Ny. SH-MH, 40 tahun Refleksi Diri Kekerasan Dalam Rumah Tangga Apakah Jiwaku Sehat.

12 dan senang mereka jalani bersama, mereka saling setia meskipun badai dan krisis datang menerpa. Kesimpulan KDRT ternyata berkaitan erat dengan gangguan jiwa yang dialami, baik oleh pelaku maupun korban, ataupun keduanya. Sayangnya hampir semua pelaku dan korban KDRT kurang memahami hal tersebut, karena saat ditawarkan layanan psikiatri, banyak dari mereka justru menolaknya dan mengatakan diri mereka baik-baik saja dan tidak ‘gila’. KDRT sebenarnya dapat dicegah, apabila masing-masing anggota keluarga berada dalam kondisi mental yang sehat. Rantai KDRT terus berjalan seolah tak ada putusnya, mereka yang dulu jadi korban KDRT kini justru berbalik menjadi pelaku KDRT terhadap keluarganya, pasangannya, serta anaknya. Diperlukan pemahaman dan wawasan yang baik tentang peran dan fungsi masing- masing anggota keluarga agar mereka tidak menjadi korban KDRT, atau sebaliknya justru menjadi pelaku KDRT. Contoh-contoh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT Catatan : Semua nama yang ada dalam kasus ini adalah bukan nama sebenarnya. Dokter Yang Gagal

1. Ny. SH-MH, 40 tahun

Saat ini usiaku 40 tahun, aku menikah saat statusku mahasiswa Fakultas Kedokteran Semester 6. Entah mengapa aku begitu bodoh saat itu, seluruh keluarga dan teman-temanku mengatakan sayang banget, karena sedikit lagi aku lulus sarjana kedokteran – dan dua tahun berikutnya menjadi seorang dokter. Saat itu aku begitu menggebu-gebu untuk menikah dengan seorang dokter yang aku kagumi, tetapi akhirnya cinta dan kekaguman itu makin pudar seiring dengan perjalanan rumah tangga kami. Aku rela mengorbankan kuliah dan masa depanku demi mendampingi suami yang ditugaskan ke luar daerah. Kalau konselor tak menanyakannya barangkali latar belakang klise 13 bahwa pacarku telah menodaiku sebelum pernikahan akhirnya terungkap. Tidak ada konseling apa-apa yang dijalani saat itu, semua begitu cepat terjadi. Di mata keluargaku kejadian ini juga dirasa mengejutkan karena aku baru saja berkenalan, berpacaran, tetapi tiba-tiba aku mendesaknya minta segera dinikahi. Menurut suami dan rekan-rekan kerjanya, perilaku dan sikapku dirasakan mulai aneh sesudah 2 tahun menikah. Aku menjadi mudah curiga dan bertengkar dengan suami, staf di kantornya, dan juga para tetangga, karena alasan-alasan yang sangat sepele. Saat itu aku merasa semua orang menjahatiku, mereka merencanakan suatu persekongkolan untuk mencelakai keluargaku, padahal sebelumnya semua baik-baik saja, dan aku juga selalu berbuat baik pada mereka. Analisa forensik psikiatri dari dokter yang mewawancaraiku menunjukkan bahwa aku mengalami gangguan Skizofrenia Paranoid, suatu gangguan jiwa yang benar-benar tidak pernah aku duga sebelumnya. Sampai hari ini aku tak percaya diriku bisa terserang gangguan jiwa semacam itu, hal itu yang membuatku malas minum obat. Apalagi selama ini aku merasa masih bisa bekerja dengan baik di kantor tempatku bekerja. Akibat gangguan yang kualami ini suamiku harus berkali-kali meminta maaf pada atasan, rekan-rekan kerja, bahkan seluruh keluarga besarnya. Aku sering tak mengerti mengapa harus meminta maaf, karena justru mereka sendirilah yang telah berbuat jahat terhadap keluargaku. Suatu kali sesudah kami bertengkar hebat, keluarga suami melaporkanku ke polisi. Tentu saja keluargaku tidak bisa terima, jadi kami saling melaporkan kasus KDRT yang kami alami dari pasangan serta keluarga masing-masing. Melalui berbagai proses konseling aku mulai bisa bersabar, lebih percaya diri dan bisa menerima kenyataan tentang penyakitku ini. Dengan telaten aku menjalani proses pengobatan, hingga akal sehatku kembali pulih. Aku mulai berpikir untuk menata karir dan masa depan, kalau dulu aku gagal menjadi seorang dokter, sekarang tak boleh lagi. Aku memilih ganti haluan dan kuliah di Fakultas Hukum, aku tak mau lagi direndahkan dan dilecehkan keluarga suamiku karena drop-out dan batal jadi dokter. Syukurlah gangguan Skizofrenia tak sampai menggerogoti kemampuan otakku, aku tetap bisa cerdas dan berprestasi. Selepas S1 aku langsung mendaftar untuk pendidikan S2 dan akhirnya aku memperoleh pekerjaan yang jauh lebih bagus melebihi suamiku. Persoalan baru kembali muncul saat suami merasa bahwa aku terlalu mendominasi dan mengatur dirinya. Beberapa kali suamiku mengeluh lelah, depresi dan frustrasi menghadapi 14 perilaku dan sikapku yang terlalu dominan. Hampir seluruh keluarga dan masyarakat di sekelilingku was-was banget, mereka khawatir penyakitku kambuh lagi seperti yang dulu. Refleksi diri: - Komunikasi anak dan orang-tua sangat berperan saat anak dihadapkan pada berbagai pilihan penting dalam hidup mereka, agar pengambilan keputusan mereka tidak terburu- buru dan akhirnya salah. - Permasalahan dan gangguan jiwa yang muncul bisa jadi merupakan akumulasi dari awal kehidupan pernikahan mereka, karena dasar pernikahan yang kurang kuat. Bawalah Aku Pergi

2. Ny. MB, 40 tahun