Latar Belakang Masalah GUGON TUHON DALAM MASYARAKAT JAWA PADA WANITA HAMIL DAN IBU BALITA DI KECAMATAN TINGKIR KOTA SALATIGA (Suatu Tinjauan Etnolinguistik)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Alah, takhayul” sebagian besar orang dewasa ini pasti akan berucap demikian jika diberi nasihat bijak Jawa apalagi jika tidak dijelaskan alasannya. Nasihat-nasihat seperti “ Aja metu wayah wengi, ndhuk ” pasti akan dijawab dengan bantahan. Sering kali disertai alasan “Ini kan jaman globalisasi, mbok. Setan ora doyan, dhemit ora ndulit ” padahal maksud nasihat si Mbok, bukan hanya sawan yang akan nyambet, justru setan- setan berwujud manusia yang akan mengincarnya. Sebenarnya, banyak sekali petuah yang orang tua kita berikan kepada kita untuk ajaran hidup, bahkan yang tanpa kita sadari sekalipun. Namun di zaman yang semakin maju dan berkembang ini, semakin banyak orang mengabaikan warisan-warisan budaya dari leluhur kita. Mereka menganggap tradisi budaya Jawa hanya sebagai warisan dan gugon tuhon hanya sebagai takhayul yang dianggap kepercayaan orang Jawa yang kuno. Dengan antusias orang-orang berseru mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan budaya Jawa, malah mungkin sampai ke kancah internasiaonal. Kita memiliki keinginan melestarikan budaya Jawa, tetapi kita lebih sibuk mempelajari budaya asing. Bahkan kita lebih memilih belajar bahasa asing daripada bahasa Jawa itu sendiri. Lebih buruk, mungkin hanya sedikit dari sekian banyak orang Jawa yang memilih menggunakan krama inggil untuk berkomunikasi dengan orang tuanya. Selain itu banyak orang tua tidak mengajarkan bahasa Jawa kepada anak cucunya. Sehingga kesalahan ini bukan sepenuhnya salah si commit to user anak, tetapi kita para orang tua yang lebih bertanggung jawab untuk menurunkan kekayaan Jawa ini kepada anak cucu kita. Sangatlah aneh jika seorang Jawa bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Sering kali karena si anak tidak memahami, justru kita yang akan menuruti si anak dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia. Bukan berarti bahasa Indonesia itu buruk, tetapi tanpa kita berusaha berarti kita sudah mulai mematikan budaya Jawa, karena di sekolah-sekolah pastilah anak-anak sudah diajarkan berkomunikasai dengan bahasa Indonesia dan bahkan pada beberapa playgroup menggunakan bahasa Inggris. Tanpa kita sadari, budaya Jawa perlahan mulai luntur dan hilang dalam kehidupan sehari-hari. Bukan karena pengaruh budaya baru yang memaksa masuk, tetapi karena kita yang membuangnya. Parahnya kita menolaknya untuk masuk kembali. Namun sekarang ini gugon tuhon sudah agak kabur karena banyak hal. Di antaranya karena perbedaan pola pikir orang zaman dahulu dan zaman sekarang. Perbedaan ini dapat disebabkan karena perkembangan teknologi yang membuat orang- orang modern tidak peka lagi dengan alam dan dirinya sendiri. Dahulu, nenek moyang kita dalam keterbatasan teknologi pada saat itu, dalam prihatinnya selalu berlatih untuk menajamkan batin mereka. Gelap dan sepi membuat mereka merenungi diri dan alam. Hal itu membuat batin mereka tajam dan peka terhadap kehidupan. Semua yang mereka berikan, ajarkan, lakukan adalah karena mereka mengerti bahwa banyak yang harus diselaraskan agar semua berjalan dengan semestinya. Nasihat-nasihat yang mereka berikan ini didapat dari pengalaman mereka selama hidup dan berpikir. Nasihat –nasihat atau dinamakan gugon tuhon ini diteruskan kepada anak turunnya agar kelak keturunannya selalu mempunyai akal budi yang baik, tidak seperti hewan yang commit to user melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan, mempunyai tatanan untuk membentuk masyarakat yang berbudi. Tetapi lalu seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang memudahkan hidup manusia, semua ketajaman batin itu seolah ikut lenyap. Tradisi yang diberikan turun-temurun ini perlahan-lahan luntur karena manusia pada zaman peralihannya tidak peduli dan tidak menganggap hal ini sesuatu yang dapat dijadikan ilmu hidup, jadi hanya sedikit dari pendukung kebudayaan Jawa yang tetap mempertahankannya. Karena hal inilah, sekarang sedikit dari para orang tua yang tahu dan paham tentang gugon tuhon ini, apalagi mewariskannya kepada anak-cucunya. Penelitian ini berusaha mencari tahu tentang seberapa paham masyarakat di Kecamatan Tingkir tentang gugon tuhon khususnya gugon tuhon tentang kehamilan dan merawat balita, bagaimanakah mereka menyikapinya dan apakah mereka masih menurunkan sastra lisan ini kepada anak-cucunya. Sehingga diharapkan nantinya mereka mau meneruskannya kepada keturunannya. Selain itu kepada para pemuda agar lebih dapat mengerti dan memahami tentang gugon tuhon Jawa ini, sehingga sastra lisan ini dapat dilestarikan. Gorys Keraf 2001: 1 mendefinisikan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sedangkan Saussure dalam Mansoer Pateda, 2001: 4 mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Tanda-tanda ini saling berhubungan membentuk struktur. Menurut Wikipedia: bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut. commit to user 1. Suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan. 2. Suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain 3. Suatu kesatuan sistem makna 4. Suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna. 5. Suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan contoh: Perkataan dan kalimat. 6. Suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik. http:id.wikipedia.orgwikiBahasa diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul 12.02 WIB Menurut pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa bisa didapat dari alat ucap manusia ataupun melalui sistem tanda. Yang terpenting adalah bahasa harus dapat dimengerti. Malinowski mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu pragmatik dan magis dalam Halliday, 1992: 20. Pragmatik sendiri adalah: 1. Studi tentang maksud penutur 2. Studi tentang makna kontekstual 3. Studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan 4. Studi tentang ungkapan dari jarak hubungan commit to user Sedangkan konteks adalah teks yang menyertai teks Halliday, 1992: 6. Jadi, ada maksud yang menyertai tuturan. Pragmatik mencakup konteks karena pragmatik akan menelusur apa yang dimaksud oleh suatu wacana lebih jauh, dengan banyak unsur yang melatarbelakangi untuk menjelaskan maknanya. Untuk memaknai GT secara kultural, maka kita harus memahami konteks budaya Jawa yang sedang dimaksudkan oleh penutur dan mitra tutur, memahami budaya dan masyarakatnya terlebih dahulu. Barulah kita tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Etnolinguistik sendiri terbentuk dari dua kata, etnologi dan linguistik. Istilah ‘etnolinguistik’ berasal dari kata ‘etnologi’ yang berarti ilmu yang mempelajari tentang suku- suku tertentu dan ‘linguistik’ berarti ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi kini antropologi budaya Sudaryanto, 1996 : 9. Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang luhur. Kebudayaan atau tradisi ini diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita hingga sekarang. Masyarakat Jawa mempunyai banyak ajaran kebudayaan dalam berbagai hal, misalnya ketika seorang wanita melaksanakan tugasnya sebagai ibu, baik ketika masih mengandung maupun dalam merawat anak. Orang tua Jawa mempunyai cara yang bijak dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya agar anak-anaknya mau berpikir dan menelaah apa yang dikatakan orang tuanya. Petuah yang dihaluskan commit to user penyampaiannya ini disebut dengan gugon tuhon . Menurut Purwadi, gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul Purwadi, 2004 : 139. Gugon tuhon berasal dari dua kata ‘ gugo n‟ dan ‘tuhon‟. Kata ‘gugon‟ berasal dari kata ‘gugu‟ yang mendapat akhiran [-an], yang mempunyai arti sifat yang mudah percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan ‘tuhon‟ berasal dari kata dasar ‘tuhu‟ dan mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai ucapan orang lain terjemahan dari Subalidinata, 1968 :13. Gugon tuhon yaitu: Gugon tuhon sebenere ngemu piwulang, nanging piwulang iku ora cetha, mung sarana disamar, lumrahe wong angger wis dikandakake ora ilok utawa ora becik banjur pada wedi nerak, mangka larangan iku tujuane kanggo mulang supaya ora nindakake apa kang kasebut ing larangan iku Subalidinata, 1968 : 13 ‘Gugon tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran itu tidak jelas, hanya samara-samar, biasanya jika orang sudah dilarang dengan tidak pantas atau tidak baik lantas takut untuk melanggar, maka larangan itu tujuannya untuk mengajar supaya tidak melakukan apa yang disebutkan dalam larangan tersebut’ Subalidinata, 1968 : 13 Ketika menginjak dewasa, para orang tua mulai banyak memberi bekal nasihat kepada anak-anaknya untuk mengarungi rumah tangganya, terlebih pada anak gadis karena wanitalah yang akan mengajarkan moral pada anak ketika anak belum belajar dari lingkungan luar. Setelah menikah, wanita akan mengemban tugas penting yaitu menjadi ibu. Semenjak bayi masih dalam kandungan hingga lahir akan ada banyak petuah yang diberikan dari ibu maupun ibu mertua kepada anak wanitanya. Nasihat-nasihat ini dimaksudkan agar sang calon ibu selalu menjaga tingkah lakunya agar kelak bayi yang commit to user dilahirkan sehat dan mempunyai moral yang baik. Nasihat ini misalnya aja mateni kewan, mundhak bocah sing la ir kaya kewane „ jangan membunuh hewan, nanti anak yang lahir seperti hewan itu’, aja mbunteti leng tikus, mundhak nglairk ene angel „ jangan menutup lubang tikus, nanti melahirkannya sulit’ , aja adus bengi, mundhak kembar banyu „jangan mandi malam, nanti ketubannya jadi banyak’ , aja nyingkirake barang nganggo sikil, mundhak bayine lair su ngsang sikil dhisik sing metu „jangan menyingkirkan sesuatu menggunakan kaki, nanti bayi yang lahir dari kakinya dahulu’ , kudu nyingkirake regedan sing tinemu ing ndalan supaya nglairkene lancar ora ana alangan „harus menyingkirkan kotoran yang ditemukan di jalan supaya melahirkannya lancar tidak ada halangan’, bayi kudu digendhong yen surup ‘bayi harus digendong kalau magrib’, yen nggendhong bayi aja disawung „ kalau menggendong anak jangan tidak memakai selendang’, dll. Nasihat-nasihat ini walaupun alasan yang disampaikan kurang masuk akal, namun jika ditelaah lebih lanjut ada alasan yang lebih logis. Penelitian sebelumnya yang pernah diteliti adalah: 1. Suwanti, 2008, yang berjudul “Gugon Tuhon Bahasa Jawa” yang mengkaji tentang bentuk, fungsi dan makna gugon tuhon bahasa Jawa. 2. Wahyu Adi nugr oho, 2010, yang berjudul “Gugon Tuhon Daur hidup Manusia Jawa di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah Kajian Resepsi Sastra. Skripsi ini tidak hanya mengkaji bentuk-bentuk gugon tuhon, makna dan fungsinya saja, tetapi juga mengkaji profil masyarakat Mojolaban dan bagaimana tanggapan mereka tentang gugon tuhon ini. commit to user Skripsi saudara Suwanti ini mengumpulkan GTBJ yang ada dalam literatur, kemudian mendeskripsikan bentuk, fungsi dan maknanya. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan ini mengumpulkan data dari para informan daerah setempat untuk mendapatkan ujaran GT yang dimaksud, kemudian menganalisis bentuk, fungsi dan maknanya. Dalam penelitian Suwanti, bentuk GTBJ ini selalu menggunakan pewatas aja, frasa ora ilok , dan kata mundhak yang menyatakan hubungan sebab akibat. Sedangkan dalam penelitian ini bentuknya dapat tidak hanya menggunakan pewatas aja, frasa ora ilok , maupun kata mundhak saja, namun juga ada kata yen, nek atau tidak meggunakan semua kata diatas. Penelitian ini diambil dengan alasan : 1. Penelitian GT dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga ini belum pernah diteliti sebelumnya. 2. Gugon tuhon masyarakat Jawa ini adalah tradisi yang perlu dilestarikan. 3. Agar para anak muda penerus tradisi ini mau menerima ajaran ini, maka perlu dijelaskan makna dari orang tua sehingga para anak muda dapat memahami budayanya. 4. Setiap gugon tuhon yang diajarkan mempunyai ajaran yang adiluhung dan menarik untuk dikaji lebih lanjut.

B. Pembatasan Masalah