Latar Belakang Masalah. PENDAHULUAN

untuk menuntut ilmu. Dengan menuntut ilmu diharapkan mampu memahami perintah dan larangan yang harus dilaksanakan dan dijauhi serta termotivasi untuk mempratikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah letak urgensi thalab al- ‘ilmi bagi seorang muslim demi mempertahankan eksistensinya sebagai orang yang taat beragama dan peduli terhadap dirinya. Bagi seorang muslim yang sudah terlanjur beragama Islam karena adat dan lingkungan, wajib melakukan perenungan agar imannya makin mantap, tidak goyah sehingga terjerumus kesifat setan atau binatang. Sementara itu, siapapun juga, muslim maupun kafir pada dirinya telah Allah SWT berikan akal yang pada saatnya yaitu usia aqil baligh akan berfungsi untuk mencari kebenaran. 1 Setiap orang menyadari bahwa ia mempunyai akal dan perasaan yang sehat yang terletak atau berpusat pada otak yang digunakan untuk berpikir. Kemampuan berpikir dan merasa ini merupakan nikmat anugerah Tuhan yang paling besar dan ini pulalah yang membuat manusia merupakan makhluk istimewa dan mulia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Karena akal itu merupakan alat untuk menuntut ilmu dan dengan ilmu manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dalam keadaan sehat, manusia sering kali tidak menyadari apakah yang dijalankannya atau yang diperbuatnya itu berdasarkan pada ilmu pengetahuan atau tidak. Sebab sesuatu yang yang dilakukan tanpa berdasarkan pada ilmu, maka perbuatannya itu diragukan akan kebenarannya. Apalagi jika yang diperbuatnya itu hanya berdasarkan kepada peniruan saja. 1 Palgunadi T. Setyawan, Daun Berserakan Sebuah Renungan Hati, Jakarta : Gema Insani Fress, 2004, cet. I, h. 115. Tingkah laku seseorang di dalam kehidupanya yang didasarkan kepada upaya meniru dan mengikuti perbuatan orang lain tanpa didasari kepada al-Quran dan al-Hadits atau dalil-dalil yang membenarkan, itu sangat dicela dan dilarang Allah SWT. Selain daripada itu, di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang isinya jelas menunjukkan bahwa orang yang ber-taqlîd dalam urusan agama akidah, ibadah dan hukum, itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan yang membawa ke arah kesesatan. 2 Sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 170 dan surat al-Maidah ayat 104 : Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: Tidak, tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?. Artinya : Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. mereka menjawab: Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya. dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk?. Ayat-ayat di atas jelas menunjukkan kepada kita, bahwa orang-orang yang sudah ber- taqlîd dan menjadi pak turut itu sangat dijelekkan dan dicela oleh Allah SWT. Karena mereka itu apabila diajak kembali mengikuti pimpinan Allah dan KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, 1989, h. 342 kepada tuntunan Rasul, mereka menjawab : “Hanya kami akan menurut saja cara- cara yang telah dilakukan oleh orang- orang tua kami, nenek moyang kami”, atau “Cukuplah bagi kami agama yang telah dijalankan dan dikerjakan oleh nenek moyang kami dan datuk- datuk kami.” Mereka berkata yang sedemikian itu, karena sudah penuh sangkaan dan anggapan, bahwa cara-cara dan agama yang telah dikerjakan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut pimpinaan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta keterangan yang menunjukan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek moyang mereka itu. 3 Bahwa kecaman dalam firman Allah itu ditunjukan hanya bagi orang yang ber-taqlîd kepada orang-orang kafir dan nenek moyang mereka yang tidak berakal sedikit pun serta tidak mendapatkan petunjuk, dan orang yang ber-taqlîd kepada ulama yang memperoleh hidayah tidaklah dikecam, bahkan diperintahkan untuk bertanya kepada orang-orang yang mengerti, yakni para ulama. 4 Meniru dan mengikuti perbuatan orang lain dalam melakukan kebaikan memang itu diharuskan, tetapi harus didasarkan kepada dalil-dalil yang membenarkan terlebih dalam masalah ubudiyah. Kalau yang ditirunya itu menyimpang dari apa yang disebutkan dalam al-Quran dan hadits akan membawa kesesatan meskipun orang yang ditiru itu adalah orang tuanya sendiri. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT dalam al-Quran surat Luqman ayat 15 : 3 KH. Moenawar Chalil, h. 343 4 Al-Imam Ibn Qayyim, Risaalah At-Taqliid, terj. Ibn Ibrahim Jakarta : Pustaka Azzam, 2000, cet. 1, h. 20 Artinya : Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Ayat tersebut menggambarkan bahwa tidak diperbolehkan mengikuti sesuatu ajaran atau sesuatu perbuatan yang mana perbuatan yang ditirunya itu menyimpang dari ajaran Allah SWT meskipun yang melakukannya itu orang tuanya sendiri. Allah SWT dan Rasulullah SAW menyebut bagi orang-orang yang hanya mengikut-ikuti orang lain atau pemuka agama dalam hal-hal yang mereka kerjakan bagai mereka menjadikan orang yang diikutinya itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah 5 sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani dan Yahudi di masa lalu yang tergambar dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 31:  Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan al-Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa. Maksud dari menuhankan selain Allah dalam ayat tersebut ialah mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh berbuat 5 KH. Moenawar Chalil, h. 346. maksiat atau mengharamkan yang halal. Hal ini terkandung dalam hadis Nabi SAW yang berbunyi : Artinya : Dari Adiy bin Hatim : “aku pernah datang kepada Rasulullah Saw pada leherku ada salib, maka beliau bersabda kepadaku : “hai Adiy lemparkan arca ini dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi,” dan beliau membaca ayat : dari surat at-Taubah ayat 31 Kata adiy : aku berkata : “ya Rasulullah, kami tidak menjadikan tuhan-tuhan kepada pendeta- pendeta itu. “Nabi Saw Bersabda : “bukankah mereka menghalalkan bagi kamu barang yang diharamkan Allah atas kamu, lalu kamu menghalalkannya; dan mereka mengharamkan atas kamu barang apa yang dihalalkan Allah kepada kamu, lalu kamu mengharamkannya?” Kata Adiy : “bahkan, ya Rasulullah.” Nabi bersabda : “demikian itulah ibadah kepada mereka.” HR. al-Thabrany Keterangan di atas menggambarkan bahwa dengan mengikuti dan meniru kebiasaan orang lain tanpa mengetahui makna dan tujuannya atau tanpa adanya dalil-dalil yang membenarkan merupakan perbuatan yang tidak baik. 6 Sulaiman bin Ahmad Abu Qasim al-Thabrani, al- Mu’jam al-Kabîr, Ttp.: Maktabah al- „Ulum wa al-Hikm, 1983, Jil. 10, h. 116 Ini memang berangkat dari kenyataan, masih banyaknya orang yang mengetahui sesuatu kebenaran tanpa mempelajarinya terlebih dahulu dan sesuatu yang dikatakan benar itu diperoleh dengan hanya melihat dari perbuatan orang lain, atau dari kebiasaan yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya. Hal inilah yang merupakan suatu permasalahan yang ingin dikaji oleh penulis. Sebagaimana Allah SWT menjelaskan dalam surat al-Isra ayat 36 : Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Ayat di atas banyak memberikan gambaran tentang dilarangnya segala perbuatan yang tidak diketahui akan kebenarannya dan apa-apa yang dilakukan manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir nanti. Pada hakikatnya, al-Quran di turunkan oleh Allah SWT bagi umat manusia agar menjadi panduan bagi mereka agar dapat terbebas dari belenggu kebodohan dan supaya manusia dapat memperoleh bimbingan keselamatan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Secara fundamental bahkan yang harus kita sadari ialah bahwa al-Quran ialah firman Allah SWT yang menjadi sumber aqidah kita. 7 Al-Quran ialah perkataan yang paling agung dan mulia yang penuh dengan petunjuk kebenaran di dalamnya yang diturunkan oleh Allah SWT pencipta dari 7 Muhammad Syauman ar-Ramli. Keajaiban Membaca al-Quran, terj. Arif Rahman Hakim, Lc, Sukoharjo: Insan Kamil, 2007, h. 27 segala yang ada, bukan sekedar perkataan manusia dalam buku-buku hikmah atau motivasi. Selain al-Quran, agama Islam memiliki satu buah lagi sumber ajaran dan hukum, yakni al-Sunnah atau yang sering disebut juga al-Hadits yang menjadi penjabaran, contoh kongkrit dalam tingkahlaku, sikap dan ketetapan mutlak yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw yang menjadi pedoman bagi umat manusia hingga akhir zaman. 8 Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal harus bertindak bertanggung jawab kepada Allah SWT karena Allah senantiasa mengawasi segala perbuatan manusia sendiri. Sebab tanggung jawab itu perlu untuk kelangsungan kehidupan dan tanggung jawab itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Dengan demikian manusia dididik untuk bertindak secara bertanggung jawab, meskipun demikian, kalau tindakan bertanggung jawab itu tidak dilaksanakan atau tidak dikembangkan niscaya ia akan kurang bermakna di dalam kehidupannya. Tanpa petunjuk dari Allah SWT manusia tidak akan mampu meningkatkan pemahamannya tentang alam semesta, kecuali dengan ilmu pengetahuan dengan akal yang telah diberikan oleh Allah SWT, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, dapat memahami alam semesta dan menjalani hidup dengan tata cara yang baik, akan tetapi ilmu pengetahuan tidak akan dapat berkembang di 8 H. Said Agil Husin al-Munawwar. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2003, h. 181 dalam kerterbatasan manusia itu sendiri. 9 Oleh karena hal-hal tersebut, taqlîd atau mengikuti perilaku, ajaran atau pengetahuan dari orang lain, tanpa mengetahui terlebih dahulu ilmu yang melatar belakanginya, serta mencari pengetahuan dari al-Quran dan al-Sunnah menjadi sangat dianjurkan untuk tidak dilakukan sama sekali. Kalau sikap taqlîd senantiasa menjadi kebiasaan umat, bagaimana mungkin umat Islam dapat menjawab tantangan dari kemajaun jaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan. Kehidupan sosial, pemikiran, dan kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan jaman tersebut. Bila tidak lagi umat ini mau dengan sadar mencari ilmu, gambaran jauhnya, bagaimana cara kita untuk mempertahankan agama Islam dan mewujudkan nilai-nilai kesempurnaan agama ini, bahwa kemajuan dan perubahan itu tidak lantas berkontradiksi dengan kesempurnaan Islam untuk tetap menjadi agama yang relevan disetiap tempat maupun zaman. 10 Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas. Maka penulis terdorong untuk menyusun skripsi dengan judul : TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF AL- QURAN 9 Fuad Amsary, Mukjizat al- Qur’an dan as-Sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Jilid I, hal. 192. 10 Muhammad „Imarah. Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah Maufur, M.A, Jakarta: Robbani Press, 1998, h. 238.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah.

Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, banyak orang yang telah diberi akal oleh Allah SWT tapi tidak menggunakannya, sebab dengan akal itu seseorang dapat mempelajari terlebih dahulu apa yang diikutinya. Dengan kelebihan akal itulah Allah SWT memerintahkan untuk berpikir, belajar dan menelaah apa yang akan diperbuatnya. Dengan menggunakan itu semua, maka apa yang dilarang seseorang tidak akan menjerumuskanya kepada kesesatan. Kembali kepada ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya, maka akan menjadikan seseorang tenang dalam menjalani kehidupannya. Melihat uraian di atas, maka penulis dapat membatasi permasalahan- permasalahan sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan taqlîd ? 2. Apa saja yang diperbolehkan untuk dijadikan objek taqlîd ? 3. Apa saja yang dilarang untuk dijadikan objek taqlîd ? Permasalahan taqlîd dapat masuk ke dalam berbagai bidang ajaran agama, seperti fikih, aqidah dan lain-lain. Melihat hal tersebut dan agar skripsi ini terarah dan tidak keluar dari tujuan penulis. Maka perlu kiranya penulis merumuskan masalah yaitu: BAGAIMANA AL-QURAN BERBICARA TENTANG TAQLÎD DALAM MASALAH AQIDAH ?

C. Tujuan Penulisan.

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah: a. Memberi pemahaman tentang taqlîd, objek taqlîd yang diperbolehkan maupun yang dilarang. b. Untuk memperkaya khazanah keilmuan dibidang agama yang sesuai dengan pemahaman al-Quran dan al-Hadits. c. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program strata satu S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah dalam meraih gelar S.Th.I Sarjana Theologi Islam.

D. Metodologi Penulisan.

Dalam melakukan penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis melakukan pengumpulan data dengan metode penelitian kepustakaan library research , yakni mencari dan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dalam pokok pembahasan. Pengumpulan data yang penulis lakukan terbagi pada dua bagian, yaitu melalui data primer dan sekunder. Rujukan yang penulis jadikan sebagai data primer adalah al-Quran al-Karim, kitab-kitab tafsir al-Quran dan kitab-kitab hadits. Adapun acuan sekunder yang dipakai dalam penulisan ini adalah sejumlah kitab dan buku yang masih berkaitan dengan objek penulisan, seperti kitab-kitab tafsir tematik, tafsir al-Quran, buku-buku maupun jurnal serta bahan-bahan rujukkan lain yang relevan dalam pokok masalah yang dibahas. Hal ini