2.4 Kepercayaan Masyarakat Ngadha
Seluruh masyarakat kabupaten Ngadha mayoritas beragama Katolik. Meskipun demikian mereka tetap mempraktekkan dan menghayati kepercayaan
asli. Kepercayaan asli meliputi kepercayaan pada wujud tertinggi, roh nenek moyang, dan mahluk halus Veronika, 2005:87-89. Berikut akan dipaparkan
masing-masing kepercayaannya:
2.4.1 Percaya Pada Wujud Tertinggi Dewa Zeta Nitu Zale
Dewa Zeta Nitu Zale, terdiri dari empat kata yang mempunyai artinya tersendiri secara terpisah. Namun jika disatukan mengandung suatu pemahaman
yang bulat, utuh tak terpisahkan dan diucapkan sebagai satu kesatuan. De kata ganti penanya yang menyatakan tempat. Misalnya wi de artinya dimanakah, kata
penanya yang menyatakan tempat yang tepat. Dewa dasar yang tepat berada dimana? De wa wi de? Dasar, sumber
asalnya yang tepat berada di atas yang disebutnya Zeta. Di atas yang menunjukan tempat yang tinggi, tempat yang agung, atau keagungan. Tanggapan ‘di atas’
berdasarkan pada pengalaman manusia, seperti hujan dari atas. Namun sampai dimana tingginya, tidak disebutkan batasnya. Sedangkan tempat yang tinggi,
hanya di ukur dengan kemampuan pandangan mata manusia yang memandang ke atas langit. Orang Ngadha memahami Dewa sebagai satu dasar atau sumber yang
tepat dan transparan, terselubung dibalik pengelihatan mata biasa manusia. Dalam lingkup sosial budaya masyarakat kabupaten Ngadha wujud
tertinggi disebut dengan nama Ema Dewa. Ema Tuhan adalah Bapak yang selalu
memberikan sesuatu, yang penuh kasih sayang dan yang selalu menjadi sandaran manusia di dalam hidupnya. Dewa adalah wujud tertinggi sebagai penguasa
manusia dan alam semesta. Allah disebut dengan berbagai nama yaitu Dewa Zeta, Tua Dewa, Mori Dewa dan Ema Mori Bhu. Dewa Zeta dipahami sebagai Tuhan
yang menjadi penguasa langit dan keberadaanya adalah sebuah misteri yang tidak kelihatan dan diyakini akan mendatangkan kebaikan kalau manusia berbuat baik
dan akan mendatangkan malapetaka kalau menusia tidak setia kepada-Nya. Karena itu masyarakat Ngadha selalu percaya bahwa segala sesuatu yang di
berikan akan kembali kepada-Nya.
2.4.2 Percaya Pada Leluhur
Dalam upacara Reba ada banyak rangkaian upacara yang diawali dengan mengundang Sang Pencipta. Dalam memulai suatu upacara, arwah leluhur atau
roh nenek moyang menjadi mediator untuk menghantar permohonan keselamatan atau keberhasilan kepada Tuhan. Keberhasilan segala usaha dianggap tergantung
pada kekuatan supranatural sehingga setiap usaha yang dianggap penting disertai dengan upacara, khususnya ditujukan untuk memperoleh restu dari nenek moyang
terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakat Soejono,1984. Kontak atau komunikasi dengan arwah nenek moyang atau leluhur melalui pengucapan mantra
dan pemberian sesajen. Mereka yakin bahwa Tuhan-lah sumber kebaikan, pemberi berkat dalam usaha pertanian atau perladangan.
Dalam upacara sesajen Tuhan selalu di sapa: Dewa Zeta Nitu Zale, artinya Tuhan penguasa langit dan bumi. Masyarakat Ngadha sebagai masyarakat agraris
yakin bahwa arwah leluhur dianggap sangat berpengaruh dalam aktifitas berladang. Masyarakat memiliki pengetahuan empiris di bidang perkebunan. Magi
merupakan hal yang tidak terpisahkan dari keberhasilan di bidang perkebunan. Pemujaan terhadap leluhur menjadi salah satu bagian penting dari kegiatan
suku-suku atau menjadi identitas suku-suku. Masyarakat kabupaten Ngadha yakin akan campur tangan leluhur atas kehidupan manusia. Para leluhur orang mati
tetap hidup dalam wujud Roh, Semua yang telah meninggal di jemput oleh leluhurnya ke tempat yang sama. Contoh konkrit yang biasa dilakukan adalah
ketika bekerja dari pagi hingga matahari yang sudah menjelang terbenam semua orang di sarankan untuk berhenti semua dari kegiatan kerja karena akan
bergantian para leluhur yang akan menggarap lahan itu. Hal ini merupakan suatu wujud kepercayaan yang menyatakan bahwa para leluhur akan datang
mengunjungi manusia yang hidup pada malam hari dan melihat hasil kerja manusia tersebut. Masyarakat Ngadha percaya bahwa setelah kematian akan ada
kehidupan lain lagi yang abadi. Pemujaan leluhur dibuat dengan memberikan sesajian pada saat-saat
tertentu, Pemberian makan kepada leluhur dengan maksud untuk menghadirkan mereka dalam setiap kegiatan dan senatiasa menjaga agar jangan sampai terjadi
hal yang tidak diinginkan bersama. Banyak sekali uapacara-upacara yang dilakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan ini. Pemberian makanan
kepada leluhur dapat dilakukan ditempat-tempat seperti: di dalam rumah, di tugu batu, di depan rumah ataupun di kuburan serta di tempat yang dianggap sebagai
penghuni roh leluhur. Makanan dan minuman bisa tergantung pada makanan
semasa hidup atau makanan yang di anggap khusus dan paling disukai seperti, hati ayam, hati babi, atau berupa daging isi, serta minuman berupa moketuak dan
sirih atau pinang. Hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa orang mati tetap membutuhkan perhatian dan penghormatan dari manusia yang masih hidup.
Hidup di dunia hanya sementara, dan kelak semua anggota keluarga akan bersatu kembali dalam suasana yang baru.
2.4.3 Percaya Pada Mahluk Halus Nitu Zale