar dan juga jangan kamu katakana kamu telah melihat pada kenyataannya kamu tidak melihat. Kemudian dia berkesimpulan, bahwa lafaz dari ayat tersebut sangatlah umum yang mencakup kesemua bidang. Maka tidak ada makna yang menunjukkan untuk ber-taqlîd. 36 C. Analisa Term Taqlîd dalam al-Quran Telah diulas pada poin-poin di atas mengenai siapa yang wajib untuk di taqlîdi dan yang dilarang. Kini sampai kepada menganalisa lebih jauhlagi mengenai term taqlîd yang terdapat didalam al-Quran yang mencakup semua pembahasan larangan ber-taqlîd yang sebenarnya selain dari definisinya yang telah dibicarakan pada bab kedua. Penulis melihat adanya benang merah dari ayat-ayat yang berbicara tentang larangan mengikuti ajaran-ajaran nenek moyang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, larangan untuk ikut kepada setiap fatwa- fatwa kebolehan dan pelarangan yang “ditelorkan” oleh para ahli juru fatwa dari kalangan Yahudi dan Nasrani, di samping ketidak bolehan mengikuti kesyirikan dan informasi yang tidak jelas asal-usulnya. 36 Al-Alusî, Rûh al- M’ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-‘Azîm wa al-Sab’I al-Matsânî, juz 10, h.452 Benang merah ini muncul bukan hanya dari para pelaku taqlîd itu sendiri, akan tetapi juga bersumber dari orang-orang yang di- taqlîdi, asumsi penulis tersebut bersandar dari apa sebenarnya yang melandasi para pelaku taqlîd untuk melakukannya dan para muqallid dengan keadaan sadar membiarkan mereka, yang tanpa ada perasaan akan mempertanggungjawabkan sama sekalidihadapan Allah SWT. landasan dominan yang mengitari hari mereka adalah hawa nafsu. Sebagaimana firman Allah SWT.:                        Artinya: Katakanlah: Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan melampaui batas dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya sebelum kedatangan Muhammad dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. Membahas dan mendikusikan ayat di atas, al-Baghawi mengatakan, adapun firman Allah yang berbunyi : {          }  Maksudnya adalah janganlah kalian melewati batas yang telah ditentukan oleh Allah SWT dengan cara berlebih-lebihan atau mengurangi sesuatu yang telah dibatasi, keduanya merupakan perbuatan yang sangat dicela dalam agama. 37 Dan sudah barang tentu, perbuatan yang dicela oleh Allah adalah hal yang bertolak belakang atau bertentangan dengan-Nya. Inilah yang dimaksudkan ;oleh 37 Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, muhaqqiq: Muhammad `Abdullah al-Namr Dar- al-Taybah:1997 Cet. 1, Juz. 8, h. 3 al-Baghawî tentang makna dari kalimat     Selanjutnya kalimat    al-ahwâ` adalah Jamak dari kata hawâ `, yaitu sesuatu yang menunjukan akan adanya dorongan terhadap keinginan Syahwat. 39 Ketika sampai pada kalimat      al-Baghawi mengatakan, yaitu mereka adalah para pemimpin dari kelompok Yahudi dan Nasrani, akan tetapi objek yang diajak becara adalah orang-orang yang ada pada masa Rasullulah, mereka dilarang untuk mengikuti tindak tanduk leluhur-leluhur yang sesat sehingga mereka menyesatkan banyak orang yang mengikuti mereka   Surat al-Maidah ayat 77 dan penjelasan Al-Baghawî tentangnya sudahlah merangkum apa yang penulis maksudkan dengan ayat yang secara global membicarakan larangan bertaqlid terhadap orang-orang yang sesat lagi menyesatkan, dikarenakan mengikuti keinginan atau hawa nafsu mereka dalam menjalani semua ritual-ritual keagamaan. Pada ayat lain, Allah mensifati orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka sebagai orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya, orang-orang yang 38 Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3 39 Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3 40 Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3 tidak beriman kepada hari kiamat dan juga mereka mempersekutukan Allah. Ayat yang penulis maksud adalah sebagaimana yang tertera di bawah ini.                          Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu- Nya. dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan hal yang sangat mendasi larangan bertaqlid adalah karena orang- orang tersebut telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan mereka dengan mengikuti apa yang diinginkan oleh nafsu-nafsu rendah mereka.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Di akhir bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan dari apa yang telah dibahas yang berkaitan dengan Taqlîd, yaitu: 1. Definisi Taqlid Sepanjang bahasa Arab Taqlîd bermacam-macam, menurut letak dan rangkaian katanya, di antara adalah : “Menyerahkan – Menghiasi – Meniru – Menuruti seseorang dan Menerima Piutang”. Misalnya : Ia menghiasi leher dengan kalung Ia menyerahkan pekerjaan, . Ia menyelempangkan pedang Ia meniru padanya demikian ا . Ia menurut seseorang tentang itu , Ia menerima piutang dari fulan . Adapun dalam bahasa Indonesia kata taqlîd dapat diartikan peniruan, keikutan atau pegangan kepada suatu paham pendapat ahli hukum yang sudah, tanpa mengetahui dasar atau alasan. Secara terminologi taqlîd adalah menerima, mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui landasan dan basis argumentasai yang digunakan. Di samping 2 dua definisi di atas, penulis juga menggunakan definisi operasional. Definisi operasional adalah semacam petunjuk kepada kita tentang bagimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional merupakan informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan menggunakan variabel yang sama. Karena berdasarkan informasi itu, ia akan mengetahui bagaimana caranya melakukan pengukuran terhadap variabel yang dibangun berdasarkan konsep yang sama

2. Kosa Kata Taqlîd

Di dalam al-Quran penulis tidak menemukan kosa kata taqlîd, tetapi penulis menggunakan kata yang artinya serupa, seperi kata Ittiba’, Akhadza, Taqfu. Secara teks, al-Quran tidak ada yang mencantumkan sebuah kata taqlîd atau pun derivasinya, tapi itu bukan merupakan alasan, bahwa pembicaraan mengenai taqlîd yang diisyaratkan oleh al-Quran itu tidak ada

3. Pembagian Taqlîd

A. Taqlîd yang diperbolehkan a. Taqlîd Syakhsi Taqlîd Syakhsi adalah taqlîd yang langsung kepada Rasul atau merupakan bentuk taqlîd terhadap Rasulullah, baik itu perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. b. Taqlîd Mutlak