BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hama
merupakan salah
satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian
termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama
dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan merugikan secara ekonomi. Kerugian
akibat serangan hama dapat menurunkan hasil pertanian secara kuantitatif dan kualitatif.
Padi merupakan salah satu bahan dasar makanan pokok di Indonesia, sehingga
tanaman padi perlu ditingkatkan produksinya di Indonesia. Namun dalam pertumbuhannya,
padi tidak luput dari serangan hama. Salah satu hama yang dapat menurunkan produksi
padi di Indonesia adalah wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal.
Wereng batang coklat atau WBC Nilaparvata lugens Stal sampai saat ini
masih dianggap sebagai hama utama pada pertanaman padi akibat kerusakan yang
diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan tersebut dapat
terjadi
secara langsung
maupun tidak
langsung. Kerusakan
secara langsung
diakibatkan kemampuan wereng batang coklat menghisap cairan sel tanaman sehingga
tanaman menjadi kering dan akhirnya mati, sedangkan kerusakan secara tidak langsung
adalah dengan menularkan penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang dapat
merusak tanaman padi Ditjentan 1986.
Wereng batang
coklat WBC
merupakan hama yang merusak tanaman padi di Indonesia sejak 1930 hingga saat ini. Luas
serangan WBC pada dasawarsa 1960-1970 tercatat sebesar 52 000 ha dan meningkat
tajam hingga 2 510 680 ha pada 1970-1980. Periode tersebut merupakan puncak serangan
WBC di Indonesia. Luas serangan WBC mengalami penurunan pada dasawarsa 1980-
1990, yaitu hanya sebesar 200 000 ha. Hal yang sama terjadi pada 1990-2000, dimana
luas serangan WBC hampir sama dengan serangan WBC pada dasawarsa sebelumnya
BBPTP 2007.
Lahan sawah yang terserang WBC terdapat di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa
Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Aceh.
Sebagian besar daerah endemis WBC tersebar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah 32
Kabupaten, Jawa Timur 27 Kabupaten, Jawa Barat 19 Kabupaten, Jawa Timur 19
Kabupaten, dan Banten 6 Kabupaten Jawa
Tengah merupakan
daerah endemis WBC yang luas sebarannya paling
luas di Indonesia. Serangan wereng batang coklat di daerah Jawa Tengah tersebar hampir
diseluruh kabupaten antara lain Kebumen, Kendal, Banyumas, Purworejo, Banjarnegara,
Sragen, Blora, Temanggung, Purworejo, Purbalingga, Pekalongan, Jepara, Cilacap, dan
Tegal BBPTP 2007.
Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, oleh
karena itu diharapkan iklim dapat menjadi indikator dalam pengendalian WBC. Untuk
mengendalikan serangan WBC diperlukan model prediksi serangan WBC, dengan model
prediksi ini persiapan untuk mengantisipasi ledakan outbreaks serangan WBC telah
dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Model prediksi
ini dapat
disusun dengan
memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama
beberapa periode musim tanam. Dengan demikian, kerusakan tanaman padi dan
kehilangan hasil panen akibat WBC dapat diminimalisasi.
1.2 Tujuan Penelitian
Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim
dengan tingkat
serangan WBC
Nilaparvata lugens Stal sebagai landasan prediksi
serangan WBC
di beberapa
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat atau WBC
adalah hama yang berbahaya untuk tanaman padi, karena inang utama wereng batang
coklat adalah tanaman padi. Dengan demikian perkembangan populasi wereng batang coklat
tergantung pada adanya tanaman padi. Hama WBC ini dapat menimbulkan kerusakan pada
tanaman padi, dimana tanaman padi akan menguning dan cepat sekali mengering
Ditjentan 1986.
2.1.1 Bioekologi Wereng Batang Coklat
Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens
termasuk dalam family Delphacidae, yang merupakan family terbesar dari infra
ordo Fulgoromorpha. Fulgoromorpha adalah satu dari dua infra ordo di dalam sub ordo
Auchenorrhyncha dari ordo Homoptera yang terdapat di Asia Timur dan Benua Australia.
Ciri WBC adalah seluruh tubuhnya berwarna coklat
kekuningan sampai
coklat tua,
berbintik coklat gelap pada pertemuan sayap
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hama
merupakan salah
satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian
termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama
dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan merugikan secara ekonomi. Kerugian
akibat serangan hama dapat menurunkan hasil pertanian secara kuantitatif dan kualitatif.
Padi merupakan salah satu bahan dasar makanan pokok di Indonesia, sehingga
tanaman padi perlu ditingkatkan produksinya di Indonesia. Namun dalam pertumbuhannya,
padi tidak luput dari serangan hama. Salah satu hama yang dapat menurunkan produksi
padi di Indonesia adalah wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal.
Wereng batang coklat atau WBC Nilaparvata lugens Stal sampai saat ini
masih dianggap sebagai hama utama pada pertanaman padi akibat kerusakan yang
diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan tersebut dapat
terjadi
secara langsung
maupun tidak
langsung. Kerusakan
secara langsung
diakibatkan kemampuan wereng batang coklat menghisap cairan sel tanaman sehingga
tanaman menjadi kering dan akhirnya mati, sedangkan kerusakan secara tidak langsung
adalah dengan menularkan penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang dapat
merusak tanaman padi Ditjentan 1986.
Wereng batang
coklat WBC
merupakan hama yang merusak tanaman padi di Indonesia sejak 1930 hingga saat ini. Luas
serangan WBC pada dasawarsa 1960-1970 tercatat sebesar 52 000 ha dan meningkat
tajam hingga 2 510 680 ha pada 1970-1980. Periode tersebut merupakan puncak serangan
WBC di Indonesia. Luas serangan WBC mengalami penurunan pada dasawarsa 1980-
1990, yaitu hanya sebesar 200 000 ha. Hal yang sama terjadi pada 1990-2000, dimana
luas serangan WBC hampir sama dengan serangan WBC pada dasawarsa sebelumnya
BBPTP 2007.
Lahan sawah yang terserang WBC terdapat di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa
Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Aceh.
Sebagian besar daerah endemis WBC tersebar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah 32
Kabupaten, Jawa Timur 27 Kabupaten, Jawa Barat 19 Kabupaten, Jawa Timur 19
Kabupaten, dan Banten 6 Kabupaten Jawa
Tengah merupakan
daerah endemis WBC yang luas sebarannya paling
luas di Indonesia. Serangan wereng batang coklat di daerah Jawa Tengah tersebar hampir
diseluruh kabupaten antara lain Kebumen, Kendal, Banyumas, Purworejo, Banjarnegara,
Sragen, Blora, Temanggung, Purworejo, Purbalingga, Pekalongan, Jepara, Cilacap, dan
Tegal BBPTP 2007.
Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, oleh
karena itu diharapkan iklim dapat menjadi indikator dalam pengendalian WBC. Untuk
mengendalikan serangan WBC diperlukan model prediksi serangan WBC, dengan model
prediksi ini persiapan untuk mengantisipasi ledakan outbreaks serangan WBC telah
dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Model prediksi
ini dapat
disusun dengan
memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama
beberapa periode musim tanam. Dengan demikian, kerusakan tanaman padi dan
kehilangan hasil panen akibat WBC dapat diminimalisasi.
1.2 Tujuan Penelitian
Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim
dengan tingkat
serangan WBC
Nilaparvata lugens Stal sebagai landasan prediksi
serangan WBC
di beberapa
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat atau WBC
adalah hama yang berbahaya untuk tanaman padi, karena inang utama wereng batang
coklat adalah tanaman padi. Dengan demikian perkembangan populasi wereng batang coklat
tergantung pada adanya tanaman padi. Hama WBC ini dapat menimbulkan kerusakan pada
tanaman padi, dimana tanaman padi akan menguning dan cepat sekali mengering
Ditjentan 1986.
2.1.1 Bioekologi Wereng Batang Coklat
Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens
termasuk dalam family Delphacidae, yang merupakan family terbesar dari infra
ordo Fulgoromorpha. Fulgoromorpha adalah satu dari dua infra ordo di dalam sub ordo
Auchenorrhyncha dari ordo Homoptera yang terdapat di Asia Timur dan Benua Australia.
Ciri WBC adalah seluruh tubuhnya berwarna coklat
kekuningan sampai
coklat tua,
berbintik coklat gelap pada pertemuan sayap
depannya. Panjang badan serangga jantan rata-rata 2-3 mm dan serangga betina 3-4 mm
Ditjentan 1986.
2.1.2 Penyebaran Wereng Batang Coklat
Persebaran WBC tersebar di wilayah India, Asia Tenggara, dan China. Sejak tahun
1970, WBC dianggap penting dan perlu ditangani karena penyebarannya yang luas di
Indonesia Khalshoven
1981. Menurut
Mochida 1978 Jawa dan Sumatera Utara merupakan lokasi pertama terserang WBC.
Kemudian diikuti
wilayah Bali,
Nusa Tenggara Barat, Aceh dan Lampung.
2.1.3 Gejala Serangan
Serangan WBC
dimulai dari
persemaian sampai waktu panen. Nimfa dan imago mengisap cairan tanaman pada bagian
pangkal batang padi. Gejala kerusakan yang terlihat pada tanaman berupa kelayuan dan
mengeringnya daun mulai dari daun tua kemudian meluas dengan cepat ke seluruh
bagian tanaman sehingga tanaman mati. Wereng coklat dapat menyebabkan daun
berubah kuning oranye sebelum menjadi coklat dan mati. Dalam keadaan populasi
wereng tinggi dan varietas yang ditanam rentan wereng coklat dapat mengakibatkan
tanaman seperti terbakar atau “hopperburn”. Wereng coklat juga dapat menularkan
penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput, dua penyakit yang sangat merusak
Oka 1979
Kerdil rumput Grassy Stunt tanaman yang terinfeksi berat akan menjadi kerdil
dengan anakan yang berlebihan, sehingga tampak seperti rumput. Daun tanaman padi
menjadi sempit, pendek kaku, berwarna hijau pucat sampai hijau, dan kadang-kadang
terdapat
bercak karat.
Tanaman yang
terinfeksi biasanya dapat hidup sampai fase pemasakan tetapi tidak memproduksi. Kerdil
hampa Ragged Stunt disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh WBC. Penyakit ini
menghasilkan beberapa gejala malformasi pada daun seperti daun bergerigi Ragged
dan melintir Twisting. Daun tanaman yang terkena virus berwarna hijau tua. Tanaman
masih dapat berproduksi, tetapi gabah yang dihasilkan hampa Ditjentan 1986.
Gambar 1 Padi hopperburn akibat serangan WBC http:www.flickr.com.
2.1.4 Morfologi 2.1.4.1Telur
Telur wereng batang coklat pada saat diletakkan berwarna putih bening dan lama
kelamaan berubah warna sesuai dengan perkembangan embrio. Telurnya berbentuk
oval, bagian ujung, pangkal dan tutup telurnya tumpul, serta mempunyai perekat pada
pangkal telurnya yang menghubungkan telur satu dengan lainnya Subroto et al. 1992.
Telur biasanya diletakkan dalam jaringan pelepah daun dan helaian daun padi.
Peletakkan telur secara berkelompok dan tersusun seperti buah pisang dengan jumlah
telur tiap kelompok antara 2-37 butir. Selama hidupnya, seekor WBC betina menelurkan
telur sekitar 390 butir. Sogawa 1971.
Gambar 2 Telur WBC
http:www.flickr.com.
2.1.4.2 Nimfa
WBC yang baru menetas sebelum menjadi dewasa imago akan melewati lima
tahapan pergantian kulit instar nimfa yang dibesakan menurut ukuran bentuk tubuh dan
bakal sayapnya. Periode setiap instar nimfa berkisar antara 2-4 hari, sehingga WBC rata-
rata menghabiskan 12-15 hari pada seluruh fase nimfa Sogawa 1971.
Gambar 3 Nimfa WBC http:www. osmania.ac.in
.
2.1.4.3 Imago
Serangga dewasa WBC mempunyai dua
bentuk, yaitu
bersayap sempurna
makroptera dan bersayap tidak sempurna atau tidak dapat terbang brakhiptera. WBC
makroptera dapat bermigrasi dari satu sawah ke sawah lain setelah persemaian. Generasi
WBC yang umumnya ditemukan terdiri dari betina brakhiptera dan jantan makroptera
Subroto et al. 1992. Menurut Natawigena 1990 pada kepadatan populasi tinggi atau
keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga makroptera
pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan cukup, maka akan terbentuk
lebih banyak serangga dewasa brakhiptera.
Gambar 4 Makroptera dan brakhiptera http:www.flickr.com.
2.1.5. Siklus Hidup
Satu generasi hama WBC antara 28-32 hari pada suhu 25
C dan 23-25 hari pada suhu 28
C. Ada 3 fase dalam satu siklus hidupnya yaitu: fase telur 8-10 hari, fase nympha 12-14
hari, dan fase imago praoviposisi adalah 4-8 hari Subroto et al. 1992.
Siklus hidup satu generasi WBC di daerah tropis rata–rata berkisar antara 21 – 28
hari, Seekor imago jantan rata-rata hidupnya 21 hari dan imago betina 25 hari. Bentuk
imago brakipetra lebih dahulu bertelur daripada bentuk makropetra. Berdasarkan
umur padi dan umur imago WBC dalam setiap generasi, maka selama satu musim
tanam dapat timbul 2-8 imago WBC Hidayat 2000.
Gambar 5 Siklus Hidup WBC Ditjentan 1986.
2.1.6 Faktor Pemicu Serangan WBC
Kerusakan tanaman
padi akibat
tingginya populasi WBC dipicu oleh beberapa faktor yang mendukung perkembangan WBC.
Menurut Baehaki
1985 faktor
yang mendukung perkembangan WBC mencapai
populasi yang tinggi adalah penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan, iklim yang
sesuai bagi perkembangan WBC, dan teknik penanaman yang rapat. Dirjen Pertanian
Tanaman
Pangan 1986
menambahkan perkembangan WBC juga dipengaruhi oleh
pola dan waktu tanam yang kurang teratur dan serempak dalam satu hamparan, penanaman
varietas padi yang tidak tahan terhadap WBC, penggunaan insektisida yang tidak tepat dan
berlebihan jenis, dosis, waktu, dan cara, perubahan biotipe WBC, peranan musuh
alami dari WBC yang kurang.
2.1.7 Teknik Pengendalian WBC
Serangan WBC sulit untuk diatasi, karena kemampuan WBC yang mudah
beradaptasi dengan lingkungannya. WBC merupakan hama r-strategic dengan ciri: 1
serangga kecil yang cepat menemukan habitatnya, 2 berkembangbiak dengan cepat
dan mampu menggunakan sumber makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut
berkompetisi, 3 mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat
lama
tidak berguna
lagi, 4
mudah beradaptasi dengan habitat baru Baehaki dan
Dede 2008. Sehingga pengendalian harus ditempuh dengan berbagai cara. Pengendalian
WBC bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya: penggunaan varietas tahan,
pengaturan pola tanam dan teknik penanaman, pengendalian
dengan insektisida,
pengendalian berdasarkan
musuh alami
BBPTP 2007. Melakukan pemantauan secara rutin
dengan cara mengamati areal tanaman padi dalam interval waktu tertentu rnisalnya
seminggu sekali, sejak awal persemaian, penanaman sampai panen. Pemantauan ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kepadatan populasi WBC di tiap lokasl sehingga dapat
dijadikan pedoman apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau tidak Diratmaja
dan Permadi 2005.
2.2 Unsur Iklim yang Berpengaruh pada WBC
Iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak langsung
pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan, dan perilaku serangga Koesmaryono 1987.
Metabolisme dasar
serangga bergantung pada suhu udara lingkungan
sekitar. Pada analisis hubungan serangga dengan iklim, faktor iklim seperti suhu udara,
curah hujan, kelembaban udara, dan angin, sangat erat kaitannnya dalam mempengaruhi
iklim mikro bagi perkembangan serangga Speight et al. 2008.
2.2.1 Suhu Udara
Suhu udara merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan dan
kelangsungan hidup serangga. Suhu udara merupakan
faktor pembatas
penyebaran hewan, pengaruhnya dapat terhadap stadia
dari daur hidup, kelangsungan hidup, serta pertumbuhan
dan perkembangannya
Koesmaryono 1999.
Kemampuan penyesuaian terhadap suhu lingkungannya
tergantung pada tiap spesies serangga, sehingga ada beberapa spesies serangga yang
mampu beradaptasi pada kisaran suhu yang lebar uery-thermal dan pada kisaran suhu
yang sempit steno-thermal.
Keadaan suhu selama fase nimfa dan dewasa dapat mempengaruhi umur serangga.
Sangat sulit menentukan pada keadaan suhu berapa yang paling sesuai bagi perkembangan
populasi wereng batang coklat. Kisaran suhu normal untuk WBC makroptera jantan adalah
9-30
C dan untuk WBC makroptera betina adalah 10-32
C Suenega 1963 dalam Subroto et al
. 1992. Kondisi suhu optimal untuk WBC, terutama untuk perkembahngan telur
dan nimfa adalah 25-30 C, perkembangan
embrio WBC akan terhenti jika suhu kurang dari 10
C Hirano, 1942 dalam Subroto et al. 1992. Menurut Abraham dan Nair 1975
dalam IRRI 1979, bahwa ledakan hama wereng batang cokelat terjadi pada selang
suhu 20-30 C. Subroto et al. 1992
menyimpulkan suhu harian antara 28-30 C
dan suhu malam hari yang rendah adalah suhu yang
paling sesuai
untuk pemunculan
sejumlah serangga dewasa.
2.2.2 Kelembaban Udara
Kelembaban udara
berpengaruh terhadap proses biologi serangga, dimana
kisaran kelembaban udara optimum pada umumnya sekitar 73-100. Kelembaban
udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan
serangga,
kecuali pada
beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah.
Kelembaban optimum serangga berbeda menurut
jenis dan
stadium tingkatan
kehidupan pada
masing-masing perkembangan Sunjaya 1970.
Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan WBC. Hino et al. 1970 dalam Alissa 1990 menyebutkan WBC
sangat menyukai lingkungan yang memiliki kelembaban tinggi dengan RH optimal
berkisar antara 70-85. Dalam sebuah penelitian,
perkembangan WBC
akan terhambat
apabila dipelihara
dalam kelembaban nisbi yang konstan di atas 80
pada suhu 29 C, namun perkembangannya
lebih baik pada kelembaban nisbi yang konstan di bawah 80 pada suhu yang sama
IRRI 1976 dalam Baco 1984. Serangan WBC
berhubungan dengan
kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah,
kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari.
2.2.3 Curah Hujan
Hujan mempengaruhi
ekologi serangga, terutama pada pertumbuhan dan
aktivitas serangga. Periodisitas timbulnya suatu
hama erat
hubungannya dengan
periodisitas curah
hujan tahunan
dan perubahannya. Tetesan air hujan secara fisik
langsung dapat menghanyutkan serangga- serangga yang berukuran kecil, sedangkan
secara tidak langsung curah hujan dapat mempengaruhi kelembaban udara Sunjaya
1970.
WBC memiliki sifat biological clock, dimana WBC mampu berkembang dengan
baik di musim hujan dan musim kemarau yang terdapat hujan Baehaki 2005 dalam
Susanti et al. 2007. Sebagian peneliti mengatakan bahwa ledakan populasi WBC
lebih banyak terjadi pada musim hujan, tetapi
mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi
WBC Hidayat 2000.
2.2.4 Cahaya dan Radiasi
Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda-beda antara serangga yang
aktif pada siang hari diurnal dengan yang aktif pada malam hari nocturnal. Pada
serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan
intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga
malam hari keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya Uvarov
1931 dalam Koesmaryono 1987. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan
cahaya
minimum dan
lemah, apabila
intensitas cahaya
ditingkatkan akan
mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu
pula sebaliknya.
Meningkatnya intensitas
cahaya dapat
mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat
umur imagonya Sunjaya 1970. Faktor
cahaya dan
radiasi juga
mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat. Apabila WBC dewasa dipelihara di
tempat gelap maka pematangan indung telur terhambat dan jumlah telur yang di letakkan
juga kecil. WBC lebih banyak ditemukan pada musim yang sering mendapat radiasi
langsung dibandingkan musim yang kurang mendapat sinar matahari langsung Suenaga
1963 dalam Baco 1984.
2.2.5 Angin
Pertumbuhan dan
perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi
oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak
langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh
serangga.
Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya pada
serangga yang bertubuh ringan walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap
akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi akibat adanya gerak udara
vertikal maupun gerak udara horizontal Sunjaya 1970.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan
April sampai dengan bulan September 2010 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen
Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan,
dan Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini:
1. Data iklim harian selama 8 tahun periode
tahun 2002 sampai 2009 yaitu data curah hujan CH, data suhu maksimum T max,
data suhu minimum T min, data suhu rata-rata T rata, data kelembaban udara
RH Sumber : BMG
2. Data luas serangan WBC 2 mingguan di
wilayah kajian selama 7 tahun 2003- 2009 Sumber : BPTPH Provinsi Jawa
Tengah 3.
Seperangkat komputer 4.
Microsoft Excel 5.
Minitab 14
3.3 Metode Penelitian
3.3.1. Persiapan Data
Data iklim harian wilayah kajian diubah menjadi data iklim 2 mingguan atau
setengah bulanan sesuai dengan data luas serangan WBC. Data luas seragan WBC
memiliki 4 kriteria yaitu Ringan R, Sedang S, Berat B, Puso P. Berikut ini kriteria
serangan WBC:
Tabel 1 Kriteria Luas Serangan WBC Kriteria Luas Serangan
Presentase Serangan Ringan
0-25 Sedang
25-50 Berat
50-85 Puso
85-100 Sumber : Ditjentan 1986
3.3.2. Pengolahan Data
Luas serangan bernilai nol atau tidak terjadi serangan tidak dimasukkan dalam
analisis data dengan tujuan untuk mengurangi error
dalam regresi sehingga diperoleh pola regresi yang lebih jelas. Hal ini karena tidak
adanya serangan disebabkan pengaruh faktor lain di luar faktor iklim yang terlalu besar atau
pengambilan data luas serangan WBC yang tidak akurat.
Analisis data faktor iklim dibedakan berdasarkan uji kesesuaian model regresi,
yaitu analisis metode regresi linier sederhana untuk
curah hujan,
regresi kuadratik
sederhana untuk faktor iklim lainnya, dan
mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi
WBC Hidayat 2000.
2.2.4 Cahaya dan Radiasi
Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda-beda antara serangga yang
aktif pada siang hari diurnal dengan yang aktif pada malam hari nocturnal. Pada
serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan
intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga
malam hari keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya Uvarov
1931 dalam Koesmaryono 1987. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan
cahaya
minimum dan
lemah, apabila
intensitas cahaya
ditingkatkan akan
mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu
pula sebaliknya.
Meningkatnya intensitas
cahaya dapat
mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat
umur imagonya Sunjaya 1970. Faktor
cahaya dan
radiasi juga
mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat. Apabila WBC dewasa dipelihara di
tempat gelap maka pematangan indung telur terhambat dan jumlah telur yang di letakkan
juga kecil. WBC lebih banyak ditemukan pada musim yang sering mendapat radiasi
langsung dibandingkan musim yang kurang mendapat sinar matahari langsung Suenaga
1963 dalam Baco 1984.
2.2.5 Angin
Pertumbuhan dan
perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi
oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak
langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh
serangga.
Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya pada
serangga yang bertubuh ringan walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap
akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi akibat adanya gerak udara
vertikal maupun gerak udara horizontal Sunjaya 1970.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan
April sampai dengan bulan September 2010 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen
Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan,
dan Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini:
1. Data iklim harian selama 8 tahun periode
tahun 2002 sampai 2009 yaitu data curah hujan CH, data suhu maksimum T max,
data suhu minimum T min, data suhu rata-rata T rata, data kelembaban udara
RH Sumber : BMG
2. Data luas serangan WBC 2 mingguan di
wilayah kajian selama 7 tahun 2003- 2009 Sumber : BPTPH Provinsi Jawa
Tengah 3.
Seperangkat komputer 4.
Microsoft Excel 5.
Minitab 14
3.3 Metode Penelitian
3.3.1. Persiapan Data
Data iklim harian wilayah kajian diubah menjadi data iklim 2 mingguan atau
setengah bulanan sesuai dengan data luas serangan WBC. Data luas seragan WBC
memiliki 4 kriteria yaitu Ringan R, Sedang S, Berat B, Puso P. Berikut ini kriteria
serangan WBC:
Tabel 1 Kriteria Luas Serangan WBC Kriteria Luas Serangan
Presentase Serangan Ringan
0-25 Sedang
25-50 Berat
50-85 Puso
85-100 Sumber : Ditjentan 1986
3.3.2. Pengolahan Data
Luas serangan bernilai nol atau tidak terjadi serangan tidak dimasukkan dalam
analisis data dengan tujuan untuk mengurangi error
dalam regresi sehingga diperoleh pola regresi yang lebih jelas. Hal ini karena tidak
adanya serangan disebabkan pengaruh faktor lain di luar faktor iklim yang terlalu besar atau
pengambilan data luas serangan WBC yang tidak akurat.
Analisis data faktor iklim dibedakan berdasarkan uji kesesuaian model regresi,
yaitu analisis metode regresi linier sederhana untuk
curah hujan,
regresi kuadratik
sederhana untuk faktor iklim lainnya, dan
regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim
digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon.
Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk menyatakan hubungan antara
luas serangan dengan curah hujan. Analisis regresi linier sederhana dilakukan berdasarkan
musimnya, yaitu bulan April – September untuk musim kemarau, dan bulan Oktober –
Maret untuk musim hujan. Persamaan umum regresi linier sederhana yaitu :
Y = a + bx…………………1
dimana : y
= luas serangan WBC x
= curah hujan a,b
= konstanta Persamaan regresi kuadratik digunakan
untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim selain curah
hujan yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, dan kelembaban. Persamaan
umum regresi kuadratik sederhana adalah sebagai berikut :
Y = a + b
1
x
1
+ b
2
x
2 2
………..2
dimana : y
= luas serangan WBC x
= Tmax, Tmin, Trata, dan RH a,b
= konstanta Analisis
regresi linier
berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima
faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah
hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan
faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda
adalah sebagai berikut :
Y : a + b
1
x
1
+ b
2
x
2
+ b
3
x
3
+ b
4
x
4
+ b
5
x
5
Dimana : y
= luas serangan WBC x
= unsur iklim a,b
= konstanta Analisis hubungan faktor iklim dengan
luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda time lag berdasarkan siklus
hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 28- 32 hari atau kurang lebih satu bulan sampai
WBC menjadi serangga dewasa Subroto, et al
. 1992. Analisis tanpa memperhitungkan lag
berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi
serangan atau ketika WBC pada fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu
tunda setengah bulan lag 1 berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada
WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu tunda satu bulan lag 2 berarti faktor iklim
mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Kondisi Geografis Wilayah Kajian Topografi wilayah Kabupaten Cilacap
terdiri dari permukaan landai dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dari
permukaan laut. Wilayah topografi terendah umumnya terletak di bagian selatan yang
merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6-12 mdpl. Sementara itu, topografi
yang termasuk dataran rendah dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 8-75 mdpl,
sedangkan topografi yang termasuk dataran tinggi atau perbukitan meliputi wilayah
Cilacap bagian barat dengan ketinggian antara 75-198 mdpl DKP 2010. Kabupaten Cilacap
merupakan wilayah terbesar di Provinsi Jawa tengah dan juga memiliki luas sawah terbesar
di Jawa Tengah. Berikut luasan sawah dan luas serangan WBC Kabupaten Cilacap tahun
2004-2008.
Tabel 2 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di
Kabupaten Cilacap.
Sumber: Badan Pusat Statistik Luas
wilayah Cilacap
mencapai 213.851 ha dengan alokasi penggunaan lahan
untuk pertanian sekitar 29 dari luas wilayahnya atau sekitar 63.000 ha. Meskipun
sawah yang tersedia cukup besar untuk makanan WBC, akan tetapi serangan WBC
relatif kecil. Luas serangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang meliputi 499 ha sawah
atau 0.8 dari total luas sawah di Kabupaten Cilacap.
Cilacap merupakan daerah endemik WBC akibat serangan yang terjadi setiap
tahun. Namun, serangan yang terjadi setiap tahunnya masih rendah. Hal ini dimungkinkan
daerah tersebut
lebih intesif
dalam pengendalian hama WBC. Pertanian padi di
Cilacap lebih sering gagal panen diakibatkan
Luas Luas
Luas Persentase Persentase
admin Sawah Serangan Sawah
Sawah Ha
Ha WBC Ha Terserang
2004 213,851 62,689
9 29.3
0.0 2005
213,851 62,673 40
29.3 0.1
2006 213,851 63,184
7 29.5
0.0 2007
213,851 63,094 499
29.5 0.8
2008 213,851 63,092
18 29.5
0.0 Tahun
regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim
digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon.
Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk menyatakan hubungan antara
luas serangan dengan curah hujan. Analisis regresi linier sederhana dilakukan berdasarkan
musimnya, yaitu bulan April – September untuk musim kemarau, dan bulan Oktober –
Maret untuk musim hujan. Persamaan umum regresi linier sederhana yaitu :
Y = a + bx…………………1
dimana : y
= luas serangan WBC x
= curah hujan a,b
= konstanta Persamaan regresi kuadratik digunakan
untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim selain curah
hujan yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, dan kelembaban. Persamaan
umum regresi kuadratik sederhana adalah sebagai berikut :
Y = a + b
1
x
1
+ b
2
x
2 2
………..2
dimana : y
= luas serangan WBC x
= Tmax, Tmin, Trata, dan RH a,b
= konstanta Analisis
regresi linier
berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima
faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah
hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan
faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda
adalah sebagai berikut :
Y : a + b
1
x
1
+ b
2
x
2
+ b
3
x
3
+ b
4
x
4
+ b
5
x
5
Dimana : y
= luas serangan WBC x
= unsur iklim a,b
= konstanta Analisis hubungan faktor iklim dengan
luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda time lag berdasarkan siklus
hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 28- 32 hari atau kurang lebih satu bulan sampai
WBC menjadi serangga dewasa Subroto, et al
. 1992. Analisis tanpa memperhitungkan lag
berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi
serangan atau ketika WBC pada fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu
tunda setengah bulan lag 1 berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada
WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu tunda satu bulan lag 2 berarti faktor iklim
mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1