Analisis Kebijakan Pemekaran Wilayah kabupaten Batu Bara Dalam Perspektif Peraturan Pemerintah No. 329 Tahun 2000
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)
dalam Program Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
AHMAD MUZAWWIR
067024002/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
ANALISIS KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH
KABUPATEN BATU BARA DALAM PERSPEKTIF
PERATURAN PEMERINTAH NO. 129 TAHUN 2000
(2)
Judul Tesis : ANALISIS KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN BATU BARA DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PEMERINTAH NO. 129 TAHUN 2000 Nama Mahasiswa : Ahmad Muzawwir
Nomor Pokok : 067024002
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(DR. Marlon Sihombing, MA) Ketua
(Drs. Bengkel Ginting, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)
(3)
Telah diuji pada
Tanggal 14 April 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : DR. Marlon Sihombing, MA Anggota : 1. Drs. Bengkel Ginting, M.Si
2. Drs. H. M. Husni Thamrin, M.Si 3. Drs. Agus Suriadi, M.Si
(4)
PERNYATAAN
ANALISIS KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN BATU BARA DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PEMERINTAH NO.129 TAHUN 2000
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 14 April 2008
(5)
TESIS
Oleh
AHMAD MUZAWWIR
067024002/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
ANALISIS KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH
KABUPATEN BATU BARA DALAM PERSPEKTIF
PERATURAN PEMERINTAH NO. 129 TAHUN 2000
(6)
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara yang merupakan pemekaran dari kabupaten induknya, yaitu Kabupaten Asahan dengan luas wilayah 92.220 Ha dan jumlah penduduk 336.868 jiwa yang terdiri dari 168.951 jiwa penduduk laki-laki dan 167.953 jiwa penduduk perempuan. Kurangnya sarana dan prasarana menimbulkan kesulitan dalam menjangkau pelayanan pemerintahan, pemberdayaan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Itulah sebabnya diyakini bahwa strategi kebijakan pemekaran wilayah adalah salah satu solusinya. Pemekaran wilayah yang dimaksud adalah memperkecil wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Asahan dengan cara memberikankan status kepada wilayah Batu Bara menjadi sebuah kabupaten otonom baru.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses berlangsungnya kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara, mengidentifikasi, mengekspolrasi dan menganalisis pemekaran wilayah tersebut yang dapat memberikan dampak langsung pada masyarakat dalam hal pelayanan publik, serta mengetahui faktor-faktor penghambat dan pendorong dengan memberikan berbagai rekomendasi untuk kinerja pemerintah daerah (baik itu kabupaten induk maupun kabupaten baru). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisa data sekunder dan teknik wawancara mendalam terhadap obyek di lapangan. Data-data yang didapat dianalisa dengan menggunakan analisa deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan keadaan obyek penelitian sesuai data dan fakta yang ditemukan dalam proses berlangsungnya pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pemekaran wilayah bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dengan harapan dapat memberikan kemudahan dalam hal pelaksanaan pelayanan publik. Dampak yang bersifat langsung bagi masyarakat; misalnya biaya ringan, waktu lebih singkat dan adanya kesempatan kerja bagi masyarakat, sementara bagi pemerintah semakin pendeknya rentang kendali dan turunnya biaya administrasi pemerintahan. Akhirnya bahwa kebijakan pemekaran wilayah adalah tepat dan bermanfaat bagi masyarakat luas apabila ada iktikad yang baik dari pihak yang berkepentingan untuk kesejahteraan bersama. Kata Kunci : Kebijakan Publik, Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemekaran Wilayah
(7)
ABSTRACT
This research was made in District of Batu Bara, North of Sumatera as expansion of parent district, i.e., district of Asahan, total width 92.9220 Ha and total population 366,868 consisting of 168.951 male and 167.953 female. The lack of facility has led to some difficulty to access the government service, people empowrment and equality of development. Thus it is believed that Regional Expansion Policy Strategy is a best solution. The regional expansion is to define or narrow the scope of government administration of Asahan District by recognizing the status of Batu Bara district as a new autonom district.
The objective of this reserch would be to know the process of Regional Expansion Policy in Batu Bara Disctrict, to identify, explorate and analyze the regional expansion that can effect the people directly in public service and also to know the resistive and supportive factors by suggece (either parent district or extended district). The method used in this research is by using qualitative descriptive analysis, i.e., to describe the object of research according to the data and facts found in the prosess of regional expansion in District of Batu Bara.
Based on the result of research, it can be concluded that the objective of regional expansion will be to give the people with better access of service though expectation that it can increase and facilitate the implementation of public service. The direct impact for people includes : lower cost, shorter time and work chance for peoples; and for government includes : the narrower range of control and lower cost of government administration. Finally, the policy of regionel expansion is appropriative decision and useful for people widely in basis of good faith by interested or involved parties to improve the people welfare.
(8)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Kemudian selawat beriring salam semoga senantiasa tetap dicurahkan kepada Baginda Muhammad SAW yang telah menyebarkan Islam di permukaan bumi ini, guna menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Tujuan dari penulisan tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis mengajukan sebuah judul “Analisis Kebijakan Pemekaran Wilayah Kabupaten Batu Bara dalam Perspektif Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000.”
Di dalam penulisan ini berbagai hambatan yang penulis temui. Namun, berkat kesungguhan dan bantuan dari berbagai pihak serta dengan ridha Allah SWT, sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada :
1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan
(9)
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai penguji.
4. Bapak DR. Marlon Sihombing, MA, selaku Ketua Pembimbing yang telah membimbing dengan arief dan penuh kesabaran di sela-sela kesibukan beliau. 5. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang juga
telah membimbing dengan arief dan penuh kesabaran di sela-sela kesibukan beliau.
6. Bapak Drs. H. M. Husni Thamrin, M.Si, selaku Dosen Pembanding I yang telah banyak memberikan saran dan kritikan demi kesempurnaan tesis ini. 7. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Dosen Pembanding II yang juga telah
banyak memberikan saran dan kritikan demi kesempurnaan tesis ini.
8. Segenap tim pengajar Program Magister Studi Pembangunan (MSP) Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya, yang telah berupaya mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis.
9. Kakanda Ir. Hj. Syafrida Fitrie, MSP yang telah banyak memberikan dukungan materil maupun moril kepada penulis.
10.Bapak OK. Arya Zulkarnain, SH, MM, selaku Ketua Umum BP3KB yang telah banyak memberikan data dan informasi pada penulis.
(10)
11.Bapak H. Usman Al Hudawy, selaku Tokoh Masyarakat sekaligus Penasehat GEMKARA yang juga telah banyak memberikan data dan informasi pada penulis.
12.Teman-teman Angkatan IX (Achmad Fadly, Analisman Zalukhu, Andy Siregar, Dedy Rustam Alamsyah Nst, Denni Rovi S. Meliala, Eli Sudarman, Fahri Azhari, Ghazali Rahman, Hendra Dermawan Siregar, Lantika Purba, Latifah Hanum Daulay, Maya Soraya, Meilani Tarigan, Muhammad Abduh Riza, Murniati, Ody Dody Prasetyo, Onggung P.G. Purba, Pardomuan Nasution, Pinta Omastri Pandiangan, Rehia Karenina Isabella Barus, Sri Rahmayani, Syahrul Halim, Teuku Al Fiady dan Valdesz Junianto Nainggolan).
13.Seluruh Pegawai Administratif Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Magister Studi Pembagunan (Kak Dina Rahma Nst, S.Sos, Bang Iwan dan Dadek) yang telah memudahkan proses administrasi penulis, dan
14.Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan tesis ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Kemudian, khususnya penulis menyampaikan rasa sayang dan hormat serta terimakasih yang tidak terhingga kepada yang tercinta Ayahanda “Hubban Efendi” dan Ibunda “Syamsuarni” yang telah memotivasi dan mendo’akan penulis serta adik-adik di rumah (Ahmad Muhadhir, SE, Ahmad Syahir, Ahmad Syukron, Ria Silvana,
(11)
Ainul Wardah, Amirah Husna) yang selalu sayang pada penulis sehingga memberikan spirit bagi penulis dalam menyelesaikan tesis dan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Disamping itu juga penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dari berbagai aspek metodologis maupun substansi teoritis lainnya. Oleh sebab itu segala saran dan kritikan demi kesempurnaannya dengan senang hati diterima. Mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sebagai khasanah pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi Pemerintah Kabupaten Batu Bara sebagai bahan rekomendasi kebijakan. Akhirnya dengan berserah diri pada Allah SWT dan semoga segala amal baik kita semua mudah-mudahan mendapat pahala disisi-Nya. Amin.
Medan, 14 April 2008 Penulis,
(12)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Ahmad Muzawwir
Tempat Lahir : Kedai Sianam (Batu Bara) Tanggal Lahir : 18 Maret 1983
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah Tinggi/ Berat Badan : 164 Cm/ 56 Kg Golongan Darah : O
Alamat : Jl. Lintas Sumatera, Bangun Sari Dsn.V Kec. Talawi Kab. Batu Bara, 21254
Nomor HP : 081376340007
Nama/ Pekerjaan Orang Tua : Ayah = Hubban Efendi/ PNS Ibu = Syamsuarni/ PNS Status dalam keluarga : Anak Kandung (anak ke I)
Jumlah bersaudara : 5 (lima) orang (Adik-adik : Ahmad Muhadhir,SE, Ahmad Syahir, Ahmad Syukron, Ainul Wardah, Amirah Husna)
Pendidikan :
a.Sekolah Dasar Negeri 010161 Kec. Talawi Kab. Asahan (lulus pada tahun 1995)
b.Madrasah Tsanawiyah Siajam Kec. Sei Balai Kab. Asahan (lulus pada tahun 1998)
(13)
c.Madrasah Aliyah Negeri Lima Puluh Kab. Asahan (lulus pada tahun 2001)
d.Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi (lulus pada tahun 2006)
e.Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Magister Studi Pembangunan (lulus pada tahun 2008)
(14)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Kebijakan Publik ... 9
2.2 Analisis Kebijakan ... 15
2.3 Desentralisasi dan Otonomi Daerah ... 18
2.4 Pemekaran Wilayah ………... 30
2.5 Kriteria Kelayakan Pembentukan Kabupaten ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42
3.1 Jenis Penelitian ... 42
3.2 Lokasi Penelitian ... 43
3.3 Informan Penelitian ... 43
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 44
3.5 Definisi Konsep ... 45
3.6 Definisi Operasional ... 46
3.7 Teknik Analisis Data ... ... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 52
4.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Batu Bara ... .. 52
4.1.1 Ibukota dan Sarana Pendukung ... ... 55
4.1.2 Asset dan Kepegawaian ... 55
4.1.3 Iklim, Suhu Udara dan Curah Hujan ... … 55
(15)
4.1.5 Potensi Daerah... 61
4.1.6 Perkembangan Penduduk Kabupaten Batu Bara... 71
4.2 Hasil Penelitian... 72
4.2.1 Kabupaten Asahan dan Kedatukan Batu Bara ... 72
4.2.2 Perjuangan Pembentukan Kabupaten Batu Bara... 78
4.2.3 Kabupaten Batu Bara Terbentuk dengan Usul Inisiatif DPR Republik Indonesia ... 98
4.2.4 Tokoh Central Perjuangan Pembentukan Kabupaten Batu Bara ... 99
4.2.5 Stakeholder Dalam Pemekaran Wilayah Kabupaten Batu Bara... 102
4.3 Analisis Data ... 106
4.3.1 Analisis Potensi Pemekaran Wilayah Batu Bara... 108
4.3.1.1 Analisis Kriteria Potensi Ekonomi... 112
4.3.1.2 Analisis Kriteria Potensi Daerah... 116
4.3.1.3 Analisis Kriteria Sosial Budaya ... 120
4.3.1.4 Analisis Kriteria Sosial Politik... 122
4.3.1.5 Analisis Kriteria Jumlah Penduduk dan Luas Daerah ... 123
4.3.1.6 Analisis Kriteria Lain-lain ... 125
4.4 Analisis Kelayakan Pemekaran Wilayah Kabupaten Batu Bara serta Munculnya Kelemahan dari Implementasi Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 ... 126
BAB V PENUTUP ... 139
5.1 Kesimpulan ... 139
5.2 Saran-saran ... 141
(16)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul 1 Indikator Pemekaran Wilayah Menurut Perspektif Peraturan
Pemerintah No. 129 Tahun 2000 ……… 48
2 Perkiraan Penerimaan Daerah ... 57
3 Jumlah Produksi Tanaman Pangan Wilayah Batu Bara ... 62
4 Hasil Perekebunan Wilayah Batu Bara ... 63
5 Hasil Produksi Perikanan Laut Wilayah Batu Bara ... 64
6 Prasarana Hiburan ... 65
7 Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Medis ... 66
8 Fasilitas Pendidikan Umum dan Agama Wilayah Batu Bara... 67
9 Jenis Alat Angkutan ... 68
10 Fasilitas Peribadatan ... 69
11 Anggota Tim Kerja II PAH I DPD RI yang melakuan kunjungan kerja ke Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 20 s/d 22 Juni 2006 ... 95
12 Skor Rata-rata Seluruh Indikator Bagi Pembentukan Kabupaten Otonom Batu Bara ... 111
13 Potensi Ekonomi Wilayah Batu Bara... 112
14 Potensi Daerah Wilayah Batu Bara ... 118
15 Kondisi Sosial Budaya Wilayah Batu Bara ... 120
16 Kondisi Sosial Politik Wilayah Batu Bara ... 122
17 Profil Jumlah Penduduk Wilayah Batu Bara ………... 123
18 Luas Daerah Wilayah Batu Bara ………. 123
19 Kriteria Lain-lain Wilayah Batu Bara ... 125 Halaman
(17)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul 1 Peta Kabupaten Batu Bara ... 54 2 Logo GEMKARA (Gerakan Masyarakat Menjuju Kesejahteraan
Batu Bara) ... 78 3 Gambar bersama beberapa orang Kepala Daerah Se- Indonesia
sesaat setelah upacara Penganugerahan Tanda Jasa dan Kehormatan Satya Lencana Wirakarya dari Presiden Republik Indonesia di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta ... 102
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul 1 Daftar Panduan Wawancara Penelitian ... 145 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 129 Tahun 2000
Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Presiden Republik Indonesia ...
148
3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara di Provinsi Sumatera Utara … 161
(19)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era reformasi telah memberikan ruang yang lebih terbuka kepada masyarakat untuk mengembangkan dan membangun dirinya sendiri. Salah satu produk dari era reformasi itu adalah otonomi daerah yang secara konseptual memperlihatkan adanya perubahan secara signifikan pada model dan paradigma pemerintahan daerah. Model efisiensi struktural (structural efficiency model) yang menekankan pada efisiensi dan keseragaman pemerintah lokal ditinggalkan. Kini dikembangkan local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring dengan pergeseran model tersebut, terjadi pula pergeseran dari penekanan aspek sentralisasi kepada penekanan aspek desentralisasi.
Dalam menciptakan kemandirian daerah inilah, pemekaran wilayah kabupaten/ kota dan provinsi harus dipahami sebagai bagian dari implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap 3 (tiga) permasalahan utama yakni sharing of power, distribution of income dan kemandirian sistem manajemen di daerah.
Pemekaran wilayah sebagai implikasi politik reformasi, perlu dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan benturan-benturan dan masalah yang justru
(20)
wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis antara satu wilayah dan wilayah lainnya sangat berbeda. Dengan demikian pemekaran wilayah diharapkan dapat memacu perkembangan sosial, ekonomi, peningkatan kualitas demokrasi, mengurangi kesenjangan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Namun di sisi lain, perkembangan pemekaran wilayah ini masih menimbulkan beberapa persoalan utama, yaitu penentuan batas-batas wilayah geografis dan administratif wilayah baru dan hal ini selalu memberikan dampak sosial, politik dan ekonomi serta redistribusi aset negara pada wilayah-wilayah baru tersebut.
Reformasi yang tengah bergulir di Indonesia, yang ditandai dengan munculnya berbagai fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru, baik daerah provinsi maupun kabupaten dan kota. Keinginan tersebut didasari terjadinya berbagai dinamika di daerah itu sendiri baik dinamika sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Dengan pembentukan daerah otonom ini, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus rumah tangganya sendiri, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.
Sistem pemerintahan yang ada di era otonomi daerah saat ini dengan asas desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi sosial, ekonomi, politik
(21)
maupun budaya. Perubahan sosial, ekonomi, politik maupun budaya di Indonesia memiliki kecenderungan dan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintahan daerah yang lebih dekat dengan masyarakatnya. Dalam perspektif otonomi daerah ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dinamika perkembangan wilayah menjadi otonom seperti itu disikapi pemerintah pusat dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 1999 yang lalu. Dalam pembentukan daerah otonom, mulanya di ilhami oleh Pasal 18 UUD 1945 yang antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi lagi dalam daerah kabupaten dan kota.
Dalam mendukung implementasi kebijakan otonomi daerah itu, pemerintah telah mengatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa keinginan masyarakat daerah untuk membentuk daerah otonom baru memang dimungkinkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Sejalan dengan banyaknya keinginan untuk melakukan pembentukan daerah otonom baru, baik berupa pemekaran maupun peningkatan status, khususnya di daerah kabupaten dan kota sesuai dengan mekanisme pembentukan daerah otonom
(22)
maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang isinya antara lain menyebutkan persyaratan, kriteria, prosedur, pembiayaan pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
Seiring dengan perkembangan dinamika di berbagai daerah dan peraturan pendukung yang ada, masyarakat Batu Bara juga mengajukan pembentukan daerah otonom tersendiri yang wilayahnya terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan diantaranya, yaitu Kecamatan Medang Deras, Kecamatan Sei Suka, Kecamatan Air Putih, Kecamatan Lima Puluh, Kecamatan Talawi, Kecamatan Tanjung Tiram, dan Kecamatan Sei Balai dengan luas 92.220 hektare (ha). Beberapa alasan yang mendasari sehingga mengajukan pembentukan Pemerintahan Kabupaten Batu Bara sebagai daerah otonom adalah; Pertama, peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah yang berlaku saat ini (Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000) memberikan kemungkinan untuk dilakukannya pemekaran satu daerah otonom menjadi beberapa daerah otonom baru. Kedua,
pemekaran Kabupaten Batu Bara menjadi daerah otonom baru dari kabupaten induknya, yaitu Kabupaten Asahan, dipandang akan membawa berbagai keuntungan bagi masyarakat, seperti fasilitas sosial, ekonomi dan finansial untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat pada masa depan. Ketiga, tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang lebih baik, dengan semakin sedikitnya birokrasi yang harus dilalui dalam memperoleh pelayanan publik. Keempat, keinginan masyarakat
(23)
dan pemerintah daerah untuk mengelola sendiri sumber daya dan potensi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Permasalahan besar yang menghadang pembentukan Kabupaten Batu Bara sebagai daerah otonom adalah masalah kemandirian keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya infrastruktur daerah. Namun, kuatnya aspirasi masyarakat Batu Bara untuk membentuk Kabupaten Batu Bara menjadi suatu daerah yang otonom telah menjadi alasan utama bagi pemerintah pusat mewujudkan daerah pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara tersebut. Hal ini tercermin dari upaya Gerakan Masyarakat Menuju Kesejahteraan Batu Bara (GEMKARA) dan Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batu Bara (BP3KB), yang terus memperjuangkan dalam agenda pembahasan Pemerintah dan DPR Republik Indonesia agar Batu Bara dapat disahkan menjadi daerah otonom.
Sejak terbentuknya Kabupaten Batu Bara yang diresmikan pada tanggal 15 Juni 2007, dimana pertemuan tersebut dihadiri oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan selaku Menteri Dalam Negeri Ad Interim, Widodo AS. Berbagai permasalah kelayakan Batu Bara menjadi suatu daerah yang mempunyai otonomi penyelenggaraan pemerintahan hingga kini masih menjadi pertanyaan besar mengingat potensi yang dimiliki wilayah Batu Bara yang sangat banyak, namun belum terkelola dengan baik untuk berdiri sendiri sebagai suatu daerah otonom. Melihat
(24)
potensi alam yang ada di Batu Bara, pemerintah daerah harus mampu mengembangkan potensi-potensi tersebut terutama dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam seperti kawasan pariwisata dan perusahaan yang terkenal di dunia internasional sebagai pengekspor aluminium hasil olahan PT. Inalum yang sudah lama menjadi produk unggulan di daerah ini, kemudian didukung dengan keberadaan pasar yang telah memberikan dampak bagi pertumbuhan perekonomian dan pendapatan daerah. Wilayah Batu Bara ini juga memiliki industri pengolahan minyak kelapa sawit (CPO) dan lain sebagainya yang berpotensi besar untuk mensejahterakan masyarakat.
Saat ini menarik untuk dikaji tentang bagaimana proses pemekaran daerah sehingga Batu Bara menjadi suatu daerah yang otonom. Dari segi persyaratan kemampuan ekonomi dan finansial sebagai indikator yang sangat menentukan bagi Batu Bara layak untuk menjadi suatu daerah otonom telah terpenuhi, sehingga Batu Bara “lulus kualifikasi” dan kemudian diundangkan (ditetapkan) sebagai suatu daerah yang memiliki status otonom. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan berbagai pihak masyarakat di Batu Bara itu sendiri. Namun, disisi lain tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia dan infrastruktur daerah.
Kebijakan yang diambil pemerintah pusat bagi daerah otonom Batu Bara akan membuka peluang bagi masyarakat (putra daerah) untuk duduk dalam jabatan-jabatan di birokrasi atau politis tertentu dalam upaya pengelolaan potensi sumber daya alam dan pengembangan sumber daya manusia di Batu Bara sebagai fokus
(25)
pembangunan. Tetapi, masalah besar juga akan muncul jikalau pemberian status otonomi pada Batu Bara, ternyata tidak diikuti oleh semakin baiknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dikhawatirkan justru pelayanan akan semakin mahal karena Pemerintah Kabupaten Batu Bara dituntut untuk dapat menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-banyaknya dengan mengenakan pajak yang justru memberatkan masyarakat.
1.2 Perumusan Masalah
Pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara dalam perspektif kebijakan publik dapat dipandang sebagai proses interaksi berbagai kelompok kepentingan dalam proses politik, melibatkan sejumlah aktor dan dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat pada kelompok ataupun aktor tersebut. Proses lahirnya kebijakan publik dalam hal ini kebijakan pembentukan Kabupaten Batu Bara merupakan suatu rangkaian kegiatan atau langkah tindakan para aktor.
Pembentukan suatu kabupaten harus mempertimbangkan berbagai kriteria pembentukan. Mengenai kriteria kelayakan pembentukan kabupaten, terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan antara lain kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, mata pencaharian penduduk, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah serta kriteria lain-lain yang terdiri dari; faktor-faktor kriminalitas, ketersediaan gedung bagi pemerintah daerah, jarak dan waktu tempuh dari kecamatan-kecamatan ke pusat pemerintahan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000.
(26)
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka muncul pertanyaan penelitian, yaitu : ”Bagaimana proses berlangsungnya kebijakan pembentukan wilayah Kabupaten Batu Bara dalam perspektif Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 dan apa motivasi para pihak berkepentingan (stakeholder) dalam pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara tersebut.”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian A. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi dan menganalisis kebijakan dalam proses pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara.
B. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Secara teoritis, yaitu sebagai wahana untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan dalam membuat suatu karya tulis ilmiah dan sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti permasalahan yang sama.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Kabupaten Batu Bara dalam upaya pengembangan daerah saat ini dan untuk masa yang akan datang.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Publik
Menurut Wojowasito (2003 : 35) mengartikan kebijakan sebagai : skill
(keterampilan), ability (kemampuan), capability (kecakapan), insight (kemampuan memahami sesuatu).
Dari uraian di atas jelas bahwa sifat ”bijak” adalah sifat-sifat (character)
yang melekat pada manusianya dan ”bijaksana” adalah sifat-sifat yang melekat pada sikap, tingkah laku dan perbuatannya. Dengan demikian, maka dalam membuat suatu kebijakan yang baik haruslah bersifat rasional, institusional, kondisional, dan situasional dengan suatu proses sebagai berikut :
1. Rasional, maksudnya pengambilan keputusan itu benar-benar mempergunakan data-data dan informasi-informasi yang selengkap-lengkapnya. Data diolah dengan seksama untuk menjadi informasi yang penting, sedangkan informasi dikumpulkan selengkap mungkin dari ilmu-ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman, baik pengalaman sendiri, maupun dari pengalaman orang lain.
(28)
2. Institusional, maksudnya pengambilan keputusan harus senantiasa dengan mengingat tujuan organisasi serta memperhatikan pula hak-hak dan kewenangannya.
3. Kondisional, maksudnya harus selalu ingat bahwa suatu kejadian, masalah, peristiwa itu tidak akan lepas dari lingkungannya, baik lingkungan alam
(natural environment), lingkungan fisik (pysical environment), maupun lingkungan sosial (social environment).
4. Situasional, maksudnya bahwa keputusan yang diambil itu haruslah sesuai dan dapat terselenggara dalam situasi yang hidup pada waktu itu. Suatu keputusan yang benar, namun tidak dapat dilaksanakan, maka tentulah tidak ada manfaatnya, keputusan yang demikian merupakan keputusan yang tidak baik.
Dari definisi tentang kebijakan publik di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik merupakan suatu rangkaian keputusan dan tindakan didalamnya terdapat serangkaian tahapan yang saling bergantung yang diatur menurut waktu. Pada dasarnya kebijakan publik tidak terlepas dengan masalah publik dan pemerintah yang salah satu fungsinya adalah merumuskan kebijakan untuk memenuhi tuntutan seseorang atau kelompok karena kondisi yang dihadapi. Hal ini terjadi karena adanya suatu kondisi yang tidak memuaskan sebagian masyarakat sehingga mendorong mereka untuk memuaskan sebagian masyarakat melalui sistem yang dimiliki. Di sinilah dituntut kejelian pejabat publik untuk memahami kebutuhan masyarakat terhadap masalah publik yang dihadapi. Untuk
(29)
lebih jauh lagi tidak hanya memahami, tapi mengambil langkah- langkah kebijakan yang tepat dan dapat sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dipimpinnya.
Banyak sekali kebijakan publik yang diartikan oleh beberapa ahli dari sudut pandang masing-masing, diantaranya Parker memberi batasan bahwa kebijakan publik adalah : “Suatu tujuan tertentu, atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada periode tertentu dalam hubungan dengan suatu subyek atau suatu tanggapan atas suatu krisis” (Santosa, 1988).
Pendapat lain memberikan batasan “kebijakan publik sebagai sekumpulan rencana kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan efek perbaikan terhadap kondisi-kondisi sosial dan ekonomi” (Derby Shire, dalam Wibawa, 1994: 49).
Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa policy adalah hasil-hasil keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku tertentu untuk tujuan-tujuan publik (Hofferbert dan Ricard, Ibid). Untuk memudahkan dalam memahami pengertian kebijakan, maka perlu diketahui beberapa karakteristik daripada kebijakan itu sendiri, antara lain :
a. Tindakan yang berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan prilaku secara serampangan.
b. Merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan sendiri.
c. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur perdagangan dan sebagainya bukan sekedar apa yang dilakukan oleh pemerintah.
(30)
Dari gambaran di atas dapatlah dijelaskan bahwa karakteristik daripada kebijakan publik tersebut mengandung maksud tujuan, arah dan pola tindakan tertentu yang dilaksanakan oleh pemerintah. Kemudian tindakan itu mempunyai nilai yang positif. Jikalau memperhatikan batasan-batasan di atas maka tidak disebutkan siapa pelaku kebijakan publik, namun di bagian lain dikatakan policy adalah produk akhir antara eksekutif dan legislatif. Lebih lanjut Hofferbert (dalam Wibawa, 1994: 50) menyatakan : “Kebijakan publik adalah pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh legislatif, penentuan atau pengaturan yang dilakukan oleh eksekutif, penggunaan anggaran negara, dan juga kegiatan apapun yang dilakukan oleh siapapun yang menjadikan masyarakat sebagai sasarannya.”
Sementara itu (William N, Dunn, 1981: 70) sebagaimana dialih bahasa oleh Muhajir Darwin (1987: 63-64), merumuskan : “Kebijakan publik sebagai serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah, diformulasikan dalam bidang-bidang isu yaitu arah tindakan aktual atau potensial dari diantara kelompok masyarakat.”
Dengan batasan dan pengertian ini menggambarkan bahwa kebijakan publik itu sebagai keputusan yang diambil untuk bertindak dalam rangka memberikan pelayanan kepada publik sesuai norma-norma yang ada pada publik itu sendiri. Norma-norma tersebut menyangkut akan hal interaksi penguasa, penyelenggara negara dengan rakyat serta bagaimana seharusnya kebijakan-kebijakan publik itu
(31)
dilaksanakan. Ukuran normatifnya adalah keadilan sosial, partisipasi dan aspirasi warga negara, masalah-masalah lingkungan, pelayanan, pertanggungjawaban administrasi dan analisis yang etis (Kumorotomo, 1999:105).
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik sangat tergantung dari intensitas kualitas dan ruang lingkup masalah publik yang dipikirkan dan diidentifikasi oleh pengambil kebijakan. Dengan demikian maka keberadaan atau kegagalan implementasi dari suatu kebijakan publik tidak sepenuhnya merupakan output aparat pelaksana akan tetapi lebih merupakan keberhasilan atau kegagalan pada tahap pengenalan. Lebih lanjut Dunn mengemukakan beberapa karakteristik masalah publik yang sangat membantu dalam perumusan masalah, yaitu :
a. Interdepedensi masalah kebijakan, yaitu masalah pada bidang tertentu berpengaruh terhadap pada bidang yang lain, artinya suatu masalah merupakan bagian dari suatu sistem masalah yang bersumber dari kondisi yang menimbulkan ketidakpuasan dari setiap kelompok.
b. Subyektivitas masalah kebijakan, yaitu masalah publik meskipun bersifat sangat obyektif tetapi dalam proses artikulasinya tetap merupakan hasil berpikir dan hasil interprestasi dari analisis atau pengambil kebijakan.
c. Artifisial masalah kebijakan, dimana masalah tidak dapat dipisahkan dengan individu atau kelompok yang mengidentifikasikannya.
(32)
d. Dinamika masalah kebijakan, dalam arti bahwa masalah selalu berada dalam suasana atau kondisi yang terus menerus berubah. Setiap masalah dapat didefinisikan dengan berbagai cara, demikian pula pemecahannya.
Proses konversi dari masalah kebijakan yang berhasil diartikulasikan merupakan tahapan kedua yang bersifat kritis. Hal itu disebabkan karena para pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang terlibat dalam proses tersebut tidak independen dalam arti sangat dipengaruhi oleh persepsi, sikap serta kepentingan-kepentingan yang diwakilinya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi penetapan kebijakan (policy decision). Policy decision menurut Anderson dalam Wibawa adalah pemeliharaan alternatif rancangan kebijakan mana oleh para aktor yang terlibat dalam konversi dan ditetapkan untuk menjadi output kebijakan (Wibawa, 1994 : 25).
Penetapan kebijakan yang diuraikan diatas dituangkan dalam beberapa bentuk yaitu: (1) Model Deskriptif, yaitu menjelaskan atau meramalkan sebab dan akibat dari pilihan-pilihan kebijakan; (2) Model Normatif, yaitu identik dengan deskriptif namun dilengkapi dengan aturan dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian keuntungan manfaat dan nilai; (3) Model Verbal, yaitu menyangkut penyajian dalam bahasa sehari-hari sehingga mudah dipahami; (4) Model Simbolik, yaitu penyajiannya dalam bentuk simbol-simbol matematis; dan (5) Model
Prosedural, yaitu menggunakan prosedur guna mewujudkan dinamika hubungan
antara variabel kebijakan (William N. Dunn, 1994: 155-156).
Dari konsep-konsep kebijakan publik yang diuraikan diatas, maka kerangka pemikiran yang didapat adalah bahwa dalam kebijakan publik terdapat beberapa
(33)
komponen dan tahapan kebijakan, seperti dikatakan Eulau dan Prewit (dalam Manullang; 1998; 14-15) (1) Niat (intentions), yaitu tujuan-tujuan yang sebenarnya suatu tindakan, (2) Tujuan (goals), yaitu keadaan akhir yang hendak dicapai, (3) Rencana atau usulan (plans of proposal), yaitu cara yang ditetapkan untuk mencapai tujuan, (4) Program, yaitu cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, (5) Keputusan atau pilihan (decision or choise), yaitu tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan, dan (6) Pengaruh (effect), yaitu dampak program yang dapat diukur, baik dampak yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.
2.2 Analisis Kebijakan
Analisis berasal dari bahasa Yunani yang berarti memecah menjadi bagian-bagian. Riant Nugroho (2006 : 46) mengemukakan bahwa kerangka konseptual analisis kebijakan terdiri atas langkah-langkah mendiagnosis masalah, mengidentifikasi alternatif kebijakan yang mungkin, menilai efisiensi dan kebijakan dikaitkan dengan melakukan perhitungan cost benefit dari kebijakan. Kemudian Riant Nugroho melanjutkan dengan melakukan pendekatan model rasionalis dalam analisis kebijakan yang mempunyai bagian-bagian :
1. Mendefinisikan permasalahan (define the problem).
2. Menetapkan kriteria evaluasi (establish evaluation criteria).
3. Mengidentifikasi alternatif kebijakan (identifiy alternative policies).
4. Memaparkan alternatif-alternatif dan memilih salah satu (display alternatives and select among them).
(34)
5. Memonitor dan mengevaluasi manfaat kebijakan (monitor and evaluate policy outcome).
Suatu kebijakan yang baik, menurut Dunn (1995) harus melalui tahapan-tahapan kegiatan, yaitu agenda setting, policy formulation, policy adaption, dan
policy implementation serta policy assesment. Dari tahapan diatas yang paling rumit adalah menentukan policy formulation, di dalamnya tercakup cara memformulasikan alternatif-alternatif kebijakan yang mampu memecahkan masalah-masalah, memilih alternatif-alternatif yang memadai dan efektif bila dilaksanakan dan sebagainya. Untuk itu cara yang paling menguntungkan dalam memilih alternatif mana yang paling menguntungkan adalah melalui analisis kebijakan. Sofian (2001) mengungkapkan bahwa proses analisis kebijakan bermaksud untuk memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan yang baik, atau merupakan usaha yang bersifat multi disipliner untuk memperoleh data informasi guna memberikan alternatif pemecahan suatu masalah. Dengan demikian bahwa menganalisa suatu kebijakan merupakan usaha untuk dapat merekomendasikan kebijakan. Usaha ini berawal dari penyajian secara cermat informasi yang menunjukkan adanya masalah kebijakan, yang mana informasi ini nantinya akan digunakan untuk membuat informasi tentang alternatif kebijakan.
Untuk menentukan alternatif-alternatif mana yang akan dipilih, sudah barang tentu diperlukan kriteria-kriteria atau metode-metode tertentu. Lebih lanjut Dunn (2000) mengatakan; untuk menentukan alternatif terpilih, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) Affecfiveness, yaitu apakah kebijakan tersebut
(35)
dapat mencapai sasaran yang telah dirumuskan, (2) Efficiency, yaitu apakah kebijakan
yang akan diambil itu seimbang dengan sumber daya yang tersedia, dan (3) Adequasi, yaitu apakah kebijakan itu sudah cukup memadai untuk memecahkan
masalah yang ada.
Selanjutnya berkaitan dengan kriteria kebijakan ini Sofian (2001), mengemukakan bahwa kebijakan yang baik itu harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Tehnical feasibility, yaitu kemampuan masing-masing alternatif untuk memecahkan masalah.
2. Economic and financial possibility, yaitu alternatif mana yang mungkin dibiayai dari dana yang dimiliki.
3. Political viability, yaitu bagaimana resiko politik dari masing-masing alternatif.
4. Administrative capability, yaitu menyangkut kemampuan administrasi untuk mendukung kebijaksanaan tersebut.
Kemudian lebih lanjut, Sofian (2001) mengungkapkan bahwa proses analisis kebijakan bermaksud untuk memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan yang baik, atau merupakan usaha yang bersifat multi disipliner untuk memperoleh data informasi guna memberikan alternatif pemecahan suatu masalah. Dengan demikian bahwa menganalisa suatu kebijakan merupakan usaha untuk dapat merekomendasikan kebijakan. Usaha ini berawal dari penyajian secara cermat
(36)
informasi yang menunjukkan adanya masalah kebijakan, yang mana informasi ini nantinya akan digunakan untuk membuat informasi tentang alternatif kebijakan.
Dari pendapat ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya alternatif kebijakan yang memadai dan efektif untuk dilaksanakan setidaknya harus memenuhi kriteria-kriteria kelayakan ekonomi dan finansial, sosial, teknis, legal, administrasi dan politik. Di samping itu tidak kalah pentingnya perlu dipertimbangkan pula kriteria-kriteria efektifitas, efisiensi dan edequasi.
2.3 Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Desentralisasi tidak bisa dipisahkan dengan masalah sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, karena pada dasarnya berkenaan dengan “delegation of authority and responsibility” yang dapat diukur dari sejauhmana unit-unit bawahan yang memiliki wewenang dan tanggung jawab di dalam proses pengambilan keputusan (Miewald dalam Pamudji, 1984: 2). Pide (1997 : 34) mengemukakan bahwa desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang dibidang tertentu secara vertikal dari institusi/ lembaga/ pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/ lembaga/ fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut.
(37)
Selain itu, Rondinelli (1983 : 69) mengemukakan, desentralisasi perlu dipilih dalam penyelenggaraan pemerintahan pembangunan, karena melalui desentralisasi akan dapat meningkatkan efektivitas dalam membuat kebijaksanaan nasional, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada para pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek-proyek pembangunan, agar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Desentralisasi akan dapat memungkinkan para pejabat setempat untuk lebih dapat mengatasi masalah-masalah yang selama ini dianggap kurang baik dan ciri-ciri prosedur yang sangat birokratis di dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang seringkali dialami oleh negara berkembang yang acapkali tercipta konsentrasi kekuasaan, otoritas dan sumber-sumber yang begitu berlebihan di tingkat pusat. Jika dilihat dari fungsi-fungsi pembangunan yang didesentralisasikan para pejabat, staf pada tingkat lokal atau unit-unit administratif yang lebih rendah, akan dapat meningkatkan pemahaman dan sensivitas (daya tanggap) mereka terhadap masalah dan kebutuhan setempat, karena mereka akan bekerja pada tingkat dimana semua permasalahan tersebut terasa paling menekan dan terlihat paling jelas.
Apabila dilihat dari sisi hubungan kerja, sistem penyelenggaraan model ini akan dapat lebih mendekatkan, mengakrabkan dan mempererat antara masyarakat dengan para pejabat, staf pelaksana dan hal ini akan memungkinkan mereka akan mendapatkan informasi yang lebih baik, yang diperlukan dalam proses perumusan
(38)
rencana pembangunan dari pada apa yang mereka peroleh bila hanya menunggu di kantor pusat saja.
Desentralisasi juga dapat meningkatkan dukungan politis dan administratif bagi kebijaksanaan pembangunan nasional pada tingkat lokal, karena selama ini rencana-rencana pembangunan tingkat nasional acapkali tidak diketahui oleh penduduk setempat, sehingga dengan diketahuinya rencana pembangunan nasional pada tingkat lokal, maka disamping akan mendapatkan dukungan politis dan administratif pada tingkat lokal, juga dapat mendorong kelompok-kelompok sosial setempat untuk meningkatkan kemampuan partisipasinya dalam merencanakan dan mengambil keputusan yang mereka buat. Lebih penting lagi, desentralisasi ini juga dianggap dapat meningkatkan efisiensi pemerintah pusat, dengan cara mengurangi beban kerja rutin dan fungsi-fungsi manual yang dapat secara efektif diselesaikan oleh para staf pelaksana lapangan atau para pimpinan unit-unit administratif yang lebih rendah.
Disamping pendapat Rondinelli, Barkley (1978 : 2) mengemukakan bahwa desentralisasi dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih cepat dan lebih luas atau dengan kata lain memberi dukungan yang lebih konstruktif di dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan Mc. Gregor (1966: 3) menegaskan, jika kita dapat menekan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah, maka kita akan cenderung memperoleh keputusan-keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja akan dapat memperbaiki kualitas dari keputusan-keputusan yang diambil, tetapi juga akan dapat memperbaiki kualitas daripada
(39)
pengambilan keputusan, karena orang cenderung untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat manakala mereka dimotivasi secara efektif dan ini bisa terjadi jika kewenangan pengambilan keputusan didesentralisasikan. Hal demikian tadi harus menerapkan azas desentralisasi yang berarti pengambilan keputusan pada tingkat bawah organisasi dipandang sebagai cara terbaik untuk melahirkan keputusan-keputusan yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi besar.
Sejalan dengan pendapat diatas, Koesoemahatmadja (1979) mengemukakan bahwa desentralisasi dalam arti ketatanegaraan merupakan pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Desentralisasi adalah sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara, yang dapat dibagi dalam 2 (dua) macam bentuk.
Pertama, dekonsentrasi yakni pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Kedua, Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di lingkungannya. Dalam konteks ini, rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan dibagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yakni desentralisasi fungsional serta desentralisasi teritorial yang terdiri dari otonomi dan tugas pembantuan.
(40)
Secara terminologis, cukup banyak pengertian otonomi yang dikemukakan oleh para pakar. Logemann (Koswara, 2001: 59) memberikan konsep otonomi sebagai berikut : “bahwa kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonom berarti memberi kesempatan kepadanya untuk menggunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya dan untuk mengurus kepentingan publik. Kekuasaan bertindak merdeka yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya itu adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif sendiri dan pemerintahan berdasarkan inisiatif sendiri.”
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dikemukakan tentang pengertian otonomi daerah, yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah didasarkan kepada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Desentralisasi dan otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan, pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan politik yang efektif. Dalam konteks ini, persoalan desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan erat dengan persoalan pemberdayaan, dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada masyarakat daerah untuk berprakarsa dan mengambil keputusan. Disamping itu, empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab dari organisasi pemerintahan
(41)
di tingkat daerah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan masyarakat daerahnya sendiri.
Isu otonomi daerah adalah isu yang paling aktual setelah berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 sampai pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Isu tersebut tidak hanya karena desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi, tetapi lebih dititik beratkan pada kebijakan pemerintah Orde Baru yang sangat sentralistik. Konsep desentralisasi memiliki dua pengertian yaitu desentralisasi politik dan desentralisasi administratif. Desentralisasi politik diartikan sebagai penyerahan kewenangan yang melahirkan daerah-daerah otonom, sedangkan desentralisasi administratif merupakan penyerahan kewenangan pelaksanaan implementasi program yang melahirkan wilayah-wilayah administratif, atau dengan kata lain pendelegasian sebagian dari wewenang untuk melaksanakan program terhadap tingkat yang lebih bawah. (Ichlasul Amal; 1990: 8).
Kebutuhan terhadap desentralisasi menurut Cheemo and Rondinelli (1983: 10) didorong oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kegagalan atau kurang efektifnya perencanaan yang terpusat dan pengawasan sentral dalam pembangunan.
2. Lahirnya teori-teori pembangunan yang lebih berorientasi kepada kebutuhan manusia.
3. Semakin kompleksnya permasalahan masyarakat yang tidak mungkin lagi dikelola secara terpusat.
(42)
Lebih lanjut Ryass Rasyid mengatakan tentang desentralisasi bahwa “Negara yang sentralistik cenderung tidak mampu menjawab secara cepat dan tepat semua kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dan daerah.” Paradigma pemerintahan dewasa ini berubah dengan pesat dan ada 5 (lima) pokok perubahan itu, yaitu :
1. Sentralisasi ke desentralisasi perencanaan pembangunan.
2. Pemerintahan besar ke pemerintahan kecil (big government ke small government)
3. Peningkatan Tax ke penuntunan Tax. 4. Privatisasi pelayanan, dan
5. Social capital ke individual capital (Rasyid, 1997: 8).
Pandangan tersebut adalah langkah antisipasi menyikapi perubahan (globalisasi dan demokratisasi) yang melanda kawasan dunia. Maka terhadap kekuatan tersebut bagi negara yang terbentuk kesatuan maupun federal jawabannya adalah desentralisasi. Setiap makhluk hidup memerlukan otonomi, demikian juga kelompok termasuk negara dan daerah memerlukan otonomi. Jadi otonomi adalah suatu kesatuan sosial dinamakan otonomi manakala terdapat suatu kesatuan tertentu, yang bebas bertindak atau memilih untuk bertindak, atau tidak melakukan jika menyukai untuk melakukannya (Susilo; 2000: 8).
Selanjutnya Tri Ratnawati mengklasifikasikan 4 (empat) tujuan utama desentralisasi, yaitu: (1) Bidang Ekonomi, dalam rangka mengurangi cost dan
(43)
menjamin pelayanan publik lebih tepat sasaran; (2) Bidang Politik, dalam upaya mengembangkan grassroots democracy dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan oleh pusat serta diharapkan mencegah disintegrasi nasional; (3) Bidang Administrasi, dalam rangka red tape birokrasi dan pengambilan keputusan menjadi lebih efektif; (4) Bidang Sosial Budaya, mengembangkan kebhinekaan dan budaya lokal (Jurnal Otonomi Daerah, 2002: 2).
Sementara itu menyangkut otonomi, secara filosofis ideologis dipandang sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan tumbangnya partisipasi yang luas bagi masyarakat dan mendorong agar daerah mampu membuat keputusan secara mandiri tanpa harus tergantung kepada pemerintah pusat (Siti Zuhro, 1990:18). Arti pentingnya otonomi juga dikemukakan oleh Kenichi Ohmae ialah otonomi adalah kata kunci untuk memajukan perekonomian negara untuk masa-masa depan dan batas negara akan ditembus oleh 4 (empat) faktor yaitu investment, individual consumers, industri and information (Jurnal Otonomi Daerah, 1999 : 18).
Mencermati secara empiris pandangan dan uraian diatas menunjukkan bahwa desentralisasi dan otonomi dalam kaitannya perkembangan kedepan tidak dapat ditunda lagi pelaksanannya. Artinya berlakunya Undang-undang No. 32 tahun 2004, dan banyaknya tuntutan daerah akan daerah otonom yang baru tentu dengan maksud penjabaran dari desentralisasi dan otonomi itu sendiri. Mekanisme dan pola yang sangat sentralistik selama ini dalam hubungan pemerintah Pusat-Daerah, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Akan tetapi persoalannya dalam kasus kita di Indonesia, desentralisasi dan otonomi ini apakah sudah merupakan komitmen yang
(44)
kuat oleh pemerintah dan masyarakat?. Dari hasil penelitian evaluasi percontohan otonomi daerah terdapat dua kecenderungan, yaitu; Pertama; Pemerintah Pusat dan Provinsi belum sungguh-sungguh mendukung pelaksanaan otonomi di Kabupaten/ Kota, dan Kedua; dianutnya sistem pemerintahan daerah yaitu desentralisasi dan dekonsentrasi membawa implikasi yang besar terhadap kelembagaan di daerah, yaitu dua kepentingan yang berbeda diterapkan bersama oleh pimpinan pemerintah di daerah (Jurnal Otonomi Daerah, 1999: 22).
Desentralisasi merupakan suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis. Hal pokok tentang desentralisasi tersebut adalah berhasil atau gagal pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan kadar responsivitas publik terhadap kepentingan politis dan sosial masyarakatnya. Kegagalan implementasi desentralisasi terutama ditunjukkan dari kemunduran ekonomi, ketidakstabilan politik dan merosotnya pelayanan publik (Sidik: 2001).
Tekanan demokratisasi dunia sekarang ini menunjuk pada trend
baru yaitu isu pemerintahan daerah. Alasannya bahwa tidak ada satu pemerintah dari suatu negara yang luas akan mampu secara efektif membuat public policies di segala bidang ataupun mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif dan efisien di seluruh wilayah negara itu. Demikian halnya di dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan
(45)
dan pembangunan. Pola-pola penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik menjadi kurang aktual, sehingga perlu pendekatan desentralistik.
Desentralisasi menurut Rondinelli (Sidik, 2001: 2) dapat dibagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu :
1. Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik.
2. Desentralisasi administratif (administrative decentralization), yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah.
b. Pendelegasian (delegation), yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh
(46)
pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (dicreation) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
c. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pemerintah daerah mendapat discreation
yang tidak dikontrol oleh pemerintah pusat.
3. Desentralisasi fiskal (fiscale decentralization), merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat.
4. Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), intinya berkaitan dengan kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar.
Desentralisasi dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diartikan sebagai penyerahan wewenang dari pemerintah kepada daerah
(47)
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang secara utuh dan bulat dilaksanakan pada daerah kabupaten dan kota.
United Nations memberikan pengertian tentang desentralisasi
sebagai : “The transfer of authority away from the national capital wether by deconcentration to field offices or by devolution to local
authorities or local bodies. Batasan ini menggariskan tentang bagaimana
proses kewenangan itu diserahkan dari pusat kepada lembaga pemerintah di daerah, baik melalui dekonsentrasi, maupun devolusi” (Koswara, 1998: 152).
Pemberian otonomi kepada daerah merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi teritorial. Wujudnya berupa hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Manifestasinya berupa penyerahan sebagian urusan pemerintahan dan sumber-sumber pembiayaan kepada pemerintah daerah yang pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab daerah sepenuhnya. Ini berarti bahwa prakarsa dan penentuan prioritas serta pengambilan keputusan sepenuhnya menjadi hak, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah.
James W. Fesler mendefinisikan desentralisasi sebagai distribusi kekuasaan yang mangalihkan atau memberikan pembuatan keputusan atau kebijakan khusus kepada level daerah sehingga daerah mempunyai kemandirian untuk membuat kebijakan sendiri (Warsito Utomo,1997).
(48)
Menurut Bryant (1987: 213-214), desentralisasi dalam kenyataan mengambil dua bentuk, yaitu yang bersifat administratif dan yang bersifat politik. Desentralisasi administratif biasanya disebut dekonsentrasi yang berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan sumber-sumber anggaran, namun mereka memiliki elemen kebijakan dan kekuasaan serta tanggung jawab dalam hal sifat hakikat jasa dan pelayanan pada tingkat lokal. Desentralisasi politik (devolusi) berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional dan lokal.
Pikiran ini sejalan dengan Rondinelli (Koswara,1998:153) yang menyatakan bahwa : “decentralization is the transfer of planning, decision making, or administrative authority from central government to its fields organization, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations, local government, or non government organization.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna utama desentralisasi terletak pada kewenangan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakannya sendiri sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat setempat. Dengan penerapan otonomi daerah banyak harapan
(49)
diletakkan bagi penyelesaian beragam permasalahan yang menghambat perkembangan dan kemajuan daerah.
2.4 Pemekaran Wilayah
Sistem pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik telah menyebabkan melemahnya kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi secara otonom. Strategi pelaksanaan pembangunan yang tidak terdesentralisasi telah menyebabkan kegiatan pelayanan masyarakat menjadi tidak responsif dan ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi antar daerah.
Pada sisi yang lain, pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini yang lebih menekankan pada pendekatan sektoral dan cenderung terpusat menyebabkan pemerintah daerah kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kapasitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat secara optimal. Kapasitas pemerintah daerah yang tidak optimal disebabkan oleh kuatnya kendali pemerintah pusat dalam proses pengambilan keputusan melalui berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan yang sangat rinci dan kaku. Hal tersebut diperparah oleh adanya keengganan beberapa instansi pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan, penyerahan tugas dan fungsi pelayanan, pengaturan perizinan dan pengelolaan sumber daya keuangan kepada pemerintah daerah. Kuatnya kendali pemerintah pusat yang semakin tinggi terhadap pemerintah daerah pada waktu yang lalu telah menyebabkan
(50)
hilangnya motivasi, inovasi dan kreativitas aparat daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Kemudian Pemerintah menyadari bahwa kebijakan pembangunan yang terlalu sentralistik mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itu maka salah satu amanat GBHN 1999-2004 menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan diarahkan untuk: “(1) Mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga otonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI; (2) Melakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi provinsi, kabupaten/ kota dan desa; (3) Mewujudkan perimbangan keuangan pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi; dan (4) Memberdayakan DPRD dalam rangka melaksanakan fungsi dan peranannya guna penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.”
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program pembangunan yang perlu diupayakan dalam mengembangkan otonomi daerah adalah : (1) Program peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kemampuan manajemen aparat pemerintah daerah; (2) Program peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang menyangkut mekanisme kerja, struktur organisasi dan peraturan perundang-undangan yang memadai guna menjamin pelaksanaan otonomi daerah; (3) Program penataan
(51)
pengelolaan keuangan daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah secara profesional, efisien, transparan dan bertanggung jawab; (4) Program penguatan Lembaga Non Pemerintah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterlibatan lembaga-lembaga non pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan, perencanaan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Lembaga-lembaga non pemerintah dimaksud adalah DPRD, badan permusyawaratan desa, lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat lainnya.”
Kebijakan pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu perwujudan dari pengembangan otonomi daerah. Oleh karena itu maka dalam rangka perencanaan pembangunan daerah di Indonesia, terdapat beberapa hal yang ingin dicapai (Rasyid, 1998): “Pertama, menyebarratakan pembangunan sehingga dapat dihindarkan adanya pemusatan kegiatan pembangunan yang berlebihan di daerah tertentu. Kedua, menjamin keserasian dan koordinasi antara berbagai kegiatan pembangunan yang ada di tiap-tiap daerah. Ketiga, memberikan pengarahan kegiatan pembangunan, bukan saja pada aparatur pemerintah, tetapi juga kepada masyarakat.”
Kebijakan pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara sebagai daerah otonom akan mencakup suatu wilayah hukum tertentu. Wilayah dalam tata pemerintahan Indonesia artinya lingkungan kerja pemerintahan umum (Rasyid, 1998). Secara administratif, lingkungan kerja pemerintahan berkaitan dengan batas-batas wilayah hukum suatu daerah atau juga disebut sebagai rumah tangga daerah.
(52)
Dalam rangka pembentukan daerah baru, pemberian status pada wilayah tertentu mengandung makna sebagai adanya daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang bisa merupakan pemekaran dari daerah induk.
Secara teoritis, untuk menjalankan fungsinya secara optimal, sedikitnya ada 7 (tujuh) elemen utama yang membentuk suatu pemerintah daerah otonom (Suwandi, 2002), yaitu:
1. Adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Urusan tersebut merupakan isi otonomi yang menjadi dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah.
3. Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan. 4. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi
daerah.
5. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah.
6. Adanya manajemen pelayanan publik agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomi dan akuntabel.
7. Adanya pengawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif dan efisien.
(53)
Menurut Sumodiningrat (1999), berkaitan dengan pemberian otonomi
kepada daerah maka perlu memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut, yakni : (1) Kemantapan lembaga; (2) Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai,
khususnya aparat pemerintah daerah; (3) Potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri.
Gagasan pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonom baru memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Secara yuridis landasan yang memuat persoalan pembentukan daerah terdapat dalam pasal 18 UUD 1945 yang intinya, bahwa membagi daerah Indonesia atas daerah besar (provinsi) dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi peluang pembentukan daerah dalam suatu NKRI, yaitu daerah yang dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Sementara itu, tujuan pemekaran daerah pada pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah dinyatakan bahwa : “tujuan dari pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan
(54)
pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.”
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 bertujuan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Jadi intinya adalah memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berlakunya Undang-undang tersebut menyebabkan terjadinya perubahan yang fundamental terhadap elemen-elemen pemerintahan daerah serta memerlukan penataan-penataan yang sistematis. Elemen utama yang membentuk pemerintah daerah itu adalah :
a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
b. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah.
c. Adanya personil yaitu pegawai daerah untuk menjalankan urusan otonomi. d. Adanya sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan pelaksanaan otonomi. e. Adanya unsur perwakilan rakyat yang merupakan perwujudan demokrasi di
daerah.
(55)
Dari uraian di atas pada dasarnya tersirat bahwa dimungkinkan adanya daerah otonom-daerah otonom baru diantaranya ditempuh melalui cara pemekaran daerah. Dimana pemekaran daerah dimaksud adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: (1) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (2) Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; (3) Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (4) Percepatan pengelolaan potensi daerah; (5) Peningkatan keamanan dan ketertiban; (6) Peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (Peraturan Pemerintah No.129 Tahun 2000). Bila dikaji lebih jauh pemekaran daerah adalah tuntutan masyarakat untuk pembentukan daerah yang baru, dengan cara memisah diri dari kesatuan wilayah pemerintahan daerah tertentu (H.A. Dj. Nihin, 2000). Sementara dalam Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, yang dimaksud dengan pemekaran daerah adalah pemecahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota menjadi lebih dari satu daerah.
Dari pengertian dan uraian diatas, cukup jelas bahwa pemekaran daerah merupakan tuntutan sebagian dari masyarakat untuk memisahkan dirinya dari daerah induknya membentuk suatu daerah baru baik itu provinsi, kabupaten atau kota dengan alasan-alasan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alasan-alasan tertentu mencakup yang bersifat lunak maupun keras terhadap Pemerintah Pusat, sifat lunak karena kondisi hubungan pusat dan daerah, dimana Pemerintah Pusat terlalu kuat, atau bisa juga sikap Pemerintah Pusat yang menganaktirikan Pemerintah Daerah sehingga terjadi kurang mesranya hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sedangkan yang bersifat keras lebih dikarenakan
(56)
alasan-alasan yang bersifat politik yaitu ingin memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia membentuk negara baru.
Secara teoritis, untuk menjalankan fungsinya secara optimal, sedikitnya ada 7 (tujuh) elemen utama yang membentuk suatu pemerintah daerah otonom (Suwandi, 2002), yaitu:
1. Adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Urusan tersebut merupakan isi otonomi yang menjadi dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah.
3. Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan. 4. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi
daerah.
5. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah.
6. Adanya manajemen pelayanan publik agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomi dan akuntabel.
7. Adanya pengawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif dan efisien.
(57)
Selanjutnya Sumodiningrat (1999), menjelaskan berkaitan dengan pemberian otonomi kepada daerah maka perlu untuk memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut, yakni : (1) Kemantapan lembaga; (2) Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, khususnya aparat pemerintah daerah; (3) Potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri.
2.5 Kriteria Kelayakan Pembentukan Kabupaten
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka suatu daerah otonom dapat dibentuk dengan memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria kemampuan ekonomi, diukur dengan
menggunakan indikator, PDRB dan PADS. PDRB diukur dengan menggunakan PDRB perkapita, laju pertumbuhan ekonomi, kontribusi PDRB terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Sedangkan PDS diukur dengan menggunakan rasio PDS terhadap pengeluaran rutin dan rasio PDS terhadap PDRB.
2. Kriteria potensi daerah, diukur dengan indikator rasio
(58)
10.000 penduduk, rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk, rasio pasar per 10.000 penduduk, rasio SD per penduduk usia SD, rasio SLTP per penduduk usia SLTP, rasio SLTA per penduduk usia SLTA, rasio penduduk usia perguruan tinggi per penduduk 19 tahun ke atas, rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk, rasio tenaga medis per 10.000 penduduk, rasio rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor roda 2, 3 dan 4 atau lebih, persentase pelanggan telepon terhadap jumlah rumah tangga, persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga, rasio kantor pos termasuk jasa-jasa per 10.000 penduduk, rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor, jumlah hotel/akomodasi lainnya, jumlah restoran/ rumah makan, jumlah obyek wisata, persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas, tingkat partisipasi angkatan kerja, persentase penduduk yang bekerja, rasio PNS terhadap penduduk.
3. Kriteria sosial budaya diukur dengan indikator rasio
(59)
pertunjukan seni per 10.000 penduduk, rasio panti sosial per 10.000 penduduk, fasilitas lapangan olah raga per 10.000 penduduk.
4. Kriteria sosial politik diukur dengan indikator rasio
penduduk yang ikut pemilu terhadap penduduk yang mempunyai hak pilih, jumlah organisasi masyarakat.
5. Kriteria jumlah penduduk.
6. Kriteria luas daerah diukur dengan indikator luas
daerah keseluruhan dan luas daerah terbangun.
7. Kriteria lain-lain diukur dengan indikator angka
kriminalitas per 10.000 penduduk, rasio gedung terhadap kebutuhan minimal gedung pemerintahan, rasio lahan terhadap kebutuhan minimal untuk sarana dan prasarana pemerintahan, rata-rata jarak dan lama waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan. Kemudian pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah adalah faktor keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana pemerintahan, rentang kendali, provinsi yang akan dibentuk minimal terdiri dari 3 (tiga) kabupaten atau kota.”
(60)
Sementara itu, prosedur pembentukan daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 pasal 16 dapat dijelaskan bahwa: “ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan, adanya studi awal oleh pemda, adanya usul pembentukan daerah yang disahkan melalui keputusan DPRD dan diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, kemudian Menteri menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, selanjutnya diusulkan kepada Presiden dan jika disetujui maka Rancangan Undang-undang dapat disampaikan kepada DPR Republik Indonesia untuk mendapat persetujuan.
(61)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan menganalisis proses kebijakan pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara, menganalisis kelayakan pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara. Dengan demikian penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sifat penelitian ini masih mencari-cari atau merupakan suatu langkah awal dari penjajakan secara mendalam terhadap fenomena yang dihadapi (Pujipurnomo, 1994).
Selanjutnya menurut Riswandha Imawan (2000) bahwa setiap penelitian pasti deskriptif (menjelaskan), maka penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Sedangkan Nawawi (1992) mengatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan jalan menggambarkan keadaan atau peristiwa pada saat sekarang berdasarkan pada fakta-fakta yang nampak sekarang. Metode deskriptif ini pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (1) Memusatkan diri pada masalah-masalah yang ada pada masa sekarang atau masalah-masalah yang aktual, (2) Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan kemudian dianalisis (Surrachmad, 1980).
Dari penjelasan di atas, maka penelitian studi kebijakan ini dilakukan dengan mengikuti alur logika induktif. Hal ini konsisten dengan apa yang dikemukakan Riswandha Imawan (ibid) bahwa konsekuensi metodologis dari jenis penelitian
(62)
eksploratif adalah berkaitan dengan logika induktif dan segala akibatnya. Sehubungan dengan logika berpikir induktif tersebut maka dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif (Singarimbun dan Effendi, 1995:3).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan data dan informasi mengenai proses berlangsungnya pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara.
3.3 Informan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, maka dalam penelitian ini tidak dikenal adanya sampel penelitian, melainkan informan penelitian. Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Lexy, 1998: 80). Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai masalah penelitian yang sedang dibahas, maka penelitian menentukan informan kunci (key informan). Atas dasar pertimbangan tersebut ditentukan informan penelitian sebagai berikut :
1. Pengurus Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batu Bara (GEMKARA). 2. Pengurus Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batu Bara
(BP3KB).
(63)
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) atau yang disebut oleh Singarimbun dan Effendi (1995:8) sebagai wawancara bebas. Teknik wawancara itu sendiri merupakan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Peneliti mengeksplorasi data dari informan untuk memperoleh informasi atau data yang diperlukan berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Selain teknik wawancara, studi dokumentasi akan dilakukan untuk memperoleh data tertulis dari berbagai sumber terutama dokumen pemerintah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, kajian-kajian dari pemerintah sehubungan dengan pengusulan pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara serta surat kabar dan laporan penelitian. Berkaitan dengan dokumentasi, Riswandha Imawan (2000:1) mengatakan bahwa dalam banyak kasus, penelitian harus lebih mengandalkan dokumentasi daripada survei. Orientasi teoritis serta perspektif yang diambil oleh peneliti yang membentuk satu permasalahan, sering mengharuskannya melakukan eksplorasi terhadap catatan-catatan masa lalu sebagai upaya untuk menghubungkan dengan subjek yang diteliti maupun objek penelitian itu sendiri. Data dokumentasi mengatasi kendala ruang dan waktu suatu penelitian, umumnya berbentuk verbal, yakni data dalam bentuk tulisan, catatan ataupun uraian tentang sesuatu hal.
(64)
3.5 Definisi Konsep
Menurut Masri Singarimbun (1989 : 31), konsep adalah istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat ilmu sosial.
Untuk memberikan batasan-batasan yang jelas dari masing-masing konsep guna menghindari adanya salah pengertian, maka definisi beberapa konsep yang dipakai dalam penelitian ini akan dikemukakan sebagai berikut :
1. Analisis Kebijakan; diartikan sebagai proses yang bermaksud untuk memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan yang baik, atau merupakan usaha yang bersifat multi disipliner untuk memperoleh data informasi guna memberikan alternatif pemecahan suatu masalah mengenai dampak dan resiko atau akibat yang diterima baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan oleh suatu obyek. Dalam kontek penelitian tesis ini obyek yang dimaksud adalah proses berlangsungnya kebijakan pemekaran wilayah yang menimbulkan dampak yang diterima oleh masyarakat di kabupaten baru (Kabupaten Batu Bara) akibat lahirnya kebijakan pemekaran wilayah.
2. Desentralisasi; dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 diartikan sebagai penyerahan wewenang Pemerintah kepada Pemerintah Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Otonomi Daerah; dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
(65)
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Pemekaran Wilayah Kabupaten Batu Bara; merupakan
serangkaian tindakan pemerintah yang dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk Batu Bara sebagai daerah otonom berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000. Serangkaian tindakan tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
3.6 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan serangkaian kegiatan untuk mengukur berbagai indikator dari variabel yang telah ditentukan. Konsep operasional adalah uraian dari konsep yang sudah dirumuskan dalam bentuk indikator-indikator sehingga lebih memudahkan operasionalisasi dari suatu penelitian.
Dalam hal ini definisi operasional dimaksudkan untuk menjadikan konsep-konsep di atas menjadi lebih terukur. Adapun definisi operasional dalam penelitian
(66)
ini adalah ”Analisis Kebijakan Pemekaran Wilayah Kabupaten Batu Bara dalam Perpektif Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000,” dapat diukur sebagai berikut :
1. Proses Berlangsungnya Kebijakan Pemekaran Wilayah Batu Bara
a. Perumusan masalah kebijakan merupakan kegiatan untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah para pihak yang berkepentingan dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan, yang diukur melalui indikator:
1. Sumber issue, dalam hal ini siapa yang pertama kali memunculkan issue
pemekaran wilayah tersebut.
2. Dampak masalah, yaitu apakah masalah tersebut berdampak hanya pada kelompok tertentu atau pada masyarakat secara keseluruhan.
3. Tanggapan para pihak yang berkepentingan terhadap masalah pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara.
b. Penyusunan agenda pemerintah adalah kegiatan untuk memilih dan menentukan masalah publik yang perlu mendapat prioritas utama, yang diukur dengan indikator:
- Tuntutan dan tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan.
(67)
- Dukungan Pemerintah Daerah dan DPRD Asahan terhadap pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara.
- Dukungan Pemerintah Pusat dan DPR Republik Indonesia terhadap pembentukan daerah Kabupaten Batu Bara.
c. Pengesahan kebijakan merupakan kegiatan bargainig dan persuasion yang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan, diukur dengan indikator :
1. Kesepakatan para pihak yang berkepentingan.
2. Opini publik, yaitu tanggapan secara umum masyarakat terhadap masalah pemekaran wilayah Batu Bara.
3. Dukungan administrasi, yaitu syarat-syarat atau kriteria menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 dalam proses pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara.
2. Dalam penelitian ini pemekaran Kabupaten Batu Bara dapat diukur dengan
indikator menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 sebagai berikut :
Tabel. 1 Indikator Pemekaran Wilayah Menurut Perspektif Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000
No Syarat/Kriteria Indikator Sub Indikator
1 Kemampuan Ekonomi
1.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
1. PDRB perkapita 2. Pertumbuhan ekonomi
3. Kontribusi PDRB terhadap PDRB total
(1)
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Lampiran peta cakupan wilayah digambarkan dengan skala 1:50.000. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Dalam rangka pengembangan Kabupaten Batu Bara khususnya guna perencanaan dan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat pada masa yang akan datang, serta pengembangan sarana dan prasarana pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, diperlukan adanya kesatuan perencanaan pembangunan. Untuk itu Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batu Bara harus benar-benar serasi dan terpadu penyusunannya dalam satu kesatuan sistem Rencana Tata Ruang Wilayah yang terpadu dengan Tata Ruang Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Peresmian kabupaten dan pelantikan Penjabat Bupati dapat dilakukan secara bersamaan dan pelaksanaannya dapat bertempat di ibu kota negara, atau ibu kota provinsi, atau ibu kota kabupaten.
Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
(2)
Penjabat Bupati Batu Bara diusulkan oleh Gubernur Sumatera Utara dengan pertimbangan Bupati Asahan.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12
Pembebanan biaya pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Batu Bara kepada APBD Provinsi Sumatera Utara dan APBD Kabupaten Asahan dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)
Untuk mencapai daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan, digunakan pegawai, tanah, gedung perkantoran dan perlengkapannya, serta fasilitas pelayanan umum yang telah ada selama ini dalam pelaksanaan tugas Pemerintah Kabupaten Asahan dalam wilayah calon Kabupaten Batu Bara.
Dalam rangka tertib administrasi, diperlukan tindakan hukum berupa penyerahan personel, aset, dan dokumen dari Pemerintah Kabupaten Asahan kepada Pemerintah Kabupaten Batu Bara.
Demikian pula BUMD Kabupaten Asahan yang berkedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kabupaten Batu Bara, untuk mencapai daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraannya, jika
(3)
dianggap perlu, diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Asahan kepada Pemerintah Kabupaten Batu Bara.
Dalam hal BUMD yang pelayanan/kegiatan operasionalnya mencakup kabupaten induk dan kabupaten baru, pemerintah daerah yang bersangkutan melakukan kerja sama.
Begitu juga utang piutang yang penggunaannya untuk Kabupaten Batu Bara diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Asahan kepada Pemerintah Kabupaten Batu Bara. Berkenaan dengan pengaturan penyerahan tersebut, dibuatkan daftar inventaris.
Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian sejumlah uang yang besarnya didasarkan pada Keputusan DPRD Nomor 25/K/DPRD/05 tanggal 4 Agustus 2005 dan Surat Keputusan Bupati Asahan Nomor 346-PEM/2006 tanggal 6 Oktober 2006.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memberikan bantuan dana” adalah pemberian sejumlah dana yang didasarkan pada Keputusan Gubernur Nomor 9003/3008/K/Thn 2006 tanggal 6 Nopember 2006.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Pengurangan dana alokasi umum adalah sebesar jumlah dana sesuai dengan kesanggupan Pemerintah Kabupaten Asahan yang belum dibayarkan.
Ayat (5)
Pengurangan dana alokasi umum adalah sebesar jumlah dana sesuai dengan kesanggupan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang belum dibayarkan.
(4)
Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Pasal 17
Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas. Pasal 19
Cukup jelas. Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
(5)
(6)