GUGON TUHON DALAM MASYARAKAT JAWA PADA WANITA HAMIL DAN IBU BALITA DI KECAMATAN TINGKIR KOTA SALATIGA (Suatu Tinjauan Etnolinguistik)

(1)

commit to user

i

GUGON TUHON

DALAM MASYARAKAT JAWA

PADA WANITA HAMIL DAN IBU BALITA

DI KECAMATAN TINGKIR KOTA SALATIGA

(Suatu Tinjauan Etnolinguistik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

KHAIRUNNISA NOOR ARIFAH C0105029

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user

iv

NIP 19600101 198703 1 004

PERNYATAAN

Nama : Khairunnisa Noor Arifah NIM : C0105029

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suati Tinjauan Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Februari 2011 Yang membuat pernyataan,


(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Persembahan penuh cinta untuk:

1. Bapak & Ibu atas kasih sayang tiada akhir. 2. Bapak & Ibu mertua atas cinta serta

nasihat-nasihatnya.

3. Ayah & Saga atas semua hal terbaik di dunia.


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul Gugon Tuhon dalam masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu Tinjauan Etnolingustik) dapat selesai. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Soedarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Drs. Sujono, M.Hum, selaku pembimbing pertama yang telah memberikan kesempatan untuk menulis skripsi ini, memberikan banyak bantuan, dorongan dan ilmu sehingga akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik.

4. Drs. Y. Suwanto, M.Hum, selaku pembimbing kedua dan pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan ilmu dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum, selaku sekretris jurusan yang telah memberikan

banyak motivasi, perhatian, dorongan, dan ilmu selama menimba ilmu.

6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah khususnya dan Fakultas Sastra dan Seni Rupa pada umumnya yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga bermanfaat dalam menyusun skripsi ini.


(7)

commit to user

vii

7. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis. 8. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.

9. Ibu Sarmi, ibu Suparmi, ibu Nunik, dan masyarakat Desa Nanggulan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan banyak bantuan dan informasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10.Mas Bagus, suamiku, yang nrima, sabar, cinta, perhatian, dan semua hal terbaik yang pernah diberikan, malam-malam begadang untuk menyemangati penulis.

11.Saga Malik Al-Gusha, anakku, atas keajaiban yang bisa bunda percaya. Terima kasih untuk menjadikan bunda seorang ibu dan selalu belajar banyak hal.

12.Mas Kun, dik Fajri, Doel, Eri untuk support dan penyemangat dalam situasi pelik. 13.Teman-teman angkatan 2005 atas semua bantuan dan pertemanan yang diberikan.

Adik-adik kelas yang selalu membantu penulis.

14.Semua pihak dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya segala puji dan syukur, kuasa serta kemuliaan bagi Allah SWT. Penulis menyadari banyak ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekalian.

Surakarta, Februari 2011


(8)

commit to user

viii DAFTAR ISI

JUDUL ……… i

PERSETUJUAN ………. ii

PENGESAHAN ………..… iii

PERNYATAAN ………. iv

PERSEMBAHAN ……….. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ……….…. viii

DAFTAR SINGKATAN ……….………..…. xi

DAFTAR LAMPIRAN ………..….………..…. xii

ABSTRAK ………..…… xiii

BAB I PENDAHULUAN ……….….… 1

A. Latar Belakang ……….………… 1

B. Batasan Masalah ……….……...….. 8

C. Rumusan Masalah ………..…….….…… 9

D. Tujuan Penelitian ………...……….………. 9

E. Manfaat Penelitian ………...……… 10

1. Manfaat Teoretis ……….…..……. 10

2. Manfaat Praktis ………. 10

F. Sistematika Penulisan ……….. 12

BAB II KAJIAN TEORI ……….. 13

A. Pengertian Gugon Tuhon ………. 13


(9)

commit to user

ix

C. Fungsi Bahasa ……….. 16

D. Pengertian Makna ……….... 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 20

A. Jenis Penelitian ……… 20

B. Data dan Sumber Data ……… 21

C. Alat Penelitian ………. 22

D. Populasi dan sampel ……….………... 23

E. Metode Pengumpulan Data ………. 24

F. Metode Analisis Data ………..…………. 24

1. Metode Distribusional ……… 24

2. Metode Padan ……… 27

G. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ……….... 29

BAB IV PEMBAHASAN ……….. 31

A. Bentuk ………..……… 31

1. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ sebagai Penanda Kalimat Larangan ……….... 31

2. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ sebagai Penanda Sebab Akibat ……….. 35

3. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat ………. 39

4. GT yang Menggunakan Frasa ora ilok ‘tidak pantas’ ……… 40 5. GT yang Menggunakan kata yen ‘kalau’ yang Berada


(10)

commit to user

x

di Depan Kalimat sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan ………...… 43

6. GT yang Menggunakan Kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang Berada di Depan Kalimat Sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan serta Kata mundhak ‘nanti’ Sebagai Penanda Akibat ……… 48

B. Fungsi ………. 52

1. Pendidikan Kepercayaan ……….……….. 53

2. Pendidikan Etika/Moral ………. 56

3. Pendidikan Kesehatan ………... 59

C. Makna Gramatikal dan Kultural ………... 63

1. Wanita Hamil ……….………...………. 63

2. Merawat Bayi ………. 88

BAB V PENUTUP ……….….... 138

A. Simpulan ……….….… 138 B. Saran ………...……. 139

DAFTAR PUSTAKA ………..….…. 140 LAMPIRAN ……….……….. 142


(11)

commit to user

xi

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

A. Daftar Singkatan

1. GT : Gugon tuhon

2. GTBJ : Gugon tuhon bahasa Jawa

B. Daftar Tanda

1. Tanda ‘…’ : mengapit terjemahan dalam bahasa Indonesia.

2. Tanda : mengapit pilihan kata yang digunakan pada teknik ganti. 3. Tanda Ø : menggantikan kata yang dihilangkan pada teknik lesap.


(12)

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

A. Daftar data GTBJ ………..……… 142

B. Data wawancara ………..………….……… 148

1. Data wawancara 1 ……….……… 148

2. Data wawancara 2 ……….……… 150

3. Data wawancara 3 ……….……… 152

4. Data wawancara 4 ……….……… 153

5. Data wawancara 5 ……….……… 156

6. Data wawancara 6 ……….……… 162

7. Data wawancara 7 ……….……… 166

8. Data wawancara 8 ……….……… 170

9. Data wawancara 9 ……….………..…..…… 172

10. Data wawancara 10 ……….………..…… 175

11. Data wawancara 11 ……….………..…… 177


(13)

commit to user

xiii

ABSTRAK

Khairunnisa Noor Arifah. C0105029. 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu Tinjauan Etnolinguistik). Skripsi. Jurusan Sastra Daerah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Judul penelitian ini adalah Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah gugon tuhon tentang wanita hamil dan ibu balita yang berkembang di masyarakat Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga. Data yang dikumpulkan berupa data lisan yang dikumpulkan dari para nara sumber.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk GTBJ? (2) Bagaimanakah fungsi GTBJ? (3) Makna gramatikal dan kultural GTBJ. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna gramatikal serta kultural Gugon Tuhon Jawa.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, data dikumpulkan dan dianalisis untuk kemudian dideskripsikan. Data dikumpulkan berdasarkan interview dengan nara sumber, yaitu para warga kecamatan Tingkir yang telah melalui kriteria yang ditetapkan. Dari data-data yang didapat tersebut kemudian dikelompokkan, untuk kemudian dianalisis bentuk, fungsi, dan maknanya. Metode analisis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode distribusional dan metode padan. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik ganti dan teknik lesap. Data dibagi dalam unsur-unsur untuk kemudian suatu unsur tertentu diganti atau dilesapkan untuk mengetahui kadar keintian unsur tersebut.

Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ saja tidak dapat dipermutasi letaknya, sedangkan kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ dan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat dapat dipermutasi letaknya. Begitu pula kata nek ‘kalau’, yen ‘kalau’, dan mundhak ‘nanti’ tidak dapat dipermutasi karena akan menghilangkan bentuk dan makna GTBJ, 2) Fungsi GTBJ mencakup kepercayaan, etika/moral, dan kesehatan, 3) Makna GTBJ dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) makna gramatikal, dan (2) makna kultural. Makna gramatikal didapat dari korelasi struktur sedangkan makna kultural diperoleh dari hasil wawancara dengan informan.


(14)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

“Alah, takhayul!” sebagian besar orang dewasa ini pasti akan berucap demikian jika diberi nasihat bijak Jawa apalagi jika tidak dijelaskan alasannya. Nasihat-nasihat seperti “Aja metu wayah wengi, ndhuk!” pasti akan dijawab dengan bantahan. Sering kali disertai alasan “Ini kan jaman globalisasi, mbok. Setan ora doyan, dhemit ora ndulit!” padahal maksud nasihat si Mbok, bukan hanya sawan yang akan nyambet, justru setan-setan berwujud manusia yang akan mengincarnya. Sebenarnya, banyak sekali petuah yang orang tua kita berikan kepada kita untuk ajaran hidup, bahkan yang tanpa kita sadari sekalipun. Namun di zaman yang semakin maju dan berkembang ini, semakin banyak orang mengabaikan warisan-warisan budaya dari leluhur kita. Mereka menganggap tradisi budaya Jawa hanya sebagai warisan dan gugon tuhon hanya sebagai takhayul yang dianggap kepercayaan orang Jawa yang kuno. Dengan antusias orang-orang berseru mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan budaya Jawa, malah mungkin sampai ke kancah internasiaonal. Kita memiliki keinginan melestarikan budaya Jawa, tetapi kita lebih sibuk mempelajari budaya asing. Bahkan kita lebih memilih belajar bahasa asing daripada bahasa Jawa itu sendiri. Lebih buruk, mungkin hanya sedikit dari sekian banyak orang Jawa yang memilih menggunakan krama inggil untuk berkomunikasi dengan orang tuanya. Selain itu banyak orang tua tidak mengajarkan bahasa Jawa kepada anak cucunya. Sehingga kesalahan ini bukan sepenuhnya salah si


(15)

anak, tetapi kita para orang tua yang lebih bertanggung jawab untuk menurunkan kekayaan Jawa ini kepada anak cucu kita. Sangatlah aneh jika seorang Jawa bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Sering kali karena si anak tidak memahami, justru kita yang akan menuruti si anak dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia. Bukan berarti bahasa Indonesia itu buruk, tetapi tanpa kita berusaha berarti kita sudah mulai mematikan budaya Jawa, karena di sekolah-sekolah pastilah anak-anak sudah diajarkan berkomunikasai dengan bahasa Indonesia dan bahkan pada beberapa playgroup menggunakan bahasa Inggris. Tanpa kita sadari, budaya Jawa perlahan mulai luntur dan hilang dalam kehidupan sehari-hari. Bukan karena pengaruh budaya baru yang memaksa masuk, tetapi karena kita yang membuangnya. Parahnya kita menolaknya untuk masuk kembali.

Namun sekarang ini gugon tuhon sudah agak kabur karena banyak hal. Di antaranya karena perbedaan pola pikir orang zaman dahulu dan zaman sekarang. Perbedaan ini dapat disebabkan karena perkembangan teknologi yang membuat orang-orang modern tidak peka lagi dengan alam dan dirinya sendiri. Dahulu, nenek moyang kita dalam keterbatasan teknologi pada saat itu, dalam prihatinnya selalu berlatih untuk menajamkan batin mereka. Gelap dan sepi membuat mereka merenungi diri dan alam. Hal itu membuat batin mereka tajam dan peka terhadap kehidupan. Semua yang mereka berikan, ajarkan, lakukan adalah karena mereka mengerti bahwa banyak yang harus diselaraskan agar semua berjalan dengan semestinya. Nasihat-nasihat yang mereka berikan ini didapat dari pengalaman mereka selama hidup dan berpikir. Nasihat–nasihat atau dinamakan gugon tuhon ini diteruskan kepada anak turunnya agar kelak keturunannya selalu mempunyai akal budi yang baik, tidak seperti hewan yang


(16)

commit to user

melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan, mempunyai tatanan untuk membentuk masyarakat yang berbudi.

Tetapi lalu seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang memudahkan hidup manusia, semua ketajaman batin itu seolah ikut lenyap. Tradisi yang diberikan turun-temurun ini perlahan-lahan luntur karena manusia pada zaman peralihannya tidak peduli dan tidak menganggap hal ini sesuatu yang dapat dijadikan ilmu hidup, jadi hanya sedikit dari pendukung kebudayaan Jawa yang tetap mempertahankannya. Karena hal inilah, sekarang sedikit dari para orang tua yang tahu dan paham tentang gugon tuhon ini, apalagi mewariskannya kepada anak-cucunya.

Penelitian ini berusaha mencari tahu tentang seberapa paham masyarakat di Kecamatan Tingkir tentang gugon tuhon khususnya gugon tuhon tentang kehamilan dan merawat balita, bagaimanakah mereka menyikapinya dan apakah mereka masih menurunkan sastra lisan ini kepada anak-cucunya. Sehingga diharapkan nantinya mereka mau meneruskannya kepada keturunannya. Selain itu kepada para pemuda agar lebih dapat mengerti dan memahami tentang gugon tuhon Jawa ini, sehingga sastra lisan ini dapat dilestarikan.

Gorys Keraf (2001: 1) mendefinisikan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sedangkan Saussure (dalam Mansoer Pateda, 2001: 4) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Tanda-tanda ini saling berhubungan membentuk struktur. Menurut Wikipedia: bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut.


(17)

1. Suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.

2. Suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain

3. Suatu kesatuan sistem makna

4. Suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.

5. Suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan dan kalimat).

6. Suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul 12.02 WIB)

Menurut pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa bisa didapat dari alat ucap manusia ataupun melalui sistem tanda. Yang terpenting adalah bahasa harus dapat dimengerti.

Malinowski mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu pragmatik dan magis (dalam Halliday, 1992: 20). Pragmatik sendiri adalah:

1. Studi tentang maksud penutur 2. Studi tentang makna kontekstual

3. Studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan


(18)

commit to user

Sedangkan konteks adalah teks yang menyertai teks (Halliday, 1992: 6). Jadi, ada maksud yang menyertai tuturan. Pragmatik mencakup konteks karena pragmatik akan menelusur apa yang dimaksud oleh suatu wacana lebih jauh, dengan banyak unsur yang melatarbelakangi untuk menjelaskan maknanya.

Untuk memaknai GT secara kultural, maka kita harus memahami konteks budaya Jawa yang sedang dimaksudkan oleh penutur dan mitra tutur, memahami budaya dan masyarakatnya terlebih dahulu. Barulah kita tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Etnolinguistik sendiri terbentuk dari dua kata, etnologi dan linguistik. Istilah ‘etnolinguistik’ berasal dari kata ‘etnologi’ yang berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan ‘linguistik’ berarti ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini antropologi budaya) (Sudaryanto, 1996 : 9).

Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang luhur. Kebudayaan atau tradisi ini diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita hingga sekarang. Masyarakat Jawa mempunyai banyak ajaran kebudayaan dalam berbagai hal, misalnya ketika seorang wanita melaksanakan tugasnya sebagai ibu, baik ketika masih mengandung maupun dalam merawat anak. Orang tua Jawa mempunyai cara yang bijak dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya agar anak-anaknya mau berpikir dan menelaah apa yang dikatakan orang tuanya. Petuah yang dihaluskan


(19)

penyampaiannya ini disebut dengan gugon tuhon. Menurut Purwadi, gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul (Purwadi, 2004 : 139).

Gugon tuhon berasal dari dua kata ‘gugon‟ dan ‘tuhon‟. Kata ‘gugon‟ berasal dari kata ‘gugu‟ yang mendapat akhiran [-an], yang mempunyai arti sifat yang mudah percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan ‘tuhon‟ berasal dari kata dasar ‘tuhu‟

dan mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai ucapan orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968 :13). Gugon tuhon yaitu:

Gugon tuhon sebenere ngemu piwulang, nanging piwulang iku ora cetha, mung sarana disamar, lumrahe wong angger wis dikandakake ora ilok utawa ora becik banjur pada wedi nerak, mangka larangan iku tujuane kanggo mulang supaya ora nindakake apa kang kasebut ing larangan iku (Subalidinata, 1968 : 13)

‘Gugon tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran itu tidak jelas, hanya samara-samar, biasanya jika orang sudah dilarang dengan tidak pantas atau tidak baik lantas takut untuk melanggar, maka larangan itu tujuannya untuk mengajar supaya tidak melakukan apa yang disebutkan dalam larangan tersebut’ (Subalidinata, 1968 : 13)

Ketika menginjak dewasa, para orang tua mulai banyak memberi bekal nasihat kepada anak-anaknya untuk mengarungi rumah tangganya, terlebih pada anak gadis karena wanitalah yang akan mengajarkan moral pada anak ketika anak belum belajar dari lingkungan luar. Setelah menikah, wanita akan mengemban tugas penting yaitu menjadi ibu. Semenjak bayi masih dalam kandungan hingga lahir akan ada banyak petuah yang diberikan dari ibu maupun ibu mertua kepada anak wanitanya. Nasihat-nasihat ini dimaksudkan agar sang calon ibu selalu menjaga tingkah lakunya agar kelak bayi yang


(20)

commit to user

dilahirkan sehat dan mempunyai moral yang baik. Nasihat ini misalnya aja mateni kewan, mundhak bocah sing lair kaya kewane „ jangan membunuh hewan, nanti anak yang lahir seperti hewan itu’, aja mbunteti leng tikus, mundhak nglairkene angel „ jangan menutup lubang tikus, nanti melahirkannya sulit’, aja adus bengi, mundhak kembar

banyu „jangan mandi malam, nanti ketubannya jadi banyak’, aja nyingkirake barang nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang (sikil dhisik sing metu) „jangan menyingkirkan sesuatu menggunakan kaki, nanti bayi yang lahir dari kakinya dahulu’, kudu nyingkirake regedan sing tinemu ing ndalan supaya nglairkene lancar ora ana

alangan „harus menyingkirkan kotoran yang ditemukan di jalan supaya melahirkannya lancar tidak ada halangan’, bayi kudu digendhong yen surup ‘bayi harus digendong kalau magrib’, yen nggendhong bayi aja disawung „ kalau menggendong anak jangan tidak memakai selendang’, dll. Nasihat-nasihat ini walaupun alasan yang disampaikan kurang masuk akal, namun jika ditelaah lebih lanjut ada alasan yang lebih logis.

Penelitian sebelumnya yang pernah diteliti adalah:

1. Suwanti, 2008, yang berjudul “Gugon Tuhon Bahasa Jawa” yang mengkaji

tentang bentuk, fungsi dan makna gugon tuhon bahasa Jawa.

2. Wahyu Adi nugroho, 2010, yang berjudul “Gugon Tuhon Daur hidup Manusia Jawa di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah (Kajian Resepsi Sastra). Skripsi ini tidak hanya mengkaji bentuk-bentuk gugon tuhon, makna dan fungsinya saja, tetapi juga mengkaji profil masyarakat Mojolaban dan bagaimana tanggapan mereka tentang gugon tuhon ini.


(21)

Skripsi saudara Suwanti ini mengumpulkan GTBJ yang ada dalam literatur, kemudian mendeskripsikan bentuk, fungsi dan maknanya. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan ini mengumpulkan data dari para informan daerah setempat untuk mendapatkan ujaran GT yang dimaksud, kemudian menganalisis bentuk, fungsi dan maknanya. Dalam penelitian Suwanti, bentuk GTBJ ini selalu menggunakan pewatas aja, frasa ora ilok, dan kata mundhak yang menyatakan hubungan sebab akibat. Sedangkan dalam penelitian ini bentuknya dapat tidak hanya menggunakan pewatas aja, frasa ora ilok, maupun kata mundhak saja, namun juga ada kata yen, nek atau tidak meggunakan semua kata diatas. Penelitian ini diambil dengan alasan :

1. Penelitian GT dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga ini belum pernah diteliti sebelumnya.

2. Gugon tuhon masyarakat Jawa ini adalah tradisi yang perlu dilestarikan.

3. Agar para anak muda penerus tradisi ini mau menerima ajaran ini, maka perlu dijelaskan makna dari orang tua sehingga para anak muda dapat memahami budayanya.

4. Setiap gugon tuhon yang diajarkan mempunyai ajaran yang adiluhung dan menarik untuk dikaji lebih lanjut.

B.

Pembatasan Masalah

Penelitian yang berjudul “Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga“ ini dikaji menggunakan teori etnolinguistik.


(22)

commit to user

Agar penelitian ini tidak melebar dari masalah perlu diadakan pembatasan masalah, yaitu pada bentuk, fungsi, makna gramatikal dan makna kultural gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan merawat anak.

C.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menentukan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk kalimat gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita?

2. Apakah fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita?

3. Bagaimanakah makna gramatikal dan makna kultural gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita?

D.

Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, dapat dijelaskan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan bentuk gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.

2. Mendeskripsikan fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.

3. Mendeskripsikan makna kultural dan makna gramatikal gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.


(23)

E.

Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat menberikan manfaat secara teoretis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi etnolinguistik, mengenai gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.

2. Manfaat Praktis.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan makna leksikal dan kultural bagi masyarakat yang bersangkutan sehingga budaya Jawa lebih menarik untuk dipahami dan dapat membantu penelitian serupa selanjutnya.

F.

Kerangka Pikir

Data gugon tuhon yang diteliti dalam penelitian ini menggunakan data lisan sebagai data primer dan data tulis sebagai data sekunder. GT biasanya menyatakan larangan atau dihaluskan menjadi nasihat. Bentuk GT dapat menngunakan pewatas ‘aja‟ , frasa ‘ora ilok’ atau tidak menggunakan keduanya sama sekali. Fungsi GT ditelaah dari pemaknaan yang didapat dari masyarakat. Makna gramatikal adalah makna yang dapat berubah sesuai dengan konteks pemakaian. Kata tersebut mengalami proses gramatikalisasi pada pemajemukan, imbuhan dan pengulangan. Sedangkan makna kultural adalah makna yang menyangkut makna secara kultural suatu budaya tertentu.


(24)

commit to user KERANGKA PIKIR

G.

GTBJ

Lisan (Data Primer)

Bentuk GTLBJ - Pewatas aja di depan - Pewatas aja dan mundhak

sebagai penanda sebab akibat

- Pewatas aja dan frasa ora ilok

- Frasa ora ilok

- Kata nek atau yen sebagai penanda kalimat perumpamaan

- kata nek atau yen dan kata

mundhak dalam satu

kalimat

FUNGSI - Kepercayaan - Pendidikan

Etika/Moral - Pendidikan

Kebersihan

MAKNA - Gramatikal - Kultural


(25)

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang akan digunakan oleh penulis adalah sbb :

Bab I : Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan teori, yang meliputi penjelasan dari gugon tuhon, pengertian kalimat, kalimat imperatif, fungsi, dan makna.

Bab III : Metode penelitian, yang meliputi sifat penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil penelitian.

Bab IV : Analisis data yang memuat tentang analisis dari bentuk, fungsi, makna gramatikal, dan makna kultural.


(26)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori digunakan sebagai kerangka pikir untuk mendekati permasalahan dan bekal untuk menganalisis objek kajian.

A.

Gugon Tuhon

Gugon tuhon berasal dari kata ‘gugu’ dan ‘tuhu’. Kata ‘gugu’ mendapat akhiran –an yang berarti sifat yang mudah percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan kata ‘tuhon’ berasal dari kata ‘tuhu’ yang juga mendapat akhiran –an, yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai ucapan orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968: 13). Purwadi mengatakan gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul (Purwadi, 2004: 139). Takhayul berarti percaya pada hantu-hantu atau hal supranatural lainnya. Oleh karena itu para ahli folklore modern lebih suka menggunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) (James Danandjaja, 1984: 153). Padahal takhayul sendiri mencakup bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience), ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Brunvand dalam Danandjaja, 1984: 153). Sedangkan dalam kenyataannya, tidak ada seorangpun yang bagaimanapun modernnya, dapat bebas dari takhayul, baik dalam hal kepercayaan maupun dalam hal kelakuan (Brunvand dalam Danandjaja, 1984: 154).


(27)

Takhayul (atau GT) memiliki beberapa syarat, yang terdiri dari tanda-tanda (signs), atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada akibatnya (results) (James Danandjaja, 1984: 154). Sedangkan menurut Dundes, takhayul adalah ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; beberapa dari syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat sebab (Danandjaja, 1984: 155).

Gugon tuhon dibagi menjadi tiga, yaitu 1) gugon tuhon salugu, 2) gugon tuhon yang berisi pitutur sinandi, dan 3) gugon tuhon yang berbentuk pepali atau wewaler. Dalam penelitian ini dikhususkan pada gugon tuhon yang berisi pitutur sinandi. Pitutur sinandi sendiri berarti kata-kata yang disandikan atau disamarkan.

Gugon tuhon dapat diberi pewatas aja ‘jangan’, seperti :

(1) Aja mateni kewan yen lagi mbobot.

‘Jangan membunuh binatang jika sedang hamil.’ (2) Aja mbampeti leng tikus yen lagi mbobot.

‘Jangan menutup lubang rumah tikus jika sedang hamil.’

Kalimat (1) dan (2) merupakan contoh GTBJ yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’. Kalimat (1) mengandung pesan jangan membunuh binatang jika sedang hamil. Pesan ini berlaku tidak hanya untuk si ibu hamil, tetapi juga untuk suami, karena dikhawatirkan jabang bayi yang akan lahir bisa menyerupai binatang yang dibunuh atupun disakiti. Misalnya jika membunuh atau menyiksa kera, si anak bisa mempunyai bulu yang banyak atau berwajah seperti kera. Sedangkan pada kalimat (2) mempunyai pesan jangan menutup lubang rumah tikus jika sedang hamil. Seperti pada kalimat (1),


(28)

commit to user

aturan ini juga berlaku untuk suami istri. Jika dilanggar, dikhawatirkan si ibu akan mengalami persalinan yang sulit seperti tertutup jalan lahirnya.

Gugon tuhon juga mempunyai bentuk dengan frasa ora ilok ‘tidak pantas’, seperti

(3) Ora ilok bayi dilem. ‘Tidak pantas bayi dipuji.’

(4) Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.

‘Tidak pantas bayi dipanggul, nanti berani dengan orang tuanya.’ GTBJ pada kalimat (3) dan (4) merupakan bentuk yang menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’. Pada kalimat (3) terdapat suatu nasihat bahwa tidak baik jika memuji bayi karena si anak dapat tumbuh menjadi anak yang tinggi hati karena biasa dipuji dalam keluarganya. Sedangkan pada kalimat (4) mengandung nasihat jika bayi tidak boleh dipanggul karena selain membahayakan jiwa si bayi, menurut kepercayaan Jawa hal itu juga akan membuat si bayi akan berani melawan orang tuanya kelak jika dewasa karena sudah ‘diletakkan’ di atas orang tuanya.

Dilihat dari kalimat (1), (2), (3), dan (4) dapat disimpulkan bahwa GT adalah pendidikan budi pekerti dalam mendidik anak bahkan sebelum si anak dilahirkan. Sejak dalam kandungan ikatan batin antara ibu dan anak sudah terikat begitu kuat, maka jika si ibu mempunyai suasana hati tertentu, besar kemungkinan akan menjadi sifat bayi yang akan dilahirkan. Orang tua yang sudah tentu pengalaman dalam mendidik anak pasti akan


(29)

memberi nasihat agar cucu yang akan dilahirkan kelak mempunyai sifat dan budi pekerti yang luhur.

B.

Kalimat

Salah satu unsur bahasa adalah kalimat. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi (Anton M. Moeliono, 1988: 254).

Kalimat terbentuk dari beberapa unsur: kata, intonasi dan makna. Kalimat tidak ditentukan dari jumlah suku kata. Dengan begitu, satu kata saja dapat didefinisikan sebagai kalimat jika disertai dengan intonasi yang benar dan maknanya dapat dimengerti.

C.

Fungsi

Fungsi bahasa yang sangat dasar adalah sebagai alat komunikasi. Dalam perkembangannya, bahasa mempunyai banyak fungsi sekunder. Bahasa dapat menjelaskan status, daerah asal, pendidikan, bahkan kepribadian seseorang. Penggunaan bahasa yang benar harus disertai etika tutur kata, moral yang dikandung, dan disampaikan dengan sopan-santun. Hal-hal tersebut penting digunakan untuk menciptakan lingkungan yang baik, dan damai.

Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri,


(30)

commit to user

sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 2001: 3).

Di bawah ini akan diuraikan mengenai etika, moral, dan sopan-santun.

1. Etika

Etika berarti ilmu yang mempelajari apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat-istiadat (Bertens, 1997: 4). Semua suku bangsa pastilah mempunyai etika. Etika ini berkembang sesuai kebudayaan mereka. Di Jawa, etika diatur berdasarkan banyak hal, salah satunya adalah stratifikasi sosial. Penting untuk menempatkan diri dalam tataran yang tepat dan menyadari tingkatan mereka, sehingga manusia Jawa dituntut untuk luwes dan dapat menempatakn diri pada situasi dan kondisi apapun untuk berbaur dan bertahan di dalamnya.

2. Moral

Moral adalah kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait nilai-nilai baik dan buruk (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul 12.17 WIB).

Pengertian moral dapat diartikan adat kebiasaan perbuatan manusia yang dikatakan baik jika sesuai dengan adat kebiasaan budi pekerti. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan kemanusiaan yang benar atau salah, yang baik atau buruk. Pada dasarnya moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sedangkan moralitas mengacu pada baik buruknya perbuatan.


(31)

commit to user

Sedangkan ajaran moral maksudnya ajaran, wejangan, ptokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi lebih baik (Franz Magnis-Suseno, 2001: 15).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa moral adalah perbuatan, pikiran maupun ucapan tentang baik-buruk, benar-salah yang didasarkan pada patokan keluarga dan masyarakat sekitarnya.

3. Sopan-santun

Norma sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari masyarakat itu. Norma kesopanan bersifat relative, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu (http://id.wikipedia.org/wiki/Sopan-santun diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul 12.37 WIB).

Sopan-santun diatur menurut tempat, lingkungan, ataupun waktu. Maka norma ini dapat berubah-ubah. Misalnya berbicara dengan teman tidak akan seformil dengan orang tua atau orang yang baru dikenal. Atau di Barat, memakai baju yang terbuka adalah hal yang lumrah terkait privasi dan otonomi tubuh mereka untuk berekspresi, tetapi jika kita memakainya di Timur, pastilah kita akan kena tegur atau apesnya dikucilkan masyarakat. Dengan demikian kita harus dapat menyesuaikan diri dengan sopan-santu yang berlaku di manapun, saat apapun. Karena dengan itu kita akan dapat diterima dan menjadi bagian dari masyarakat.


(32)

commit to user

D.

Makna

Semantik adalah studi tentang makna. Pengertian makna (sense) dibedakan dengan arti (meaning) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna menurut Palmer (1976: 30) hanya menyangkut intrabahasa. Makna kultural adalah makna yang terdapat dalam masyarakat pada sebuah wacana. Namun demikian, makna kultural yang komplek ini tidak akan dapat dijalankan dengan sempurna jika kita tidak memahami konteks budaya, mitra tutur dan situasi tutur yang sedang terjadi.

1. Makna Gramatikal

Makna gramatikal adalah makna yang dapat berubah sesuai dengan konteks pemakaian. Kata tersebut mengalami proses gramatikalisasi pada pemajemukan, imbuhan dan pengulangan.

2. Makna Kultural

Makna kultural adalah makna yang berhubungan dengan kebudayaan. Untuk memaknainya, kita harus memahami konteks dalam suatu budaya.


(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Menurut Djajasudarma (1993:1) metode merupakan cara kerja yang bersistem dalam pelaksanaan suatu kegiatan untuk mempermudah mencapai tujuan penelitian. Sedangkan metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang perlu diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan dianalisis. Dalam melakukan suatu penelitian, sebaiknya digunakan suatu metode yang tepat untuk menentukan langkah – langkah dalam penelitian. Dalam metodologi penelitian ini akan dijelaskan jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, populasi, sampel, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

A.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai untuk mengkaji GTBJ ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Maksud dari penelitian ini adalah mendiskripsikan dan menjelaskan fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta hasilnya berbentuk deskriptif, fenomena yang tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan antara variable (Aminuddin, 1990: 6).

Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi (H. B. Sutopo, 2002: 35).


(34)

commit to user

Penelitian gugon tuhon ini mengumpulkan data berupa ujaran lisan dan penyajian datanya berupa deskripsi dari olahan data gugon tuhon tersebut.

B.

Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian itu sendiri, dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Atau dengan rumusan lain data pada hakikatnya adalah obyek sasaran penielitian beserta dengan konteksnya (Sudaryanto,1993:9). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan yang didapat dari narasumber di kecamatan Tingkir, Salatiga. Sumber data adalah pencipta atau penghasil data yang sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud, biasanya disebut nara sumber (Sudaryanto, 1990: 35). Data dan sumber data dibagi dalam dua kelompok, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun data dan sumber data dalam penelitian ini:

1. Data dan sumber data primer.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penduduk terpilih Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga yang dipandang mengetahui dan paham tentang gugon tuhon kehamilan dan merawat bayi. Sedangkan datanya adalah ujaran tentang gugon tuhon wanita hamil dan merawat balita.

2. Data dan sumber data sekunder.

Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku dan literatur yang relevan dengan penelitian ini. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini adalah keterangan-keterangan yang diambil dari buku-buku dan literatur yang terkait dengan penelitian ini.


(35)

Sumber data dari penelitian ini adalah penduduk Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Desa ini dipilih karena sebagian besar penduduknya masih tradisional dengan mempertahankan budaya Jawa. Masih banyak ajaran GT yang disebarkan secara lisan. Sebagian besar penduduknya masih mempercayai dan mematuhi GT tersebut. Sumber data lisan berasal dari informan yang berupa tuturan. Adapun kriteria informan adalah sebagai berikut:

1. Penutur asli bahasa Jawa.

2. Penduduk asli daerah setempat.

3. Berusia 21-70 tahun yang dirasa betul-betul mengerti dan memahami GTBJ.

4. Memahami bahasa dan budaya Jawa.

5. Memiliki alat ucap sempurna.

6. Bisa berbahasa Indonesia.

7. Bersedia menjadi informan atau bersedia diwawancara dan mempunyai waktu cukup untuk diwawancarai.

Setelah menetapkan kriteria di atas, diperoleh 9 orang informan yang dirasa dapat dikumpulkan data yang dimaksudkan.

C. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Alat bantu dalam penelitian terdiri dari bolpoint, tipe-x, buku


(36)

commit to user

catatan, sedangkan alat bantu elektronik berupa komputer, flasdisk, alat rekam berupa mp3 player.

D. Populasi dan Sampel

Populasi adalah objek penelitian yang pada umumnya adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 1991: 32). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mengetahui ujaran tentang GTBJ mengenai kehamilan dan merawat bayi.

Sampel adalah sebagian populasi yang dijadikan objek penelitian secara langsung yang mewakili populasi atau mewakili populasi secara keseluruhan (Edi Subroto,1991: 32). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu mengambil sample secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan berdasarkan data yang ada (Edi Subroto, 1991: 25). Sampel dalam penelitian ini adalah ujaran yang mengandung GTBJ yang menyangkut nasihat untuk wanita hamil dan merawat bayi yang diucapkan oleh informan. Informan diambil dari masyarakat Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.

Setelah dilakukan penetapan kriteria informan, maka didapatlah beberapa orang yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Sembilan orang informan diambil dari kecamatan Tingkir secara random, yaitu dari desa Nanggulan, Kalibening, Celong, Klumpit, dan Ngenthak. Informan-informan tersebut berprofesi sebagai pedagang, karyawan, bidan, dukun bayi, guru, entertainer, dan ibu rumah tangga.


(37)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Data dikumpulkan dengan metode dasar yaitu teknik sadap. Untuk mendapatkan data pertama-tama si peneliti harus menyadap pembicaraan seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto, 1993: 133). Adapun mengenai teknik lanjutannya menggunakan teknik simak libat cakap (SLC), teknik rekam, dan teknik catat. Teknik SLC ialah di mana peneliti menyimak pembicaraan calon data dan berpartisipasi dalam dialog (Sudaryanto, 1993: 134). Pengumpulan data juga menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth-interviewing). Cara ini bersifat deskriptif dan eksplanatoris, yaitu peneliti di samping berusaha menjaring informasi deskriptif mengenai fakta atau fenomena sosiolinguistik (linguistik), juga berupaya menggali informasi yang berupa penjelasan munculnya fakta atu fenomena tersebut (Gunawan dalam Mahsun, 2005: 228). Untuk mengabsahkan data yang diucapkan dari para informan tersebut, maka perlu dilakukan teknik rekam agar data yang diperoleh dapat dianalisis dengan baik. Selain itu dapat juga dibantu dengan teknik catat untuk mencatat fenomena yang tidak dapat ditangkap dalam teknik rekam untuk menyempurnakan pengumpulan data.

F. Metode Analisis Data

Pada penelitian ini penulis akan menganalisis data menggunakan metode distribusional dan metode padan.


(38)

commit to user

Metode distribusional disebut juga dengan metode agih. Metode distribusional adalah metode analisis data yang alat penentunya unsur dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15).

Teknik yang digunakan adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 42). Jika unsur yang dilesapkan membuat kalimat menjadi tidak gramatikal, berarti unsur tersebut mempunyai kadar keintian yang tinggi, sehingga tidak dapat dihilangkan. Teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik lesap dan teknik ganti.

Teknik lesap digunakan untuk menganalisis dan mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Jika hasil dari pelesapan itu tidak gramatikal maka berarti unsur yang bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi atau bersifat inti: artinya, sebagai unsur pembentuk satuan lingual, unsur yang bersangkutan mutlak diperlukan (Sudaryanto, 1993: 42).

Metode distribusional dengan teknik dasar BUL dan teknik lanjutan berupa teknik lesap dan teknik ganti untuk menganalisis bentuk GTBJ, teknik ganti digunakan untuk mengatahui kadar keintian suatu unsur yang diganti. Contoh penerapannya sebagai berikut:

(1) Aja mateni kewan yen lagi mbobot.

‘Jangan membunuh hewan jika sedang hamil’

(2) Ora ilok bocah dilem.


(39)

Untuk mengatahui kadar keintian salah satu unsur, salah satu unsur yang dimaksud dihilangkan atau dilesapkan, yang hasilnya sebagai berikut:

(1a) Ø mateni kewan yen lagi mbobot. ‘Ø membunuh hewan jika sedang hamil’ (2a) Ø bocah dilem.

‘Ø bayi dipuji’

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa unsur aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ merupakan unsur inti yang tidak dapat dihilangkan maupun dilesapkan. Karena jika dihilangkan atau dilesapkan, maka kalimat itu menjadi tidak gramatikal dan maknanya menjadi berbeda.

Sedangkan jika menggunakan teknik ganti, hasilnya akan menjadi seperti ini:

(1b) ndeloki

Aja * mateni kewan yen lagi mbobot.

ngopeni

melihat

‘ Jangan *membunuh hewan jika sedang hamil.’ memelihara

(2b) digendhong

Ora ilok bocah disunggi *dilem digendong

Tidak pantas anak dipanggul ‘ *dipuji


(40)

commit to user

Hasil analisis kalimat (1b) dan (2b) di atas dengan teknik ganti menunjukka bahwa kalimat tersebut masih berterima namun tidak menunjukkan GT yang dimaksud. 2. Metode Padan

Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji untuk menentukan identitasa satuan lingual tertentu dengan alat penentu di luar bahasa (Sudaryanto, 1993: 13). Adapun penerapannya antara lain sebagai berikut:

(1) Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.

Fungsi dari GT ini adalah pelajaran dari dua segi, yaitu pendidikan etika/moral dan pendidikan kesehatan. Dari segi moral, menurut konsepsi Jawa, meletakkan anak lebih tinggi dari orang tua atau membiarkan anak memegang kepala orang tuanya secara tidak langsung mengajarkan anak bahwa kedudukan anak lebih tinggi daripada orang tua, maka ketika dewasa si anak akan kurang ajar dengan orangtuanya. Sedangkan dari segi kesehatan, memanggul bayi akan membahayakan jiwa si bayi karena lemah dalam hal keamanan.

Makna gramatikal : tidak pantas bayi digendong di pundak, nanti berani dengan orang tuanya.

Makna kultural : orang tua pasti ingin menyenangkan hati anaknya, salah satu caranya adalah dengan menggendongnya di atas pundak, karena biasanya si anak akan senang. Tetapi ternyata hal ini tidak diperbolehkan karena menurut nasihat orang tua Jawa, si bayi kelak akan berani melawan orang tuanya jika sudah dewasa. Pemaknaan secara kultural yang didapatkan dari masyarakat demikian,


(41)

tetapi mungkin ada benarnya juga orang tua memberi nasehat, karena anak kecil yang banyak bergerak secara tiba-tiba itu mungkin saja terlepas dari pegangan orang tuanya ketika sedang digendong diatas bahu. Secara logika hal ini dikarenakan ketika berada di atas bahu, pengamanan dan kecekatan tangan orang tua berkurang, dan tidak berada dalam jangkauan mata si penggendong, terlebih si bayi berada di ketinggian jauh diatas tanah, ketika jatuh hal ini bisa berakibat fatal. Oleh karena itu menggendong diatas bahu tidak diperbolehkan karena dari segi manapun tidak aman.

(2) Ora ilok bayi disawung.

Fungsi dari GT ini adalah untuk pendidikan kesehatan dan etika/moral. Menurut orang tua Jawa, menggendong dengan selendang akan mengeratkan tali batin antara ibu-anak. Maka memang seharusnya seorang ibu menjaga anaknya dengan sepenuh hati, selalu mendekatkan kepada anaknya agar kelak ketika si anak dewasa, hubungan antara ibu dan anak tetap erat terjaga. Sedangkan dari segi kesehatan, hal ini akan menjaga si bayi yang banyak bergerak agar tidak mudah terlepas dari gendongan bagitu saja.

Makna gramatikal: tidak pantas bayi digendong tanpa selendang.

Makna kultural dalam GT tersebut adalah bahwa kita harus selalu menggendong bayi dengan memakai selendang (disawung: nggendhong tanpa lendhang) karena:

1) Bayi akan terlepas dan jatuh dengan mudah jika tidak diikat ke badan kita. 2) Menurut orang tua jaman dahulu, menggendong dengan selendang akan


(42)

commit to user

kontak batin yang kuat antara ibu denagn si anak sampai si anak dewasa kelak.

3) Oleh orang Jawa, menggendong dengan selendang dipercaya agar si bayi tidak mudah terlepas dalam artian diambil keatas (meninggal) sewaktu-waktu.

(wawancara dengan ibu Sarmi, tanggal 3 Pebruari 2010)

(3) Ora ilok bayi diajak nyapu.

Fungsi dari GT ini adalah sebagai pendidikan kesehatan. Jika kita sedang melakukan pekerjaan yang kotor, maka sebaiknya tidak mengajak serta si bayi karena tentu saja si bayi dapat terkena kotoran yang ditimbulkan. Dalam hal ini menyapu yang menimbulkan debu dapat mengganggu pernapasan bayi yang masih rentan. hal ini dapat membuat bayi menjadi asma atau flu, maupun masalah pencernaan.

Makna gramatikal: tidak pantas bayi diajak menyapu (digendong sambil menyapu).

Makna kultural dalam GT ini adalah bahwa kita jangan pernah menggendong si bayi sambil menyapu karena:

1) Debu yang tersapu akan terhirup si bayi sehingga dapat menyebabkan gangguan pernapasan si bayi yang masih halus.

2) Menurut orang tua Jawa, menyapu sambil menggendong bayi akan menyebabkan si bayi jatuh ketika memanjat kelak jika ia sudah dewasa. (wawancara dengan ibu Sarmi, tanggal 3 Pebruari 2010)


(43)

G. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian analisis data menggunakan metode deskriptif, formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 62).

Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata sederhana sebagai pembantu dalam memahami hasil analisis data tersebut. Sedangkan metode formal adalah metode penyajian data dengan mencantumkan dokumen tentang data sebagai lampiran.


(44)

commit to user

BAB IV

PEMBAHASAN

A.

Bentuk

Subbab ini akan menganalisis bentuk GT untuk mengetahui kadar keintian suatu unsur kalimat, kegramatikalan dan berterima tidaknya kalimat tersebut.

1. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ Sebagai Penanda Kalimat Larangan.

GT yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ antara lain: (1) Aja ngombe es

jangan minum es’, (2) Aja mateni utawa nyiksa kewan ‘jangan membunuh atau menyiksa hewan’, (3) Aja ngethok rambut ‘jangan memotong rambut’, (4) Aja mangan sing panas-panas ‘jangan makan yang panas-panas’, (5) Aja njitheti utawa ndondomi kathok ‘jangan minisik atau menjahit celana’.

Data (1) sampai (5) akan dianalisis menggunakan teknik ganti untuk mengetahui kadar keintian pewatas aja ‘jangan’ sebagai penanda kalimat larangan.

(1a) *Aja ngombe es. *Jangan minum es.’

Ampun Jangan

(2a) *Aja mateni utawa nyiksa kewan.

Ampun

‘ *Jangan membunuh atau menyiksa hewan.’ Jangan


(45)

(3a) *Aja ngethok rambut. „ *Jangan memotong rambut.’

Ampun Jangan

(4a) *Aja mangan sing panas-panas.‟ * Jangan makan yang panas-panas.’

Ampun Jangan

(5a) *Aja njitheti utawa ndondomi kathok.‟ *Jangan menisik atau menjahit celana.’ Ampun Jangan

Dari analisis diatas kata aja ‘jangan’ tidak dapat diganti dengan kata ampun ‘jangan’ walaupun bermakna sama. Karena jika diganti maka kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT.

Selanjutnya data (1b) sampai (5b) akan dengan teknik ganti. Adapun yang akan dianalisis adalah objek dari kalimat GT tersebut.

(1b) Aja ngombe *es ‘Jangan minum *es

banyu air

(2b) Aja mateni utawa nyiksa *kewan ‘Jangan membunuh atau menyiksa *hewan ‘

kebo kerbau

(3b) Aja ngethok *rambut ‘Jangan memotong *rambut ‘

kain kain

(4b) Aja mangan sing *panas-panas Jangan memakan yang *panas-panas

kecut-kecut asam-asam

(5b) Aja njithethi utawa ndondomi *kathok sarung


(46)

commit to user Jangan munutup atau menjahit *celana

sarung

Analisis data (1b) sampai (5b) menunjukkan hasil yang gramatikal namun tidak berterima serta tidak menunjukkan GT walaupun kata yang digunakan mempunyai arti yang hampir sama.

Kalimat (1c) sampai (5c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu pewatas aja ‘jangan’ jika digantikan dengan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ dan ora becik ‘tidak baik’. (1c) *Aja * Jangan

*Ora ilok ngombe es. *Tidak pantas minum es.

*Ora becik *Tidak baik

(2c) *Aja mateni utawa nyiksa kewan. * Jangan membunuh atau

* Ora ilok *Tidak pantas menyiksa hewan.

*Ora becik *Tidak baik

(3c) *Aja ngethok rambut. *Jangan memotong rambut.

*Ora ilok *Tidak pantas

*Ora becik *Tidak baik

(4c) *Aja mangan sing panas-panas. * Jangan makan yang

*Ora ilok *Tidak pantas panas-panas.

*Ora becik *Tidak baik

(5c) *Aja njitheti utawa ndondomi kathok. * Jangan menutup atau

*Ora ilok *Tidak pantas menjahit celana.


(47)

Hasil analisis data (1c) samapi dengan (5c) menunjukkan bahwa setelah pewatas aja ‘jangan’ diganti dengan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ dan ora becik ‘tidak baik’ hasilnya tetap berterima, gramatikal dan menunjukkan GT. Dengan begitu frasa ora ilok ‘tidak pantas’ dan ora becik ‘tidak baik’ dapat menggantikan fungsi pewatas aja ‘jangan’.

Selanjutnya teknik lesap akan digunakan untuk menganalisis data (1d) sampai (5d). adapun yang akan dianalisis adalah pewatas aja ‘ jangan’.

(1d) Ø ngombe es. ‘Ø minum es.’

(2d) Ø mateni utawa nyiksa kewan. ‘Ø membunuh atau menyiksa hewan.’ (3d) Ø ngethok rambut. „Ømemotong rambut.’

(4d) Ø mangan sing panas-panas. ‘Ø memakan yang panas-panas.’ (5d) Ø njitheti utawa ndondomi kathok. ‘Ø menutup atau menjahit celana.’

Setelah dinalisis dengan teknik lesap, data (1d) sampai (5d) tetap menunjukkan kalimat yang gramatikal dan berterima, tetapi bukan merupakan GT. Oleh karena itu pewatas aja ‘jangan’ adalah penenda yang wajib hadir dalam kalimat larangan.

Yang akan dinalisis selanjutnya adalah verba dalam kalimat diatas. (1e) Aja Ø es. ‘jangan Ø es.’

(2e) Aja Ø kewan. ‘jangan Ø hewan.’ (3e) Aja Ø rambut. jangan Ø rambut.’

(4e) Aja Ø sing panas-panas. ‘jangan Ø yang panas-panas.’ (5e) Aja Ø kathok. ‘jangan Ø celana.’


(48)

commit to user

Hasil analisis data (1e) sampai (5e) dengan menggunakan teknik lesap hasilnya dalah tidak berterima dan tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Namun untuk nomer (4e) tetap menunjukkan kalimat yang gramatikal dan berima.

2. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ Sebagai Penanda Sebab Akibat.

GT selain menggunakan kata aja ‘jangan’ juga menggunakan kata mundhak ‘nanti’ sebagai kalimat yang akan menjelaskan suatu akibat yang akan terjadi dari suatu sebab. Kata ‘nanti’ di sini bukan menunjukkan kata ganti waktu, namun menunjukkan akibat dari suatu perbuatan. GT yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: (6) Aja

nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang ‘jangan

menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti bayinya lahir sungsang (kakinya keluar terlebih dahulu)’ (7) Aja mangan godhong kates, mundhak ari-arine remuk ‘jangan makan daun pepaya, nanti ari-arinya hancur’ (8) Aja turu yen bar nglairke, mundhak kelindheh ‘jangan tidur sehabis melahirkan, nanti trans (keadaan tidak sadar hingga dapat menjadi gila atau meninggal)’ (9) Aja mangan pedhes, mundhak bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken ‘jangan makan yang pedas, nanti anaknya ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran’.

Dalam analisis kalimat sebelumnya, pewatas aja ‘jangan’ tidak dapat diganti ataupun dihilangkan karena itu adalah esensi dari kalimat larangan. Maka pada subbab ini yang akan dianalisis adalah kata mundhak ‘nanti’ yang menandakan sebab akibat dari suatu kalimat. Data (6a) sampi (9a) akan dinalisis menggunakan teknik ganti.


(49)

(6a) Aja nyingkirake apa -apa nganggo sikil, *mundhak bayine lair sungsang. mengko

‘Jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, *nanti bayinya lahir sungsang’ nanti

(7a) Aja mangan godhong kates, *mundhak ari-arine remuk. mengko

‘Jangan makan daun pepaya, *nanti ari-arinya hancur’ nanti

(8a) Aja turu yen bar nglairke, *mundhak kelindheh. mengko

‘Jangan tidur sehabis melahirkan, *nanti trans’ nanti

(9a) Aja mangan pedhes, *mundhak bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken. mengko

‘Jangan makan pedas *nanti anaknya ada biji cabainya, atau matanya nanti selalu mengeluarkan kotoran’

Dari hasil analisis diatas, data (6a) sampai (9a) kalimatnya tetap gramatikal dan berterima, namun kata mundhak ‘nanti’ tidak dapat diganti dengan kata mengko ‘nanti’ walaupun artinya sama. Maka jika kata mundhak ‘nanti’ diganti, kalimat tersebut tidak akan menunjukkan kalimat GT.

Selanjutnya data (6b) sampai (9b) akan dianalisis objek di belakang kata mundhak. (6b) Aja nyingkirake apa -apa nganggo sikil, mundhak *bayine lair sungsang.


(50)

commit to user

‘Jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti *bayinya lahir sungsang’ anaknya

(7b) Aja mangan godhong kates, mundhak *ari-arine remuk. ususe

‘Jangan makan daun pepaya, nanti *tembuninya hancur’ ususnya

(8b) Aja turu yen bar nglairke, mundhak *kelindheh keturon

‘Jangan tidur sehabis melahirkan, nanti *trans ‘ ketiduran

(9b) Aja mangan pedhes, mundhak *bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken. bocahe

‘Jangan makan yang pedas, nanti *bayinya ada biji cabainya, atau matanya anaknya selalu mengeluarkan kotoran’ Dari analisis data (6b) sampai (9b) diatas, menunjukkan bahwa data (6b), (7b), (9b) tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT yang dimaksudkan. Sedangkan data (8b) tidak gramatikal, tidak berterima, serta tidak menunjukkan GT.

Selanjutnya kata mundhak ‘nanti’ pada data (6c) sampai (9c) akan dianalisis dengan menggunakan teknik lesap untuk mengetahui kadar keintian kata tersebut.

(6c) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, Ø bayine lair sungsang ‘jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, Ø bayinya lahir sungsang (kakinya keluar terlebih dahulu)’.


(51)

(7c) Aja mangan godhong kates, Ø ari-arine remuk ‘jangan makan daun pepaya, Ø ari-arinya hancur’.

(8c) Aja turu yen bar nglairke, Ø kelindheh ‘jangan tidur sehabis melahirkan, Ø trans (keadaan tidak sadar hingga dapat menjadi gila atau meninggal)’.

(9c) Aja mangan pedhes, Ø bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken ‘jangan makan yang pedas, Ø anaknya ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran’.

Dari hasil analisis diatas dapat dilihat bahwa kata mundhak ‘nanti’ jika dilesapkan menjadi tidak berterima, tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Oleh karena itu dapat disimpulkan kata mundhak ‘nanti’ adalah kata yang wajib ada dalam kalimat larangan yang menunjukkan sebab-akibat.

Selanjutnya verba atau nomina yang berada di belakang kata mundhak ‘nanti’ yang akan dianalisis dengan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut:

(6d) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak Ø lair sungsang ‘jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti Ø lahir sungsang (kakinya keluar terlebih dahulu)’.

(7d) Aja mangan godhong kates, mundhak Ø remuk ‘jangan makan daun pepaya, nanti Ø hancur’.

(8d) Aja turu yen bar nglairke, mundhak Ø ‘jangan tidur sehabis melahirkan, nanti Ø’ (9d) Aja mangan pedhes, mundhak Ø ana wiji lomboke, yen ora lodhoken ‘jangan makan yang pedas, nanti Ø ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran’.

Dari data (6d) sampai (9d) setelah dinalisis ternyata hasilnya menunjukkan bahwa data (7d) dan (9d) berterima namun tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Pada data (6d) menunjukkan hasil yang berterima, namun tidak gramatikal tetapi tetap


(52)

commit to user

menunjukkan GT. Sedangkan pada data (8d) verba setelah kata mundhak ‘nanti’ tidak dapat dihilangkan atau dilesapkan. Karena jika dilesapkan, maka kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal dan tidak berima.

3. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat.

GT dalam penyampaiannya ada juga yang menggunaka kata aja ‘jangan’ pada awal kalimat dan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ pada akhir kalimat dalam satu kalimat. Tetapi kata dan frasa ini tidak dapat dipertukarkan letaknya karena kalimatnya akan menjadi tidak berterima dan tidak gramatikal.

Data (10a) sampai (12a) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu kata aja ‘jangan’ untuk mengetahui kadar keintian kata tersebut.

(10a) Aja *mincuk godhong bekas, ora ilok. ‘Jangan *memincuk daun bekas,

mbungkus membungkus tidak pantas’

(11a) Aja *mbunteti leng tikus, ora ilok. ‘Jangan *menutup lubang tikus, ngurugi menutup tidak pantas’ (12a) Aja *adus wengi-wengi, ora ilok. ‘Jangan *mandi malam-malam,

ngumbahi mencuci tidak pantas’ Dari analisis diatas dapat dilihat bahwa data (10a) – (12a) setelah dianalisis hasilnya tetap gramatikal dan berterima namun tidak menunjukkan kalimat GT.

Lalu data (10b) – (12b) akan dianalisis objek atau adverbia di belakang verba. Hasilnya adalah sebagai berikut:


(53)

(10b) Aja mincuk *godhong bekas , ora ilok. ‘Jangan memincuk *daun bekas , tidak kertas bekas kertas bekas pantas’

(11b) Aja mbunteti *leng tikus ora ilok. ‘Jangan *lubang tikus , tidak pantas.’ angin-angin lubang angin

(12b) Aja adhus *wengi-wengi , ora ilok. ‘Jangan *malam-malam , tidak pantas’ esuk-esuk pagi-pagi

Analisis da (10b) – (12b) diatas menunjukkan jika objek atau adverbianya diganti, maka kalimat tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT.

Selanjutnya data (10b) – (12b) diatas akan dilesapkan penanda negasinya untuk mengetahui kadar keintiannya.

(10b) Ø mincuk godhong bekas, ora ilok. ‘Ø memincuk daun bekas, tidak pantas’. (11b) Ø mbunteti leng tikus, ora ilok. ‘Ø menutup lubang tikus, tidak pantas’. (12b) Ø adhus wengi-wengi, ora ilok. ‘Ø mandi malam-malam, tidak pantas’.

Analisis diatas menunjukkan bahwa pewatas aja ‘jangan’ jika dihilangkan maka kalimatnya masih tetap gramatikal, tetapi tidak berterima. Namun begitu masih tetap menunjukkan kalimat GT. Dengan kata lain tanpa pewatas aja ‘jangan’ pun masih tetap dapat diucapkan dan mitra tutur mengerti bahwa itu termasuk dalam salah satu GT.

4. GT yang Menggunakan Frasa ora ilok ‘tidak pantas’.

Sebagai kalimat perintah yang juga merupakan kalimat larangan, GT juga menggunakan frasa ora ilok sebagai penandanya. Biasanya frasa tersebut digunakan di


(54)

commit to user

depan kalimat. Kalimat-kalimat yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: (13) Ora ilok nggendhong anak disambi nyapu ‘tidak pantas menggendong bayi sambil menyapu’ (14) Ora ilok bayi dijak ngaca ‘tidak pantas bayi diajak berkaca’ (15) Ora ilok bayi dilem ‘tidak pantas bayi dipuji’.

Yang akan dianalisis pertama kali adalah frasa ora ilok ‘tidak pantas’ untuk menentukan kadar keintian penanda negasi tersebut. Data (13a) sampai (15a) akan dianalisis menggunakan teknik lesap.

(13a) *ora ilok nggendhong anak disambi nyapu. ‘*tidak pantas menggendong anak

ora becik tidak baik sambil menyapu’

ora oleh tidak boleh

(14a) * ora ilok bayi dijak ngaca. ‘ *tidak pantas bayi diajak berkaca’

ora becik tidak baik

ora oleh tidak boleh

(15a) *ora ilok bayi dilem. ‘ *tidak pantas bayi dipuji’

ora becik tidak baik

ora oleh tidak boleh

Hasil analisis data diatas menunjukkan bahwa jika frasa ora ilok diganti dengan ora becik atau ora oleh, maka kalimatnya tetap gramatikal dan berterima. Jika diganti dengan ora oleh, menjadi tidak termasuk dalam GT. Namun ora becik dapat menggantikan ora ilok dan tetap menjadi GT karena dua frasa tersebut sejajar dan hampir sama artinya.


(55)

Data (13b) sampai (15b) akan dianalisis verba dalam kalimat tersebut dengan teknik ganti.

(13a) Ora ilok *nggendhong anak disambi nyapu. nyangking

‘Tidak pantas *menggendong anak sambil menyapu ‘ membawa

(14a) Ora ilok bayi dijak *ngaca ‘Tidak pantas bayi diajak *berkaca ‘ dandan bersolek (15a) Ora ilok bayi * dilem . ‘Tidak pantas bayi *dipuji .

dilokne dikatai

Setelah data (13b) – (15b) dianalisis, hasilnya data (13b) dan (14b) tidak gramatikal dan tidak berterima. Tetapi pada data (15b) kalimatnya gramatikal, berterima serta menunjukkan GT.

Selanjutnya data (13c) – (15c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu frasa ora ilok dengan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut:

(13c) Ø nggendhong anak disambi nyapu ‘Ø menggendong bayi sambil menyapu’. (14c) Ø bayi dijak ngaca ‘Ø bayi diajak berkaca’.

(15c) Ø bayi dilem ‘Ø bayi dipuji’.

Setelah dianalisis, ternyata data (13c) – (15c) tetap berterima dan gramatikal serta menunjukkan GT. Dengan kata lain frasa ora ilok tidak wajib hadir dalam tuturan langsung untuk menangkap maksud si penutur bahwa kalimat tersebut adalah piwulang untuk dilaksanakan.


(56)

commit to user

Kemudian data (13d) – (15d) akan dianalisis objeknya dengan teknik lesap. (13) Ora ilok nggendhong Ø disambi nyapu ‘tidak pantas menggendong Ø sambil

menyapu’.

(14) Ora ilok Ø dijak ngaca ‘tidak pantas Ø diajak berkaca’. (15) Ora ilok Ø dilem ‘tidak pantas Ø dipuji’.

Setelah dilesapkan objeknya, ternyata data (13d) gramatikal dan berterima serta masih menunjukkan GT. Sedangkan (14d) dan (15d) tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT.

5. GT yang Menggunakan kata yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan.

Dalam GT yang diucapkan secara langsung dari penutur kepada mitra tutur biasanya ada juga kalimat yang diucapkan dengan kata yen ‘kalau’. Tuturan yang menggunakan kalimat perumpamaan ini antara lain: (16) Yen lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting ‘kalau bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting’, (17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan manten ‘kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin’, (18) Yen tilik bayi kudu dijalukne bedhak bayi ‘kalau menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi’, (19) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol ‘kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok’, (20) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah ‘kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah’.


(57)

Data (16a) – (20a) akan dinalisis kata penanda kalimat perumpamaannya, yaitu kata yen ‘kalau’. Hasilnya adalah sebagai berikut:

(16a) *Yen lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting. * Nek

Umpami

‘ *Kalau bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting’ *Kalau

Kalau

(17a) *Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora

* Nek katutan sawan manten.

Umpami

‘ *Kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar *Kalau tidak diikuti sawan pengantin’

Kalau

(18a) *Yen tilik bayi kudu dijalukne bedhak bayi. *Nek

Umpami

*Kalau menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi’ *Kalau

Kalau

(19a) *Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol. *Nek


(58)

commit to user

*Kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok’ *Kalau

Kalau

(20a) *Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah. *Nek

Umpami

*Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah’ *Kalau

Kalau

Dilihat dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa kata nek ‘kalau’ dapat menggantikan kata yen ‘kalau’ Karena mempunyai arti yang sama dan sejajar. Sedangkan jika diganti dengan kata umpami ‘kalau’, maka kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT karena kedua kata tersebut tidak sejajar walaupun mempunyai arti yang sama.

Selanjutnya objek nomina pada data (16b) –(20b) akan dianalisis menggunakan teknik ganti.

(16b) Yen lelungan aja lali nggawa *dlingo bengle karo gunting. kunir asem

beras kencur

‘Kalau bepergian jangan lupa membawa *dlingo bengle dan gunting.’ kuyit asam


(59)

(17b) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne *kembang manten , ben ora katutan keris manten sawan manten.

kembar mayang

‘Kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan *bunga pengantin , biar tidak keris pengantin

kembar mayang diikuti sawan pengantin.’

(18b) Yen tilik bayi kudu dijalukne *bedak bayi . minyak telon

‘Kalau menjenguk bayi harus dimintakan *bedak bayi. ‘ minyak telon

(19b) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti *rambute brodol. idepe

‘Kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti *rambutnya rontok.’ bulu matanya

(20b) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka *omah ‘ kamar latar ‘Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari *rumah ‘

kamar halaman


(60)

commit to user

Hasil analisis data (16b) – (20b) diatas menunjukkan hasil yang gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT walaupun kata yang diganti memiliki arti yang sejajar.

Selanjutnya kata yen ‘kalau’ pada data (16c) – (20c) akan dianalisis menggunakan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut:

(16) Ø lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.

„Øbepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting.’

(17) Ø ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan manten.

„Ø mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin.’

(18) Ø tilik bayi kudu dijalukne bedak bayi.

„Ømenjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi.’

(19) Ø nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodol.

„Ø punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok.’ (20) Ø durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah.

„Øbelum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah.’

Analisis diatas menunjukkan bahwa jika kata yen ‘kalau’ dilesapkan, maka kalimatnya tetap gramatikal, berterima dan menunjukkan GT.

Data (16d) – (20d) akan dianalisis verbanya juga menggunkana teknik lesap. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:

(16) Yen lelungan aja lali Ø dlingo bengle karo gunting.


(61)

(17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu Ø kembang manten, ben ora katutan sawan manten.

‘Kalau mengajak bayi ke kondangan harus Ø bunga pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin.’

(18) Yen tilik bayi kudu Ø bedak bayi.

‘Kalau menjenguk bayi harus Ø bedak bayi.’

(19) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute Ø. ‘Kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya Ø.k (20) Yen durung selapan anake ora oleh Ø metu saka omah.

‘Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh Ø keluar dari rumah.’

Hasil analisis data diatas menunjukkan data (17d), (18d), dan (19d) tidak gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Namun data (16d) dan (20d) tetap berterima dan gramatikal serta bermakna GT.

6. GT yang Menggunakan Kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang Berada di Depan Kalimat Sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan serta Kata mundhak ‘nanti’ Sebagai Penanda Akibat.

Selain GT yang menggunakan kata yen ‘kalau’ atau nek ‘kalau’ saja, ada juga yang menggunakan kata mundhak ‘nanti’ untuk memberi tahu akibatnya. Kalimat -kalimat tersebut antara lain: (21) Nek mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairne angel ‘kalau makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit’, (22) Yen mangan aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet ‘kalau makan jangan memakai takir, nanti ari-arinya lengket’, (23) Yen mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh


(1)

commit to user

Sedangkan dalam literatur Serat Babad Ila-ila 1 yang menceritakan asal mula legenda dalam tanah Jawa menceritakan bahwa Dewi Sri memberi petuah kepada Kyai Prigu dan istrinya Ken Sangki, agar Kyai Prigu berjaga semalaman karena anak yang baru saja dilahirkan istrinya akan digoda sarap sawan. Dewi Sri memberikan wangsit:

… Hai Kyai Prigu, janganlah aku diberi makan katak. Kalau kalian akan

memberikan sesaji kepadaku, baiklah kalian sajikan sirih ayu, bunga yang harum dan wangi-wangian,. Jangan lupa sertakan pula dupa, dan pelita yang terus-menerus menyala.

Kyai, jika kalian sajikan apa yang kukehendaki tadi, pasti kalian akan mendapat banyak rejeki, lagipula selama satu minggu janganlah Kyai tidur. Istirhatlah dan tidurlah jika pagi hari, itu kumaksudkan untuk menjaga anakmu. Kehendakku supaya ia terhindar dari bahaya dan selamat. (Serat babad ila-ila 1 hal:66).

Dari cukilan literatur di atas dapat disimpulkan bahwa suami dan istri harus bekerja sama dalam mengasuh si bayi. Jika malam si ayah yang menjaga, sedangkan jika pagi si ibu yang menjaganya. Hal ini dikarenakan beratnya mengasuh seorang bayi apalagi bagi orang yang belum terbiasa. Maka kerja sama dari ayah dan ibu perlu dilakukan agar bayi yang dimiliki sehat dan nantinya memiliki kepribadian yang baik bagi keluarga dan sesama.

(39) Ora oleh nekuk dhengkul.

Makna gramatikal: jangan melipat lutut.

Makna kultural: setelah melahirkan hingga beberapa hari setelahnya si ibu tidak boleh melipat lututnya. Hal ini dilarang karena jika ia melipat lututnya, maka biasanya kakinya akan timbul varises berupa guratan-guratan urat berwarna biru. Varises ini muncul karena tekanan menahan berat perut yang di luar biasanya, dan


(2)

setelah si bayi lahir dengan cepatnya berat badan berkurang. Maka aliran darah akan sedikit tidak lancar karena perubahan ini. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan pelurusan kaki agar aliran darah menjadi normal kembali.

Seorang nara sumber mengatakan: Ngko ndhak nganu.. varises. Ben suk nak nduwe anak siji apa telu kuwi ben lancar, varisese ora gedhi-gedhi. Dadine

peredaran dharahe lancar. Dadine kudune slonjor terus. ‘Nanti bikin varises.

Biar nanti walaupun punya anak satu atau tiga itu lancar, varisesnya tidak besar-besar. Jadinya peredaran darahnya lancar. Jadi harusnya meluruskan kaki terus.’ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).

Sedangkan pada jaman dahulu, untuk melancarkan peredaran darah setelah melahirkan, biasanya si ibu disuruh meletakkan kakinya diatas sebuah karung yang telah diisi abu hangat. Karena energi panas ini, peredaran darah akan berjalan lancar sehingga tidak timbul gangguan kesehatan yang berupa penyumbatan aliran darah.

(40) Ngubur ari-ari didokoki potelot.

Makna gramatikal: mengubur ari-ari diberi pensil.

Makna kultural : ada banyak macam versi dari tata cara penguburan ari-ari ini. tetapi secara garis besar semuanya sama, yaitu mengubur ari-ari di halaman depan atau belakang rumah, lalu diberi penerangan dan bunga selama 40 hari. Seorang ibu yang berprofesi sebagai guru dan mengaku tidak terlalu mempercayai gugon


(3)

commit to user

Nek ari-ari sing di anu memang masih dikasih pensil, biar anaknya pinter. Pas habis melahirkan kan ari-arinya dicuci bersih, setelah dicuci bersih dimasukkan kuwali. Nah di dalam kuwali itu diisi hal-hal yang baik. Pensil supaya anake pinter, buku ben anake gemar membaca, terus bunga mungkin biar harum, maksudnya nama. Dulu kok dikasih bunga, tapi

ndak tanya itu dikasih kayak gitu. Harapannya supaya anaknya cerdas, kasih buku kasih pensil, kalu bunga mungkin supaya namanya harum. Maksudnya dia membawa nama yang baik bagi keluarga, mungkin harapannya gitu hanya dulu ndak dijelaskan kok nganggo kembang

macem-macem gitu. (Wawancara dengan ibu Nik pada tanggal 12 Mei

2010).

Dari keterangan ibu Nik, dapat disimpulkan bahwa ritual penguburan ari-ari adalah sesuatu yang dasar dalam rangkaian tradisi mempunyai anak dalam masyarakat Jawa. Hampir semua informan yang dimintai keterangan selalu menyebutkan jika mereka masih menjalankan tradisi ini, walaupun mereka mengaku sudah tidak begitu percaya dengan tradisi gugon tuhon ini.

(41) Pupak puser anak-anake disimpen, didadeake siji supaya anak-anake rukun.

Makna gramatikal: tali pusar anak-anaknya yang sudah terlepas disimpan, dijadikan satu supaya anak-anaknya rukun.

Makna kultural: tali pusar yang anak yang sudah terlepas dan sudah dikeringkan disimpan menjadi satu dengan anak-anaknya yang lain. Menurut kepercayaan Jawa hal ini dapat membuat anak-anak rukun dengan saudara-saudaranya. Mungkin hal ini dapat mengingatkan kita bahwa kita harus selalu menjaga anak-anak kita dan menyatukan mereka apapun yang terjadi serta memperlakukan mereka secara adil agar mereka selalu menyayangi saudara-saudaranya sehingga dapat tetap rukun seperti tali pusar yang disimpan menjadi satu.


(4)

(42) Bocah ki nduwe watak dhewe-dhewe, miturut wetone.

Makna gramatikal: setiap anak itu memiliki watak sendiri-sendiri tergantung hari kelahirannya.

Makna kultural : seperti halnya bangsa barat dan China, orang Jawa memiliki horoskop atau penanggalan sendiri. Jika dalam penanggalan barat, watak seseorang dapat dilihat dari tanggal, hari dan pasaran di mana ia dilahirkan dan kosmik yang mempengaruhinya, maka dalam sistem horoskop Jawa pun demikian.

Seorang informan mengatakan : Cah lahir Wage kuwi konyolan, kaku ati sokan, ora kena tersinggung perasaan. Nek lahir Selasa Kliwon Jumat Kliwon ki

aris kembang angger wong seneng. ‘Anak lahir (pada pasaran) Wage itu mudah

tersinggung, sulit untuk ramah, tidak boleh tersinggung perasaannya. Kalau lahir hari selasa kliwon itu aris kembang, semua orang senang padanya’ (Wawancara

dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).

Hari kelahiran adalah hal yang penting untuk diingat dalam urusan ramal-meramal dalam budaya Jawa, karena dari hari itu dapat dilihat watak dan peruntungannya di masa depan. Maka biasanya seorang dukun yang berpengalaman dapat membaca watak seseorang hanya dari dari kelahirannya saja.


(5)

commit to user

BAB V

PENUTUP

A.

Simpulan

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini diperoleh suatu simpulan sebagai berikut.

1. Bentuk gugon tuhon bahasa Jawa terdiri dari: 1) GT yang menggunakan pewatas aja

‘jangan’ sebagai penanda kalimat larangan, 2) GT yang menggunakan pewatas aja

‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ sebagai penanda sebab akibat, 3) GT yang

menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat, 4)

GT yang menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’, 5) GT yang menggunakan kata

yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan, 6) GT yang menggunakan kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang berada di depan

kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan serta kata mundhak ‘nanti’ sebagai

penanda akibat. GTBJ yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ saja, dan kalimat

dengan pewatas aja ‘jangan’ dan frasa ora ilok‘tidak pantas’ yang terletak dalam satu

kalimat letaknya tidak dapat dipermutasi. Sedangkan kalimat yang hanya menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ saja letaknya dapat dipermutasi. Pewatas aja ‘jangan’ tidak dapat diletakkan di belakang nomina. GTBJ yang menggunakan

kaya yen ‘kalau’, nek‘kalau’, dan mundhak‘nanti’ letaknya tidak dapat dipermutasi

karena merupakan kalimat yang menunjukkan hubungan sebab akibat.

2. Fungsi gugon tuhon bahasa Jawa memiliki fungsi 1) Pendidikan religi, 2) Pendidikan etika/moral, dan 3) Pendidikan kesehatan dalam kehidupan masyarakat Jawa.


(6)

3. Makna yang terdapat dalam gugon tuhon bahasa Jawa ini adalah makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal dalam GTBJ ini tidak hanya terbatas pada kata saja, namun juga mencakup frasa, klausa, dan kalimat. Sedangkan makna kultural didapat dari para informan.

B.

Saran

Penelitian ini hanya meneliti tentang GT pada ibu hamil dan merawat balita saja, namun sebetulnya kebudayaan Jawa menyimpan banyak nasihat dalam aspek kehidupan yang lainnya, seperti contohnya dalam hal jodoh, kematian, dan yang lainnya. Agar dapat melengkapi tujuan dari penelitian ini, yaitu agar para penerus kebudayaan Jawa dapat mengerti dan memahami budayanya, maka alangkah baiknya jika penelitian-penelitian selanjutnya mengkaji hal tersebut sebagai dokumen tertulis dari dan untuk masyarakat Jawa sendiri, sehingga nantinya kebudayaan Jawa tidak hilang tergerus jaman.