Pengantar Rangkuman Proses Ritual Upacara Reba

BAB III PROSES RITUAL UPACARA REBA

3.1 Pengantar

“Proses” adalah rangkaian tindakan, perbuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk KBBI, 1988: 703. Ritual adalah hal-hal yang berkenaan dengan ritus. Sedangkan pengertian ritus adalah tata cara dalam upacara keagaamaan KBBI, 1998:751. Jadi yang dimaksud dengan proses ritual dalam penelitian ini adalah rangkaian tindakan yang berkenaan dengan ritual upacara adat Reba bagi masyarakat Ngadha. Berikut ini akan dijelaskan proses ritual upacara Reba di Kabupaten Ngadha;

3.2 Proses Pelaksanaan Ritual Adat Reba di Kabupaten Ngadha

Pada umumnya setiap perayaan atau upacara memiliki tahapan dalam pelaksanaanya. Demikian pula proses pelaksanaan ritual adat Reba ini mempunyai empat tahapan besar yaitu tahapan persiapan, perayaan awal, perayaan inti, dan perayaan akhir. Setiap tahap mempunyai upacara masing-masing dan semuanya harus di patuhi oleh setiap peserta ritual adat Reba ini.

3.2.1 Persiapan

Pada tahap persiapan, jauh-jauh hari sebelum perayaan Reba kurang lebih sebulan warga masyarakat menyiapakan segala kebutuhan untuk perayaan Reba. Barang-barang kebutuhan tersebut antara lain; kayu api kaju lasa, ubi, beras, 42 tuak moke, ayam, babi, kelapa, pisang, aurbambu, daun kelor, dan lain-lain. Selama masa itu, ada hal-hal tabu atau larangan seperti tidak membawa unsur- unsur biota laut pantai seperti, ikan, daun lontar, terumbu karang, dan lain-lain. Jangka waktu tersebut dianggap suci, sakral, atau tempus sacrum Daeng, 2000. Bila hal itu dilanggar maka akan terjadi bencana seperti angin ribut badai. Di samping itu warga juga menyiapkan pakian adat secara lengkap dengan semua aksesorisnya. Pada perayaan Reba ada sebuah properti yang disebut tuba yaitu semacam tongkat yang diukir terbuat dari kayu dan pada ujung atasnya diikatkan bulu kambing yang berwarna putih. Selain menyiapakan barang-barang kebutuhan, warga juga membersihkan tempat-tempat khusus yang akan digunakan sebagai tempat upacara ritual selama masa Reba seperti Watu Lanu, Meri, Ngedu, dan Keka Lela Ela, nama tempat untuk pelaksanaan upacara pemotongan ubi. Upacara pembersihan mengandung makna penyucian semua simbol yaitu tempat upacara, simbol pertanian, simbol rohani, termaksud penyucian secara utuh seluruh keluarga, para leluhur, agar pelaksanaan upacara Reba selanjutnya tidak mengalami hambatan. Menurut kepercayaan adat, orang bisa tertimpa sakit, bila tidak memperhatikan atau mempersiapkan tempat-tempat ini Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.

3.2.2 Perayaan Awal

Ada beberapa upacara ritual awal yang dilaksanakan oleh masing-masing Reba di setiap kecamatan yang akan diadakan, yaitu: Rebha, Tege Kaju Lasa, dan Reba Bhaga. Ketiga upacara ini dilaksanakan pada pagi, dan siang hari sebelum malam pertama perayaan inti Reba yaitu Kobhe Dheke. Berikut deskripsi pelaksanaan upacara-upacara ritual awal tersebut.

3.2.2.1. Rebha

Rebha adalah salah satu upacara perayaan awal yang dilaksanakan pada pagi hari pertama sebelum kobe dheke, yang dilaksanakan di kebun atau ladang sebelum upacara persiapan berikutnya yaitu tege kaju lasa, Rebha dilaksanakan untuk memohon berkat Tuhan melalui arwah leluhur agar tujuh tanaman ngaza lima zua tumbuh subur dan menghasilkan panen yang berlimpah, ketujuh tanaman tersebut adalah padi pare, jagung hae, jali ke’o, jagung solor hae lewa, jewawut wete, jemali ghedho, dan kacang-kacangan hobho. Ketujuh tanaman ini ditanam bersama-sama di dalam kebun atau ladang. Proses upacara rebha sebagai berikut, beberapa orang dari masing-masing suku atau warga rumah adat ana sa’o dua atau tiga orang, berangkat dari kampung menuju ke kebun membawa serta parang, pisau, satu ekor ayam kecil, satu buah kelapa muda yang masih kecil boko nio dan nasi. Di kebun mereka langsung menuju sebuah tempat di dalam kebun yang benama mata tewi. Mata tewi merupakan sebuah tempat yang berukuran kurang lebih 2x2 m, yaitu tempat penanaman atau penyimpanan ubi uwi, pada keempat sudutnya ditanami ubi, sedangkan ditengahnya ditanami pisang atau tebu. Lanu adalah sebuah batu megalit pipih yang ditanam disalah satu bagian kebun biasanya di tengah kebun sebagai bukti yang sah kepemilikan kebun. Di tempat tersebut, ayam dipotong untuk pengesahan upacara Rebha. Sebelum ayam dipotong terlebih dahulu salah seorang yang hadir biasanya yang tertua mengucapkan semacam mantra zi’a ura manu untuk menyatakan ujud pelaksanaan upacara tersebut, syairnya berbunyi: Zi’a ura manu dia :Semoga dengan upacara pemotongan ayam untuk Rebha, Dia kami da rebha uma :Ini kami akan merebha kebun Raba go ngaza lima zua lowa :Agar ketujuh tanaman bertumbuh subur Dia kami nge : Kami persembahkan darah ayam ini nuka reba :Bagi keselamatan perayaan reba di kampung, Manu kau ura zi’a :Ayam, semoga uratmu, empedumu menunjukan pertanda baik , Bhoko sewolo jali jo : Tanaman terbaris rapi, Da lewa noze nea :Yang tinggi dipangkas sehingga subur Kiki kaba ne’e wea :Dapat menghasilkan kerbau dan emas, Pedhu kau bodha wela alo : Semoga penyakit tersingkir jauh. Teks tuturan 4 Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh Bapak Fransiskus Dhosa 61 tahun, Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha. Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba 23 tahun Setelah selesai pengucapan mantra zi’a ura manu lalu ayam dipotong, dibakar, lalu dibelah untuk melihat isi perutnya, dan si pengucap mantra tadi harus melihat kondisi urat hati dan empedu ayam, melalui pengamatan terhadap kondisi urat hati, dan empedu ayam akan tampak petunjuk-petunjuk tertentu seperti akan terjadi kelaparan, tanaman tumbuh subur atau berhasil, akan ada kematian di dalam keluarga sendiri atau orang lain, dan lain-lain. Setelah selesai meramal hati ayam dan empedunya tadi darah ayam dioleskan pada batu lanu, dan dioleskan pada daun-daun dari ketujuh tanaman yang dipetik dan diikat menjadi satu. Kemudian salah seorang membakar ayam tadi dan yang lainnya berjalan keliling kebun untuk rebha. Daun ketujuh tanaman yang telah dioles darah ayam tadi, dicelupkan kedalam buah kelapa muda setelah dilubangi bagian matanya, kemudian mereka berjalan keliling kebun memerciki tanaman di seluruh kebun sambil berteriak, lowa-lowa-lowa lowa artinya bertumbuh terus. Berjalan mengelilingi kebun harus mengarah ke kanan, atau cukup berjalan dari wena bagian yang rendah ke za’i atau ulu bagian yang tinggi. Terakhir, kelapa muda tadi ditelungkupkan pada salah satu kayu patok teras kebun di bagian za’i atau ulu. Kemudian mereka makan nasi serta daging ayam yang dibakar, sebelum dimakan, mereka harus memberi sesajen kuwi bagi leluhur berupa nasi dan hati ayam. Pada waktu kuwi memberi sesajen harus diucapkan mantra berikut: Dia ine ema, ebu kajo: Ini para leluhur, nenek moyang Kami da puju kuwi: Kami memberimu sesajen Ka papa fara, inu papa resi: Makanlah bersama, minumlah bergilir Kami nenga raba: Kami akan merayakan go buku reba: adat budaya reba Dhegha go buku ngata: Mengenang adat budaya Sili Ana Wunga: Sili Ana Wunga. Teks Tuturan 5 Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh Bapak Fransiskus Dhosa 61 tahun, Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha. Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba 23 tahun

3.2.2.2 Tege Kaju atau Kuju Lasa

Setelah upacara rebha di kebun, siang atau sore harinya ada upacara tege kaju. Secara harafiah tege kaju artinya memasukan kayu api kedalam sa’o rumah adat. Kayu api ini sesudah dipotong, dan dikeringkan kurang lebih sebulan menjelang pesta Reba. Kayu-kayu tersebut ditumpukan di padha sa’o yaitu jenjang pertama dalam sebuah rumah adat sa’o. Rumah adat sa’o memiliki tiga jenjang lantai yaitu pertama padha, kedua teda, dan jenjang ketiga one. Pelaksanaan upacara tege kaju harus dimulai dari rumah adat tertentu rumah adat induk yang mempunyai hak adat mengawali upacara tersebut, baru di ikuti oleh sa’o ngaza nama rumah adat lainnya. Dahulu kayu api yang disiapkan itu hanya kayu Reba, kini selain kayu Reba ada juga jenis kayu lain seperti kayu denu kaliandra. Kayu dimasukan kedalam rumah adat dan diletakan di atas para-para kae yang berjarak kurang lebih satu setengah sampai dua meter di atas tungku didalam rumah adat. Kayu api tersebut disiapkan untuk dipakai selama upacara Reba yang bisa membutuhkan waktu satu sampai dua minggu lamanya. Jenis kayunya harus kayu yang berisi supaya bara api tetap ada, sebab selama perayaan Reba masing-masing rumah tidak boleh meminta api dari rumah lain. Dan selama perayaan Reba orang tidak boleh ke kebun untuk melakukan pekerjaannya karena hal tersebut di anggap tabu, dan akan mengalami gagal panen. Yang dimasukan paling pertama ialah kaju lasa yaitu kayu Reba yang setengah kering, kaju lasa ini ada 12 batang diletakan tersendiri paling bawah yaitu dibagian dasar para-para. Kayu-kayu lainnya dimasukan kemudian, disusun menumpuk ke atas, bila masa pesta Reba telah selesai namun kayu-kayu tersebut masih ada, maka kayu-kayu tersebut boleh digunakan untuk masak, sedangkan kaju lasa tidak boleh dipakai. Tetapi tetap disimpan sampai tiba waktu perayaan Reba tahun berikutnya, pada Reba tahun berikutnya akan dimasukan kaju lasa yang baru, maka kaju lasa yang lama bisa dipakai. Melalui kaju lasa ada unsur mengikat, mengingatkan serta kontinuitasnya terpelihara terus. Posisi kayu pada saat dimasukan kedalam rumah adat adalah bagian pangkal dahulu, filsafatnya: olo pu’u dhera, olo lobo tupu tapa. Secara harafiah artinya kalau duluan pangkal lancar prosesnya, sedangkan kalau duluan pucuk akan tertahan ranting atau cabang. Makna simbolisnya; segala urusan harus dimulai dari bawah atau dasar, kalau dimulai dari atas akan tertahan atau terhalang. Teknik memasukan kayu, seorang berdiri di padha sa’o mengambil kayu satu-persatu diberikan kepada sesorang lain yang berdiri di teda, lalu diberikan kepada seorang lainnya yang sudah berdiri didalam sa’o, lalu menyusunnya ke atas para-para. Sesudah kayu dimasukan semua, dilanjutkan dengan upacara pemotongan ayam di dalam rumah adat untuk mengesahkan upacara tege kaju memasukan kayu ke dalam rumah adat tersebut. Sebelum ayam di potong, salah seorang pemangku adat dari sa’o tersebut mengucapkan mantra zi’a ura manu pengesahan upacara tege kaju. Selanjutnya seluruh warga rumah adat ana sa’o bersama-sama makan minum perjamuan upacara tege kaju tersebut, intinya adalah makan bersama. Masalahnya bukan banyak sedikitnya makanan, tetapi seperti filsafat ka papa fara, inu papa resi yang artinya makan bersama dari satu wadah, dan minum bergilir dari satu cangkir Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.

3.2.2.3. Reba Bhaga

Sesudah upacara tege kaju, dilanjutkan dengan upacara reba bhaga. Bhaga adalah miniatur rumah adat yang didirikan di tengah kampung, pada zaman dahulu ada orang yang ditugaskan khusus untuk tinggal di bhaga. Di samping bhaga ada madhu ngadhu yaitu tiang pemali berukir tempat menambat kerbau yang akan dikorbankan untuk upacara-upacara tertentu dalam kampung, misalanya ka’a sa’o upacara pembuatan rumah adat baru, kenduri, dan lain-lain. Reba bhaga dilaksanakan di dalam bhaga, di awali dengan pengucapan mantra zi’a ura manu dengan ujud reba bhaga. Peserta reba bhaga hanya beberapa orang saja yang diutus oleh kepala adat, dalam upacara reba bhaga urat hati dan empedu ayam harus diamati dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui tanda-tanda atau ramalan. Setiap pemotongan ayam didahului dengan pengucapan mantra zi’a ura manu dan harus diikuti dengan membaca tanda-tanda atau ramalan melalui posisi urat hati dan empedu ayam, sedangkan pemotongan ayam untuk makan biasa tampa ujud tertentu, tidak perlu didahului dengan pengucapan mantra. Ayam yang dipanggang atau dibakar dimakan bersama nasi serta minumannya adalah tuak moke, sebelum menyantap nasi dan daging ayam, terlebih dahulu mereka memberikan sesajen berupa nasi dan hati ayam bagi para leluhur kuwi. Demikianpun minuman, para leluhur harus diberi minum terlebih dahulu yang biasa disebut fedhi tua. Tata upacara pemotongan hewan dengan ujud tertentu yang diawali dengan pengucapan mantra dan pemberian sesajen berlaku untuk semua upacara Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.

3.2.3 Perayaan Inti

Sili peletak atau pionir pertama budaya Reba sudah menata perayaan Reba dalam tiga bagian yaitu: Esa, go wala su’a kobe wunga, artinya: pertama, mengasah pisau, malam pertama. Zua, go su’i uwi kobe ngia zua, artinya: kedua, memotong ubi, malam kedua. Telu, go pojo tebu kobe ngia telu, artinya: menikmati hasilnya bersama, malam ketiga. Namun, secara umum perayaan inti Reba terdiri atas tiga bagian yakni: kobe dheke dheke reba artinya masuk rumah adat, sedo uwi artinya tarian khusus pada perayaan Reba, dan su’i uwi artinya upacara terakhir pada perayaan inti Reba.

3.2.3.1 Kobhe Dheke Masuk Rumah Adat

Secara harafiah kobhe dheke terdiri atas dua kata, yaitu kobe yang berarti malam, dan dheke yang berarti naik. Nuansa maknanya bahwa masuk rumah adat sa’o kita harus menaiki tangga, khususnya ke dalam bagian one sao dalam rumah adat yang posisi paling tinggi, sehingga untuk masuk rumah adat selalu digunakan kata dheke. Pada malam dheke reba semua keluarga atau warga rumah adat, baik yang berada di kampung itu maupun yang datang dari luar daerah karena bekerja di perantauan akan berkumpul bersama. Dheke Reba, diselenggarakan di rumah adat masing-masing yang merupakan malam reuni keluarga secara paripurna. Setiap warga rumah adat yang datang akan membawa serta beras, ayam, moke tuak. Pada malam itu juga, para penggarap lahan atau bidang tanah milik sa’o rumah adat tersebut akan datang mengantar beras, moke, dan ayam, yang bahasa adat Ngadha disebut dengan istilah wae tua ana manu. Selama seseorang atau keluarga tertentu menggarap tanah dari rumah adat tertentu, maka pada setiap upacara Reba, pada upacara kobhe dheke mereka harus wajib mengantar tua ana manu. Pengantaran tua ana manu tersebut merupakan bukti hukum kepemilikan atau pengakuan bahwa tanah yang mereka garap adalah milik sah dari sa’o rumah adat tersebut. Bila mereka lalai, tidak mengantar wae tua ana manu pada malam kobhe dheke, maka bisa didenda atau dilarang mengerjakan lahan itu lagi. Kobhe dheke juga merupakan ajang seorang pemuda dan keluargannya mengantar tua manu atau belis mas kawin untuk meresmikan pertunangan dengan seorang wanita dari sa’o rumah adat tersebut. Untuk sebuah pernikahan, jalur adat yang harus ditempuh ialah melamar atau masuk minta yang dalam bahasa adat Ngadha disebut bere tere oka pale, kemudian pada waktu Reba mengantar tua manu mas kawin, lalu terakhir pemberkatan nikah. Pada malam kobhe dheke dapat dikatakan semua anggota suku, atau warga rumah adat tersebut berkumpul, bernostalgia, saling melepas rindu, bercerita tentang pengalamannya masing-masing. Pada upacara kobhe dheke, bila tidak ada yang mengantar tua manu mas kawin, kepala suku dan semua warga rumah adat yang mengikuti upacara tersebut diberi kesempatan untuk menyampaikan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan penanaman tanaman, pengggarapan lahan, kebun, atau ladang, perhatian kepada rumah adat, upacara-upacara adat, pemeliharaan lingkungan, masalah moral dan kebajikan, serta masalah perkawinan dan rumah tangga. Pada malam itu di setiap rumah adat seluruh warga atau peserta Reba wajib mengikuti jalannya upacara dheke reba, biasanya orang mengikuti upacara dheke reba di rumah adat pihak mama terlebih dahulu matrilineal, baru dilanjutkan merayakan di rumah adat pihak bapak patrilineal Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.

3.2.3.2 Sedo Uwi

Sedo Uwi adalah tarian tanda khusus pada perayaan Reba, seni pertunjukan massal yang dilakonkan oleh seluruh masyarakat baik anak-anak, orang muda, maupun orang tua. Semua penari harus berpakaian adat lengkap. Laki-laki menggunakan Sapu Lu’e, Keru, Boku, Marangia, Lega Jara, Sau atau Tuba, nama pakian adat yang dikenakan oleh laki-laki. Sedangkan perempuan menggunakan Lawo, Kasa, Kese, Keru, Marangia, dan Lega Jara atau Tuba, nama pakian adat yang dikenakan oleh wanita. Sedo Uwi dilaksanakan pada hari kedua setelah Dheke Reba bertempat di pelataran kampung. Para penari membentuk lingkaran, melakukan gerakan hentakan kaki dalam irama maju mundur selangkah bergantian kaki kiri maju, dan kaki kanan maju. Gerakan lingkaran berputar ke kanan sambil bernyanyi O Uwi e. Refrein lagu tandak tersebut dinyanyikan bersama oleh seluruh peserta, sedangkan di bagian dalam lingkaran ada kelompok kor kecil yang masing-masing terdiri atas tiga orang yang melantunkan bait-bait solonya. Kedua kelompok terebut yang satu bernama Jara atau Tu sebagai kelompok chorus 1, yang lainnya bernama Naro atau Doa sebagai kelompok chorus 2. Menurut Bapak Yohanes Wawo 58, seorang seniman Ngadha mengatakan bahwa musik seperti ini bergaya polifoni, artinya beberapa kelompok penyanyi tiga kelompok melantunkan melodi yang berbeda dengan syair yang berbeda tetapi dalam kesatuan irama dan harmoni. Syai-syair solo yang dilantunkan kebanyakan menggambarkan tentang leluhur penjasa, atau pionir, dan ungkapan puja-puji tanaman ubi. Contoh syair-syair tentang ubi antara lain: Uwi meze go lewa laba: Ubi sebesar gong, sepanjang gendang Ubi tebu toko, koba rao wolo: Ubi merambat menutupi gunung Uwi ladu wai poso: Ubi penopangnya gunung poso Koba rako lizu : Merambat menutupi langit Uwi kutu ko’e: Ubi digali babi landak Dhano ana ko’e: Tetapi masih tetap ada Uwi hui moki: Ubi disungkur celeng Moki bhai moli: Tetapi tetap masih ada Uwi tegu nee da luba: Ubi suku tegu dan luba Wua benu Nabe Fusa: Tetap penuh di Nabe Fusa Dizi ne’e da metu : Ubi suku Dizi Wua benu nabe tegu: Dan metu penuh nabe tegu Uwi ngata Gale Beo: Ubi panenan Gale Beo Riwu dhanga ngadha ngedho: Selalu dikagumi semua orang Uwi halo leza: Ubi biar musim panas Sedu peka rua wali: Tetap bertunas dan bertumbuh Uwi reba ana Nage: Ubi reba Nage Sama ngawu rake: Bagaikan harta malaikat yang takkan habis. Teks Tuturan 6 Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh Bapak Fransiskus Dhosa 61 tahun, Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha. Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba 23 tahun

3.2.3.3 Su’i Uwi Upacara Pemotongan Ubi

Su’i Uwi adalah upacara terakhir pada perayaan inti Reba. Su’i uwi dilaksanakan pada malam berikut setelah sedo uwi. Pada malam su’i uwi seluruh warga klan berkumpul kembali di rumah adat masing-masing untuk mengikuti upacara su’i uwi. Ubi yang digunakan untuk upacara ini adalah ubi yang diambil dari setiap rumah adat masing-masing yang sudah dipilih dan disepakati oleh kepala suku sebelum upacara Reba ini di adakan. Sebelum ubi dipotong, terlebih dahulu pemangku adat meriwayatkan kedatangan ubi dari empat arah yaitu, dari arah Selatan, Utara, Timur, dan Barat. Periwayatan kedatangan ubi, sebagai simbol kedatangan para leluhur. Ubi dipotong menjadi empat bagian besar, sambil memotong pemangku adat akan menyebut bagian terakhir kedatangan ubi yaitu dari kebun atau tanah milik rumah adat tersebut. Semua tanah atau lahan milik rumah adat tersebut disebutkan semua, kalau sudah dijual harus diriwayatkan penjualannya. Setiap menyebutkan nama tempat, atau bagian dari periwayatan, selalu diikuti dengan seruan: “Su”i Uwi, Uwi”. Melalui upacara ini semua warga rumah adat dapat mengetahui tanah kekayaan atau hak milik rumah adat tersebut, sehingga warga rumah adat tersebut tidak akan sembarangan menyerobot atau mengklaim tanah suku lain sebagai tanah mereka. Su’i Uwi mengandung makna hukum adat atau kebenaran hukum tentang kepemilikan tanah yang harus diketahui oleh seluruh warga klan. Selama upacara su’i uwi berlangsung pintu rumah adat di tutup, dan tidak boleh dibuka sedikitpun. Setelah selesai upacara pemotongan ubi kemudian dilanjutkan dengan pemotongan ayam untuk ujud pengesahan upacara su’i uwi dengan pengucapan syair mantra zi’a ura manu, wi basa go su’i uwi. Dara ayam dioleskan pada empat potong ubi, dan pada beberapa bagian rumah adat, yaitu pene pintu, nuke tiang di bagian dalam rumah, mataraga bagian tengah dinding belakang yang berukiran tanduk kerbau, papa bhoko bagian dalam rumah adat untuk perempuan, dan kalingatepali wai batu ceper di halaman tempat menginjakan kaki sebelum masuk ke dalam rumah adat. Ubi kemudian dipotong-potong untuk dimasak, bagian kepala ubi yang berdaun disimpan untuk ditanam kembali di ladang atau di kebun untuk upacara Reba tahun berikutnya. Penanaman kembali ubi ini merupakan simbol pelestarian lingkungan hidup, revitalisasi agar seluruh lingkungan baik fisik maupun sosial dapat hidup terus. Selanjutnya, sambil menanti nasi, ubi, dan daging masak, pemangku adat menyampaikan petuah, nasihat, dan ajaran-ajaran atau filsafat hidup yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat setempat Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.

3.2.4 Perayaan Akhir

Upacara penutup dalam rangkaian upacara Reba adalah pojo tebu. Pojo tebu adalah upacara pembersihan, pembuangan sampah atau kotoran yang terkumpul selama perayaan Reba. sampah-sampah tersebut seperti kulit ubi, kulit pisang, tulang-tulang, bulu ayam, kulit kacang, daun kelor, dll. Setelah upacara pojo tebu, segala sesuatu yang berkaitan dengan perayaan Reba tidak boleh disebut-sebut lagi sebab dapat mendatangkan bencana angin. Setelah selesai upacara pojo tebu, warga kampung beristirahat saja di kampung, mereka tidak boleh melakukan aktivitas apapun seperti ke kebun, hal ini dianggap tabu Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.

3.3 Rangkuman Proses Ritual Upacara Reba

Pada umumnya setiap perayaan atau upacara memiliki tahapan dalam pelaksanaanya. Dalam proses pelaksanaan upacara adat Reba ini mempunyai empat tahapan besar yaitu: 1. Tahapan Persiapan, dalam tahap ini masyarakat Ngadha mempersiapakan segala kebutuhan untuk perayaan Reba, barang-barang kebutuhan tersebut antara lain; kayu api, ubi, beras, tuak moke, ayam, babi, kelapa, pisang, aurbambu, daun kelor, dan lain-lain. 2. Perayaan Awal, adalah perayaan yang mengawali pembukaan upacara Reba, seperti perayaan ekaristi, dan pemberian sesajen kepada para leluhur. 3. Perayaan inti, dalam perayaan ini seluruh peserta Reba datang dan berkumpul dalam sebuah rumah adat untuk mengikuti upacara Su’i Uwi upacara pemotongan Ubi yang dipimpin oleh kepala suku. 4. Perayaan akhir dalam upacara Reba yaitu upacara pojo tebu. Pojo tebu adalah upacara pembersihan, pembuangan sampah atau kotoran yang terkumpul selama perayaan Reba, sampah-sampah tersebut seperti kulit ubi, kulit pisang, tulang-tulang, bulu ayam, kulit kacang, daun merongge, dll. Setiap tahap mempunyai upacara masing-masing dan semuanya harus di patuhi oleh setiap peserta ritual adat Reba ini.

BAB IV MAKNA DAN FUNGSI RITUAL REBA

BAGI MASYARAKAT NGADHA

4.1 Pengantar

Dalam bab IV ini akan dijelaskan makna dan fungsi upacara Reba bagi masyarakat Ngadha. Penjelasan makna dan fungsi upacara Reba didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Ngadha yang sering menyelengarakan upacara Reba dan dari deskripsi mengenai proses ritual upacara Reba itu sendiri. Penjelasan dalam bab ini diawali dengan makna upacara Reba, fungsi-fungsi yang terdapat dalam upacara Reba, dan diakhiri dengan sebuah rangkuman mengenai makna dan fungsi upacara Reba

4.2 Makna Ritual Reba bagi Masyarakat Ngadha

Berdasarkan pendapat yang diperoleh dari beberapa orang narasumber, seperti pemuka adat dan tokoh masyarakat Ngadha yang sering menyelenggarakan upacara Reba, maka terdapat kesimpulan mengenai makna dari penyelenggaraan upacara Reba. makna-makna yang terkandung dalam upacara Reba tersebut, yaitu: 1 makna historis, makna ini mengisahkan tentang perjalanan panjang nenek moyang orang Ngadha dari Saylon di India menuju ke tempat tujuannya yaitu di Ngadha, makna ini disampaikan melalui upacara Su’i Uwi pemotongan ubi dan upacara O’Uwi yang juga disebut Reba Uwi ubi Reba. 2 makna persaudaraan, makna ini menunjuk kepada larangan untuk tidak saling bermusuhan kepada 58