Kematian dalam al-qur'an: perspektif ibnu kathir

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Abdul Basit

NIM. 108034000018

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh:

Abdul Basit

NIM. 108034000018

Pembimbing:

Dr. M. Suryadinata, MA

NIP. 19600908 198903 1 005

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Agustus 2014


(4)

ii

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada: Hari, tanggal : Kamis, 21 Agustus 2014

Pukul : 14. 00-15.30 WIB

Pembimbing : Dr. M. Suryadinata, MA Ketua Sidang : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA

Sekretaris : Jauhar Azizy, MA

Tim Penguji : 1. Dr. Abd. Moqsith, MA 2. Jauhar Azizy, MA


(5)

PERSETUJUAN PARA PENGUJI

Skripsi berjudul “KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF IBN KATHĪR” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 21 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 01 Oktober 2014

Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Jauhar Azizy, MA

NIP. 19711003 199903 2 001 NIP. 19820821 200801 1 012

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Abd. Moqsith, MA Jauhar Azizy, MA

NIP. 19710607200501 1 002 NIP. 19820821 200801 1 012

Pembimbing,

Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005


(6)

iv

ABSTRAK

Abdul Basit, Kematin dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir Ibn Kathīr. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.

Kematian adalah keluarnya atau terpisahnya ruh dari jasad. Di dalam kehidupan makhluk yang bernafas pastilah akan bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya banyak yang seakan-akan tidak peduli dengan kematian.

Kematian bagi manusia sebagai makhluk yang berfikir dianggap sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena manusia berfikir bahwa kalau sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua kesenangan dan semua hal-hal yang mengenakan di dunia akan ditinggalkan, pemikiran yang seprti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang tidak percaya dengan keimanan ataupun ketaqwaan dan juga manusia yang hanya mementingkan kepentingan duniawi.

Di zaman ini banyak sekali manusia yang tidak memikirkan mati sesudah hidup, Karena godaan kehidupan dunia, seperti pergaulan/tata cara berpakaian/kedudukan/pangkat/jabatan dan uang, padahal semua orang akan mengalami kematian cepat ataupun lambat ini hanya masalah waktu saja. Supaya untuk meraih kematian yang khusnul khatimah kita harus selalu mengingat mati dengan cara melakukan amal kebaikan. Mengingat Kematian tidak berarti bahwa kita tidak boleh bekerja untuk memenuhi keperluan hidup di dunia, tetapi dalam mencari harta/pergaulan/tata cara berpakaian/mencari jabatan, tidak melakukan perbuatan yang haramkan oleh Allah.

Dalam menyusun Skripsi ini penulis memfokuskan/memakai dengan motode argumentasi dan juga menggunakan penelitian Kepustakaan (Library Research). Buku rujukan yang paling utama adalah

Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm Karya Ibn Kathīr dan juga sebagai buku yang

membantu yaitu Tesis, Majalah, Web dan dari artikel. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai kematian. Selain itu skripsi ini diharapkan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan manusia sehingga dengan keimanan dan ketakwaan tersebut manusia mampu menghadapi kematian dengan khusnul khatimah.


(7)

Allahumma Ṣalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā li Muḥammad

Dengan penuh kesadaran diri dan segala kerendahan hati, bahwa Allah-lah pemilik kesempurnaan, dan saya hanya manusia biasa yang penuh akan kekhilafan yang mencoba untuk memahami setiap perintah-Nya.

Segala puji dan syukur kepada Allah, Sang Pencipta, karena Dialah saya ada di dunia ini, dan karena Dialah saya selalu bersemangat dalam hidup.

Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad saw, yang telah mengajarkan suatu kebenaran yang telah beliau jalankan, dan terbukti akan kehebatan Allah swt.

Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.


(8)

vi

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis. Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

4. Dr. M. Suryadinata, MA., mencakup juga sebagai dosen pembimbing skripsi atas bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Dr. Abd. Moqsith, MA., dan Jauhar Azizy, MA., selaku dosen penguji atas arahan perbaikan skripsi.

6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan didikasinya mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.

7. Kepada Ayahanda saya (Alm) H. Abdul Karim bin H. Abdul Hamid Hasyim, Ibunda saya Hj.Choiriyah binti KH. Abdurrahim Shofa, Ayah angkat saya Bapak Endang bin H. Atmaja, Umi angkat saya Umi Nunung binti‎ H.‎ Elang‎ yang‎ tak‎ henti‎ mendo’akan‎ saya,‎ mendidik‎ saya,‎ sampai‎ saya dapat berpijak pada diri saya sendiri.

8. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan. Yang telah melayani penulis dalam mempergunakan buku-buku dan literatur yang penulis butuhkan selama penyusunan skripsi ini.

9. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan FUF UIN, Perpustakaan Umum Iman Jama, Perpustakaan Umum PSQ, Perpustakaan Pascasarjana UIN dan Perpustakaan LIPI. 10.Kepada Abang dan Kakak saya yang telah memberikan motivasi dan


(9)

dalam penulisan skripsi ini.

12.Seluruh keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2008 yang selalu memberikan warna-warni indahnya persahabatan.

13.Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, namun tidak luput untuk penulis sebutkan, tanpa mengurangi rasa terimakasih penulis.

Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga Allah swt selalu memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.

mīn yā Rabb al- lamīn.

Ciputat, 20 September 2014


(10)

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

A.Konsonan

ا ═ ’ ═ r غ═ gh

ا═ b ز═ z ═ f

ت═ t ا═ s ق═ q

ث═ th ش═ sh ك═ k

═ j ص═ ṣ ل═ l ح═ ḥ ═ ḍ م═ m

خ═ kh ═ ṭ ن═ n

د═ d ظ═ ẓ و═ w

ذ═ dh ع═ ‘ (ayn) ه/ ═ h ي ═ y

B.Vokal dan Diftong

Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong

َ

═ a ا—

َ

═ ā ى

ِ

═ ī

ِ

═ i ى—

َ

═ á ْو

َ

═ aw

ُ

═ u و— ُ ═ ū ْي

َ

═ ay

C. Keterangan Tambahan

1. Kata sandang لا (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya (ةيزللا) al-jizyah, ( اثآا) al-āthār dan (ةم لا) al-dhimmah. Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.


(11)

ix

2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya

al-muwaṭṭaʽ.

3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.


(12)

x

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERNYATAAN ... TIM PENGUJI SKRIPSI ... PERSETUJUAN PARA PENGUJI ... ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... PEDOMAN TRANSLITERASI ... DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang Masalah ... B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... C. Tujuan Penulisan ... D. Metode Penelitian ... 1. Metode Pengumpulan Data... 2. Metode Pembahasan ... 3. Teknik Penulisan ... E. Tinjauan Pustaka ... F. Sistematika Penulisan ...

BAB II TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN ...

A. Ketentuan yang Pasti QS. 4: 78, dan QS. 23: 15 ... B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti QS. 7: 34, QS. 10: 49,

QS. 15: 5, QS. 16: 61, QS. 17: 58, dan QS. 35: 45 ...

i ii iii iv v viii x 1

1 6 7 7 7 8 8 9 11

13

13


(13)

KEMATIAN ...

A. Makna Kematian ... 1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan ... 2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian ... B. Tanda-tanda Kematian ... C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertobat ... BAB IV KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR ...

A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr ... B. Ayat-ayat Kematian ... 1. QS. al-Nisa’ [4]: 78 ... 2. QS. Ali ‘Imran [3]: 185 ... 3. QS. Ali ‘Imran [3]: 156-158 ... 4. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8 ...

BAB V PENUTUP ...

A. Kesimpulan ... B. Saran-saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

31

31 31 37 39 43

47

47 48 48 59 65 68

73

73 73


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai kematian bukanlah suatu hal yang mudah karena di samping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat terbatas. Hidup dan menghembuskan nafas itu adalah satu hakikat yang sulit dibantah dan hampir tidak diperdebatkan oleh manusia.1

Sedangkan manusia terkadang tidak sadar setelah tidak menghembuskan nafas, akan mengalami suatu proses yaitu kematian, yang mana proses itu terkadang tidak diperhatikan oleh sekalian manusia dan terkadang bahkan dilupakan.2

Sebagai seorang Muslim yang beriman, mereka harus percaya akan adanya kematian yang selalu setia menunggunya. Banyak orang yang beranggapan bahwa kematian hanyalah sebatas kelenyapan semata dan tidak ada hari kebangkitan (pembalasan amal) setelahnya. Seperti halnya kaum Humanis di Barat, mereka tidak percaya bahwa setelah kematian akan ada pembalasan atas amal kebaikan dan kejahatan.3 Bagi mereka, kematian sama halnya dengan matinya hewan atau keringnya dedaunan maupun tanaman. Mereka meyakini kematian pasti datang menjemput, tetapi tidak mempercayai akan kehidupan selanjutnya yaitu akhirat.

Begitu besar perhatian al-Qur’an dalam menerangkan fenomena kematian. Sebagaimana tercatat, bahwa al-Qur’an berbicara tentang kematian kurang lebih

1

M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT (Tanggerang: Lentera Hati, 2005) h. 18

2

M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, h. 19

3

Qomaruddin SF. dalam Alwi Shihab, Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf, (Jakarta: Serambi, 2003), h. 145.


(15)

sebanyak 300 ayat. disamping itu pula ada juga hadis Nabi saw. baik yang shahih maupun dhaif.4 Salah satu hadis Nabi yang penulis paparkan tentang kematian adalah:

ِ ْ َ ْا َ ْ ََ َ ِا َ ِ َ َ ُ َ ْ ََ َا َ ْ َ ُ ّ َ ْا

“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. al-Tirmidhī)5

Dengan adanya skripsi yang sederhana ini, penulis akan mencoba membahas beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki hubungan erat tentang perihal kematian. Di antara beberapa surat dan ayat yang akan penulis bahas tentang tema-tema kematian adalah: QS. al-Nisā’ [4]: 78; QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan 156-158; QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8.

Kematian sebuah kata yang sederhana tetapi mengandung banyak makna yang sangat dalam. Di dalam kehidupan makhluk yang bernyawa pastilah akan bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya mereka banyak yang seakan-akan tidak peduli (tidak mau berfikir untuk mempersiapkan diri) bertemu dengan kematian. Bagi sebagian manusia menganggap seolah-olah kematian merupakan sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena manusia berfikir bahwa jika sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua kesenangan dan semua hal-hal yang meng-enakkan di dunia akan ditinggalkan. Pemikiran yang seperti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang sangat tipis dan juga manusia yang hanya mementingkan kehidupan duniawi semata. Akan tetapi akan berbeda bagi

4

M. Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Mizan: Bandung, 2007), h.

5

Muḥammad bin ‘Isā Abū ‘Isā Tirmidhī Salimī, Jāmi‟ al- aḥīḥSunan Tirmidhī, juz 9, nomor 2647, (Beirut: tth), h. 337


(16)

3

manusia yang berfikir dengan kesadaran dan keimanannya, pastilah mereka akan selalu memikirkan dan memaknai arti sebuah kematian dengan segala upaya untuk bisa mengambil pelajaran dan mempersiapkannya secara lebih matang dan mendalam.

Melalui proses kematian, manusia di-ingatkan akan keberadaannya di alam dunia ini. Ternyata jika direnungkan, kehidupan ini hanyalah sebatas persinggahan. Dikatakan persinggahan karena waktu kesempatan hidup yang tersedia untuk mereka hanya sementara. Tiap-tiap manusia tidak akan pernah tahu kapan-kah waktu kesempatan hidup ini akan berakhir. Tidak ada satu pun manusia di alam dunia ini yang dapat hidup kekal abadi. Karena yang hidup kekal abadi hanyalah Allah swt, dan semua yang bernama makhluk apapun itu pasti akan rusak binasa (menghadapi kematian).6

Penulis menganalisa bahwa orang yang terjerumus ke dalam kesibukan di dunia, yang terpedaya oleh kemewahan dunia, dan yang lebih menyukai kenikmatan yang diperoleh dengan perantaraan dunia pasti hatinya tidak ingat akan kematian. Yang dapat disimpulkan bahwa dikodratkan dalam penciptaan di dunia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah swt.

Jika ada seseorang yang membahas kepada mereka mengenai kematian kemudian dia benci dan berpaling dari kematian dan bertambah jauhlah dari Allah swt jika dia diingatkan kematian, maka dia akan menjadi orang yang celaka. Biasanya orang tersebut akan berbuat yang sewenang-wenangnya dengan kata lain mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji.

6 Imām al

-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, (Beirut


(17)

Adapun di antara orang-orang yang baik ialah bagi orang yang selalu mengingat kematian, sebab dengan mengingat mati orang tersebut di arahkan untuk selalu mengerjakan perbuatan yang terpuji dan menjauhi perkara yang tercela atau menyebabkan murka Allah swt.7

Sebagaimana penulis mengambil salah satu ayat kematian dari pembahasan skripsi ini yaitu firman Allah swt dalam QS. al-Nisā’ [4]: 78.









Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,

Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh” (QS. al-Nisā’

[4]: 78)

Seluruh manusia yang memegang teguh ajaran agama Islam diperintahkan untuk senantiasa ingat kepada kematian agar mempersiapkan bekal untuk hidup setelah mati semaksimal mungkin. Karena kematian itu pasti akan mendatangi makhluk yang bernyawa sekalipun mereka bersembunyi di tempat yang kokoh tetap akan diterobos oleh mati.

kematian merupakan kejadian yang sangat berat dan paling menakutkan serta mengerikan. Padahal kematian itu pasti akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa. Apabila kematian sudah dikatakan suatu peristiwa yang paling menakutkan serta akan dialami oleh setiap manusia. Maka melupakan mati atau tidak pernah ingat mati sekalipun, dikatakan orang yang sangat bodoh dan merupakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali.

Seseorang yang tidak pernah mengingat mati sedang dia pasti akan mengalaminya, berarti ia akan menempuh kejadian yang hebat secara membabi

7Imām al


(18)

5

buta. Ibarat orang yang berpergian jauh disuatu daerah yang tidak pernah dipelajari sebelumnya dan tidak pernah dipikir sebelumnya dalam keadaan yang gelap gulita pula. Maka sudah pasti dia tidak akan dapat melangkah atau berjalan ke alam yang gelap gulita itu dan dia pasti akan mempunyai perasaan yang gentar, takut, bingung, dan tidak tahu jalan apa yang harus dilakukan.

Allah menghendaki kebaikan pada seseorang kalau orang itu sendiri suka berbuat baik, sehingga orang itu senantiasa terpelihara dalam kebaikan sampai akhir hayatnya dan meninggal dengan cara khusnul khatimah. Sebaliknya Allah menghendaki seseorang berbuat keburukan dan kejahatan kalau orang itu sendiri suka berbuat buruk. Sehingga dia terus menerus berbuat buruk sampai akhir hayatnya dan meninggal dengan cara su‛ul khatimah.

Makhluk-Nya tidak hanya manusia saja melainkan malaikat yang baik yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakannya dan segala perbuatan mereka juga akan merasakan kematian. Semua mahluk-Nya tidak akan kekal di dunia ini kecuali Allah semata.

Dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, penulis mencoba untuk mengkaji “Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kathīr

Hal ini merupakan sebuah kekaguman penulis kepada seorang tokoh ahli tafsir yaitu Ibn Kathīr8 sebagai al- afiẓ, al-Muḥaddīth, al-Faqih, al-Mu’arrikh,

8

Nama lengkap Ibn Kathīr adalah Ismāil bin ‘Amr al-Quraisy bin Kathīr al-Baṣrī al

-Dimashqī ‘Imad al-Dīn Abul Fidā al- afiẓ al-Muḥaddīth al-Shāfi’ī. Ia terkenal dengan panggilan

Ibn Kathīr‘Imad al-Dīn al-Fidā’. Ibn Kathīr lahir di Bashra tahun 700 H/1300 M dan meninggal pada hari kamis 26 Sya’ban tahun 774 H/1373 M di Damaskus, beberapa tahun setelah menulis. Ia

dikuburkan di pemakaman sufi di samping makam Gurunya Ibn Taimīyah berdasarkan wasiatnya. Lihat ‘Umar Riḍā Kabalah, Mu‟jam al-Mu‟allifīn (Beirut, Maktabah al-Mutsannā Dār Iḥyā al

-Turāth al-‘Arābī, 1376 H/ 1957 M). jilid I, h. 283-284 dan Ibn Kathīr, al-Bidāyah Wa al-Nihayah

(Beirut Libanon, Dār al-Kutūb al-‘Ilmīyah). Jilid I, h. 2.


(19)

Mufassīr dan juga dari terjemahan Kitab Tafsīr Ibn Kathīr dapat di pahami dari penafsiran ayat al-Qur’an yang jelas dan mudah dimengerti.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah maka penulis membatasi ayat-ayat tentang kematian dalam skripsi ini dari sudut pandang kitab tafsir terjemahan al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr.

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa surat dan ayat yang membahas tentang tema-tema kematian antara lain QS. al-Baqarah [2]: 94, 95, 96, 110, 223, 243 dan 281; QS. li ‘Imrān [3]: 156-158 dan 185; QS. al-Nisā’ [4]: 78; QS. al-An’ām [6]: 47; QS. al-A’rāf [7]: 185; QS. al- ijr [15]: 99; QS. al-Naḥl [16]: 70; QS. al-Kahfī [18]: 7; QS. al-Anbiyā’ [21]: 34 dan 35; QS. al-Mu’minūn [23]: 15 dan 99; QS. al-Qaṣaṣ [28]: 88; QS. al-Ankabūt [29]: 57; QS. al-Aḥzāb [33]: 16; QS. al-Zumar [39]: 30; QS. Qāf [50]: 19; QS. al-Raḥmān [55]: 26; QS. al- ashr [59]: 18; QS. al-Jumu‛ah [62]: 5-8; QS. al-Munāfiqūn [63]: 10; QS. Nūḥ [71]: 4 dan 18; QS. al-Muddaththīr [74]: 47; QS. al-Qiyāmah [75]: 26, 27, 28, 29 dan 30; QS. ‘Abasa [80]: 21; QS. al-Takāthur [102]: 2.

Dari beberapa ayat di atas yang membahas tentang tema-tema kematian penulis hanya membatasi dari beberapa ayat yang mengangkat tema-tema kematian dalam al-Qur’an yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 78; QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan 156-158; QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8.

a. Al-Bidayah wa al-Nihayah, dalam bidang sejarah, merupakan rujukan terpenting bagi para sejarawan, sebanyak 14 jilid.

b. Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm yang lebih dikenal dengan nama Tafsīr Ibn Kathīr,

pengaruhnya sangat besar dan sampai sekarang kitab tafsir ini masih banyak digunakan sebagai rujukan. Tafsir ini masuk dalam kategori bi al-ma’tsur. Menurut Al-Zhahabi tidak memiliki corak.


(20)

7

Dalam skripsi ini penulis dapat menetapkan dengan mengajukan pertanyaan yaitu:

- Bagaimana penafsiran Ibn Kathīr terhadap ayat-ayat kematian?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui sejauh mana al-Qur’an membicarakan tentang kematian yang di firmankan Allah swt dan ditafsirkan oleh Ibn Kathīr.

2. Mengetahui penafsiran yang diberikan oleh Ibn Kathīr terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan kematian secara umum dan menjelaskan tentang makna kematian, cara mati, tanda-tanda kematian serta cara menghadapi kematian.

3. Dalam rangka memenuhi syarat-syarat kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam dari Fakultas Ushuluddin khususnya jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengadakan penelitian kepustakaan (Library Research) dalam rangka penggalian data dengan membaca dan meneliti (literatur) bahan-bahan yang telah tertulis.


(21)

Adapun sumber primer penulis merujuk pada kitab tafsir al-Qur‟ān

al-Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr,9 dan juga sumber sekunder penulis merujuk Lubāb

al-Tafsīr min Ibn Kathīr karya ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān

bin Isḥāq l al-Sheikh,10 Taisir al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣarī Tafsīr Ibn Kathīr karya Muḥammad Nasib al-Rifā’i,11 Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr karya Ibn Kathīr12 merujuk kepada buku-buku yang berkaitan dengan topik kematian dan sumber informasi lainnya.

2. Metode Pembahasan

Bahan-bahan tersebut yang berkaitan dengan penulisan dalam skripsi ini diseleksi dan diklasifikasi sesuai dengan pokok bahasannya. Karena itulah, pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode Argumentatif.

Metode argumentatif digunakan untuk mendapatkan sebuah gagasan yang dikemukakan oleh Ibn Kathīr dalam kitab terjemahan tafsir al-Qur‟ān al-Aẓīm sehingga nantinya pembahasan akan menjadi jelas dan terarah.

3. Teknik Penulisan

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 untuk Skripsi, Tesis dan Disertasi.

9

Al-Imām Abū al-Fida Ismā’il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000)

10 ‘Abdullā

h bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr,, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2001)

11

Muḥammad Nasib al-Rifā’i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj, Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999)

12

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994).


(22)

9

E. Tinjauan Pustaka

Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya-karya terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Di antara karya tersebut adalah:

Skripsi; Umar Ubaidillah dengan judul “Pengisahan Ẓabi Yusuf dalam al

-Qur‟an dan Injil (Analisis Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita

al-Kitab)”, ia menjelaskan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam kisah Yusuf baik dalam tafsir Ibn Kathīr dan cerita-cerita al-Kitab. Di antara persamaannya adalah kedua kitab menjelaskan mimpi Nabi Yusuf. Namun perbedaannya dalam cerita-cerita menjelaskan Nabi Ya’qūb tidak melarang menceritakan mimpinya pada saudaranya sedangkan dalam tafsir Ibn Kathīr Nabi Ya’qūb melarang.

Persamaan lainnya, kedua kitab ini mengisahkan pelemparan Yūsuf ke dalam sumur. Namun, berbeda dalam penutupan sumur setelah Yūsuf dilemparkan. Tafsir Ibn Kathīr mengisahkan bahwa sumur tidak ditutup dengan batu, sedangkan dalam cerita-cerita al-Kitab sumur tersebut ditutup dengan batu. Alur pengisahan Nabi Yūsuf dalam kitab Injil lebih panjang dari pada di dalam kitab al-Qur’an. Karena dalam injil /cerita-cerita al-Kitab, kisah nabi Yūsuf ini merupakan bagian dari sebuah sejarah. Sedangkan dalam al-Qur’an kisah Nabi Yūsuf tidak menjadi bagian dari hubungan sejarah yang berkelanjutan.13

Skripsi; Haromain dengan judul “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr

(Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm)”,

dalam skripsi ini, ia menjelaskan bagaimana Ibn Kathīr ketika menjelaskan

13 Umar Ubaidillah, “Pengisahan Nabi Yusuf dalam al

-Qur’an dan Injil (Analisis Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita al-Kitab)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2013).


(23)

ayat tentang kiamat. Ibn Kathīr menjelaskan proses terjadinya hari kiamat dengan beragumentasi hadis, karena tafsir karyanya merupakan kitab tafsir dengan sumber al-Qur’an dan Hadis dalam menafsirkan beberapa ayat.14

Skripsi; Irfan Abdurrahmat dengan judul “Penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)”, ia menjelaskan tentang hakikat malaikat penafsiran Ibn Kathīr adalah hamba Allah yang sangat dimulyakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta memiliki tingkat kemuliaan yang luhur. Sedangkan menurut Hamka, malaikat adalah hamba-hamba Allah yang bertambah tinggi perhambaannya, bertambah pula kemuliaannya, dan selalu setia melaksanakan perintah. Kemulian ini dilihat dari penugasan malaikan oleh Allah sebagai duta-duta istimewa dalam memelihara dan mengatur wahyu.15

Skripsi; Mohamad Yasir dengan judul “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr: Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam Surat Yasin”, ia menemukan hadis pertama, kedua dan keempat tidak memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad, hanya hadis yang ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad. Dari segi matan ia menemukan hadis ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad dan ia menyimpulkan bahwa hadis ini berkualitas shahih karena telah memenuhi kriteria ke-shahih-an matan.16

14Haromain, “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr

(Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur’an al-Azim)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2009).

15 Irfan Abdurrahmat, “Penggambaran Malaikat dalam al

-Qur’an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīrdan Hamka)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2011).

16 Mohamad Yasir, “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr

; Studi Kritik Sanad dan

Matan Hadis dalam Surat Yasin” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2010).


(24)

11

Tesis; Zarkasi dengan judul “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir

Tematik”, ia mengkaji al-maut dalam perspektif al-Qur’an. Menurutnya penciptaan al-maut dan ketetapan bagi makhluk adalah dalil yang jelas tentang ketauhidan Allah dalam uluhiyyah dan rububiyyah-Nya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara khaliq dan makhluq adalah kematian. Oleh karenanya makhluk tidak lazim menuhankan jiwa yang tertimpa kematian.17

Dari data yang penulis lacak, mungkin masih banyak lagi tulisan akademis yang belum penulis ketahui, namun ternyat yang membahas tentang kematian dalam penafsiran Ibn Kathīr secara khusus belum ada.

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan dalam melakukan penelitian kepustakaan (library research) ini, dalam

Dalam BAB I berisi pendahuluan yang dimulai dengan menjelaskan istilah-istilah kunci yang termuat dalam judul skripsi ini. Selanjutnya membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodelogi penelitian, tinjauan kepustakaan dan sistematika penulisan. Dengan harapan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai latar belakang penulisan hingga manfaat penelitian kepustakaan dalam al-Qur’an perspektif Ibn Kathīr.

Dalam BAB II ini menjelaskan Tema-tema Kematian dalam Ayat al-Qur’an. Pembahasannya tentang ketentuan yang pasti, tiap-tiap umat mempunyai ajal yang pasti, sesaat menjelang mati, dan cobaan-cobaan.

17

Zarkasi, “Al-Maut dalam al-Qur’an Kajian Tafsir Tematik” ( Tesis Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).


(25)

Dalam BAB III ini menjelaskan Pengertian dan Pendapat Ulama tentang Kematian. Pembahasannya mengacu pada makna kematian dilihat dari pengertian secara kebahasaan, sebab perubahan keadaan pada saat kematian, tanda-tanda kematian, dan cara menghadapi kematian dengan bertobat.

Dalam BAB IV merupakan bagian inti dari penelitian skripsi ini. Yaitu menjelaskan Kematian menurut Ibn Kathīr. Adapun yang akan dijelasan tentang pandangan kematian menurut Ibn Kathīr dan penafsirannya.

Dalam BAB V adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan ditambah juga dengan saran-saran yang ditujukan untuk para pembaca skripsi ini.


(26)

13

BAB II

TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN

Pada bab ini, penulis mengambil beberapa surat dan ayat tentang tema-tema kematian yang dijadikan pembahasan, kemudian menguraikannya dengan penafsiran Ibn Kathīr dan mufassir lain. Surat dan ayat yang akan dibahas yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 78, QS. al-Mu’minūn [23]: 15, QS. al-A’rāf [7]: 34, QS. Yūnus [10]: 49, QS. al- ijr [15]: 5, QS. al-Naḥl [16]: 61, QS. al-Isrā’ [17]: 58, QS. Fāṭir [35]: 45, QS. Qāf [50]: 19, QS. al-Wāqi’ah [56]: 83, 84, 85, 86 dan 87, QS. al-Mulk [67]: 2.

A. Ketentuan Yang Pasti 1. (QS. al-Nisā’ [4]: 78)1

Ibn Kathīr menafsirkan maksud dari QS. al-Nisā’ [4]: 78 yaitu kalian pasti akan mati, dan tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut, adalah sama maknanya dengan yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu QS. al-Raḥmān [55]: 26, QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan QS. al-Anbiyā [21]: 34, maknanya yaitu setiap orang pasti akan mati.

1

(QS. al-Nisā’ [4]: 78)

                                                                

“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di

dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan,1 mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan1sedikitpun”? (QS. al-Nisā’ [4]: 78)


(27)

Tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang telah ditetapkan baginya.2 Sayyid Quṭb menjelaskan dalam karyanya Tafsīr fī ilāl al-Qur‟ān, kematian menurutnya adalah suatu kepastian yang sudah ditentukan waktunya, dan tidak ada hubungannya dengan perlindungan tempat yang dapat melindungi seseorang atau tidak dapat melindungi. Kalau demikian, kematian juga tidak dapat ditunda dengan ditundanya tugas perang, dan tidak dapat pula dimajukan dengan dimajukkanya tugas jihad sebelum waktunya.3

Kematian dan peperangan adalah dua urusan yang berbeda, dan tidak ada hubungan di antara keduanya. Hubungan yang ada hanyalah antara kematian dan ajal (umur), antara waktu yang ditakdirkan Allah dan habisnya waktu itu. Selain itu, tidak ada hubungan lain. Oleh karena itu, tidak ada artinya manusia menginginkan diundurkannya kewajiban perang, dan tidak ada artinya takut kepada manusia baik dalam peperangan maupun di luar peperangan.

Dengan sentuhan kedua ini, manhaj Qur’ani mengobati semua lintasan yang melintas dalam pikiran mengenai urusan itu, dan mengobati semua ketakutan dan kegentaran yang ditimbulkan oleh pandangan yang tidak mantap.4

Menurut pendapat lain yang dimaksud lafaz dari و ialah bintang-bintang yang ada di langit. Pendapat ini disampaikan Ibn Kathīr, tetapi lemah.

2‘Abdullāh bin Muḥ

ammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr

min Ibn Kathīr, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2001), cet. 1, h. 356.

3

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, terj. As’ad Yasin, et. all., (Jakarta: Gema Insani, 2008), juz IV, h. 31.

4


(28)

15

Pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada guna sikap waspada dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut.

Menurut pendapat ulama lain yang di sampaikan oleh Ibn Kathīr yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian dan lain-lainnya. Yang merupakan musim paceklik (kekurangan), kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana.

Yang dimaksud dengan kata ةنل dalam QS. al-Nisā’ ayat 78 yaitu kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak dengan pesatnya. Begitu juga dengan kuda mereka dan keadaan mereka yang menjadi membaik serta istri-istri mereka yang melahirkan anak-anaknya.5

Kata ة ي dalam QS. al-Nisā’ ayat 78 menjelaskan yaitu tentang kekeringan dan bencana yang menimpa harta mereka. Maksud dari semuanya yaitu adalah atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua orang baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka, dan orang mukmin maupun terhadap orang kafir tanpa pandang bulu.6

Bahwa semua musibah yang datang terhadapnya berawal yang diberikan semuanya dari Allah swt yaitu merupakan kebaikan atau keburukan. Kemudian dari pada itu banyak yang mengingkari, mereka yang mengatakan demikian yang

5‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al

-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357.

6‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al

-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr


(29)

timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka serta minimnya pemahaman dan ilmu mereka yang diliputi kebodohan dan aniaya.7

Sesungguhnya ayat di atas sudah sangat jelas maknanya namun demikian penulis menarik kesimpulan dari QS. al-Nisā’ 78 bahwa setiap makhluk yang hidup di dunia ini mempunya batas umur yang ditentukan oleh Allah swt dan tidak ada yang selamat dari genggaman maut. Baik makhluk itu bersembunyi dalam benteng atau pun bersembunyi dari tempat yang sunyi yang terhindar dari keramaian makhluk lainnya pasti maut itu akan menjemputnya.

2. (QS. Al-Mu’minūn [23]: 15)8

Pada penafsiran QS. al-Mu’minūn [23]: 12-15, Ibn Kathīr menjelaskan ayat yang menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan yang berasal dari saripati tanah yaitu Adam, namun keturunannya diciptakan dari air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh yang sudah bercampur dengan cairan seorang wanita yaitu ovum.

7‘Abdullāh bin Muḥ

ammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr

min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357.

8

(QS. al-Mu’minūn [23]: 12-15)

                                                             

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (QS. al-Mu’minūn [23]: 12-15)


(30)

17

Setelah melewati suatu masa tertentu dijadikan air mani itu segumpal darah, kemudian dari segumpal darah itu menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging itu terciptalah tulang belulang yang berbentuk kepala tangan dan kaki, kemudian dibungkusnya tulang-tulang itu dengan daging, otot dan urat-urat, maka terciptalah suatu makhluk yang berbentuk lain dan Allah meniupkan roh terhadapnya. Kemudian Allah memberikan sarana berupa pendengaran, penglihatan, penciuman, suara, pikiran dan gerak, sehingga lengkaplah ia menjadi manusia yang utuh, sempurna sebagai makhluk Allah yang pilihan dan termulia.

Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, janin yang lahir dari perut ibunya sebagai bayi tumbuh menjadi balita kemudian balita itu menjadi remaja lalu menjadi manusia lanjut usia dan akan sampai akhir dari kehidupan yaitu kematian. Itulah penjelasan sebuah perjalanan dari kehidupan yang berawal dari saripati tanah yaitu proses penciptaan lalu kembali lagi kepada tanah yaitu kematian.9 Menurut Sayyid Quṭb, kematian adalah akhir dari kehidupan dunia. Dan, kehidupan di alam barzah merupakan jembatan antara dunia dan akhirat. Dengan demikian, ia hanya merupakan fase dari kehidupan, bukan akhir dari kehidupan itu. Kemudian kebangkitan merupakan fase akhir dari pertumbuhan itu. Setelah itu dimulailah kehidupan sempurna yang bersih dari segala kekurangan hidup duniawi, dan dari kebutuhan akan daging dan darah, dari rasa takut dan gelisah, dan dari perubahan dan pertumbuhan. Karena, ia merupakan fase puncak kesempurnaan yang telah ditentukan atas manusia.

9

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994), h. 400-401.


(31)

Hal itu akan terjadi hanya bagi orang yang menempuh jalan yang sempurna. Jalan yang telah digambarkan oleh paragraf pertama dari surat ini, yaitu jalan orang-orang yang beriman. Sedangkan, orang-orang yang terjerumus dalam fase kehidupan dunia ke tingkat binatang, maka dia dalam kehidupan akhirat akan terjerumus sedalam-dalamnya. Maka, hancurlah kemanusiaannya dan menjadi bahan bahan neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Dan, manusia yang seperti ini sama persis dengan batu.10

Dalam al-Qur’an QS. al-Mu’minūn [23]: 15 penulis tidak mendapati penjelasan yang panjang lebar. Penulis berkesimpulan bahwa antara QS. al-Mu’minūn [23]: 15 dengan ayat sebelumnya memiliki pertalian yang saling berkaitan.

Oleh karena itu, penulis mencoba menarik kesimpulan dari al-Qur’an QS. al-Mu’minūn [23]: 15 yang menyatakan proses terjadinya manusia dari awal diciptakan, proses pembentukan tulang, daging dan saraf sehingga menjadikan satu makhluk yang sempurna dalam bentuk yang beraneka ragam perbedaan. Kemudian manusia tersebut menjadikan dewasa dan akhirnya manusia juga akan menghadapi suatu kematian. Itulah perjalanan kehidupan yang berawal dari saripati tanah lalu kembali kepada tanah lagi.

10


(32)

19

B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti 1. (QS. Al-A’rāf [7]: 34)11

Ibn Kathīr menjelaskan QS. al-A’rāf [7]: 34 yakni bagi tiap-tiap kurun dan generasi terdapat batasan waktu yang telah ditakdirkan bagi mereka. Kemudian Allah swt memperingatkan kepada umat manusia bahwa Dia akan mengutus Rasul-rasul-Nya kepada mereka yang akan membacakan atau mengabarkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membawa berita gembira dan peringatan.12 Berbeda pandangan Sayyid Quṭb dalam penjelasan QS. al-A’rāf [7]: 34 adalah sebuah hakikat yang mendasar dari hakikat-hakikat akidah ini, yang disampaikan ke senar hati yang lalai – yang tidak mau ingat dan bersyukur – supaya sadar, sehingga tidak teperdaya oleh lamanya kehidupan.

Apa yang dimaksud dengan ajal di sini boleh jadi ajal tiap-tiap generasi manusia yang berupa kematian yang memutuskan kehidupan sebagaimana yang terkenal itu, dan boleh jadi ajal setiap umat dalam arti masa tertenut kekuatan dan kekuasaannya di muka bumi. Baik yang ini maupun yang itu, semuanya sudah ditentukan waktunya. Mereka tidak dapat memajukannya dan memundurkannya.13

Kesimpulan dari QS. al-A’rāf [7]: 34 setiap manusia atau makhluk lainnya mempunyai keterbatasan waktu untuk hidupnya yang berbeda dan itu pasti akan terjadi. Lalu Allah mengutus para Rasul-rasulnya untuk

11

(QS. Al-A’rāf [7]: 34)



























“tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka

tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

(QS. Al-A’rāf [7]: 34)

12

Al-Imām Abū al-Fida Ismā’il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 296-297.

13


(33)

memberitahukan dan mengabarkan ayat-ayat Allah yang diturunkan untuk hamba-Nya dalam hal berupa kabar gembira maupun suatu peringatan.

2. (QS. Yūnus [10]: 49)14

Sebelum ayat 49 dalam QS. Yūnus penulis akan membahas ayat sebelumnya terlebih dahulu, yakni dari ayat 48 yang menggambarkan tentang sikap orang-orang kafir dan musyrik yang bertanya-tanya bila datangnya siksaan Allah yang telah dijanjikan di dalam al-Qur’an. Kemudian berlanjut ke ayat 49 bahwa Allah swt menyuruh Rasul-Nya dan Rasul-Nya menjawab, “Aku tidak berdaya mendatangkan mudharat bagi diri aku sendiri, dan aku tidak mengetahui selain apa yang telah diberitahukan oleh Allah kepada para Nabi. Aku hanya hamba-Nya dan Rasul-Nya dan aku telah memberitahukan kepada manusia bahwa hari kiamat itu pasti akan tiba, namun Allah tidak mengungkapkan kepada para Nabi saatnya dan harinya yang pasti. Akan tetapi Allah telah menentukan dan menetapkan ajal bagi tiap umat yang tidak dapat dilampauinya atau dimajukannya.15

Sayyid Quṭb menjelaskan ajal itu kadang-kadang berakhir dengan kehancuran secara indrawi, seperti dibabat habisnya sebagian umat terdahulu. Ajal

14(QS. Yūnus [10]: 49)

                                

“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal. apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS. Yūnus [10]: 49)

15

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 220-221.


(34)

21

kadang-kadang berakhir dengan kehancuran secara maknawi, mengalami kerusakan dan hilang dari peredaran, seperti yang terjadi pada beberapa bangsa. Mungkin untuk sementara waktu kemudian kembali lagi, dan mungkin dalam kondisi seperti itu secara terus-menerus sehingga hilang pamornya dan hilang pula wujudnya sebagai umat (bangsa), meskipun pribadi-pribadinya masih ada.

Semua itu terjadi sesuai dengan sunnah Allah yang tidak akan pernah berganti, tidak akan berbenturan, tidak serampangan, tidak zalim, dan tidak pilih kasih. Maka, bangsa-bangsa yang melakukan hal-hal yang menjadikan mereka hidup (eksis), niscaya mereka akan eksis. Namun, bangsa yang menyimpang dari sebab-sebab itu, niscaya mereka aka menjadi lemah, lenyap (pamornya), atau mati, sesuai dengan penyimpangannya.16

Kesimpulan dari QS. Yūnus [10]: 49 Allah swt mengutus seorang Rasul untuk menyampaikan kabar gembira atau suatu peringatan dari ayat-ayat Allah yang di turunkan untuk hamba-Nya. Lalu Rasul tidak kuasa mengabarkan dari ayat-ayat Allah yang berupa kapan waktu yang pasti terjadinya kiamat dan kapan makhluk yang ada di dunia ini akan mengalami kematian itu.

3. (QS. al-Hijr [15]: 5)17

Bahwa Allah tidak membinasakan suatu kota dengan penduduknya melainkan sesudah cukup alasan yang menjadikan mereka patut mendapatkan azab dan sesudah pula usai masa yang telah ditetapkan bagi kebinasaan mereka.

16

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz XI, h. 136.

17

(QS. al-Hijr [15]: 5)

















“Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan (Ẓya).” (QS. al-Hijr [15]: 5)


(35)

Tidaklah suatu umat dapat mendahului masa binasanya atau menangguhkannya ke suatu masa yang lain. Ayat ini merupakan peringatan yang keras kepada orang-orang Quraisy agar mereka menghentikan syirik mereka yang akan menyebabkan kebinasaan dan kehancuran mereka.18 Maka, janganlah (meminta) kemunduran siksa untuk mereka pada suatu saat. Karena, hal itu adalah sunnatullah yang berlaku pada jalannya yang ditentukan, dan mereka pasti akan mengetahuinya.

Demikianlah kitab ketentuan masa yang ditetapkan dan ajal yang ditentukan, yang diberikan Allah bagi negeri-negeri dan bangsa-bangsa, agar mereka berkarya. Atas dasar karya dan perbuatannya, mereka tetap ingat tempat kembali mereka. Jika bangsa-bangsa dan negeri itu beriman dan berbuat baik, melakukan perbaikan dan menegakkan keadilan, niscaya Allah akan memanjangkan usia (kejayaan) bangsa dan negeri itu, sampai ia menyimpang dari asas-asas tersebut dan tak ada lagi kebaikan yang diharapkan. Saat itulah sampai ajalnya, hilang eksistensinya, kemungkinan binasa sebinasa-binasanya atau melemah secara bertahap.19

Kesimpulan dari QS. al-Hijr [15]: 5 bahwa Allah swt tidak akan memberikan suatu azab di dunia ini melainkan orang-orang yang berbuat syirik ataupun kezhaliman yang sudah melampaui batas yang dapat diampuni oleh Allah.

18

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 510-511.

19


(36)

23

4. (QS. al-Naḥl [16]: 61)20

Dalam firman-Nya ini, Ibn Kathīr menjelaskan sifat-sifat kasih sayang-Nya terhadap hamba-hamba-sayang-Nya walaupun mereka telah melakukan kezhaliman dan penganiayaan.21 Allah swt masih memberikan kesempatan agar mereka kembali ke jalan yang benar, dengan menangguhkan pembalasan-Nya dan azab siksa-Nya.

Karena jika Allah hendak menjatuhkan hukuman-Nya yang setimpal dengan perbuatan hamba-hamba-Nya yang durhaka itu, niscaya binasalah semua yang ada di atas bumi ini dan tidak ditinggalkan sesuatu makhluk pun, akan tetapi bila waktu yang ditentukan tiba, maka tiada suatu kekuatan pun yang dapat mengundurkannya barang sesaat pun atau mendahulukannya.22 Pandangan Sayyid Quṭb bahwa Allah telah menciptakan mahkluk bernama manusia dan melimpahkan untuknya berbagai nikmat-Nya. Tetapi, manusia sendiri yang berbuat kerusakan dan berbuat zalim di muka bumi, menyimpang dari ajaran Allah dan menyekutuhkan-Nya, mereka saling menindas dan berbuat aniaya kepada makhluk lainnya. Sekalipun demikian, Akkah tetap berlaku arif dan kasih

20

(QS. al-Naḥl [16]: 61)

                                  

“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan

ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya

barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. al-Naḥl [16]: 61)

21

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 572.

22

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 573.


(37)

sayang kepadanya. Dia menangguhkan siksa atasnya, tetapi Dia tidak membiarkannya.

Inilah sifat kebijaksanaan beriring dengan sifat kuat, dan sifat kasih sayang bersanding dengan sifat adil. Tetapi, sayang dan kebijaksaan Allah, sehingga Allah menyiksa manusia atas dasar keadailan dan kekuatan-Nya. Yaitu, sesudah waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kebijaksaan dan kasih sayang-Nya itu tiba, “Maka, apabila telah tiba waktu yang ditentuak bagi mereka, maka tidaklah mereka dapat mengudurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya.23

Kesimpulan dari QS. al-Naḥl [16]: 61 walaupun hamba-Nya telah melakukan kezhaliman yang sangat berat atau besar Allah akan tetap memaafkannya karena Allah mempunyai sifat kasih sayangnya yang besar yang melebihi kemurkaannya kepada hamba-Nya yang berbuat kesalahan.

5. (QS. al-Isrā’ [17]: 58)24

Dalam penafsiran QS. al-Isrā’ [17]: 58, Ibn Kathīr menerangkan bahwa ayat ini menjelaskan dan memperingatkan, bahwa Allah telah menentukan dan menggariskan di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.

23

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 191.

24

(QS. al-Isrā’ [17]: 58)

 















 

 









 

“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab

yang sangat keras. yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. al-Isrā’ [17]: 58)


(38)

25

Tiada suatu negeri yang penduduknya durhaka, melakukan kemaksiatan dan kezhaliman, melainkan akan dibinasakan negeri itu dengan seluruh penduduknya atau melimpahkan azab yang sangat keras atasnya,25 dan Allah juga berfirman dalam QS. al- alāq [65]: 9.





















“Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.” (QS. al- alāq [65]: 9)

Sayyid Quṭb juga memberi penjelasan bahwa sesungguhnya Allah semata yang berkuasa mengatur nasib para hambanya. Jika Allah menghendaki, maa Dia merahmati mereka; dan jika menghendaki lain, maka Dia mengazab mereka. Sesungguhnya Tuhan-tuhan mereka yang mereka seru selain Allah itu tidak memiliki kekuasaan untuk menghilangkan marabahaya dari mereka dan memindahkannya kepada orang lain, selain mereka.

Sekarang rangkaian ayat-ayat dalam surat ini berlanjut kepada penjelasan tentang nasib akhir yang akan dialami umat manusia seluruhnya, sebagaimana yang telah ditakdirkan Allah dan sesuai dengan ilmu dan qadha-Nya. Yaitu, berkahirnya negara-negara dan kehancurannya sebelum datangnya hari kiamat. Atau, turun azab atas sebagian negeri-negeri itu jika ia melakukan dosa yang menyebabkan turunya azab itu. Sehingga, tak ada satu negeri pun yang ada kecuali akan menemui ajalnya, dengan sendirinya atau hancur karena turunnya azab kepadanya.26

25

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 60.

26


(39)

Kesimpulan dari QS. al-Isrā’ [17]: 58, surat ini menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa Allah swt sebelumnya sudah menentukan ketentuan-ketentuan yang ada di dunia ini. Baik itu berupa musibah, bencana, kesenangan, kesedihan dan ajal di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.

6. (QS. Faṭir [35]: 45)27

Kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya dan ulahnya, niscaya binasalah semua manusia di permukaan bumi ini, akan tetapi Allah menangguhkan penyiksaan mereka sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu hari kiamat yang mana mereka akan dihisab dan dibalas masing-masing menurut amal perbuatannya selama hidup di dunia. Dan Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya.28

Kesimpulan dari QS. al-Faṭir [35]: 45 jikalau Allah ingin mengazab hamba-Nya di dunia entah itu dari perbuatan atau tingkah laku manusia yang sudah melampaui batas, niscaya pasti akan binasa semua yang ada di muka bumi ini. Tetapi Allah menunda azab tersebut sampai pada hari kiamat nanti yang mana amal perbuatannya akan dihisab.

27

(QS. Faṭir [35]: 45)

                                     

“Dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak

akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun27 akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Ẓya.” (QS. Faṭir [35]: 45)

28

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 394-395.


(40)

27

C. Sesaat Menjelang Mati 1. (QS. Qāf [50]: 19)29

Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu lari darinya. Yang diajak oleh ayat ini adalah manusia, apakah dia seorang mukmin ataukah seorang kafir. Ibn Kathīr menjelaskan bahwasanya manusia itu tidak dapat melarikan diri dari kematian, ke mana pun dia akan berlari. Karena dia pasti akan bertemu dengan kematian itu.30 Berbeda Sayyid Quṭb, kematian merupakan sesuatu yang diupayakan manusia untuk dihindari atau dujauhkan dari benaknya. Namun, bagaimana mungkin hal itu berhasil. Kematian senantiasa mencari. Ia tiada bosannya mencari, tidak pernah terlambat melangkah, dan tidak mengingkari janji. Sakratul maut bagaikan rombongan kafilah yang merambat di seluruh persendian. Sementara itu, pemandangan terbentang dan manusia mendengar, “Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.”31

Kematian mengguncangkan raganya, padahal sebelumnya dia berada dalam alam kehidupan. Mengapa dikatakan demikian, padahal dia tengah menghadapi sakaratul maut? Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa setelah Rasulullah sadar dari pingsan karena menghadapi sakaratul maut, beliau mengusap keringat dari wajahnya seraya bersabda, “Sebhanallah! Kematian itu

memiliki beberapa hal yang memabukkan.” Beliau bersabda demikian, padahal

29(QS. Qāf [50]: 19)























“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari

daripadanya.”(QS. Qāf [50]: 19)

30

Muḥammad Nasib al-Rifā’i,Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj, Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999), h. 454-455.

31


(41)

dirinya memilih menjadi teman di kalangan malaikat yang tinggi dan merindukan perjumaan dengan Allah. Lalu, bagaimana manusia selainnya?

Perhatikanlah kata al-ḥāqq pada ungkapa, “Dan datanglah sakaratul mau

yang sebenar-benarnya.” Kata itu mengisyaratkan bahwa diri manusia melihat

kebenaran yang utuh dalam sakaratul maut tanpa hijab. Dia memahami apa yang semula tidak diketahuinya dan yang diingkarinya. Namun, pemahaman ini diraih setelah hilangnya kesempatan, yaitu tatkala pengliahatan tidak berguna, pemahaman tidak bermanfaat, tobat tidak diterima, dan keimanan tidak dipertibangkan. Kebenaran itulah yang dahulu mereka dustakan, sehingga mereka pun berakhir dalam perkara kacau-balau. Tatkala mereka memahami dan membenarkannya, pemahaman itu tidak lagi berguna dan bermanfaat sedikit pun.32

Kesimpulan dari QS. Qāf [50]: 19 penulis melihat adanya kesamaan dengan kesimpulan QS. al-Nisā’ ayat 78 bahwasanya manusia tidak akan mampu melarikan diri dari kematian dan tidak akan dapat bersembunyi walaupun berada di dalam benteng karena sesuai dengan firman-Nya bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian dan maut akan mendatangi mereka sesuai dengan ketetapan dari-Nya.

32


(42)

29

2. (QS al-Wāqi’ah [56]: 83-87)33

Ibn Kahīr menafsirkan ayat di atas dengan munasabah ayat lain sebagaima permasalahan yang menyangkut nyawa sudah sampai dikerongkongan yaitu ketika sakaratul maut tiba, sebagaimana firman-Nya, “sekali-kali jangan. Apabila nafas telah mendesak sampai ke kerongkongan dan dikatakan, ‘siapakah yang dapat menyembuhkan.’ Dan dia yakin itulah saat perpisahan dengan dunia. Dan bertaut antara betis yang satu dan betis yang lain. Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. “(QS. al-Qiyāmah [75]: 26-30)” Selain ayat di atas Ibn Kathīr juga menafsirkan ayat dengan permasalahan yang sama, hal ini bisa disebutkan dalam firman Allah swt, “padahal kamu ketika itu melihat,” yaitu melihat kehadiran malaikat maut dan apa yang dibawanya. “Dan kami lebih dekat

kepadanya dari pada kamu,” yaitu kami lebih dekat kepada para malaikat kami, “tetapi kamu tidak melihat” mereka. Hal ini seperti firman-Nya, “sehingga apabila datang kematian kepada salah satu seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami dan malaikat-malaikat kami itu tidaklah melalaikan kewajibannya. (QS. al-An’ām [6]: 61).

Dalam penafsiran Ibn Kathīr, bahwasanya orang yang sudah dalam sakratul maut tidak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya baik itu Nabi

33

(QS. al-Wāqi’ah [56]: 83-87)

                                      

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, Padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat, Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS. al-Wāqi’ah [56]: 83-87)


(43)

maupun Rasul. Mereka yang sedang merasakan sakratul maut itu bagaikan kulit yang sedang diseseti, dan mereka yang sedang mengalami sakratul maut itu pasti melihat malaikat maut tersebut.

D. Cobaan-cobaan

1. (QS. al-Mulk [67]: 2)34

Di dalam QS. al-Mulk [67]: 2 menjelaskan bahwa Allah swt berfirman

“Yang menjadikan mati dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang yang beranggapan kematian itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah makhluk. Adapun maknanya adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan semua makhluk dari yang asalnya tidak ada dengan tujuan menguji mereka siapakah diantara mereka yang paling bagus amalnya namun paling baik amalnya.35

Meskipun demikian Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah setelah sebelumnya melakukan maksiat dan durhaka kepada perintah Allah.

Kesimpulan dari QS. al-Mulk [67]: 2 yakni bahwa Allah Maha Mengetahui segala-galanya yang mengetahui untuk apa manusia itu diciptakan dan diturunkan ke muka bumi dengan tujuan memberikan ujian kepada mereka, adakah diantara manusia yang paling bagus amalnya atau tidak, dan juga tujuan hidup mereka di dunia ini yaitu untuk beribadah dan berbakti kepada Allah swt.

34

(QS. al-Mulk [67]: 2)

























Artinya: “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara

kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk [67]: 2)

35


(44)

31

BAB III

PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG KEMATIAN

A.

Makna Kematian

1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan

Sebelum menggali petunjuk al-Qur’an tentang kematian, dan untuk memahami makna kematian yang Allah telah tetapkan bagi makhluk-Nya, diperlukan pemahaman tentang arti kematian menurut kebahasaan dalam pandangan ulama.

Kehidupan dan kematian bertentangan seperti pertentangan cahaya dan kegelapan, dingin dan panas. Karena itu kamus-kamus bahasa Arab mendefiniskan salah satu dari keduanya dengan lawan kata bagi yang lain. Pengertian al-maut atau mawatan atau muwat menurut bahasa Arab, berasal dari kata اتوم تومي تام yang berarti lawan kata dari hayat (hidup). Sedangkan menurut al-Azharī dari al-Lathī; bahwa al-maut merupakan makhluk Allah swt. Sibawih mengelompokkan al-maut ke dalam fi‟il mu‟tal yang aslinya adalah َتِوَم menurut wazan ُلُعْفَي َلِعَف .1

Aḥmad Idrīs Ibn Zakariyyā mengartikan kata al-maut secara bahasa sebagai “Hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan katanya adalah hidup (ḥayy). Ia mendasari pengertian ini kepada kandungan makna sebuah hadis: “Siapa yang memakan (buah) dari kayu yang tidak baik ini,

1

Muḥammad Ibn Mukram Ibn Manẓūr al-Afriqī al-Miṣrī, Lisān al-„Arāb (Beirut: Dār


(45)

jangan dekati masjid kami. Jika dipaksa juga memakannya, maka kekuatannya hendaknya dimatikan (dihilangkan).”2

Al-Jurjānī memberikan pengertian al-maut dalam ta‟rīfāt-nya dengan: memaksa dan memalingkan hawa nafsu dari semua keinginannya, maka barangsiapa yang mematikan hawa nafsunya maka sungguh ia telah hidup dengan petunjuk Allah swt.3 Lebih lanjut al-maut dibagi menjadi 4 macam, sebagai berikut:

a. Al-maut al-abyaḍ; adalah lapar, karena lapar menerangi batin dan

memutikan wajah hati, barangsiapa mati perutnya maka hidup kecerdasannya.

b. Al-maut al-aḥmar; adalah memalingkan keinginan nafsu.

c. Al-maut al-aḥḍar; adalah berpakaian dengan baju tambalan yang tak

berharga, karena hidupnya penuh dengan sifat qana’ah (merasa cukup dengan apa yang dikaruniakan swt).

d. Al-maut al-aswad; sabar menghadapi perlakuan mahluk, dan lebur ke

dalam kekuasaan Allah swt karena menyaksikan siksaan darinya, dan melihat leburnya af‟āl dalam af‟āl Kekasihnya Allah swt.4

Berbeda dari Muḥammad Ismā’il Ibrāhīm, ia mengartikan kata al-maut sebagai “terpisahnya kehidupan dari sesuatu, lalu menjadi mati. Bumi dapat dikatakan mati jika sunyi dari kehidupan, sehingga ia menjadi vakum. Sementara al-Asfahanī membagi arti mati secara bahasa menjadi limabagia, yakni: a)

2

Abū usain Aḥmad Ibn Faris Ibn Zakariyyā, Mu‟jam al-Muqāyīs fī al-Lughah (Beirut:

Dār al-Fikr, 1994), h. 968.

3

Muḥammad bin ‘Alī al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‟rīfāt(Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arābī, 1996), cet. 3, h. 304.

4


(46)

33

hilangnya kekuatan hidup pada makhluk (QS. al-Rūm [30]: 19,5 QS. Qāf [50]: 11);6 b) hilangnya kekuatan rasa (h issiyah), seperti ucapan Mariam ketika akan melahirkan Nabi ‘Isāas: “Celakalah diriku, lebih baik aku mati sebelum ini” (QS. Maryam [19]: 23);7 c) hilangnya kekuatan akal (bodoh), seperti QS. al-An’ām [6]: 122);8 d) munculnya ketakutan yang menggerogoti hidup seperti bahaya kematian, tetapi belum datang juga (QS. Ibrāhīm [14]: 17);9 e) tidur dalam (QS. al-Zumar

5

QS. al-Rūm [30]: 19

                            

“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan seperti Itulah kamu akan

dikeluarkan (dari kubur)”

6

QS. Qāf [50]: 11

              

“untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu

tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan.”

7

QS. Maryam [19]: 23

                     

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon

kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".”

8

QS. al-An’ām [6]: 122

                                    

“dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami

jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”

9

QS. Ibrāhīm [14]: 17

                           

“diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi Dia tidak juga mati, dan


(1)

72

“Kalau saja dia berani melakukan hal itu, pastilah dia ditindak oleh para malaikat dengan terang-terangan. Kalau saja orang-orang Yahudi itu mengangankan kematian, pastilah mereka mati seketika itu juga dan akan melihat tempat mereka di neraka dan kalau saja orang-orang yang bermubahalah dengan Rasulullah itu keluar, pastilah mereka pulang tanpa melihat lagi keluarga dan harta (mereka).” [HR. al-Bukhārī, al-Tirmidhī, dan al-Nasā’i]

Firman Allah swt selanjutnya: َلِ َنْودَ ُت َ ُث ْ ُ ْيِ َ ُم ُ َ ِ َف ُ ْنِم َنْو ِفَت ْيِ َلا َتْوَمْلا َنِ ْلُ َنْوُ َمْعَت ْ ُ ْنُ اَمِ ْ ُ ُ َنُيَف ِ َداَ لاَو ِ ْيَغْلا ِ ِلاَ , Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Jumu’ah [62]: 8). Penggalan ayat ini sama seperti firman-Nya dalam surat al-Nisa’ berikut ini: َ َيَ م ْوُ ُ ِف ْ ُ ْنُ ْوَلَو ُتْوَمْلا ُ ِ ْ ُي اُو وُ َت اَمَنْيَأ, “di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh,” (QS. al-Nisā’ [4]: 78).32

32Ibn Kathīr, Tafsīr al


(2)

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah sebagaimana pemilihan ayat-ayat penulis bisa menyimpulkan skripsi ini adalah Ibn Kathīr menafsirkan tentang kematian. Menurutnya, bahwa setiap umat manusia akan mengalami kematian tidak satupun yang akan selamat atau terhindar dari maut (QS.al-Nisā’ [4]: 78). Juga Ibn Kathīr menjelaskan bahwa Allah swt. memberitahukan kepada semua makhluknya secara umum. bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati (QS. li ‘Imrān [3]: 185). Namun sisi lain, ada pesan yang harus diperhatikan bagi orang Mukmin adalah supaya tidak meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang rusak. Seandainya mereka melakukan demikian niscaya mereka akan tertimpa apa yang menimpa mereka yaitu azab (QS. li ‘Imrān [3]: 156-158)

Ibn Kathīr juga menggambarkan apabila suatu kaum melakukan kezhaliman dan penganiayaan, Allah memberikan kesempatan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Namun apabila suatu penduduk negeri melakukan kemasiatan dan kezhaliman, maka Allah akan membinasakan negeri itu dengan azab yang sangat keras. Dengan demikian sakaratul maut datang dengan sebenar-benarnya sehingga manusia itu tidak dapat melarikan diri dari kematian, ke manapun ia akan berlari. Karena ia pasti akan bertemu dengan kematian itu.

B. Saran-saran

Setelah mengambil kesimpulan dalam skripsi ini, maka penulis menawarkan beberapa saran yang mungkin berguna dalam kehidupan sehari-hari.


(3)

74

Sehingga apa yang terkandung dalam skripsi ini benar-benar dapat memberikan sumbangan dalam menciptakan ketenangan baik lahir maupun batin. Tentulah di dalam konsep karya ini masih banyak dijumpai kelemahan di sana-sini. Oleh karena itu bagi penyusun merasa perlu untuk memberikan saran-saran yang berkaitan dengan skripsi ini.

Perlunya setiap insan manusia mengingat akan mati karena dengan mengingatnya senantiasa manusia tidak akan melanggar apa yang dilarang oleh Allah dalam menjalani kehidupan ini. Kematian juga dapat kita jadikan tolak ukur diri kita untuk selalu taat dan beriman kepada Allah. Kemudian dengan mengingat kematian juga menjadikan nasihat agar kita tidak mudah terpeleset dalam keburukan sikap dan tingkah laku. Kita sering kali begitu mudah melupakan kematian. Padahal, kematian tak pernah melupakan kita. Kematian ibarat jalan yang akan dilalui oleh setiap manusia. Hanya saja kapan peristiwa itu terjadi tak ada yang tahu kecuali Allah swt.

Penelitian ini tidak sampai disini saja oleh karena itu masih banyak kemungkinan yang akan diteliti di kemudian hari dengan penulis lainya, sebagai proses dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata semoga skripsi ini yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini dapat menjadi sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dan semoga bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta yang mengoreksinya, Aamiin...


(4)

75

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Bahrun. Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000. Abuddin Nata. Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: Yayasan Bimantara PT. Intermasa,

1997.

Aḥmad bin Sha’ib Abū ‘Abd al-Raḥmān Nasā’i. al-Mujtabī Minassunan, juz 4, Beirut: 1824.

Anis, Ibrāhīm. al-Mu’jam al-Wāsiṭ, Beirut: Dar el-Fikr, tth.

Ash Shiddieqy, Hasbi. Ilmu ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

As-Sadlani, Shaleh Ghanim. bagaimana seharusnya kita bertobat, Jakarta: Firdaus, 1992.

Bahreisy, Salim. Tafsir Ibnu Katsir, Malaysia: Victory Agencie, 1988. ---. Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.

Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

---. Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, Cet III, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoe Ve, 1994.

Djamaluddin, Burhan. Konsepsi Taubat: Pintu Pengampunan Dosa Besar, Dosa Syirik Masih Terbuka, Surabaya: Dunia Ilmu, 1996.

Faudah, Maḥmūd Basunī. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, diterj. H.M. Mochtar Zoerni, Abdul Qodir Hamid dari kitab al-Tafsīr wa Manahijuhu, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.

Ghaffar, Abdul. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir (Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir), Cet 1, Bogor: Pustaka asy-Syafi’i, 1994.

al-Ghazālī, Imām. Taubat Nasuha, Gresik: Putra Pelajar, 1998.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008.


(5)

76

Hamid, Zeid. Imam Al-Ghazali Mukhtasor Ihya Ulumuddin, Jakarta: CV. Pustaka Amani, 1986.

awwā, Sa‛īd, Induk Pensucian Diri, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1992.

Kabalah, ‘ mar Riḍā. Mu’jam al-Mu‛allifīn. 1 jilid, Beirut: Maktabah al-Muthanna-Dār Iḥyā al-Turāth al-‘Arābī, 1376 H/ 1957 M.

Karim, Maulana Fazlul. Ihya Ulumuddin, Bandung: Marja, 2001.

Kathīr, Ibn. al-Bidayah Wa al-Nihayah, 1 jilid, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. ---. Tafsir al-Qur’an al-Adzim, 1 jilid, Cet I, Beirut: Dār al-Fikr, 1997. Khātib, Muḥammad ‘Ajjaj. U ūl al- adīth, Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H.

Makluf, Louis. al-Munjid Fī al-Lughah Wa Al-A’lām, Beirut: Dār al-Shurūq, 1987.

Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, Yogyakarta: Menara Kudus, 2000.

Muhdlor, Ahmad Zudhi. Kamus al-Ashri: Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996.

Qaṭṭān, Mannā Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, diterj Mudzakir, AS.Cet. V, Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2000.

Qomaruddin. Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf, Jakarta: Serambi, 2003.

al-Qurṭubī, Imām. al-Tadzkirah Fī A wāl al-Mawta wa ‘Umūr al-Akhirah, Beirut Lebanon: Dār el-Marefah, 1996.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalah al-Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981. ---. Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Cet. I, Bandung: al-Ma’arif, 1974.

Rifa’i, M. Nasib. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta:

Gema Insani Press, 1999.

Salimī, Tirmidhī, Muḥammad bin ‘Isā Abū ‘Isā. Jāmi’ al-Ṣa ī Sunan Tirmidhī, Beirut, tth.


(6)

77

Sa‛id bin Muḥammad Dāib awwā. al-Mustakhla fī Tazkiyat al-Anfūs, Jakarta: Robbani Press, 1999.

Shihab, M. Quraish. Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, Tanggerang: Lentera Hati, 2005.

Shihab, M. Qurais. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007.

Zuhri, Muhammad. Terjemah Ihya Ulumuddin, Jilid IX, Semarang: CV. Asy Syifa, 1994.

http://evisyari.wordpress.com/2008/07/13/mati/

http://yusuf-batam.blogspot.com/2012/11/download-tafsir-ibnu-katsir-lengkap-30.html