Sengketa pemilihan kepala daerah

pemerintah pusat tetap mempertahankan kewenangan dibidang-bidang tertentu, termasuk di bidang pertambangan. Perbedaan persepsi ini akan terus meningkat seiring dengan sentimen kedaerahan yang terus pula meningkat. Peningkatan yang juga dipicu masalah ekonomi, masalah lingkungan, masalah keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas pertambangan. Walaupun kondisi kedepan akan berubah secara signifikan entah membaik atau memburuk dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967.

4. Sengketa pemilihan kepala daerah

Sengketa ke-empat adalah sengketa yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah. Otonomi daerah merubah cara pemilihan kepala daerah yang sebelumnya oleh anggota DPRD menjadi pemilihan secara langsung. 11 Memang ada yang menilai “lebih demokratis” tetapi tidak berarti zero problem. Malah menimbulkan sengketa Pilkada dibanyak daerah di Indonesia. Baik sengketa hukum maupun sengketa antar pendukung yang tidak jarang menciptakan kerusuhan. Ada beberapa penyebab mengapa terjadinya sengketa pemilukada. Pertama, adanya dugaan terjadi kecurangan. Diantara kandidat menilai telah terjadi kecurangan. Misalnya terjadi penggelembungan suara. Ada pula kecurigaan ada unsur kesengajaan terjadinya banyak pemilih yang tidak terdaftar. Apalagi ada claim bahwa pemilih yang tidak terdaftar tersebut adalah pendukung kandidat kepala daerah yang kalah. Biasanya, orang yang paling mungkin melakukan kecurangan serupa ini adalah kandidat incumbent . Dengan berbagai kelebihan dan hak akses yang dimiliki. Lebih gawat lagi tensi ketegangannya apabila kandidat sedang berkuasa yang berhasil terpilih. Kedua, ketidaktegasan sikap KPU dan lemahnya peran panitia pengawas Pemilu. KPU merupakan lembaga penentu terhadap kelangsungan pemilukada. Lembaga yang sangat strategis karena dapat menjadikan seseorang sebagai kepala daerah atau wakil rakyat. Sebaliknya, dapat pula menghentikan mimpi seseorang untuk ”jadi orang.” Oleh karena itu keputusan KPU sangat menentukan. Soal asli tidaknya ijazah seorang kandidat. Tentang lolos tidaknya seseorang untuk ikut dalam pemilukada. KPU pula yang menjadi lembaga final untuk mengumumkan kepada publik soal siapa yang secara sah terpilih sebagai kepala daerah. Tidak heran kalau kemudian para anggota KPU didekati dengan berbagai cararupa. Ada saja diantara anggota KPU yang terpengaruh dan berprilaku menyimpang. Akibatnya 11 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 1 Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. tidak sedikit KPU yang mengalami public mistrust . KPU harus memiliki strategi jitu agar ada kepercayaan dan keyakinan bahwa KPU berlaku netral. Ketiga, ketidaksiapan kandidat menerima kekalahan. Salah satu indikasi bahwa kandidat tidak siap menerima kekalahan terjadinya perlawanan pasca pemilukada. Perlawanan itu mungkin lewat pengadilan atau juga melalui perlawanan fisik. Memang dibanyak tempat upaya antisipatif itu dilakukan dengan adanya penandatangan dokumen untuk siap kalah dan siap menang. Namun seringkali dokumen-dokumen yang sifatnya morally binding tersebut tidak dapat dijadikan jaminan bahwa tidak akan ada ”ribut-ribut” pasca pemilukada. Ke-empat, berubahnya sikap hakim Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pemilukada. Selama ini MK hanya ”melayani” sengketa perhitungan suara, tidak menyangkut proses pelaksanaan Pilkada. Misalnya terbukti terjadi kecurangan yang sistematis seperti pada pemilukada Jawa Timur atau karena pilkada diikuti oleh salah satu calon yang tidak berhak dan tidak memenuhi syarat seperti pada pemilihan kepala daerah Bengkulu Selatan. 12 Perubahan sikap para hakim MK ini justru akan ”meningkatkan minat” orang-orang didaerah untuk bersengketa hasil pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi. Bahwa sesungguhnya otonomi daerah bertujuan memberikan hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Kondisi ini diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat didaerah. Daerah yang memiliki pemimpin yang amanah dan menjalankan peraturan perundang-undangan, akan mampu membawa kearah kebaikan. Otonomi daerah juga memunculkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan itu munculnya berbagai sengketa. Diantara sengketa tersebut adalah sengketa perbatasan wilayah, sengketa akibat pemekaran daerah, sengketa pengelolaan pertambangan, dan sengketa pemilihan kepala daerah. 12 Kompas, MK Batalkan Hasil Pilkada Bengkulu Selatan, Jum’at, 9 Januari 2009, hal 5. BAB II Pro dan Kontra Pemekaran Daerah Wajar jika muncul pro dan kontra terhadap pemekaran daerah otonomi baru DOB. Mereka yang pro karena menilai bahwa pembentukan daerah baru baik itu kota, kabupaten atau provinsi mampu mempercepat laju pertumbuhan di wilayah tersebut. Pelayanan publik juga dirasakan lebih cepat karena jarak ke ibukota kabupaten provinsi menjadi lebih dekat dibandingkan belum dilakukannya pemekaran wilayah. Namun tidak sedikit juga pihak-pihak yang kurang memberikan dukungan bahkan menunjukkan sikap kontra terhadap pemekaran daerah. Kelompok ini menilai terkadang motivasi pembentukan daerah baru bukan untuk kesejahteraan masyarakat tetapi lebih kepada upaya memperbanyak peluang mendapatkan jabatan. Ada beberapa hasil kajian yang mencoba mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan apa yang terjadi di beberapa daerah hasil pemekaran tersebut. Ada bebera hasil studi yang dapat dijadikan rujukan. Bappenas pada, misalnya, pada 2005 telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan Daerah Otonom Baru DOB. Kajian ini secara khusus mempelajari permasalahan yang terkait pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadi andalan dalam pengembangan ekonomi di beberapa kabupaten. Penelitian oleh Bappenas ini berlangsung di Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara, Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat, Kota Tomohon Sulawesi Utara, Kabupaten Sumbawa Barat NTB dan Kota Tasikmalaya Jawa Barat. Hasil kajian menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah PAD meningkat, tapi ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum DAU masih tetap tinggi. Selain itu, terjadi pula peningkatan belanja pembangunan, meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih kecil. Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan kualitas pelayanan masyarakat belum meningkat. Hal ini ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun awal memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan keuangan daerahnya. Lembaga Administrasi Negara 2005 juga melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136 kabupatenkota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Salah satu input dalam evaluasi ini adalah indeks pembangunan manusia. Menurut hasil evaluasi terhadap aspek pelayanan publik, khususnya infrastruktur dasar, studi LAN 2005 menunjukkan bahwa rasio panjang jalan keseluruhan dengan luas wilayah mengalami penurunan. Sedangkan pada bidang kesehatan dan pendidikan terjadi peningkatan infrastruktur yang cukup berarti. Kemudian, dalam hal demokrasi lokal yang dilihat dari penggunaan hak pilih pada pemilu, angka partisipasi cukup tinggi. Meski studi ini tidak secara langsung berkaitan dengan daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri 2005 melakukan penelitian Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada. Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi, karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat. Studi ini menemukan bahwa kelembagaan yang terbentuk belum sepenuhnya disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah. Beberapa masalah timbul, seperti jumlah kelembagaan SKPD yang cenderung berlebihan, struktur organisasi yang cenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi kelembagaan yang baik. Di sektor keuangan daerah, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan mampu mengelola keuangannya. Problem utamanya adalah rendahnya kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, khususnya PAD. Ditinjau dari aspek aparatur, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan sangat mampu dalam pengelolaan pemerintahannya. Dilihat dari ketersediaan, kualifikasi yang dimiliki, serta kesesuaian antara personil yang ada dan struktur yang tersedia. Secara umum, DOB belum mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan di atas. 13 Sikap pro dan kontra itu akan terus ada. Namun realitanya bahwa upaya untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom 13 Hasil kajian studi dikutip dari Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas bekerjasama dengan United Nations Development Programme UNDP, http:www.undp.or.idpubsdocspemekaran_ID.pdf, akses, 11 Juli 2013 jam 09:24 baru yang dianggap lebih mudah daripada waktu sebelumnya. Sebenarnya, salah satu pertimbangan kemudahan tersebut adalah untuk percepatan pertumbuhan demokrasi di daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonom baru. Pada Pasal 6 ayat 1 dan 2 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan: “Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah” Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46 ayat 3 dan 4, sebagai berikut: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih?. Pada ayat 4 disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan: “Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan” Secara yuridis, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan pemekaran. Mengutip Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah yang meneliti berbagai faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia. Bahwa dalam penelitian tersebut metode yang digunakan dalam kajian ini bersifat kualitatif dan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Lokus kajian ini adalah 14 empat belas Provinsi dan 28 dua puluh delapan kabupatenkota, yaitu : 1. Provinsi Jawa Barat Kota Banjar dan Kabupaten Ciamis 2. Provinsi Banten Kota Cilogon dan Kabupaten Serang 3. Provinsi Riau Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis 4. Provinsi Kepulauan Riau Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam 5. Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai 6. Provinsi Lampung Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tanggamus 7. Provinsi Bangka Belitung Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Tengah 8. Provinsi Sulawesi Utara Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa 9. Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe 10. Provinsi Kalimantan Timur Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Kutai Timur 11. Provinsi Gorontalo Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo 12. Provinsi Maluku Utara Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan 13. Provinsi Papua Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura 14. Provinsi Irian Jaya Barat Kabupaten Sorong dan Kota Sorong Kajian ini telah memperoleh temuan-temuan lapangan yang menarik, di antaranya: 1. Alasan utama pemekaran daerah ternyata lebih didasarkan pada faktor emosional, bukan rasional. 2. Implikasi pemekaran daerah, telah menambah beban anggaran pemerintahan negara. 3. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan pemekaran telah mengacu pada PP No. 129 Tahun 2000, tetapi pada kenyataannya daerah yang bersangkutan tidak menunjukkan kemajuan progress sebagaimana yang diharapkan. Fakta bahwa pemekaran daerah telah menjadi euforia di era otonomi daerah pasca reformasi menjadi tidak terbantahkan. Sampai awal 2007, jumlah daerah otonom baru sebanyak 7 provinsi dan 162 kabupatenkota, sehingga total provinsi sebanyak 33 dan kabupatenkota sebanyak 473. Sebuah pertumbuhan pemerintahan daerah yang luar biasa, terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran daerah adalah:

1. Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan