TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Hama merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan merugikan secara ekonomi. Kerugian akibat serangan hama dapat menurunkan hasil pertanian secara kuantitatif dan kualitatif. Padi merupakan salah satu bahan dasar makanan pokok di Indonesia, sehingga tanaman padi perlu ditingkatkan produksinya di Indonesia. Namun dalam pertumbuhannya, padi tidak luput dari serangan hama. Salah satu hama yang dapat menurunkan produksi padi di Indonesia adalah wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal. Wereng batang coklat atau WBC Nilaparvata lugens Stal sampai saat ini masih dianggap sebagai hama utama pada pertanaman padi akibat kerusakan yang diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan secara langsung diakibatkan kemampuan wereng batang coklat menghisap cairan sel tanaman sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati, sedangkan kerusakan secara tidak langsung adalah dengan menularkan penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang dapat merusak tanaman padi Ditjentan 1986. Wereng batang coklat WBC merupakan hama yang merusak tanaman padi di Indonesia sejak 1930 hingga saat ini. Luas serangan WBC pada dasawarsa 1960-1970 tercatat sebesar 52 000 ha dan meningkat tajam hingga 2 510 680 ha pada 1970-1980. Periode tersebut merupakan puncak serangan WBC di Indonesia. Luas serangan WBC mengalami penurunan pada dasawarsa 1980- 1990, yaitu hanya sebesar 200 000 ha. Hal yang sama terjadi pada 1990-2000, dimana luas serangan WBC hampir sama dengan serangan WBC pada dasawarsa sebelumnya BBPTP 2007. Lahan sawah yang terserang WBC terdapat di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Aceh. Sebagian besar daerah endemis WBC tersebar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah 32 Kabupaten, Jawa Timur 27 Kabupaten, Jawa Barat 19 Kabupaten, Jawa Timur 19 Kabupaten, dan Banten 6 Kabupaten Jawa Tengah merupakan daerah endemis WBC yang luas sebarannya paling luas di Indonesia. Serangan wereng batang coklat di daerah Jawa Tengah tersebar hampir diseluruh kabupaten antara lain Kebumen, Kendal, Banyumas, Purworejo, Banjarnegara, Sragen, Blora, Temanggung, Purworejo, Purbalingga, Pekalongan, Jepara, Cilacap, dan Tegal BBPTP 2007. Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, oleh karena itu diharapkan iklim dapat menjadi indikator dalam pengendalian WBC. Untuk mengendalikan serangan WBC diperlukan model prediksi serangan WBC, dengan model prediksi ini persiapan untuk mengantisipasi ledakan outbreaks serangan WBC telah dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Model prediksi ini dapat disusun dengan memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama beberapa periode musim tanam. Dengan demikian, kerusakan tanaman padi dan kehilangan hasil panen akibat WBC dapat diminimalisasi.

1.2 Tujuan Penelitian

Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan WBC Nilaparvata lugens Stal sebagai landasan prediksi serangan WBC di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat atau WBC adalah hama yang berbahaya untuk tanaman padi, karena inang utama wereng batang coklat adalah tanaman padi. Dengan demikian perkembangan populasi wereng batang coklat tergantung pada adanya tanaman padi. Hama WBC ini dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman padi, dimana tanaman padi akan menguning dan cepat sekali mengering Ditjentan 1986.

2.1.1 Bioekologi Wereng Batang Coklat

Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens termasuk dalam family Delphacidae, yang merupakan family terbesar dari infra ordo Fulgoromorpha. Fulgoromorpha adalah satu dari dua infra ordo di dalam sub ordo Auchenorrhyncha dari ordo Homoptera yang terdapat di Asia Timur dan Benua Australia. Ciri WBC adalah seluruh tubuhnya berwarna coklat kekuningan sampai coklat tua, berbintik coklat gelap pada pertemuan sayap

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Hama merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan merugikan secara ekonomi. Kerugian akibat serangan hama dapat menurunkan hasil pertanian secara kuantitatif dan kualitatif. Padi merupakan salah satu bahan dasar makanan pokok di Indonesia, sehingga tanaman padi perlu ditingkatkan produksinya di Indonesia. Namun dalam pertumbuhannya, padi tidak luput dari serangan hama. Salah satu hama yang dapat menurunkan produksi padi di Indonesia adalah wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal. Wereng batang coklat atau WBC Nilaparvata lugens Stal sampai saat ini masih dianggap sebagai hama utama pada pertanaman padi akibat kerusakan yang diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan secara langsung diakibatkan kemampuan wereng batang coklat menghisap cairan sel tanaman sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati, sedangkan kerusakan secara tidak langsung adalah dengan menularkan penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang dapat merusak tanaman padi Ditjentan 1986. Wereng batang coklat WBC merupakan hama yang merusak tanaman padi di Indonesia sejak 1930 hingga saat ini. Luas serangan WBC pada dasawarsa 1960-1970 tercatat sebesar 52 000 ha dan meningkat tajam hingga 2 510 680 ha pada 1970-1980. Periode tersebut merupakan puncak serangan WBC di Indonesia. Luas serangan WBC mengalami penurunan pada dasawarsa 1980- 1990, yaitu hanya sebesar 200 000 ha. Hal yang sama terjadi pada 1990-2000, dimana luas serangan WBC hampir sama dengan serangan WBC pada dasawarsa sebelumnya BBPTP 2007. Lahan sawah yang terserang WBC terdapat di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Aceh. Sebagian besar daerah endemis WBC tersebar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah 32 Kabupaten, Jawa Timur 27 Kabupaten, Jawa Barat 19 Kabupaten, Jawa Timur 19 Kabupaten, dan Banten 6 Kabupaten Jawa Tengah merupakan daerah endemis WBC yang luas sebarannya paling luas di Indonesia. Serangan wereng batang coklat di daerah Jawa Tengah tersebar hampir diseluruh kabupaten antara lain Kebumen, Kendal, Banyumas, Purworejo, Banjarnegara, Sragen, Blora, Temanggung, Purworejo, Purbalingga, Pekalongan, Jepara, Cilacap, dan Tegal BBPTP 2007. Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, oleh karena itu diharapkan iklim dapat menjadi indikator dalam pengendalian WBC. Untuk mengendalikan serangan WBC diperlukan model prediksi serangan WBC, dengan model prediksi ini persiapan untuk mengantisipasi ledakan outbreaks serangan WBC telah dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Model prediksi ini dapat disusun dengan memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama beberapa periode musim tanam. Dengan demikian, kerusakan tanaman padi dan kehilangan hasil panen akibat WBC dapat diminimalisasi.

1.2 Tujuan Penelitian

Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan WBC Nilaparvata lugens Stal sebagai landasan prediksi serangan WBC di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat atau WBC adalah hama yang berbahaya untuk tanaman padi, karena inang utama wereng batang coklat adalah tanaman padi. Dengan demikian perkembangan populasi wereng batang coklat tergantung pada adanya tanaman padi. Hama WBC ini dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman padi, dimana tanaman padi akan menguning dan cepat sekali mengering Ditjentan 1986.

2.1.1 Bioekologi Wereng Batang Coklat

Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens termasuk dalam family Delphacidae, yang merupakan family terbesar dari infra ordo Fulgoromorpha. Fulgoromorpha adalah satu dari dua infra ordo di dalam sub ordo Auchenorrhyncha dari ordo Homoptera yang terdapat di Asia Timur dan Benua Australia. Ciri WBC adalah seluruh tubuhnya berwarna coklat kekuningan sampai coklat tua, berbintik coklat gelap pada pertemuan sayap depannya. Panjang badan serangga jantan rata-rata 2-3 mm dan serangga betina 3-4 mm Ditjentan 1986.

2.1.2 Penyebaran Wereng Batang Coklat

Persebaran WBC tersebar di wilayah India, Asia Tenggara, dan China. Sejak tahun 1970, WBC dianggap penting dan perlu ditangani karena penyebarannya yang luas di Indonesia Khalshoven 1981. Menurut Mochida 1978 Jawa dan Sumatera Utara merupakan lokasi pertama terserang WBC. Kemudian diikuti wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Aceh dan Lampung.

2.1.3 Gejala Serangan

Serangan WBC dimulai dari persemaian sampai waktu panen. Nimfa dan imago mengisap cairan tanaman pada bagian pangkal batang padi. Gejala kerusakan yang terlihat pada tanaman berupa kelayuan dan mengeringnya daun mulai dari daun tua kemudian meluas dengan cepat ke seluruh bagian tanaman sehingga tanaman mati. Wereng coklat dapat menyebabkan daun berubah kuning oranye sebelum menjadi coklat dan mati. Dalam keadaan populasi wereng tinggi dan varietas yang ditanam rentan wereng coklat dapat mengakibatkan tanaman seperti terbakar atau “hopperburn”. Wereng coklat juga dapat menularkan penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput, dua penyakit yang sangat merusak Oka 1979 Kerdil rumput Grassy Stunt tanaman yang terinfeksi berat akan menjadi kerdil dengan anakan yang berlebihan, sehingga tampak seperti rumput. Daun tanaman padi menjadi sempit, pendek kaku, berwarna hijau pucat sampai hijau, dan kadang-kadang terdapat bercak karat. Tanaman yang terinfeksi biasanya dapat hidup sampai fase pemasakan tetapi tidak memproduksi. Kerdil hampa Ragged Stunt disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh WBC. Penyakit ini menghasilkan beberapa gejala malformasi pada daun seperti daun bergerigi Ragged dan melintir Twisting. Daun tanaman yang terkena virus berwarna hijau tua. Tanaman masih dapat berproduksi, tetapi gabah yang dihasilkan hampa Ditjentan 1986. Gambar 1 Padi hopperburn akibat serangan WBC http:www.flickr.com. 2.1.4 Morfologi 2.1.4.1Telur Telur wereng batang coklat pada saat diletakkan berwarna putih bening dan lama kelamaan berubah warna sesuai dengan perkembangan embrio. Telurnya berbentuk oval, bagian ujung, pangkal dan tutup telurnya tumpul, serta mempunyai perekat pada pangkal telurnya yang menghubungkan telur satu dengan lainnya Subroto et al. 1992. Telur biasanya diletakkan dalam jaringan pelepah daun dan helaian daun padi. Peletakkan telur secara berkelompok dan tersusun seperti buah pisang dengan jumlah telur tiap kelompok antara 2-37 butir. Selama hidupnya, seekor WBC betina menelurkan telur sekitar 390 butir. Sogawa 1971. Gambar 2 Telur WBC http:www.flickr.com.

2.1.4.2 Nimfa

WBC yang baru menetas sebelum menjadi dewasa imago akan melewati lima tahapan pergantian kulit instar nimfa yang dibesakan menurut ukuran bentuk tubuh dan bakal sayapnya. Periode setiap instar nimfa berkisar antara 2-4 hari, sehingga WBC rata- rata menghabiskan 12-15 hari pada seluruh fase nimfa Sogawa 1971. Gambar 3 Nimfa WBC http:www. osmania.ac.in .

2.1.4.3 Imago

Serangga dewasa WBC mempunyai dua bentuk, yaitu bersayap sempurna makroptera dan bersayap tidak sempurna atau tidak dapat terbang brakhiptera. WBC makroptera dapat bermigrasi dari satu sawah ke sawah lain setelah persemaian. Generasi WBC yang umumnya ditemukan terdiri dari betina brakhiptera dan jantan makroptera Subroto et al. 1992. Menurut Natawigena 1990 pada kepadatan populasi tinggi atau keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga makroptera pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan cukup, maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa brakhiptera. Gambar 4 Makroptera dan brakhiptera http:www.flickr.com.

2.1.5. Siklus Hidup

Satu generasi hama WBC antara 28-32 hari pada suhu 25 C dan 23-25 hari pada suhu 28 C. Ada 3 fase dalam satu siklus hidupnya yaitu: fase telur 8-10 hari, fase nympha 12-14 hari, dan fase imago praoviposisi adalah 4-8 hari Subroto et al. 1992. Siklus hidup satu generasi WBC di daerah tropis rata–rata berkisar antara 21 – 28 hari, Seekor imago jantan rata-rata hidupnya 21 hari dan imago betina 25 hari. Bentuk imago brakipetra lebih dahulu bertelur daripada bentuk makropetra. Berdasarkan umur padi dan umur imago WBC dalam setiap generasi, maka selama satu musim tanam dapat timbul 2-8 imago WBC Hidayat 2000. Gambar 5 Siklus Hidup WBC Ditjentan 1986.

2.1.6 Faktor Pemicu Serangan WBC

Kerusakan tanaman padi akibat tingginya populasi WBC dipicu oleh beberapa faktor yang mendukung perkembangan WBC. Menurut Baehaki 1985 faktor yang mendukung perkembangan WBC mencapai populasi yang tinggi adalah penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan, iklim yang sesuai bagi perkembangan WBC, dan teknik penanaman yang rapat. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan 1986 menambahkan perkembangan WBC juga dipengaruhi oleh pola dan waktu tanam yang kurang teratur dan serempak dalam satu hamparan, penanaman varietas padi yang tidak tahan terhadap WBC, penggunaan insektisida yang tidak tepat dan berlebihan jenis, dosis, waktu, dan cara, perubahan biotipe WBC, peranan musuh alami dari WBC yang kurang.

2.1.7 Teknik Pengendalian WBC

Serangan WBC sulit untuk diatasi, karena kemampuan WBC yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya. WBC merupakan hama r-strategic dengan ciri: 1 serangga kecil yang cepat menemukan habitatnya, 2 berkembangbiak dengan cepat dan mampu menggunakan sumber makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, 3 mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna lagi, 4 mudah beradaptasi dengan habitat baru Baehaki dan Dede 2008. Sehingga pengendalian harus ditempuh dengan berbagai cara. Pengendalian WBC bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya: penggunaan varietas tahan, pengaturan pola tanam dan teknik penanaman, pengendalian dengan insektisida, pengendalian berdasarkan musuh alami BBPTP 2007. Melakukan pemantauan secara rutin dengan cara mengamati areal tanaman padi dalam interval waktu tertentu rnisalnya seminggu sekali, sejak awal persemaian, penanaman sampai panen. Pemantauan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepadatan populasi WBC di tiap lokasl sehingga dapat dijadikan pedoman apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau tidak Diratmaja dan Permadi 2005.

2.2 Unsur Iklim yang Berpengaruh pada WBC

Iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak langsung pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan, dan perilaku serangga Koesmaryono 1987. Metabolisme dasar serangga bergantung pada suhu udara lingkungan sekitar. Pada analisis hubungan serangga dengan iklim, faktor iklim seperti suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, dan angin, sangat erat kaitannnya dalam mempengaruhi iklim mikro bagi perkembangan serangga Speight et al. 2008.

2.2.1 Suhu Udara

Suhu udara merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan dan kelangsungan hidup serangga. Suhu udara merupakan faktor pembatas penyebaran hewan, pengaruhnya dapat terhadap stadia dari daur hidup, kelangsungan hidup, serta pertumbuhan dan perkembangannya Koesmaryono 1999. Kemampuan penyesuaian terhadap suhu lingkungannya tergantung pada tiap spesies serangga, sehingga ada beberapa spesies serangga yang mampu beradaptasi pada kisaran suhu yang lebar uery-thermal dan pada kisaran suhu yang sempit steno-thermal. Keadaan suhu selama fase nimfa dan dewasa dapat mempengaruhi umur serangga. Sangat sulit menentukan pada keadaan suhu berapa yang paling sesuai bagi perkembangan populasi wereng batang coklat. Kisaran suhu normal untuk WBC makroptera jantan adalah 9-30 C dan untuk WBC makroptera betina adalah 10-32 C Suenega 1963 dalam Subroto et al . 1992. Kondisi suhu optimal untuk WBC, terutama untuk perkembahngan telur dan nimfa adalah 25-30 C, perkembangan embrio WBC akan terhenti jika suhu kurang dari 10 C Hirano, 1942 dalam Subroto et al. 1992. Menurut Abraham dan Nair 1975 dalam IRRI 1979, bahwa ledakan hama wereng batang cokelat terjadi pada selang suhu 20-30 C. Subroto et al. 1992 menyimpulkan suhu harian antara 28-30 C dan suhu malam hari yang rendah adalah suhu yang paling sesuai untuk pemunculan sejumlah serangga dewasa.

2.2.2 Kelembaban Udara

Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses biologi serangga, dimana kisaran kelembaban udara optimum pada umumnya sekitar 73-100. Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah. Kelembaban optimum serangga berbeda menurut jenis dan stadium tingkatan kehidupan pada masing-masing perkembangan Sunjaya 1970. Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan WBC. Hino et al. 1970 dalam Alissa 1990 menyebutkan WBC sangat menyukai lingkungan yang memiliki kelembaban tinggi dengan RH optimal berkisar antara 70-85. Dalam sebuah penelitian, perkembangan WBC akan terhambat apabila dipelihara dalam kelembaban nisbi yang konstan di atas 80 pada suhu 29 C, namun perkembangannya lebih baik pada kelembaban nisbi yang konstan di bawah 80 pada suhu yang sama IRRI 1976 dalam Baco 1984. Serangan WBC berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari.

2.2.3 Curah Hujan

Hujan mempengaruhi ekologi serangga, terutama pada pertumbuhan dan aktivitas serangga. Periodisitas timbulnya suatu hama erat hubungannya dengan periodisitas curah hujan tahunan dan perubahannya. Tetesan air hujan secara fisik langsung dapat menghanyutkan serangga- serangga yang berukuran kecil, sedangkan secara tidak langsung curah hujan dapat mempengaruhi kelembaban udara Sunjaya 1970. WBC memiliki sifat biological clock, dimana WBC mampu berkembang dengan baik di musim hujan dan musim kemarau yang terdapat hujan Baehaki 2005 dalam Susanti et al. 2007. Sebagian peneliti mengatakan bahwa ledakan populasi WBC lebih banyak terjadi pada musim hujan, tetapi mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi WBC Hidayat 2000.

2.2.4 Cahaya dan Radiasi

Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda-beda antara serangga yang aktif pada siang hari diurnal dengan yang aktif pada malam hari nocturnal. Pada serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam hari keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya Uvarov 1931 dalam Koesmaryono 1987. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum dan lemah, apabila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya Sunjaya 1970. Faktor cahaya dan radiasi juga mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat. Apabila WBC dewasa dipelihara di tempat gelap maka pematangan indung telur terhambat dan jumlah telur yang di letakkan juga kecil. WBC lebih banyak ditemukan pada musim yang sering mendapat radiasi langsung dibandingkan musim yang kurang mendapat sinar matahari langsung Suenaga 1963 dalam Baco 1984.

2.2.5 Angin

Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh serangga. Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya pada serangga yang bertubuh ringan walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi akibat adanya gerak udara vertikal maupun gerak udara horizontal Sunjaya 1970.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1

Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan September 2010 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini: 1. Data iklim harian selama 8 tahun periode tahun 2002 sampai 2009 yaitu data curah hujan CH, data suhu maksimum T max, data suhu minimum T min, data suhu rata-rata T rata, data kelembaban udara RH Sumber : BMG 2. Data luas serangan WBC 2 mingguan di wilayah kajian selama 7 tahun 2003- 2009 Sumber : BPTPH Provinsi Jawa Tengah 3. Seperangkat komputer 4. Microsoft Excel 5. Minitab 14

3.3 Metode Penelitian

3.3.1. Persiapan Data

Data iklim harian wilayah kajian diubah menjadi data iklim 2 mingguan atau setengah bulanan sesuai dengan data luas serangan WBC. Data luas seragan WBC memiliki 4 kriteria yaitu Ringan R, Sedang S, Berat B, Puso P. Berikut ini kriteria serangan WBC: Tabel 1 Kriteria Luas Serangan WBC Kriteria Luas Serangan Presentase Serangan Ringan 0-25 Sedang 25-50 Berat 50-85 Puso 85-100 Sumber : Ditjentan 1986

3.3.2. Pengolahan Data

Luas serangan bernilai nol atau tidak terjadi serangan tidak dimasukkan dalam analisis data dengan tujuan untuk mengurangi error dalam regresi sehingga diperoleh pola regresi yang lebih jelas. Hal ini karena tidak adanya serangan disebabkan pengaruh faktor lain di luar faktor iklim yang terlalu besar atau pengambilan data luas serangan WBC yang tidak akurat. Analisis data faktor iklim dibedakan berdasarkan uji kesesuaian model regresi, yaitu analisis metode regresi linier sederhana untuk curah hujan, regresi kuadratik sederhana untuk faktor iklim lainnya, dan mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi WBC Hidayat 2000.

2.2.4 Cahaya dan Radiasi

Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda-beda antara serangga yang aktif pada siang hari diurnal dengan yang aktif pada malam hari nocturnal. Pada serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam hari keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya Uvarov 1931 dalam Koesmaryono 1987. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum dan lemah, apabila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya Sunjaya 1970. Faktor cahaya dan radiasi juga mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat. Apabila WBC dewasa dipelihara di tempat gelap maka pematangan indung telur terhambat dan jumlah telur yang di letakkan juga kecil. WBC lebih banyak ditemukan pada musim yang sering mendapat radiasi langsung dibandingkan musim yang kurang mendapat sinar matahari langsung Suenaga 1963 dalam Baco 1984.

2.2.5 Angin

Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh serangga. Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya pada serangga yang bertubuh ringan walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi akibat adanya gerak udara vertikal maupun gerak udara horizontal Sunjaya 1970.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1

Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan September 2010 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini: 1. Data iklim harian selama 8 tahun periode tahun 2002 sampai 2009 yaitu data curah hujan CH, data suhu maksimum T max, data suhu minimum T min, data suhu rata-rata T rata, data kelembaban udara RH Sumber : BMG 2. Data luas serangan WBC 2 mingguan di wilayah kajian selama 7 tahun 2003- 2009 Sumber : BPTPH Provinsi Jawa Tengah 3. Seperangkat komputer 4. Microsoft Excel 5. Minitab 14

3.3 Metode Penelitian

3.3.1. Persiapan Data

Data iklim harian wilayah kajian diubah menjadi data iklim 2 mingguan atau setengah bulanan sesuai dengan data luas serangan WBC. Data luas seragan WBC memiliki 4 kriteria yaitu Ringan R, Sedang S, Berat B, Puso P. Berikut ini kriteria serangan WBC: Tabel 1 Kriteria Luas Serangan WBC Kriteria Luas Serangan Presentase Serangan Ringan 0-25 Sedang 25-50 Berat 50-85 Puso 85-100 Sumber : Ditjentan 1986

3.3.2. Pengolahan Data

Luas serangan bernilai nol atau tidak terjadi serangan tidak dimasukkan dalam analisis data dengan tujuan untuk mengurangi error dalam regresi sehingga diperoleh pola regresi yang lebih jelas. Hal ini karena tidak adanya serangan disebabkan pengaruh faktor lain di luar faktor iklim yang terlalu besar atau pengambilan data luas serangan WBC yang tidak akurat. Analisis data faktor iklim dibedakan berdasarkan uji kesesuaian model regresi, yaitu analisis metode regresi linier sederhana untuk curah hujan, regresi kuadratik sederhana untuk faktor iklim lainnya, dan regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan curah hujan. Analisis regresi linier sederhana dilakukan berdasarkan musimnya, yaitu bulan April – September untuk musim kemarau, dan bulan Oktober – Maret untuk musim hujan. Persamaan umum regresi linier sederhana yaitu : Y = a + bx…………………1 dimana : y = luas serangan WBC x = curah hujan a,b = konstanta Persamaan regresi kuadratik digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim selain curah hujan yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, dan kelembaban. Persamaan umum regresi kuadratik sederhana adalah sebagai berikut : Y = a + b 1 x 1 + b 2 x 2 2 ………..2 dimana : y = luas serangan WBC x = Tmax, Tmin, Trata, dan RH a,b = konstanta Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Y : a + b 1 x 1 + b 2 x 2 + b 3 x 3 + b 4 x 4 + b 5 x 5 Dimana : y = luas serangan WBC x = unsur iklim a,b = konstanta Analisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda time lag berdasarkan siklus hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 28- 32 hari atau kurang lebih satu bulan sampai WBC menjadi serangga dewasa Subroto, et al . 1992. Analisis tanpa memperhitungkan lag berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan atau ketika WBC pada fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda setengah bulan lag 1 berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu tunda satu bulan lag 2 berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1

Kondisi Geografis Wilayah Kajian Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dari permukaan laut. Wilayah topografi terendah umumnya terletak di bagian selatan yang merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6-12 mdpl. Sementara itu, topografi yang termasuk dataran rendah dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 8-75 mdpl, sedangkan topografi yang termasuk dataran tinggi atau perbukitan meliputi wilayah Cilacap bagian barat dengan ketinggian antara 75-198 mdpl DKP 2010. Kabupaten Cilacap merupakan wilayah terbesar di Provinsi Jawa tengah dan juga memiliki luas sawah terbesar di Jawa Tengah. Berikut luasan sawah dan luas serangan WBC Kabupaten Cilacap tahun 2004-2008. Tabel 2 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Cilacap. Sumber: Badan Pusat Statistik Luas wilayah Cilacap mencapai 213.851 ha dengan alokasi penggunaan lahan untuk pertanian sekitar 29 dari luas wilayahnya atau sekitar 63.000 ha. Meskipun sawah yang tersedia cukup besar untuk makanan WBC, akan tetapi serangan WBC relatif kecil. Luas serangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang meliputi 499 ha sawah atau 0.8 dari total luas sawah di Kabupaten Cilacap. Cilacap merupakan daerah endemik WBC akibat serangan yang terjadi setiap tahun. Namun, serangan yang terjadi setiap tahunnya masih rendah. Hal ini dimungkinkan daerah tersebut lebih intesif dalam pengendalian hama WBC. Pertanian padi di Cilacap lebih sering gagal panen diakibatkan Luas Luas Luas Persentase Persentase admin Sawah Serangan Sawah Sawah Ha Ha WBC Ha Terserang 2004 213,851 62,689 9 29.3 0.0 2005 213,851 62,673 40 29.3 0.1 2006 213,851 63,184 7 29.5 0.0 2007 213,851 63,094 499 29.5 0.8 2008 213,851 63,092 18 29.5 0.0 Tahun regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan curah hujan. Analisis regresi linier sederhana dilakukan berdasarkan musimnya, yaitu bulan April – September untuk musim kemarau, dan bulan Oktober – Maret untuk musim hujan. Persamaan umum regresi linier sederhana yaitu : Y = a + bx…………………1 dimana : y = luas serangan WBC x = curah hujan a,b = konstanta Persamaan regresi kuadratik digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim selain curah hujan yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, dan kelembaban. Persamaan umum regresi kuadratik sederhana adalah sebagai berikut : Y = a + b 1 x 1 + b 2 x 2 2 ………..2 dimana : y = luas serangan WBC x = Tmax, Tmin, Trata, dan RH a,b = konstanta Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Y : a + b 1 x 1 + b 2 x 2 + b 3 x 3 + b 4 x 4 + b 5 x 5 Dimana : y = luas serangan WBC x = unsur iklim a,b = konstanta Analisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda time lag berdasarkan siklus hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 28- 32 hari atau kurang lebih satu bulan sampai WBC menjadi serangga dewasa Subroto, et al . 1992. Analisis tanpa memperhitungkan lag berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan atau ketika WBC pada fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda setengah bulan lag 1 berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu tunda satu bulan lag 2 berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1