161 Mengacu pada Gambar 6, persamaan 1 dan Tabel 30 maka secara statistik
peubah-peubah bebas sebagaimana yang diusulkan atau dirancang dalam hipotesis 1 terbukti memiliki pengaruh nyata terhadap kemampuan petani dalam mengelola
hutan kemiri, dengan demikian hipotesis 1 diterima. Pengaruh keempat peubah tersebut bersifat langsung, dimana pengaruh
terbesar berdasarkan pada koefisien regresi terstandarkan ada pada peubah intensitas peran penyuluh kehutanan, diikuti oleh peubah tingkat kekosmopolitan
petani, selanjutnya peubah dukungan lingkungan sosial budaya, dan yang terakhir adalah pengaruh peubah karakteristik individu.
1. Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan
Intensitas peran penyuluh kehutanan merupakan faktor pertama yang
memberikan pengaruh paling kuat terhadap tingkat kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri, yang direfleksikan oleh indikator:
a peran penyuluh kehutanan sebagai fasilitator; dan b peran penyuluh kehutanan sebagai pendidik atau edukator.
Hal ini berarti bahwa intensitas peran penyuluh kehutanan akan meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin intens
penyuluh kehutanan menjalankan perannya, baik peran sebagai fasilitator maupun peran sebagai pendidik, maka akan semakin meningkat kemampuan teknis,
kemampuan sosial, dan kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Temuan ini sejalan dengan pendapat Awang 2004 bahwa salah satu
unsur keberhasilan pengelolaan hutan oleh masyarakat atau petani sekitar hutan adalah adanya bimbingan teknis bagi petani tersebut.
Temuan ini juga merupakan penguatan atas prinsip penyuluhan sebagaimana dikemukakan oleh Sumardjo 2010a bahwa penyuluhan pada
dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku seseorang atau individu, yang meliputi peningkatan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
konatif sehingga memiliki imdividualitas human capital, bukan individualistis yang siap mewujudkan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Dengan
demikian, sebagai sistem pendidikan non formal maka keluaran dari proses penyuluhan kehutanan adalah perubahan perilaku petani sekitar hutan kemiri,
termasuk kemampuannya, ke arah yang lebih baik. Hal ini sejalan pula dengan
162 temuan penelitian Fatchiya 2010 yang mengkaji tingkat pengembangan
kapasitas pembudidaya ikan. Fatchiya mengemukakan bahwa sebagai sistem pendidikan non formal, peran penyuluhan sangat penting dalam mengembangkan
kapasitas pembudidaya ikan. Slamet 2003 menyatakan bahwa proses
penyuluhan merupakan proses pemberdayaan, di mana hasilnya adalah masyarakat yang berdaya. Dengan demikian, penyuluh yang intens dalam
menjalani perannya akan meningkatkan kemampuan petani, sebagaimana dinyatakan oleh Perkins dan Zimmerman 1995, proses pemberdayaan akan
menghasilkan keberdayaan masyarakat berupa kemampuan menggunakan sumberdaya-sumberdaya.
Terkait dengan pengelolaan hutan kemiri, intensitas peran penyuluh kehutanan sebagai pendidikedukator memiliki pengaruh yang paling dominan
terhadap peningkatan kemampuan petani sekitar hutan kemiri. Pengaruh peran penyuluh kehutanan sebagai pendidik, dengan demikian, berpotensi paling besar
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani sekitar hutan, baik dari aspek teknis, sosial, maupun manajerial sehingga dapat mengelola hutan
kemiri dengan baik. Temuan ini sejalan dengan pendapat Sudjana 2000 bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang bertujuan untuk mengembangkan potensi,
membudayakan, dan memanusiakan manusia. Secara operasional, proses pendidikan dijabarkan dalam proses
pembelajaran yaitu kegiatan peserta didik untuk belajar, dan kegiatan pendidik yang berperan untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar.
Peran sebagai pendidik akan optimal apabila dilakukan oleh penyuluh melalui proses belajar mengajar yang bersifat partisipasif di mana di dalamnya terjadi
proses alih dan saling berbagi pengetahuan, yang berimplikasi pada terjadinya perubahan atau peningkatan kemampuan petani sehingga dapat digunakan untuk
mengelola hutan kemiri dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Spencer dan Spencer 1985 bahwa seseorang yang memiliki kompetensi, baik threshold
competency maupun differentiating competency, akan mampu menyelesaikan pekerjaannya secara baik sesuai dengan kriteria pekerjaan tersebut. Sudjana
2000 menyatakan kegiatan pembelajaran partisipatif dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan
163 pembelajaran. Keikutsertaan peserta didik diwujudkan dalam tiga tahapan
kegiatan pembelajaran yaitu perencanaan program program planning, pelaksanaan program program implementation dan penilaian program program
evaluation kegiatan pembelajaran Intensitas peran penyuluhan kehutanan berikutnya yang berpotensi
meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan kemiri dalam mengelola hutan kemiri adalah peran sebagai fasilitator. Melalui pelaksanaan peran fasilitator,
penyuluh kehutanan merangsang, mendorong, membangkitkan
semangat, membantu dan memudahkan masyarakat dalam proses-proses pembelajaran
sosial, sehingga pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat baik pada aspek teknis, sosial, dan manajerial dapat meningkat yang selanjutnya dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan yang tepat dalam pengelolaan hutan kemiri. Seperti yang dikemukakan oleh Van Den Ban dan Hawkins 1999 bahwa
penyuluh berperan membantu petani agar mampu menemukan sendiri pemecahan masalah dan mampu mengambil keputusan sendiri terkait dengan usahataninya.
Kusumanto et. al 2006 mengemukakan bahwa salah satu unsur kunci fasilitasi adalah mengembangkan proses pengambilan keputusan bersama. Setiap pihak
yang ada dalam masyarakat, dengan fasilitasi dari penyuluh kehutanan, memiliki peluangkesempatan yang sama atau setara dalam proses pembelajaran sosial.
Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat diambil bukan karena penggiringan atau dominasi keinginan satu pihak, namun
merupakan keputusan bersama. Dalam proses fasilitasi pembelajaran sosial tersebut penyuluh kehutanan
diharapkan dapat mendorong peran multipihak dalam menangani permasalahan kehidupan, kelestarian hutan, kompleksitas pihak yang berkepentingan terhadap
hutan, dan pengelolaan hutan kemiri yang tidak efektif. Kusumanto et. al 2006 menyatakan bahwa salah satu unsur kunci fasilitasi lainnya adalah mendorong
terciptanya arus komunikasi yang adil dan seimbang antra pemangku kepentingan yang ada dalam masyarakat. Peran utama fasilitator adalah mendampingi
multipihak dalam berkomunikasi. Untuk itu para fasilitator, termasuk penyuluh kehutanan, harus memiliki indikator-indikator tentang kepatutan, keseimbangan,
dan proses keadilan dlam proses komunikasi antara para pemangku kepentingan.
164 Fakta penelitian menunjukkan bahwa kedua peran tersebut peran
fasilitator dan peran pendidik berada dalam kategori rendah. Penyebab hal ini bisa ditelusuri lebih jauh bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, eksistensi
penyuluhan termasuk penyuluhan kehutanan kurang mendapat tempat di hati pemerintah daerah sebagai suatu kegiatan penting, sehingga perhatian terhadap
kelembagaan penyuluhan cenderung terabaikan. Penyuluhan kehutanan oleh kebanyakan dianggap sebagai cost center, bukan kegiatan yang menguntungkan
karena tidak dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah. Penyuluhan kehutanan belum dipertimbangkan sebagai kegiatan investasi yang memberikan manfaat baik
jangka pendek maupun jangka panjang, bahkan cenderung dianggap sebagai beban anggaran. Penyuluhan bisa diibaratkan seperti anak tiri. Akibatnya, banyak
kegiatan penyuluhan kehutanan yang berjalan timpang. Kondisi ini juga menjadi penyebab lemahnya kinerja para penyuluh di lapangan. Sebagaimana dinyatakan
oleh Sumardjo 2010 bahwa sejalan dengan implementasi otonomi daerah terjadi melemahnya komitmen pemerintah terhadap penyuluhan.
Selain itu, pada saat ini, kuantitas tenaga penyuluh kehutanan semakin berkurang, sebagian besar penyuluh kehutanan memasuki masa pensiun, dan
sebagian lagi mengalami alih tugas. Banyak penyuluh yang beralih tugas menjadi stafnon struktural atau pejabat struktural pada dinas-dinas yang ada di kabupaten.
Menurut Pusbinluhhut 2008 jumlah penyuluh kehutanan masih sangat kurang dibandingkan dengan luasnya kawasan hutan, kompleksitas pembangunan
kehutanan, serta jumlah penduduk miskin yang bermukim di sekitar hutan. Menurut perhitungan, kebutuhan penyuluh kehutanan di Indonesia adalah 21.689
orang. Sedangkan jumlah penyuluh kehutanan yang masih aktif sekarang ini hanya 4.054 orang. 54,6 di antaranya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dan
menurut perhitungan bahwa 3 tahun mendatang jumah penyuluh kehutanan akan menurun sebagai akibat sebagian besar dari mereka memasuki masa pensiun
sehingga diperkirakan jumlah penyuluh kehutanan yang tersisa adalah 2.291 orang.
Di lokasi penelitian perbandingan antara jumlah penyuluh dan desa binaan dapat dikatakan ideal yaitu satu desa satu penyuluh, namun keberadaan penyuluh
kehutanan di setiap desa pada setiap kecamatan sangat terbatas. Yang terjadi
165 adalah setiap penyuluh tersebut bersifat poliven atau terjadi rangkap peran. Bila
ditinjau dari bidang yang ditangani, penyuluh yang ada di tiga kecamatan tersebut melakukan multiperan, dalam arti penyuluh yang ada sekarang ini merangkap
sebagai penyuluh pertanian, perkebunan, dan juga kehutanan, padahal spesialisasi yang mereka miliki pada umumnya adalah di bidang pertanian. Penyuluh dengan
spesialisasi sarjana kehutanan di Kecamatan Mallawa hanya dua orang, di Kecamatan Camba tidak ada penyuluh dengan spesialisasi kehutanan karena dua
tahun lalu telah pensiun, dan hanya satu penyuluh kehutanan di Kecamatan Mallawa yang juga hampir memasuki usia pensiun.
2. Tingkat kekosmopolitan petani