Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari
praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Otonomi Luas
Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah
pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya.
Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan
pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
b. Prinsip Otonomi Nyata
Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing.
c. Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab
Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang
pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tiga Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama
pelaksanaan otonomi daerah yaitu: 1 meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, 2 menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber
daya daerah, dan 3 memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan
terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Kita tidak menutup mata terhadap berbagai sisi positif dari diberlakukannya otonomi daerah
1
di Indonesia. Dari sudut kekuasaan, diantara sisi positif itu adalah semakin berkurangnya dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Sebelum otonomi
daerah, peran pemerintah pusat begitu besar terhadap berbagai sisi kehidupan masyarakat didaerah. Pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif,investasi, perizinan
mengikutsertakan kekuasaan pemerintah pusat. Intervensi pemerintah pusat dapat “menjadikan” atau “menggagalkan” suatu urusan.
Kini pemilihan kepala daerah tidak lagi dengan campur tangan pemerintah pusat yang keterlaluan. Hanya sebatas kewajaran sebagai negara kesatuan. Pemerintah pusat sebatas
mengeluarkan Surat Keputusan terhadap seorang kepala daerah. Itupun tanpa ada proses berbelit sepanjang masyarakat didaerah telah bersepakat siapa yang menjadi kepala
daerahnya. Ditariknya campur tangan pusat dalam pemilihan kepala daerah merupakan suatu kemajuan yang “luar biasa” dalam upaya memberikan kedaulatan yang lebih besar kepada
masyarakat daerah.
Namun demikian bukan juga otonomi daerah tanpa masalah. Ada banyak permasalahan yang muncul sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai negara yang
senantiasa bersedia melakukan evaluasi terhadap sistem yang diberlakukan,maka “deteksi dini” terhadap permasalahan-permasalahan setelah satu dasawarsa otonomi daerah
1
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pasal 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN
PENGGABUNGAN DAERAH
diharapkan membantu perbaikan sistem ini dimasa mendatang. Otonomi daerah juga menimbulkan beberapa bentuk sengketa. Bahkan sengketa yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Saya tidak se-ekstrim kelompok yang anti dengan otonomi daerah dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan. Bahkan temuan Lembaga Survey Indonesia LSI yang
menyatakan bahwa otonomi daerah dinilai gagal. Menurut LSI berdasarkan hasil riset yang dilakukan LSI di 33 provinsi, menunjukkan indikasi kebijakan otonomi telah gagal.
Mayoritas responden dalam survei itu berpendapat, keadaan daerah setelah berlaku otonomi tidak dirasakan menjadi lebih baik.
2
Namun demikian harus diakui ada berbagai permasalahan dari diterapkannya otonomi daerah. Jika penerapan otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan porsi keuangan
yang lebih besar kepada daerah,maka tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Masih juga terjadi ketimpangan antara pusat dan daerah. Pada tahun 2008 anggaran pusat dan daerah
adalah 70 berbanding 30. Berubah sedikit menjadi 69 dan 31 ditahun 2009. Tetap didominasi oleh pemerintah pusat.
Banyak permasalahan-permasalahan yang dapat diinventarisir sebagai upaya perbaikan penerapan otonomi daerah dimasa mendatang. Agar tulisan ini tidak melebar “kemana-
mana,” saya membatasi permasalahan utama otonomi daerah yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih implementasinya kedepan. Masalah pokok tersebut adalah
munculnya beberapa sengketa. Sengketa yang mungkin selama ini tidak pernah terbayangkan akan terjadi. Saya menjadikan dan membatasi pada empat sengketa yang dijadikan
permasalahan pokok dalam otonomi daerah.
Permasalahan pertama, otonomi daerah menyebabkan sengketa perbatasan didaerah. Kedua, otonomi daerah menyebabkan sengketa didaerah akibat pemekaran daerah. Ketiga,
otonomi daerah menimbulkan sengketa pengelolaan pertambangan. Permasalahan ke-empat, otonomi daerah menimbulkan sengketa pemilihan kepala daerah.
Saya harus menegaskan bahwa sekalipun makalah ini membahas empat sengketa akibat diterapkannya otonomi daerah, bukan berarti otonomi daerah “gagal total.” Ada banyak sisi
positif dari penerapan otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk berkembang secara lebih fkesibel.Bahkan “keuntungan lebih”
diperoleh oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.
2
Survei LSI : Otonomi Daerah Dinilai Gagal. http:www.lsi.or.idliputan237survei-lsi-otonomi- daerah-dinilai-gagal, akses 09 Januari 2008 jam 06:30
Permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut, tidak menjadikan otonomi daerah kehilangan pendukungnya. Hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia
LSI menunjukkan bahwa meski dianggap gagal menciptakan perubahan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, otonomi daerah masih tetap didukung oleh mayoritas
masyarakat Indonesia 73, hanya 27 yang menyatakan menolak otonomi daerah. Kondisi tersebut tergambar dalam grafik dibawah ini Sumber LSI, 2008.
Grafik:
Menerima atau Menolak Otonomi Daerah
1. Sengketa Perbatasan Di Daerah
Otonomi daerah ternyata melahirkan sengketa perbatasan wilayah. Suatu objek sengketa yang selama ini tidak pernah terbayangkan. Otonomi daerah menjadikan batas-
batas wilayah menjadi penting. Selama ini tidak begitu penting batas antar wilayah di Indonesia baik batas antar desa, antar kecamatan, antar kabupatenkota bahkan batas antar
provinsi. Salah satu alasannya dikarenakan apabila terjadi sengketa batas wilayah dapat diselesaikan dengan mudah oleh kepala pemerintahan yang lebih tinggi. Selain itu, selama
ini batas wilayah bukan persoalan yang terlalu penting dikarenakan daerah-daerah tidak memiliki otonomi dalam mengelola wilayahnya sendiri. Era otonomi daerah merubah semua
itu.
Ada beberapa alasan mengapa soal batas wilayah menjadi penting. Alasan pertama, era otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola
daerahnya. Keadaan ini menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya
alam yang melimpah. Faktanya, memang sebagian besar wilayah Indonesia sangat potensial kekayaan alamnya. Kondisi demikian ini memunculkan ego kedaerahan sehingga batas
wilayah menjadi penting agar ada kepastian “siapa memiliki batas mana.”
Alasan kedua, muncul ego etnis sebagai “orang daerah.” Dalam batas-batas tertentu muncul fanatisme “label” sebagai putra daerah. Kondisi ini juga memunculkan sikap
unwelcome
terhadap para pendatang yang juga menjadi alasan untuk memastikan batas wilayah yang kadang-kadang atas dasar
etnic-based
. Walaupun mungkin pembatasan wilayah atas dasar
etnic-based
ini hanya minoritas saja kejadiannya, tetapi tetap harus diwaspadai sebagai isu yang sangat rawan bagi kemungkinan konflik etnis di era otonomi
daerah.
Alasan berikutnya mengapa batas wilayah menjadi penting karena ada kemungkinan terjadinya pemekaran wilayah. Apabila suatu desa berencana memekarkan diri menjadi suatu
kecamatan, maka batas desa menjadi penting. Kecamatan terkadang harus pula dimekarkan karena kepentingan pembentukan kabupatenkota. Batas wilayah antar kecamatan menjadi
penting. Ironisnya, sebagian besar wilayah di Indonesia dari desa hingga ke negara umumnya tidak memiliki administrasi perbatasan yang baik. Wajar kalau kemudian diera
otonomi daerah dimana masing-masing daerah merasa “berdaulat” dan ingin “eksis,” batas- batas wilayah menjadi isu yang penting.
Untuk menjadikan keadaan menjadi lebih rawan, ternyata masing-masing wilayah memiliki batas wilayah yang tidak jelas. Tengok saja sengketa batas wilayah antara
kabupaten Muara Enim dengan kabupaten Ogan Ilir pada Januari 2009 di Sumsel, masing- masing ngotot dengan batas wilayah versi masing-masing. Kabupaten Ogan Ilir, misalnya,
mengandalkan peta zaman penjajahan Belanda yang bertuliskan Arab tahun 1921. Sedangkan kabupaten Muara Enim mengandalkan sejarah tapal batas menggunakan cerita
puyang.
3
Kedua argumentasi yang sama-sama sulit disesuaikan dengan perubahan zaman dan perubahan ketatanegaraan Indonesia.
Akibat pada satu sisi batas wilayah tidak jelas dan pada sisi lain ada keinginan untuk menguasai wilayah tertentu, baik tingkat desa, kecamatan, atau kabupaten maka disinilah
sumber sengketa. Keadaan yang akan semakin
worse
apabila ternyata daerah yang diperebutkan “konon khabarnya” kaya akan sumber daya alam. Di Sumatera Selatan
sengketa wilayah itu terjadi dibeberapa wilayah. Pada tahun 2007,misalnya, terjadi sengketa perbatasan antara kabupaten OKU Induk dengan kabupaten Muara Enim. Diyakini bahwa
3
Sriwijaya Post, “OI Andalkan Peta Belanda ME Ungkapkan Cerita Puyang,” Kamis, 8 Januari 2009, hal 1. Baca juga, Sumatera Ekspres, “10 Januari Cek Perbatasan,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 27 dan Sriwijaya Post,
Warga Kayuara Masih Trauma,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 1
wilayah yang disengketakan itu memang mengandung sumber minyak. Bahkan sengketa batas wilayah antara kabupaten Ogan Ilir dengan kabupaten Muara Enim pada Januari 2009
juga terkait dengan kepemilikan perkebunana kelapa sawit.
4
2. Sengketa di Daerah Akibat Pemekaran Wilayah
Otonomi daerah ternyata juga “meningkatkan selera” orang-orang didaerah untuk melakukan pemekaran wilayah.
5
Sejak 1999 wacana itu dikumandangkan, kini sudah terdapat 7 provinsi, 129 kabupaten, dan 29 kota baru hasil pemekaran. Pemekaran wilayah yang
memiliki efek domino dari berbagai sisi. Apabila suatu kabupaten dimekarkan, akan berpengaruh terhadap jumlah kecamatan kabupaten yang ditinggalkan. Wilayah yang jumlah
kecamatannya “dikurangi” kemudian juga melakukan pemekaran untuk menambah jumlah kecamatan yang terlanjur “diambil.”
4
Sekitar 175 warga Dusun III, desa Kayuara Batu Kecamatan Muara Belida, Muara Enim mengungsi ke desa Sungai Menang. Pengungsian itu diduga karena mereka diserang oleh warga desa Pulau Kabal, kecamatan
Inderalaya Selatan, Ogan Ilir OI. Sumatera Ekspres, Kamis, 8 Januari 2009, hal 11.
5
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN
PENGGABUNGAN DAERAH Pasal 16 1 Prosedur Pembentukan Daerah sebagai berikut: a ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan; b pembentukan Daerah harus didukung
oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; c usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah
dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD KabupatenKota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD; d usul pembentukan KabupatenKota disampaikan kepada
Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD KabupatenKota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan
dalam Keputusan DPRD; e dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya
menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; f berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut; g para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; h berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah
diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; i apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden; j
apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan. 2 Prosedur pemekaran Daerah sama dengan prosedur
pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
Efek domino juga terjadi pada penambahan berbagai fasilitas baik fasilitas perkantoran maupun fasilitas kendaraan dinas dan perumahan. Penambahan pegawai sudah pasti terjadi.
Kabupaten yang baru dibentuk juga membutuhkan Polres, pengadilan negeri, kejaksaan negeri atau perkantoran sejenis itu yang baru.
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, menyebutkan bahwa pemekaran suatu wilayah
harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Ada diantara daerah pemekaran justru kemudian menjadi beban bagi daerah induk dikarenakan tingginya biaya
pemekaran.
Sekedar contoh pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan UU No. 12007. Kabupaten Lahat –sebagai kabupaten induk-- diminta memberikan hibah ‘sesuai
kesanggupan’. Kesanggupan itu ditentukan jumlahnya yakni Rp 5 miliar. Sementara, provinsi induk Sumsel harus memberikan bantuan dana Rp10 miliar per tahun selama dua tahun
berturut-turut. Bandingkan dengan pembentukan Kabupaten Batu Bara di Sumatera Utara. UU No. 5 Tahun 2007 mengharuskan Pemda Asahan memberikan hibah Rp7,5 miliar per
tahun, dan Pemda Sumatera Utara memberikan bantuan dana Rp5 miliar per tahun selama dua tahun berturut-turut.
Belum lagi tercipta “lowongan” untuk menjadi anggota DPRD. Mungkin ada kursi lowong antara 40 s.d 45 orang. Ada kesempatan mejadi ketua DPRD. Terbuka juga peluang
untuk menjadi kepala daerah. Itu sebabnya banyak daerah di Indonesia tetap berkeinginan memekarkan wilayahnya. Jumlah daerah otonomi baru terus bertambah. Tengok saja
Undang-Undang yang disetujui bersama DPR dan Pemerintah selama ini. Pada tahun 2007 saja, 16 UU pertama yang dihasilkan justru mengatur pembentukan daerah otonomi baru
lihat tabel
.
Tabel 1 Pembentukan Daerah Otonomi Baru s.d April 2007
No. UU
2007 Daerah Otonomi Baru yang Dibentuk
1 Kab. Empat Lawang, Sumatera Selatan
2 Kab. Nageleo, Nusa Tenggara Barat
3 Kab. Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
4 Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara
5 Kab. Batu Bara, Sumatera Utara
6 Kab. Kayong Utara, Kalimantan Barat
7 Kab. Pidie Jaya, NAD
8 Kota Subulussalam, NA
9 Kab. Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara
10 Kab. Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara 11 Kab. Gorontalo Utara, Gorontalo
12 Kab. Bandung Barat, Jawa Barat 13 Kab. Konawe Utara
14 Kab. Buton Utara, Sulawesi Tenggara 15 Kab. Kep. Siau Tegulandang Biaro, Sulut
16 Kab. Sumba Barat Daya, NTT
Tabel diatas menunjukkan betapa tingginya minat daerah untuk memekarkan diri. Sepanjang Januari-April 2007 saja terdapat 16 kabupatenkotabaru di Indonesia. Patut diduga
bahwa jumlah tersebut terus bertambah sampai dengan akhir tahun 2007.
Sengketa di era otonomi daerah juga sebagai akibat terjadinya pemekaran wilayah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pemekaran wilayah membawa efek domino
yang rentan menimbulkan sengketa. Paling tidak ada empat macam sengketa yang terjadi akibat pemekaran wilayah. Ke-empat macam sengketa tersebut adalah: 1 sengketa asset
6
, 2 penentuan ibukota wilayah pemekaran
7
, 3 penolakan pemekaran oleh kepala daerah
8
, 4 penentuan batas wilayah
9
.
6
Persoalan asset seringkali muncul manakala kota yang baru terbentuk berlokasi diwilayah ibukota kabupaten induk kedua daerah berhimpitan. Persoalan asset terjadi dikarenakan kabupaten induk tidak mempersiapkan
sedari awal pada saat pengajuan RUU pembentukan daerah baru tersebut. Hasil studi yang saya lakukan bahwa dibeberapa daerah RUU diajukan tanpa melakukan persiapan yang baik melibatkan dua pihak pimpinan
tertinggi dikedua pemerintahan yang akan terpisah tersebut. Amzulian Rifai, Beberapa Permasalahan Hukum di Daerah Pada Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 6 September 2005, hal 17. Baca juga Amzulian
Rifai, Sengketa Asset Karena Pembentukan Daerah Baru, Penerbit UNSRI, Palembang, 2004.
7
Penentuan ibukota wilayah pemekaran juga terkadang menjadi sumber sengketa. Sebagian pihak menilai bahwa letak ibukota akan membawa dampak luas bagi kemajuan ekonomi suatu daerah karena berbagai fasilitas
yang mungkin didirikan.
3. Sengketa Pengelolaan Pertambangan
Otonomi daerah juga berdampak pada manajemen pengelolaan pertambangan. Sebelum otonomi daerah, izin pengelolaan pertambangan KP sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Pemerintah daerah “tidak bisa berbuat apa-apa” apabila para pemilik kuasa pertambangan telah memiliki izin dari pemerintah pusat.
Dibeberapa daerah terjadi konflik yang cukup serius dalam soal pengelolaan pertambangan. Konflik ini antara lain dikarenakan pemerintah tetap mempertahankan
kekuasaannya dibidang pertambangan.
10
Padahal secara jelas sistem pemerintahan ini telah berubah. Pola yang selama ini menggunakan istilah “pokoknya” tetap dipertahankan. Selama
ini sepanjang para pengusaha bidang pertambangan telah mengantongi izin pemerintah pusat maka seakan-akan daerah tidak boleh menolak apalagi menentang para pengelola
pertambangan tersebut. Tidak soal bagaimana cara mendapatkan izinnya. Tidak juga masalah apa akibat negatif bagi daerah karena aktivitas pertambangan tersebut. Akibatnya, sejak
dahulu hingga sekarang ini konflik pengelolaan pertambangan akan terus berlangsung dikarenakan pemerintah pusat tidak merubah pola hubungan pusat dan daerah tersebut.
Secara teori terjadi desentralisasi, namun dalam praktek pemerintah tidak konsisten dengan aturan yang telah dibuatnya sendiri. Lihat saja konflik-konflik pertambangan yang terjadi
dibanyak daerah.
Minimal ada empat faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik pertambangan.
Pertama,
pemerintah pusat tidak menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 secara konsekuen menyangkut pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Saya berfaham bahwa di era otonomi daerah pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan enam urusan saja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Ayat 3
diatas. Diluar ke-enam bidang tersebut menjadi urusan dan kewenangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat melaksanakan “otonomi setengah hati.” Undang-undang secara tegas
membagi urusan yang menjadi kewenangan masing-masing pemerintahan. Namun pemrintah pusat tetap memegang kendali diluar ke-enam bidang yang ditentukan oleh Pasal 10 Ayat 3
tersebut. Jika otonomi daerah dilaksanakan sepenuh hati seharusnya bidang-bidang:
8
Tidak semua kepala daerah dengan lapang dada menerima usulan pemekaran wilayahnya. Penolakan ini terjadi karena pemekaran wilayah dapat diartikan penggebosan luas wilayah kekuasaan. Biasanya proses
pemekaran wilayah dapat berlangsung dengan lancar dan didukung sepenuhnya oleh kepala daerah yang telah menjalani masa jabatan untuk periode yang kedua.
9
Sebagaimana diuraikan secara lebih rinci pada bagian sebelumnya bahwa penentuan batas wilayah juga rawan sengketa dengan berbagai alasan yang menjadi penyebabnya.
10
Walaupun terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang- Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun
1967.
pertambangan, pertanahan, kehutanan pengelolaannya juga diserahkan kepada daerah. Kenyataannya, pengaturan bidang ini tetap oleh pemerintah pusat. Ironisnya permasalahan-
permasalahan tetap ada. Bahkan diantaranya sangat serius. Lihat saja “skandal alih fungsi hutan, diantaranya alih fungsi hutan bakau untuk pelabuhan Tanjung Siapi-api TAA.”
Seharusnya pemerintah pusat tidak boleh ragu-ragu menyerahkan pengelolaan bidang-bidang tersebut kepada daerah. Tentu saja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan pengaturan yang jelas.
Penyebab yang kedua
terjadinya konflik pengelolaan pertambangan adalah akibat kesalahan dalam pengelolaannya. Selama ini bahan tambang hanya dipandang sebagai
komoditas mengumpulkan devisa atau pendapatan asli daerah. Tidak mencengangkan, jika para kepala pemerintah sibuk mengeluarkan ijin tambang agar bisa mengeruk bahan tambang
sebanyak mungkin, secepat mungkin, dan tiada henti. Pertimbangan terhadap kepentingan fungsi-fungsi kawasan pun dilupakan. Banyak wilayah tambang menjadi bertumpang-tindih
dengan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air, hutan lindung, lahan pertanian, perikanan, dan kawasan-kawasan lain yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan masyarakat
lokal.
Pada tataran inilah kemudian terjadi konflik. Terjadi konflik ”multi arah.” Masyarakat konflik dengan perusahaan. Tidak juga jarang terjadi masyarakat yang bersengketa di antara
sesama mereka sendiri. Bahkan di antara pemerintah sendiri, misalnya antar Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Departemen Kehutanan. Terjadi pula antara
pemerintah pusat dengan daerah.
Penyebab konflik pertambangan yang ketiga
, pemerintah mengingkari hak penduduk lokal dalam mengelola sumber daya alam mereka, termasuk dalam menentukan
pilihan ekonomi. Pengingkaran ini antara lain terlihat dengan jelas pada pasal 26 UU Pertambangan No 11 1967:
”...
apabila telah didapatkan izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah
diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya
. Makna dari pasal ini berarti Jika terdapat perusahaan tambang masuk sambil
mengantongi izin dari pemerintah pusat, maka penduduk lokal hanya bisa memilih: menerima ganti rugi pelepasan tanah yang biasanya dilakukan sepihak, atau, dipindah paksa
karena menolak ganti rugi itu. Biasanya dalam proses ganti rugi selalu saja dengan uang pengganti yang tidak layak.
Padahal, apabila diteliti lebih lanjut akan diketemukan jira tidak satupun tambang skala besar yang mendapatkan persetujuan penduduk lokal sebelum mereka menambang. Kondisi
inilah yang menjadi penyebab suburnya konflik tanah di awal operasi tambang yang terjadi hampir di semua lokasi pertambangan.
Bahkan terkadang kekerasan menjadi ujung dari konflik. Pembakaran
camp
di Dodo Rinti misalnya, terjadi akibat frustasi warga yang sudah empat kali berunjuk rasa menolak
hutan tangkapan airnya menjadi lokasi tambang Newmont. Dan sepanjang sejarah republik ini, jika berurusan dengan pertambangan, penduduk lokal seolah tak punya hak menolak dan
memilih model ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian, kehutanan, pariwisata atau perikanan.
Sedangkan penyebab ke-empat terjadinya konflik pengelolaan pertambangan baik
yang masuk kategori skala besar maupun kecil, dikarenakan daya rusak yang dahsyat bagi lingkungan sekitar. Kerusakan lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.
Biasanya didaerah dimana tambang tersebut beroperasi yang biasanya ditempat itu pula masyarakat setempat hidup dengan bergantung kepada tanah dan kekayaan alam mereka,
seluruh mata rantai operasi tambang bisa menurunkan mutu, sampai lenyapnya, kehidupan masyarakat. Mulai dari biofisik, sosial ekonomi, hingga politik tidak mungkin bebas dari
dampak operasi tambang, di tahapan manapun.
Kita kemudian menyaksikan kondisi yang menyesakkan dada dimana konflik-konflik yang terjadi di dunia pertambangan jarang sekali mendapatkan penyelesaian yang lebih
memihak kepada masyarakat lokal. Jika kita menyimak data yang diperoleh dari Kelompok Kerja Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pokja PA-PSDA, pada
tahun 2002 saja tercatat sekitar 143 konflik pertambangan.
Dalam banyak konflik, pemerintah sepertinya tidak menemukan cara terbaik dan berpihak kepada masyarakat lokal. Cara-cara yang digunakan tetap memihak kepada
pengusaha pertambangan. Diantara cara yang seringkali digunakan adalah pendekatan keamanan, yang lebih suka saya sebut pendekatan teror. Pendekatan yang biasa mereka
gunakan untuk sekedar meredam protes rakyat terhadap perusahaan daripada menyelesaikan akar masalah. Terkadang pemerintah tetap menggunakan aparat keamanan dalam meredam
konflik-konflik pertambangan. Cara yang bukan hanya tidak populer tetapi juga jauh dari upaya mensejahterahkan masyarakat lokal.
Penyebab konflik yang kelima
, ada perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan daerah. Pemerintah dan orang-orang didaerah beranggapan bahwa dengan otonomi
daerah maka pengelolaan pertambangan juga menjadi kewenangan daerah. Sedangkan
pemerintah pusat tetap mempertahankan kewenangan dibidang-bidang tertentu, termasuk di bidang pertambangan. Perbedaan persepsi ini akan terus meningkat seiring dengan sentimen
kedaerahan yang terus pula meningkat. Peningkatan yang juga dipicu masalah ekonomi, masalah lingkungan, masalah keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas pertambangan.
Walaupun kondisi kedepan akan berubah secara signifikan
entah membaik atau memburuk
dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun
1967.
4. Sengketa pemilihan kepala daerah
Sengketa ke-empat adalah sengketa yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah. Otonomi daerah merubah cara pemilihan kepala daerah yang sebelumnya oleh anggota
DPRD menjadi pemilihan secara langsung.
11
Memang ada yang menilai “lebih demokratis” tetapi tidak berarti zero problem. Malah menimbulkan sengketa Pilkada dibanyak daerah di
Indonesia. Baik sengketa hukum maupun sengketa antar pendukung yang tidak jarang menciptakan kerusuhan.
Ada beberapa penyebab mengapa terjadinya sengketa pemilukada. Pertama, adanya
dugaan terjadi kecurangan. Diantara kandidat menilai telah terjadi kecurangan. Misalnya terjadi penggelembungan suara. Ada pula kecurigaan ada unsur kesengajaan terjadinya
banyak pemilih yang tidak terdaftar. Apalagi ada
claim
bahwa pemilih yang tidak terdaftar tersebut adalah pendukung kandidat kepala daerah yang kalah. Biasanya, orang yang paling
mungkin melakukan kecurangan serupa ini adalah kandidat
incumbent
. Dengan berbagai kelebihan dan hak akses yang dimiliki. Lebih gawat lagi tensi ketegangannya apabila
kandidat sedang berkuasa yang berhasil terpilih.
Kedua,
ketidaktegasan sikap KPU dan lemahnya peran panitia pengawas Pemilu. KPU merupakan lembaga penentu terhadap kelangsungan pemilukada. Lembaga yang sangat
strategis karena dapat menjadikan seseorang sebagai kepala daerah atau wakil rakyat. Sebaliknya, dapat pula menghentikan mimpi seseorang untuk ”jadi orang.” Oleh karena itu
keputusan KPU sangat menentukan. Soal asli tidaknya ijazah seorang kandidat. Tentang lolos tidaknya seseorang untuk ikut dalam pemilukada. KPU pula yang menjadi lembaga final
untuk mengumumkan kepada publik soal siapa yang secara sah terpilih sebagai kepala daerah. Tidak heran kalau kemudian para anggota KPU didekati dengan berbagai cararupa.
Ada saja diantara anggota KPU yang terpengaruh dan berprilaku menyimpang. Akibatnya
11
UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 1 Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
tidak sedikit KPU yang mengalami
public mistrust
. KPU harus memiliki strategi jitu agar ada kepercayaan dan keyakinan bahwa KPU berlaku netral.
Ketiga,
ketidaksiapan kandidat menerima kekalahan. Salah satu indikasi bahwa kandidat tidak siap menerima kekalahan terjadinya perlawanan pasca pemilukada.
Perlawanan itu mungkin lewat pengadilan atau juga melalui perlawanan fisik. Memang dibanyak tempat upaya antisipatif itu dilakukan dengan adanya penandatangan dokumen
untuk siap kalah dan siap menang. Namun seringkali dokumen-dokumen yang sifatnya
morally binding
tersebut tidak dapat dijadikan jaminan bahwa tidak akan ada ”ribut-ribut” pasca pemilukada.
Ke-empat,
berubahnya sikap hakim Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pemilukada. Selama ini MK hanya ”melayani” sengketa perhitungan suara, tidak
menyangkut proses pelaksanaan Pilkada. Misalnya terbukti terjadi kecurangan yang sistematis seperti pada pemilukada Jawa Timur atau karena pilkada diikuti oleh salah satu
calon yang tidak berhak dan tidak memenuhi syarat seperti pada pemilihan kepala daerah Bengkulu Selatan.
12
Perubahan sikap para hakim MK ini justru akan ”meningkatkan minat” orang-orang didaerah untuk bersengketa hasil pemilihan kepala daerah ke Mahkamah
Konstitusi.
Bahwa sesungguhnya otonomi daerah bertujuan memberikan hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat. Kondisi ini diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat didaerah. Daerah yang memiliki pemimpin yang amanah dan
menjalankan peraturan perundang-undangan, akan mampu membawa kearah kebaikan.
Otonomi daerah juga memunculkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan itu munculnya berbagai sengketa. Diantara sengketa tersebut adalah sengketa perbatasan
wilayah, sengketa akibat pemekaran daerah, sengketa pengelolaan pertambangan, dan sengketa pemilihan kepala daerah.
12
Kompas, MK Batalkan Hasil Pilkada Bengkulu Selatan, Jum’at, 9 Januari 2009, hal 5.
BAB II Pro dan Kontra Pemekaran Daerah
Wajar jika muncul pro dan kontra terhadap pemekaran daerah otonomi baru DOB. Mereka yang pro karena menilai bahwa pembentukan daerah baru baik itu kota, kabupaten
atau provinsi mampu mempercepat laju pertumbuhan di wilayah tersebut. Pelayanan publik juga dirasakan lebih cepat karena jarak ke ibukota kabupaten provinsi menjadi lebih dekat
dibandingkan belum dilakukannya pemekaran wilayah.
Namun tidak sedikit juga pihak-pihak yang kurang memberikan dukungan bahkan menunjukkan sikap kontra terhadap pemekaran daerah. Kelompok ini menilai terkadang
motivasi pembentukan daerah baru bukan untuk kesejahteraan masyarakat tetapi lebih kepada upaya memperbanyak peluang mendapatkan jabatan.
Ada beberapa hasil kajian yang mencoba mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan apa yang terjadi di beberapa daerah hasil pemekaran tersebut. Ada bebera hasil studi yang
dapat dijadikan rujukan.
Bappenas pada, misalnya, pada 2005 telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan Daerah Otonom Baru DOB. Kajian ini secara khusus mempelajari permasalahan yang
terkait pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadi andalan dalam pengembangan ekonomi di beberapa kabupaten. Penelitian oleh Bappenas ini berlangsung di
Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara, Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat, Kota Tomohon Sulawesi Utara, Kabupaten Sumbawa Barat NTB dan Kota Tasikmalaya Jawa
Barat. Hasil kajian menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah PAD meningkat, tapi ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum DAU masih tetap tinggi. Selain itu, terjadi
pula peningkatan belanja pembangunan, meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih kecil. Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan kualitas pelayanan
masyarakat belum meningkat. Hal ini ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun awal memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan
keuangan daerahnya.
Lembaga Administrasi Negara 2005 juga melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136
kabupatenkota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap
terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Salah satu input dalam evaluasi ini adalah indeks pembangunan manusia.
Menurut hasil evaluasi terhadap aspek pelayanan publik, khususnya infrastruktur dasar, studi LAN 2005 menunjukkan bahwa rasio panjang jalan keseluruhan dengan luas wilayah
mengalami penurunan.
Sedangkan pada bidang kesehatan dan pendidikan terjadi peningkatan infrastruktur yang cukup berarti. Kemudian, dalam hal demokrasi lokal yang dilihat dari penggunaan hak
pilih pada pemilu, angka partisipasi cukup tinggi. Meski studi ini tidak secara langsung berkaitan dengan daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah
yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama.
Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri 2005 melakukan penelitian Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk
menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada. Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat
kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi, karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat.
Studi ini menemukan bahwa kelembagaan yang terbentuk belum sepenuhnya disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah. Beberapa masalah
timbul, seperti jumlah kelembagaan SKPD yang cenderung berlebihan, struktur organisasi yang cenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi
kelembagaan yang baik. Di sektor keuangan daerah, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan mampu mengelola keuangannya. Problem utamanya adalah rendahnya
kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, khususnya PAD.
Ditinjau dari aspek aparatur, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan sangat mampu dalam pengelolaan pemerintahannya. Dilihat dari ketersediaan, kualifikasi
yang dimiliki, serta kesesuaian antara personil yang ada dan struktur yang tersedia. Secara umum, DOB belum mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan di atas.
13
Sikap pro dan kontra itu akan terus ada. Namun realitanya bahwa upaya untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom
13
Hasil kajian studi dikutip dari
Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas bekerjasama dengan United Nations Development Programme UNDP,
http:www.undp.or.idpubsdocspemekaran_ID.pdf, akses, 11 Juli 2013 jam 09:24
baru yang dianggap lebih mudah daripada waktu sebelumnya. Sebenarnya, salah satu pertimbangan kemudahan tersebut adalah untuk percepatan pertumbuhan demokrasi di
daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonom baru. Pada Pasal 6 ayat 1 dan 2 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan: “Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai
dengan perkembangan daerah”
Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46 ayat 3 dan 4, sebagai berikut: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa
daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih?. Pada ayat 4 disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua
daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan: “Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”
Secara yuridis, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus
dipenuhi dalam melakukan pemekaran.
Mengutip Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah yang meneliti berbagai faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria
yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia.
Bahwa dalam penelitian tersebut metode yang digunakan dalam kajian ini bersifat kualitatif dan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Lokus kajian ini
adalah 14 empat belas Provinsi dan 28 dua puluh delapan kabupatenkota, yaitu :
1. Provinsi Jawa Barat Kota Banjar dan Kabupaten Ciamis 2. Provinsi Banten Kota Cilogon dan Kabupaten Serang
3. Provinsi Riau Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis 4. Provinsi Kepulauan Riau Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam
5. Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai 6. Provinsi Lampung Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tanggamus
7. Provinsi Bangka Belitung Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Tengah
8. Provinsi Sulawesi Utara Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa 9. Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe
10. Provinsi Kalimantan Timur Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Kutai
Timur 11. Provinsi Gorontalo Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo
12. Provinsi Maluku Utara Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan 13. Provinsi Papua Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura
14. Provinsi Irian Jaya Barat Kabupaten Sorong dan Kota Sorong
Kajian ini telah memperoleh temuan-temuan lapangan yang menarik, di antaranya: 1. Alasan utama pemekaran daerah ternyata lebih didasarkan pada faktor emosional,
bukan rasional. 2. Implikasi pemekaran daerah, telah menambah beban anggaran pemerintahan negara.
3. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan pemekaran telah mengacu pada PP
No. 129 Tahun 2000, tetapi pada kenyataannya daerah yang bersangkutan tidak menunjukkan kemajuan progress sebagaimana yang diharapkan.
Fakta bahwa pemekaran daerah telah menjadi euforia di era otonomi daerah pasca reformasi menjadi tidak terbantahkan. Sampai awal 2007, jumlah daerah otonom baru
sebanyak 7 provinsi dan 162 kabupatenkota, sehingga total provinsi sebanyak 33 dan kabupatenkota sebanyak 473. Sebuah pertumbuhan pemerintahan daerah yang luar biasa,
terutama
jika dibandingkan
dengan masa
Orde Baru.
Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran daerah adalah:
1. Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan
utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung pemekaran dari
Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Irian Jaya Barat pemekaran dari Provinsi Papua serta pemekaran Kabupaten Keerom pemekaran dari Kabupaten Jayapura.
2. Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu
bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh: Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja
Ternate Alm. Zainal Abidin Syah dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping
itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara Amerika Serikat.
3. Alasan kultural atau budaya etnis, dimana pemekaran daerah terjadi karena
menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk
Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten
Minahasa.
4. Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat
pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur seperti Papua Keerom dan Irian Jaya Barat Kabupaten Sorong, dan pemekaran
yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur Kutai Timur, Sulawesi Tenggara Konawe Selatan, Sumatera Utara Serdang Bedagai, dan Lampung
Tanggamus.
5. Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari
pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah
pusat DAU dan DAK.
6. Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan.
Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi
Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari sisi implikasi, Pembentukan daerah otonom baru telah menimbulkan berbagai implikasi yang terjadi pada semua level pemerintahan, baik bagi pemerintahan daerah
maupun pemerintahan pusat.
1. Implikasi pemekaran daerah terhadap daerah, antara lain :
a. Pembentukan kelembagaan baru : Pemekaran daerah menimbulkan implikasi
bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan organisasi pusat di daerah. Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka
terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah Dinas dan Lembaga Teknis Daerah, DPRD, dan BUMD.
b. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah
dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan
daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya. Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara mengenai proses
penyerahan P3D penganggaran, peralatan, personel dan dokumen yang tidak tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk
selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah.
c. Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di