Sengketa Pengelolaan Pertambangan Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab

3. Sengketa Pengelolaan Pertambangan

Otonomi daerah juga berdampak pada manajemen pengelolaan pertambangan. Sebelum otonomi daerah, izin pengelolaan pertambangan KP sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah “tidak bisa berbuat apa-apa” apabila para pemilik kuasa pertambangan telah memiliki izin dari pemerintah pusat. Dibeberapa daerah terjadi konflik yang cukup serius dalam soal pengelolaan pertambangan. Konflik ini antara lain dikarenakan pemerintah tetap mempertahankan kekuasaannya dibidang pertambangan. 10 Padahal secara jelas sistem pemerintahan ini telah berubah. Pola yang selama ini menggunakan istilah “pokoknya” tetap dipertahankan. Selama ini sepanjang para pengusaha bidang pertambangan telah mengantongi izin pemerintah pusat maka seakan-akan daerah tidak boleh menolak apalagi menentang para pengelola pertambangan tersebut. Tidak soal bagaimana cara mendapatkan izinnya. Tidak juga masalah apa akibat negatif bagi daerah karena aktivitas pertambangan tersebut. Akibatnya, sejak dahulu hingga sekarang ini konflik pengelolaan pertambangan akan terus berlangsung dikarenakan pemerintah pusat tidak merubah pola hubungan pusat dan daerah tersebut. Secara teori terjadi desentralisasi, namun dalam praktek pemerintah tidak konsisten dengan aturan yang telah dibuatnya sendiri. Lihat saja konflik-konflik pertambangan yang terjadi dibanyak daerah. Minimal ada empat faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik pertambangan. Pertama, pemerintah pusat tidak menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 secara konsekuen menyangkut pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Saya berfaham bahwa di era otonomi daerah pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan enam urusan saja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Ayat 3 diatas. Diluar ke-enam bidang tersebut menjadi urusan dan kewenangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat melaksanakan “otonomi setengah hati.” Undang-undang secara tegas membagi urusan yang menjadi kewenangan masing-masing pemerintahan. Namun pemrintah pusat tetap memegang kendali diluar ke-enam bidang yang ditentukan oleh Pasal 10 Ayat 3 tersebut. Jika otonomi daerah dilaksanakan sepenuh hati seharusnya bidang-bidang: 8 Tidak semua kepala daerah dengan lapang dada menerima usulan pemekaran wilayahnya. Penolakan ini terjadi karena pemekaran wilayah dapat diartikan penggebosan luas wilayah kekuasaan. Biasanya proses pemekaran wilayah dapat berlangsung dengan lancar dan didukung sepenuhnya oleh kepala daerah yang telah menjalani masa jabatan untuk periode yang kedua. 9 Sebagaimana diuraikan secara lebih rinci pada bagian sebelumnya bahwa penentuan batas wilayah juga rawan sengketa dengan berbagai alasan yang menjadi penyebabnya. 10 Walaupun terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang- Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967. pertambangan, pertanahan, kehutanan pengelolaannya juga diserahkan kepada daerah. Kenyataannya, pengaturan bidang ini tetap oleh pemerintah pusat. Ironisnya permasalahan- permasalahan tetap ada. Bahkan diantaranya sangat serius. Lihat saja “skandal alih fungsi hutan, diantaranya alih fungsi hutan bakau untuk pelabuhan Tanjung Siapi-api TAA.” Seharusnya pemerintah pusat tidak boleh ragu-ragu menyerahkan pengelolaan bidang-bidang tersebut kepada daerah. Tentu saja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pengaturan yang jelas. Penyebab yang kedua terjadinya konflik pengelolaan pertambangan adalah akibat kesalahan dalam pengelolaannya. Selama ini bahan tambang hanya dipandang sebagai komoditas mengumpulkan devisa atau pendapatan asli daerah. Tidak mencengangkan, jika para kepala pemerintah sibuk mengeluarkan ijin tambang agar bisa mengeruk bahan tambang sebanyak mungkin, secepat mungkin, dan tiada henti. Pertimbangan terhadap kepentingan fungsi-fungsi kawasan pun dilupakan. Banyak wilayah tambang menjadi bertumpang-tindih dengan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air, hutan lindung, lahan pertanian, perikanan, dan kawasan-kawasan lain yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan masyarakat lokal. Pada tataran inilah kemudian terjadi konflik. Terjadi konflik ”multi arah.” Masyarakat konflik dengan perusahaan. Tidak juga jarang terjadi masyarakat yang bersengketa di antara sesama mereka sendiri. Bahkan di antara pemerintah sendiri, misalnya antar Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Departemen Kehutanan. Terjadi pula antara pemerintah pusat dengan daerah. Penyebab konflik pertambangan yang ketiga , pemerintah mengingkari hak penduduk lokal dalam mengelola sumber daya alam mereka, termasuk dalam menentukan pilihan ekonomi. Pengingkaran ini antara lain terlihat dengan jelas pada pasal 26 UU Pertambangan No 11 1967: ”... apabila telah didapatkan izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya . Makna dari pasal ini berarti Jika terdapat perusahaan tambang masuk sambil mengantongi izin dari pemerintah pusat, maka penduduk lokal hanya bisa memilih: menerima ganti rugi pelepasan tanah yang biasanya dilakukan sepihak, atau, dipindah paksa karena menolak ganti rugi itu. Biasanya dalam proses ganti rugi selalu saja dengan uang pengganti yang tidak layak. Padahal, apabila diteliti lebih lanjut akan diketemukan jira tidak satupun tambang skala besar yang mendapatkan persetujuan penduduk lokal sebelum mereka menambang. Kondisi inilah yang menjadi penyebab suburnya konflik tanah di awal operasi tambang yang terjadi hampir di semua lokasi pertambangan. Bahkan terkadang kekerasan menjadi ujung dari konflik. Pembakaran camp di Dodo Rinti misalnya, terjadi akibat frustasi warga yang sudah empat kali berunjuk rasa menolak hutan tangkapan airnya menjadi lokasi tambang Newmont. Dan sepanjang sejarah republik ini, jika berurusan dengan pertambangan, penduduk lokal seolah tak punya hak menolak dan memilih model ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian, kehutanan, pariwisata atau perikanan. Sedangkan penyebab ke-empat terjadinya konflik pengelolaan pertambangan baik yang masuk kategori skala besar maupun kecil, dikarenakan daya rusak yang dahsyat bagi lingkungan sekitar. Kerusakan lingkungan yang sulit untuk dipulihkan. Biasanya didaerah dimana tambang tersebut beroperasi yang biasanya ditempat itu pula masyarakat setempat hidup dengan bergantung kepada tanah dan kekayaan alam mereka, seluruh mata rantai operasi tambang bisa menurunkan mutu, sampai lenyapnya, kehidupan masyarakat. Mulai dari biofisik, sosial ekonomi, hingga politik tidak mungkin bebas dari dampak operasi tambang, di tahapan manapun. Kita kemudian menyaksikan kondisi yang menyesakkan dada dimana konflik-konflik yang terjadi di dunia pertambangan jarang sekali mendapatkan penyelesaian yang lebih memihak kepada masyarakat lokal. Jika kita menyimak data yang diperoleh dari Kelompok Kerja Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pokja PA-PSDA, pada tahun 2002 saja tercatat sekitar 143 konflik pertambangan. Dalam banyak konflik, pemerintah sepertinya tidak menemukan cara terbaik dan berpihak kepada masyarakat lokal. Cara-cara yang digunakan tetap memihak kepada pengusaha pertambangan. Diantara cara yang seringkali digunakan adalah pendekatan keamanan, yang lebih suka saya sebut pendekatan teror. Pendekatan yang biasa mereka gunakan untuk sekedar meredam protes rakyat terhadap perusahaan daripada menyelesaikan akar masalah. Terkadang pemerintah tetap menggunakan aparat keamanan dalam meredam konflik-konflik pertambangan. Cara yang bukan hanya tidak populer tetapi juga jauh dari upaya mensejahterahkan masyarakat lokal. Penyebab konflik yang kelima , ada perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan daerah. Pemerintah dan orang-orang didaerah beranggapan bahwa dengan otonomi daerah maka pengelolaan pertambangan juga menjadi kewenangan daerah. Sedangkan pemerintah pusat tetap mempertahankan kewenangan dibidang-bidang tertentu, termasuk di bidang pertambangan. Perbedaan persepsi ini akan terus meningkat seiring dengan sentimen kedaerahan yang terus pula meningkat. Peningkatan yang juga dipicu masalah ekonomi, masalah lingkungan, masalah keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas pertambangan. Walaupun kondisi kedepan akan berubah secara signifikan entah membaik atau memburuk dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967.

4. Sengketa pemilihan kepala daerah