178 semakin meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Seiring
dengan meningkatnya kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, maka motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan juga
akan meningkat. Hal ini terjadi karena semakin meningkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka petani akan semakin percaya diri dan
akhirnya terdorong untuk terlibat dalam pengelolalaan hutan kemiri. Intensitas peran penyuluh kehutanan, dengan demikian, memiliki pengaruh tidak langsung
terhadap peningkatan motivasi petani untuk terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri.
2. KesempatanPeluang
Faktor kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani
untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah ketersedian peluang atau kesempatan untuk berpartisipasi, yang direfleksikan oleh indikator:
a dukungan pemerintah; dan b kepastian pasar.
Artinya, semakin tinggi ketersediaan atau semakin terbuka kesempatan peluang untuk berpartisipasi maka petani akan semakin termotivasi untuk
berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini berarti partisipasi harus diartikulasikan sebagai pemberian peluang kepada petani sekitar hutan kemiri
untuk berperan secara efektif dalam pembangunan kehutanan, menjadi aktor sosial, mengelola sumberdaya hutan, membuat keputusan dan mengawasi
kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga motivasi yang merupakan daya dorong untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan semakin
meningkat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Khairuddin 1992 dan Slamet 2003 bahwa kesempatan atau peluang untuk berpartisipasi harus tersedia agar
masyarakat terdorong untuk membangun dan merubah kualitas hidupnya. Apabila kesempatan yang ada sangat kecil maka sulit bagi seseorang terdorong untuk
mengembangkan dirinya. Indikator kesempatan atau peluang yang paling berpotensi mempengaruhi
tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah dukungan pemerintah. Temuan ini memberikan penguatan pada
paradigma pembangunan kehutananan sekarang ini yang bertumpu pada
179 pendekatan ekosistem yang dikenal dengan resources based management
berbasis pada forest community based development. Artinya, semakin tinggi dukungan pemerintah kepada petani sekitar hutan untuk mengakses hutan maka
akan semakin mendorong petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri.
Hutan merupakan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, oleh karenanya berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah sebagai representasi negara, kemudian, memiliki wewenang untuk: 1 mengatur
dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan kawasan hutan, 2 menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan, 3 mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan. Implikasinya kemudian pemerintah membuat berbagai aturan, kebijakan
atau regulasi terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Regulasi pengelolaan hutan yang membatasi akses dan keterlibatan masyarakat
petani sekitar hutan untuk mengelola hutan akan mendorong petani untuk bersikap apatis, kehilangan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap
hutan. Sebaliknya, apabila kebijakan pengelolaan hutan lebih berpihak pada
kebutuhan dan kepentingan petani sekitar hutan, atau lebih mendukung petani untuk mengakses dan terlibat dalam pengelolaan hutan dengan pertimbangan
bahwa petani sekitar hutan memahami dan telah memiliki kearifan untuk mengelola hutan secara lestari, maka akan melahirkan sikap positip petani
terhadap pemerintah dan juga terhadap eksistensi hutan itu sendiri. Hal ini akan memotivasi petani untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sebagaimana yang
selama ini telah dilakukan dan menjadi bagian dari budaya mereka. Rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap kelestarian hutan, dengan demikian,
akan muncul karena hutan menjadi salah satu sumber pendapatan rumah petani, sebagaimana pendapat Ostrom 1990 serta Becker dan Gibson 1990 yang disitir
180 oleh Awang et. al 2000 bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal akan
berhasil jika hutan tersebut memberikan nilai penting bagi masyarakat tersebut. Dukungan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat lokalpetani
sekitar hutan sesungguhnya telah terakomodasi dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana masyarakat lokal diberikan peluang yang
lebih luas. Paling sedikit terdapat tiga bab yang berkaitan dengan dukungan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat lokal, yakni: Bab VIII tentang
Penyerahan Kewenangan, Bab X tentang Peranserta Masyarakat, dan Bab XI tentang Gugatan Perwakilan.
Namun demikian, fakta penelitian menunjukkan bahwa dukungan pemerintah terhadap petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros masuk dalam
kategori rendah. Temuan ini, dengan demikian, menjelaskan sejauhmana kesungguhan pemerintah dalam memberikan dukungan kepada petani sekitar
hutan kemiri untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan. Dukungan pemerintah untuk memberikan wewenang dan berbagi tanggungjawab share of
responsibility kepada petani sekitar hutan kemiri masih sangat terbatas. Awang 2003a menyatakan bahwa tantangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat
adalah adakah political will pemerintah untuk memberikan pengakuan atas kerja pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat. Seharusnya pemerintah mampu
menjadi pengayom bagi keinginan masyarakat untuk mengelola hutan dengan pilar kelestarian melalui pendekatan multiguna, sehingga aspek sosial, ekonomi,
dan lingkungan dapat terwujud. Pada tataran implementasi, terdapat kesan bahwa petani sekitar hutan
kemiri hanya diberi tanggungjawab atas kelestarian, tanpa diikuti dengan perangkat wewenang untuk memutuskan pola kelestarian itu sendiri. Pengelolaan
hutan yang diharapkan demokratis dan berkeadilan sebagaimana diamanatkan oleh UU No: 411999, pelaksanaannya masih terkesan ragu-ragubelum sepenuh
hati, sulit dan tidak taat azas sehingga belum terlihat secara nyata implementasinya di lapangan. Pelaksanaan kebijakan cenderung mengabaikan
bahkan terkadang menegasikan hak-hak masyarakat lokal atau petani sekitar hutan, dan kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologis, historis, dan kultur
serta pengetahuan dan kearifan lokal.
181 Kartodihardjo Sardjono, 2004 menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam yang bersifat sentralistik, diskriminatif dan represif akan berbuntut pada dehumanisasi dan degradasi sumberdaya alam. Kondisi ini pada
akhirnya mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pengelolaan
hutan berbasis masyarakat tidak bisa tidak harus berangkat dari pengakuan dan penghormatan terhadap hak, tradisi, dan keberadaan masyarakat.
Pengakuan tersebut hendaknya diwujudkan dalam bentuk perangkat hukum dan kebijakan yang benar-benar memihak kepentingan masyarakat lokal
atau petani sekitar hutan, disertai konsistensi dukungan aparatur hukum formal dalam usaha penegakannya. Pemerintah, dengan demikian, perlu memberikan
kesempatan kepada petani sekitar hutan untuk bisa memperoleh keuntungan dari keberadaan hutan kemiri dengan cara memberikan kewenangan kepada petani
sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri atau memberikan hak kelola terbatas bukan hak kepemilikan dalam jangka waktu tertentu dengan berbagai
kesepakatan atau perjanjian. Perjanjian yang disepakati tersebut analog dengan kontrak sosial antara
pemerintah dengan petani sekitar hutan yang mengikat kedua belah pihak. Dalam keterikatan tersebut dapat disepakati apa yang dapat dilakukan petani dan apa
yang harus dilakukan dan diberikan pemerintah, dengan kata lain terdapat pembagian hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak. Seiring dengan
pemberian kewenangan kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan atau pemberian hak kelola terbatas maka perlu diimbangi dengan terpeliharanya
kearifan lokal serta peningkatan kapasitas petani dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Indikator peluang atau kesempatan berikutnya yang mempengaruhi tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri
adalah kepastian pasar. Semakin tinggi dukungan atau tingkat kepastian pasar bagi komoditas kemiri, akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk
berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat. Tujuan akhir dari suatu usahatani adalah, selain untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, hasilnya
dapat dijual atau memberikan keuntungan finansial. Oleh karena itu, dukungan
182 keberadaan dan kepastian pasar merupakan faktor penting, sebagaimana
dinyatakan oleh Mosher 1978 bahwa ketersediaan pasar merupakan faktor esensialpenting dalam menggerakkan dan membangun pertanianHal ini sejalan
dengan pendapat Awang et. al 2000 bahwa titik paling menentukan yang memberikan dampak positip atau negatip atas keberadaan sumberdaya alam
terhadap masyarakat di sebuah desa adalah mekanisme pasar yang ada di tengah masyarakat tersebut.
Pemasaran buah kemiri oleh petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros, pada umumnya, tidak menemui banyak hambatan karena telah ada pihak yang
siap menampung atau membeli produksi kapan saja petani menjualnya. Pemasaran kemiri yang dilakukan petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros
melalui beberapa jalur, sebagaimana skema pada Gambar 8. Gambar 8 memperlihatkan jalur pemasaran produksi kemiri Kabupaten
Maros terbagi atas tiga jalur:
Gambar 8. Jalur Pemasaran Produksi Kemiri Kabupaten Maros 1 Jalur I: petani kemiri menjual kemiri kepada pengecer lokal selanjutnya oleh
pengecer lokal dijual ke konsumen desa. Jalur ini, pada umumnya, dilakukan apabila petani membutuhkan dana dalam waktu singkat. Kemiri yang dijual,
biasanya, sudah dikupas dan jumlahnya sedikit. 2 Jalur II: petani kemiri menjual kemiri kepada pedagang pengumpul kecil
kecamatan. Pedagang pengumpul kecil kecamatan, selanjutnya menjual kepada pedagang pengumpul besar provinsi, yang selanjutnya dijual kepada
I II
III
Petani
Pedagang Pengumpul
Kecil Kecamatan
Pedagang Pengumpul
Besar Provinsi
Pengecer Provinsi
Konsumen
Pengecer Lokal Pedagang Pengumpul
Antar Pulau
183 pengecer povinsi di Kota Makassar, untuk selanjutnya dijual pada konsumen
kota. 3 Jalur III: Jalur ini pada umumnya terjadi apabila petani memiliki kemiri
dalam jumlah banyak dengan mempertimbangkan perolehan keuntungan yang lebih besar, serta tersedianya alat transportasi atau modal untuk
digunakan membawa kemiri ke Kota Makassar untuk dijual kepada pedagang besar provinsi, yang kemudian dijual kepada pedagang pengumpul antar
pulau. Selajutnya dijual kepada konsumen luar pulau. Walaupun pemasaran kemiri tidak menemui hambatan, namun struktur
pasar kemiri ini bersifat monopsoni pasar tunggal. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi pengembangan pemasaran kemiri bagi petani karena harga
pembelian yang berlaku di tingkat petani sangat bergantung pada pembelian oleh pedagang pengumpul berdasarkan harga pasaran yang ditetapkan oleh pasar
tunggal. Dengan struktur pasar monopsoni maka informasi pasar berjalan satu arah dari pedagang ke petani, hal ini mengakibatkan petani tidak memiliki posisi
tawar atau tidak bisa menetapkan harga sehingga harga kemiri di tingkat petani cenderung rendah karena keputusan besarnya harga ditentukan oleh mekanisme
pasar tersebut. Harga kemiri dari tahun ke tahun, bila dilihat dari besarnya nominal uang dapat dikatakan relatif naik, namun bila ditinjau dari nilai uang
yang berlaku dikaitkan dengan inflasi setiap tahun maka harga kemiri dapat dikatakan tidak mengalami kenaikan bahkan bisa dikatakan turun.
Kendala lain yang dirasakan oleh petani sekitar hutan dalam pemasaran kemiri adalah jarak pengangkutan dari lokasi tempat tinggal sampai ke pasar,
sistem penyimpanan dan perlakuan treatment terhadap buah atau biji kemiri yang bersifat konvensional.
Walaupun pada saat ini harga biji kemiri relatif tidak kompetitif dibandingkan dengan komoditas hasil hutan non kayu lainnya terutama coklat,
namun petani tetap berminat mempertahankan keberadaaan hutan kemiri. Petani tetap termotivasi untuk mengelola hutan kemiri karena kepastian pasar ini
memberikan jaminan atas keberlangsungan finansial rumah tangga. Petani merasakan bahwa biji kemiri sangat membantu dalam menunjang keuangan
rumah tangga, karena biji kemiri dapat dijadikan sebagai dana cadangan atau
184 tabungan yang dapat diambil sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Dengan kata
lain, hutan kemiri oleh petani sekitar hutan dijadikan sebagai sumber pendapatan dan merupakan faktor pengaman ekonomi rumah tangga petani. Setelah
pemanenan petani tidak langsung menjual biji kemiri, karena dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama petani biasanya menyimpan biji kemiri dalam
rentang waktu 2-3 tahun dan akan menjualnya kapan saja ketika mereka membutuhkan uang.
Masuknya komoditas lain ke dalam sistem pengelolan hutan kemiri, tidak membuat petani meninggalkan kegiatan budidaya kemiri, namun disikapi dan
ditindaklanjuti oleh petani dengan melakukan kegiatan pola tanam campuran agroforestri atau tumpang sari dengan komoditas lain tersebut. Menurut Yusran
2005 tanaman kemiri memiliki keistimewaan yaitu kemampuannya berasosiasi denngan tanaman lain sehingga memungkinkan untuk dipadukan dengan tanaman
komersial lain dengan pola agroforestri, apabila tanaman kemiri tersebut ditanam dengan jarak tanam tertentu.
Pola tanaman campuran ini dilakukan oleh petani, pada lahan yang bertopografi datar, sedangkan pada lahan bertopografi berombak-bergelombang
umumnya ditanam dengann pola monokultur murni kemiri. Pola pengelolaan kemiri dengan coklat merupakan pola pengelolaan yang relatif baru dan bersifat
musiman, biasanya berkaitan dengan membaiknya harga komoditi coklat di pasaran, sehingga petani sekitar hutan kemiri tertarik menanam coklat di bawah
tegakan kemiri. Namun demikian, penanaman coklat hasilnya terlihat tidak optimal karena pengaruh faktor fisik seperti keadan tanah, ketinggian tanah dari
permukaan laut, cuaca, dan faktor fisik lainnya. Untuk tanaman hutan lain yang dapat dipanen kayunya, karena memiliki
daurmasa panennya yang relatif lama 10-20 tahunan tidak begitu diminati petani. Bagi petani sekitar hutan kemiri lebih baik menikmati hasil hutan yang
bersifat jangka pendek namun memberikan kesinambungan pemenuhan kebutuhan atau jaminan ekonomi rumah tangga secara berkelanjutan
dibandingkan dengan hasil yang banyak tetapi memerlukan atau harus menunggu dalam waktu yang lama dalam pemanfaatannya.
185
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah:
1. tingkat komampuan petani Y
1
; dan 2.
tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri Y
2
.
Gambar 9. Diagram Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat
Keterangan: X
1
= Karakteristik indvidu petani; X
11
Usia, X
12
Pengalaman mengelola hutan kemiri, X
17
Tingkat kebergantungan terhadap hutan kemiri X
2
= Tingkat kekosmopolitan petani; X
22
Aksesibilitas terhadap informasi budidaya dan mengelola hutan kemiri
X
3
= Intensitas peran penyuluh kehutanan; X
31
Peran sebagai fasilitator, X
32
Peran sebagai edukatorpendidik
X
4
= Dukungan lingkungan sosial budaya; X
41
Dukungan kearifan lokal, X
42
Dukungan tokoh masyarakat
X
5
= Ketersediaan kesempatanpeluang; X
53
Dukungan pemerintah, X
55
Kepastian pasar Y
1
= Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri; Y
11
Kemampuan teknis, Y
12
Kemampuan manajerial, Y
13
Kemampuan sosial Y
2
= Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri; Y
21
Motivasi untuk meningkatkan pendapatan, Y
22
Motivasi untuk mendapat pengakuan atas kemampuan mengelola hutan kemiri, Y
23
Motivasi melestarikan hutan Y
3
= Tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri; Y
32
Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri, Y
33
Memanfaatkanmenikmati hasil kegiatan pengelolaan hutan kemiri
186 Persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani
dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: Y
3
= 0,30Y
1
+ 0,65Y
2
, R
2
= 0,78 ......................................................Persamaan 3 Semula diduga sebagaimana hipotesis 3 yang diusulkan bahwa tinggi
rendahnya partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri dipengaruhi secara bersama-sama oleh adanya kesempatan atau peluang X
5
, tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri Y
1
dan tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri Y
2
, namun temuan penelitian mengacu pada Gambar 9, persamaan 3 dan Tabel 30 menunjukkan bahwa tidak
semua peubah bebas tersebut memiliki pengaruh nyata secara langsung terhadap tingkat partisipasi petani. Oleh karena itu, hipotesis 3 tidak semuanya diterima,
hanya dua peubah yang terbukti secara langsung berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri.
Pengaruh kedua peubah tersebut bersifat langsung, dimana bila dilihat secara individual pengaruh terbesar berdasarkan pada koefisien regresi
terstandarkan ada pada peubah tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi, diikuti oleh tingkat kemampuan petani. Faktor-faktor lain yang secara tidak
langsung melalui peubah antara memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah peubah intensitas peran penyuluh
kehutanan X
3
, ketersediaan kesempatan peluang X
5
, tingkat kekosmopolitan X
2
, dukungan lingkungan sosial budaya X
4
, dan karakterisitik individu X
1
. Selain memiliki pengaruh langsung, tingkat kemampuan petani Y
1
juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap partisipasi petani.
1. Tingkat Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan